Kalau bukan karena perselingkuhan ibunya, mungkin triplets masih dekat hingga sekarang. Kalau bukan karena Bapak yang tidak memiliki penghasilan tambahan dari jual buku, mungkin Ibu tidak akan memulai komunikasi dengan pria lain di tempat kerjanya. Kalau bukan karena Ibu yang tergoda dengan harta dan uang, mungkin ia tak akan membandingkan pria lain dengan suaminya. Namun, untuk apa menyalahkan hal yang sudah terjadi?
Phiko tidak pernah menyentuh kantin, tidak mau, buang-buang waktu katanya. Jajanannya juga tidak sehat. Padahal, ia tak tahu saja ada mi ayam yang enaknya seperti makan di restoran bintang lima.
Kali ini Vino membawa dua mangkuk mi ayam tersebut dengan wajah semringah. Kapan lagi dirinya bisa mentraktir adik kembarnya dengan uang sendiri? Baju yang sudah dikeluarkan–lebih tepatnya selalu dikeluarkan–terlihat berantakan. Tidak apa-apa, lagipula sudah waktunya pulang sekolah.
“Semalem tidur di mana?” tanya Finna kala kakaknya menyimpan mangkuk. Spontan dirinya menyingkirkan tumpukan peralatan make up di depannya.
“Rumah Armor. Itu pun cuman sejam.” Vino mulai mengaduk mi ayam miliknya agar tercampur rata dengan bumbu.
“Menang gak?”
“Apanya yang menang?”
Finna berdecak. “Balapannya. Apa lagi?”
Vino terkekeh garing. “Menang. Kedua tapi.”
Finna mengangguk paham. Pantas saja Vino bisa membelikan dirinya mi ayam begini. Padahal, mi ayam adalah salah satu makanan termahal di kantin sekolah ini. Sebelum menyantap makanannya, Finna sempat menaruhkan gincu di bibirnya agar sedikit menimbulkan warna merah. Vino mendelik melihatnya. Bukankah lipstik itu akan menghilang ketika Finna makan nanti? Namun, ia mengurungkan niat untuk bertanya saat seorang lelaki bertubuh jangkung masuk ke area kantin.
“Masih juga suka sama dia?”
Finna tidak menjawab. Ia memilih membereskan peralatan riasnya ke tas khusus sambil menundukkan kepala, berharap lelaki bertubuh jangkung yang dikenal sebagai anak musik paling populer itu tidak melihatnya. Kalau sudah bicara tentang lelaki yang disukai Finna, Vino pasti selalu mengejeknya. Entah menjatuhkan tentang sikap buruk yang dimiliki lelaki itu, atau mungkin membuat Finna sadar jika saingannya banyak. Yang pasti, Vino tak pernah sengaja menghina perawakan yang dimiliki adiknya.
“Mulai hari ini sampai besok-besok aku bakal pulang telat. Dapet panggilan dari banyak hotel, mewah-mewah lagi hotelnya.” Fanni bicara dengan nada sombong, senyumnya juga terukir bangga.
Vino memajukan bibir. “Iya, deh. Mau dijemput?”
“Nanti aku kabarin. Takutnya, lewat tengah malem belum beres mainnya.”
Finna tertawa atas apa yang dia ucapkan, memancing Vino jadi ikut tertawa juga. Mungkin hanya mereka berdua yang mengerti dengan percakapan di baliknya. Kebanyakan orang bilang, kalau anak kembar itu biasanya memiliki insting yang kuat, sampai mampu telepati untuk bisa saling memahami dalam diam. Namun, tidak untuk triplets yang sudah retak keharmonisannya ini.
