Loading...
Logo TinLit
Read Story - Segitiga Sama Kaki
MENU
About Us  

Phiko menggetarkan kaki kanannya naik dan turun, pertanda dirinya sedang dilanda panik. Kursi sambung sebagai kursi tunggu yang berada di dekat ruang IGD itu diduduki oleh tiga anak kembar remaja tanggung. Finna yang berada di tengah kakak dan adiknya merasa terganggu dengan sikap panik Phiko. Namun, Finna tak berani menegur. Situasi hubungan mereka sedang tidak kondusif. 

“Bapak akan baik-baik aja. Kamu gak perlu khawatir.” Vino pikir, Finna menoleh resah itu karena mengkhawatirkan Bapak. Walaupun iya, tapi Finna lebih terganggu dengan getaran kaki Phiko. 

Vino menggapai ujung mata Finna, mengusapnya pelan. “Masih ada yang sakit gak? Tadi di rumah belum sempet diobatin.” 

Finna menggeleng lemah. Antara iya atau tidak. Finna sendiri bingung mendeskripsikannya. 

“Phi, beliin obat buat Finna gih. Ini uangnya,” titah Vino sembari mengulurkan beberapa lembar uang.

Alis Finna bertaut. Mengapa Vino ini bertingkah selayaknya tidak ada apa-apa di antara mereka? Padahal Bapak bisa terkena serangan jantung karena melihat putranya hampir saling melempar bogem mentah. Akan tetapi, Finna paham bagaimana karakter kakaknya. Jika Bapak dalam kondisi yang patut dikhawatirkan, maka Vino tidak boleh memperkeruh suasana. Sebisa mungkin Vino akan bersikap biasa saja, sebab Vino yakin,

Bapak pasti sedih jika melihat dirinya memperlakukan adik-adiknya secara tidak baik.

“Aku aja, No. Phiko kelihatannya syok karena Bapak kena serangan di depan matanya.” Finna mengambil uang tersebut dan beranjak dari tempat duduknya. 

“Hati-hati. Kalau ada apa-apa telepon aku.” 
Finna mengangguk paham. 

Vino menghembuskan napas panjang.  Ia menyandarkan punggung sekaligus kepalanya. Pertengkarannya dengan Mahen sore tadi masih terasa menyakitkan, tubuhnya linu-linu, ia butuh obat pereda nyeri sekarang juga. Bagaimana tidak? Tiga lawan satu. Untungnya Vino berhasil memenangkan pertarungan karena Mahen dan dua keroconya kabur di saat Vino hendak melayangkan pukulan emas. 

“Jangan pernah bilang gitu lagi di depan Bapak,” ucap Vino memecah keheningan. “Kamu lihat sendiri, kan, akibatnya?” 

Phiko mengembuskan napas gusar. Akhirnya setelah tiga puluh menit lebih menggoyangkan kaki, Phiko menghentikan kebiasaannya itu.

Bertepatan dengan Pak Erwin selaku RT di rumahnya, keluar dari ruang UGD. Vino dengan cepat berdiri menyambut, berharap ada kabar baik yang disampaikan oleh wajah murung itu. Vino juga mencuri kesempatan melempar pandangan ke dalam saat pintu UGD hampir menutup kembali. 

“Kondisi Bapak Adithama sekarang cukup stabil. Tapi, masih perlu dirawat untuk malam ini supaya dokter bisa lihat analisisnya. Kalau besok Bapak membaik, dia udah bisa pulang.” 

Vino menghela napas lega. Ia menolehkan kepalanya kepada Phiko sambil memberikan senyum teduh. Namun, Phiko menganggapnya hanya sebagai gimick belaka. Kalau sudah pulang ke rumah, bisa saja Vino melanjutkan pukulannya yang sempat terhenti. 

“Kalian sekarang pulang saja. Biar saya yang jaga Pak Adithama. Besok kalian harus sekolah. Nanti kesiangan, gimana?” 