Phiko mendengar percakapan kedua kakaknya dari balik tembok yang membatasi antara kantin dan kamar mandi pria. Phiko mengembuskan napas gusar. Kedua kakaknya memang tidak bisa diharapkan. Mereka justru mengikuti jejak ibunya, menjadi seorang manusia brengsek. Mengapa mereka tidak ikut saja bersama Ibu? Mengapa harus membebani Bapak? pikir Phiko. Vino seorang berandalan yang sering balap liar di tengah malam, dan Finna .... Entahlah, mendengar kata hotel saja membuat dugaannya semakin menjadi-jadi. Anak SMA mana yang pergi ke hotel setelah pulang sekolah, kemudian mendapatkan bayaran besar? Kemungkinan besar seorang ... ah, Phiko menggelengkan kepalanya.
Setelah berusaha mengendalikan pikiran, Phiko pun benar-benar keluar dari kamar mandi. Ia sempat menoleh ke arah dua kakaknya secara sekilas, lalu membuang pandangan kembali.
“Titip tugas ke dia, ya.”
Phiko bisa mendengar suruhan Vino kepada Finna. Ia mengumpat dalam hati. Selalu saja begitu. Walaupun Phiko sendiri merasa tidak masalah. Mengerjakan tugas Vino yang notabene berasal dari jurusan IPA, jurusan impiannya. Phiko berhasil memenangkan banyak sekali olimpiade sains dan biologi, sementara dirinya berasal dari jurusan IPS. Apa yang membuatnya begitu pintar menguasai pelajaran jurusan lain? Yakni mengerjakan tugas milik Vino. Bahkan guru-guru sempat meragukan hasil tes Phiko sewaktu penerimaan peserta didik. Sebagian guru ada pula yang menawarkan Phino supaya pindah jurusan. Namun, di IPA atau IPS tidak ada bedanya. Phiko akan tetap begini, menjadi yang terbaik. Sebab sejatinya, itulah jati diri seorang Alphiko Adhitama.
Pulang sekolah, Phiko ingin mampir ke toko buku bapaknya. Bapak baru sembuh dari sakit tiga hari lalu. Serangan jantung. Tapi, Bapak bersikeras ingin kembali bekerja sedari kemarin. Jadi, hari ini dirinya ingin sedikit membantu. Lelaki itu sedang meniti jalan gang, jalan pintas menuju pasar buku. Tidak terlalu jauh memang, tapi orang kebanyakan menggunakan ojek supaya lebih cepat sampai. Sayang duitnya, menurut Phiko. Bisa dibelikan yang lebih bermanfaat.
“Hei.”
Ah, ingin sekali Phiko mengumpat. Satu detik setelah sapaan yang lebih pantas disebut ancaman, tiga orang bertubuh lebih tinggi dari Phiko datang mengerubungi. Mereka sama-sama berasal dari angkatan kelas 12, tapi mereka menganggap Phiko seperti adik kelas karena tubuhnya yang kecil.
Mahen. Lelaki brandalan yang disukai oleh kakaknya. Anak musik, Mahen adalah vokalis band sekolahnya. Dua orang lainnya, ada Deo sebagai drumer dan Tera sebagai bassis. Phiko tidak pernah menonton mereka ketika sedang tampil di sekolah, tapi Phiko tahu dari kakaknya. Finna itu selalu histeris di rumah, mengumumkannya kepada Vino tentang apa pun yang Mahen dan band-nya itu lakukan di media sosial. Phiko punya telinga. Meski ia tak peduli, tapi Phiko bisa mendengar dan mengingat.
“Phiko dari IPS 3, ya?” tanya Mahen memastikan.
Phiko mengembuskan napas pelan. Ia tidak pernah mencari masalah dengan anak-anak seperti ini. Makannya Phiko selalu sendirian, tidak punya teman, bahkan kalau ada jam kosong pun dirinya memilih berdiam diri di perpustakaan paling pojok. Intinya Phiko tak ingin berinteraksi dengan siapa pun yang ada di sekolah ini kecuali sangat genting diperlukan.
“Kamu itu ... kembarannya Finna, ya?”
Phiko menggigit bibir bawahnya. Mahen ini menyebalkan sekali. Semua orang di sekolah menganggap dirinya baik. Padahal tidak. Bukan sekali dua kali Phiko melewati jalan gang ini. Beberapa kali Phiko mendapati Mahen dan kacung-kacungnya ini sedang berbuat seenaknya kepada anak dari sekolah lain–baik lelaki maupun gadis–di salah satu belokan menuju jalan buntu.
Selama ini Phiko bungkam saja. Kalau ia membeberkan, pasti dirinya juga yang terkena imbasnya. Mahen tahu kalau Phiko tahu tentang perbuatannya. Jadi, jika ada kabar buruk itu menyeruak di lingkungan sekolah, sudah pasti Phiko pelakunya.
“Finna itu cantik sekali, Phiko. Boleh buatku?” Mahen meletakkan lengannya di atas bahu Phiko.
Mata Phiko dan Mahen bertemu. Meskipun Phiko tidak suka kepada Finna, tapi mana mungkin Phiko membiarkan kakaknya itu berpacaran dengan lelaki seperti Mahen.
“Kalau tidak boleh ....” Mahen mengulurkan tangan sebelahnya yang bebas kepada Tera. Phiko pikir, ada benda tajam yang akan dikeluarkan Mahen, seperti apa yang dilakukan Mahen kepada anak sekolah tetangga tempo waktu.
“Kerjain tugas kita, dong. Sama-sama dari IPS, gurunya juga sama.”
Phiko bisa bernapas sedikit lega, sebab Mahen tidak mengeluarkan pisau atau semacamnya, melainkan buku catatan sebanyak tiga buah. Phiko menyambarnya. Tanpa menunggu Mahen berbicara atau mengizinkannya pergi, Phiko sudah melangkah lebih dulu. Anak buah–yang katanya anggota band–Mahen pun tidak menahannya.
Phiko mendengkus kasar begitu sampai di toko Bapak. Harusnya Phiko yang ada di sana, membantu Bapak melayani pelanggan atau membereskan tumpukan buku. Namun, kakak kembarnya justru sampai lebih dulu. Jelas, sudah pasti Finna diantarkan oleh Vino menggunakan motor bebeknya. Kalah telak dengan Phiko yang jalan kaki, ditambah sempat cegat di tengah jalan. Tapi, kapan? Bukannya mereka sedang makan di kantin barusan?
“Silahkan, cari buku apa?” tanya Finna, setelah ia selesai melayani orang di sebelah Phiko. Bahkan Finna sendiri tidak menyadari kedatangan Phiko.
“Phi? Tumben banget ke sini. Ada apa? Nyari buku?” tanya Finna berdecak pinggang.
“Siapa, Fin? Ketus banget jawabnya,” ujar Bapak, ia baru datang dengan tumpukan buku di tangannya. Sepertinya Bapak baru membawa buku-buku tersebut dari gudang.
Bapak pun akhirnya mendaratkan pandangan pada wajah Phiko. Bapak mengukir senyum, ia senang Phiko datang ke tokonya. Sebab setelah Bapak bercerai dengan Ibu, Phiko tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di sini. Padahal sedari bayi, Phiko dan dua kakaknya itu selalu bermain di sini. Apalagi hari minggu atau tiap ada masukan buku baru.
“Phiko lagi cari buku apa?” Kini Bapak yang bertanya. Nadanya lembut sekali, tidak seperti Finna sebelumnya.
Phiko menggeleng. “Tadinya mau bantu Bapak.”
Wajah pria gembul itu semringah. Ia membukakan pintu kecil di samping mejanya. “Wah, Bapak senang Phiko main di sini. Nanti Bapak beri kamu buku terba—”
“Udah ada Finna, Phiko pulang aja.” Phiko membalikkan tubuhnya.
Jelas Bapak terkejut ucapannya dipotong oleh Phiko dan putra bungsunya itu pergi begitu saja. Bapak sedikit sedih. Ia hendak mengejar Phiko. Namun, Finna menahannya. Finna yang mengejar Phiko untuk memberikan amanah kakaknya.
“Heh, gak sopan banget jadi anak.” Finna berupaya mengimbangi langkah Phiko.
“Nanti gue minta maaf.”
“Maaf, maaf.” Finna masih berusaha mempercepat langkahnya. Phiko ini cepat sekali.
Akhirnya Finna menempatkan diri di depan Phiko sampai adiknya itu berhenti. “Nih, Vino minta tolong buat ngerjain—”
Ucapan Finna terhenti seperti Bapak, sebab Phiko sudah merebut buku Vino dari tangan Finna dan berjalan pergi tanpa pamit.
Orang-orang pengunjung pasar buku ini berlalu lalang tanpa memedulikan adanya kakak beradik kembar yang hubungannya berantakan. Phiko muak melihat wajah Finna yang menurutnya akan menjadi pemuas nafsu orang-orang di hotel.
Kasihan Bapak. Kasihan Bapak. Dua anaknya menjadi orang-orang kotor. Payah. Phiko bertekad untuk menjadi lebih baik dari sekarang, terutama dari dua kakaknya. Tadinya Phiko ingin mengadukan percakapan di kantin barusan kepada Bapak. Tapi, kasihan Bapak. Phiko takut Bapak akan terkena serangan jantung lagi karena kecewa dengan dua anaknya. Untuk sementara ini, Phiko akan merahasiakannya sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Satu tugas beres. Tugas milik Vino.
Selanjutnya, tugas milik Mahen. Tidak, Phiko juga harus mengerjakan tugas miliknya. Mata pelajaran Geografi. Phiko membuka buku miliknya dan milik Mahen secara bersamaan. Alisnya mulai saling bertaut. Soalnya berbeda! Padahal, kalau soalnya sama, Phiko tinggal mengerjakan punyanya, lalu menyalin ke buku Mahen dan dua kacungnya.
Phiko mengembuskan napas pelan. Kalau begini akan menyita waktu cukup banyak. Waktu untuk Phiko belajar akan berkurang. Phiko melirik jam yang ada di dinding kamar. Hampir menunjukkan pukul enam sore, sebentar lagi juga azan magrib.
Kenapa Bapak belum pulang? Seharusnya Bapak sudah di rumah sejak satu jam yang lalu.
Phiko beranjak dari tempat belajarnya, setelah duduk selama hampir 2 jam untuk mengerjakan tugas fisika milik Vino. Pantatnya pegal, perutnya juga sedikit lapar.
“Assalamu’alaikum.”
Saat Phiko sampai di ambang pintu kamar, ternyata Bapak sudah pulang. Ia menenteng satu plastik hitam di tangan kiri dan tangan kanan membawa sebuah buku.
“Maaf, Bapak pulang telat. Tadi macet dan pasar menjelang sore mendadak ramai. Bapak dan Finna sedikit keteteran. Andaikan kamu jadi membantu Bapak tadi.”
Bapak berkata dengan wajah berserinya. Bapak selalu menyembunyikan letih di wajahnya. Namun, Phiko tahu pasti, Bapak sekarang sedang kecapekan, apalagi di pasar buku itu jarang sekali angkutan umum. Bapak harus berjalan ke jalan raya agar bisa menaiki angkutan umum, lalu turun di depan gerbang gang kecil. Kemudian Bapak harus kembali berjalan lagi menuju rumahnya yang berada di ujung ini. Bisa dibilang, rumah mereka merupakan sebuah kampung, jalannya cukup untuk dua motor berlalu-lalang. Kalau ingin punya mobil, mereka harus membeli lahan yang berada di dekat jalan raya, tidak boleh masuk ke kampung ini karena jalannya sempit.
“Ini, ada buku bagus untukmu. Hari ini kita juga bisa makan malam.” Bapak menyodorkan buku di tangan kanannya tadi, berjudul Dunia Shopie. Ah, sudah lama Phiko mengincar buku itu. Tapi, harganya mahal. Phiko tidak bisa membeli dengan uang jajannya yang ia kumpulkan untuk masuk perguruan tinggi.
Phiko mengambil buku tersebut dengan wajah datar. Meskipun bekas, tapi buku tersebut masih terlihat bagus.
Bapak berjalan menuju dapur. Bergegas Phiko mengejarnya setelah menyimpan buku pemberian Bapak di meja belajar.
“Biar Phiko yang masak. Bapak aja istirahat di kamar.”
Bapak sempat menatap Phiko cukup lama, lalu segaris senyum terhias di wajahnya. Lantas Bapak mengangguk, menuruti apa kata Phiko. Tidak dapat dipungkiri dirinya juga lelah.
Phiko tidak tega melihat peluh keringat di dahi dan badan Bapak. Meski tubuhnya memang terbilang cukup gemuk, usianya juga baru menginjak 45 tahun, tapi karena serangan jantung yang menimpa, Phiko khawatir dengan kesehatan Bapak. Benar, harusnya Phiko membantu Bapak barusan. Tapi, tugas yang harus dikerjakannya sangat banyak. Bisa-bisa Phiko tidak tidur malam ini.
“Finna ke mana, Pak?” tanya Phiko. Ia tengah menyajikan masakan di meja makan. Ada telur dadar, tempe, tahu dan sambal. Sederhana saja.
Akan tetapi, Bapak yang baru kembali tidak menjawab, ia bahkan menundukkan kepalanya, berpura-pura membenarkan piring di meja makan. Alis Phiko bertaut. Apakah ... Bapak tahu pekerjaan Finna di hotel? Bapak tampak sedih. Atau Finna dan Bapak sempat bertengkar di pasar?
Phiko mendengkus kasar. Harusnya Phiko ada di sana dan tidak pulang.
Bapak dan Phiko mulai melahap masakan sederhana itu. Bapak dan keluarganya tidak pernah makan enak. Paling mewah pun mereka memakan semur daging sapi hasil pemberian kurban Idul Adha. Bisa makan nasi pun sudah syukur.
“Sisakan untuk kakakmu ya, Phi.”
Kalau Bapak sudah berkata seperti itu, Phiko jadi tidak mood makan. Padahal, nasi di piring Phiko juga belum habis, Phiko juga tidak ada niatan mengambil lagi. Kenapa Bapak kesannya seperti Phiko ini rakus sekali?
Phiko mempercepat makan malamnya. Ia tahu hal ini tidak baik. Sementara Bapak lama sekali makannya, sesekali ia menoleh ke arah pintu utama, menunggu kedatangan dua anaknya yang lain. Sebenarnya, Bapak sangat merindukan momen di mana dirinya bisa makan bersama anak-anak. Ada empat kursi di meja ini–dahulu lima, tapi dibuang satu—dan dua kursi di seberangnya seringkali kosong. Kadang ia hanya makan sendirian karena Phiko terlalu fokus belajar.
Saat piring Phiko sudah kosong dan ia mencucinya langsung, Bapak tiba-tiba menutup makanan yang hampir dingin itu menggunakan kelambu, bersama makanannya yang masih tersisa setengah.
“Kok, gak diabisin, Pak? Gak enak?” tuduh Phiko.
Buru-buru Bapak menggeleng. “Enak, Phi. Enak sekali. Tapi, akan Bapak lanjutkan bersama dua kakakmu nanti. Kasihan, mereka belum makan.”
Phiko mengembuskan napas kasar. Ia melengos meninggalkan Bapak seorang diri di meja makan. Sekilas Phiko melihat Bapak lagi sebelum menutup pintu kamar. Bapak terlihat ... nelangsa.
Pak, ada Phiko di sini. Bapak gak perlu khawatirin mereka yang udah bejat itu, batin Phiko. Phiko hanya merasa dirinya lebih baik dari dua kakaknya. Jadi, tidak ada salahnya jika Bapak menggantungkan harapan pada Phiko saja.