Vino menggeleng pelan. “Saya bisa tunggu Bapak di sini. Pak RT saja yang lebih baik pulang bersama Phiko dan Fanni. Saya akan menjaga Bapak.”

Pak Erwin menatap pintu UGD di belakangnya, sesekali menoleh kepada Phiko dan Vino. Setelah dipikir-pikir, ia juga memiliki pekerjaan yang sempat tertinggal di rumahnya. 

“Tapi, Pak. Maaf, saya ... saya belum ada uang untuk membayar biaya rumah sakit Bapak.” Vino menunduk sedalam-dalamnya. 

Pak Erwin malah tersenyum sembari menepuk bahu Vino cukup kuat. Vino meringis pelan, di sana ada jejak pukulan Tera yang masih belum terobati. “Tidak masalah. Pak Adithama orang baik. Biayanya akan ditanggung oleh kas warga. Asalkan, kalian anak-anaknya bisa jadi harapan bangsa kelak, ya?” 

Vino merasa lega mendengarnya. Lelaki itu mengangguk-angguk. Lantas Pak Erwin beranjak hendak mengurus biaya rumah sakit di depan. Meninggalkan Vino dan Phiko yang masih bergeming. 

“Itu karena uangnya abis dipake buat judi, kan?”

“Phi, stop. Ini rumah sakit, jangan ngajak gue berantem.” 

“Lo juga minjem uang Bapak lima ratus ribu. Buat apa? Buat beli peralatan motor gak guna lo itu, kan?” 

“Berhenti nuduh gue yang nggak-nggak, Phi. Bapak lagi sakit di dalem. Lo bisa-bisanya ngajak gue ribut.” 

“Biarin! Biar Bapak tau kalau anaknya udah jadi brandalan sekarang.” 

“Lo mau Bapak mati?” 

“Lo minjem duit Bapak!” 

Suara Phiko menggema mengisi lorong rumah sakit yang kebetulan saat itu sedang sepi. Di ujung jalan, ada Finna yang berdiri mematung dengan sekantung plastik putih berisi beberapa obat-obatan. Vino mengusap keningnya dengan kasar, sembari menyisiri helian rambut. Serta Phiko menatap kakak perempuannya dari kejauhan.

“Kalian gak lebih baik daripada Ibu. Bahkan cewek itu malah ngikutin jejak ibunya jadi penggoda cowok lain.” 

Vino mengepalkan kedua tangannya. Hampir ia melayangkan pukulan seperti niat awalnya di rumah. Namun, Phiko sudah berjalan menjauh, bahkan sampai menabrak bahu Finna ketika mereka berpapasan. Phiko melangkah tergesa-gesa. Hatinya kacau, kepalanya juga begitu. Mengapa Vino tidak menyadari kenakalannya yang signifikan ini? Kenapa Bapak juga tidak mencurigai Vino yang jarang tidur di rumah selama ini? Kenapa ... dunia terlihat hanya memihak kepada dua kakaknya yang sama bejadnya itu? 

∆∆∆

Rasanya, ini bukan tempat tinggal yang pantas untuk Phiko. Ia harus pergi. Bapak? Bapak akan baik-baik saja. Seharusnya, sebagai anak yang baik, mereka akan berupaya berubah dan memberi perhatian lebih kepada Bapak. Lagipula, Phiko sudah capek. Phiko lelah berupaya membuat dua kakaknya berubah menjadi lebih baik, membantu Bapak mengurus keuangan. Jika kalian bertanya, kenapa bukan Phiko yang bekerja? Phiko pasti akan bekerja dan memberikan uang sangat banyak untuk Bapak, nanti ketika ia sudah sarjana dan mendapat kerjaan lebih layak. 

Phiko membawa barang bawaan yang dirasa penting di dalam tasnya. Baju, buku, laptop, sampai kotak berisi tabungan Phiko, semuanya sudah dibawa. Phiko sempat menatap sebuah pigura yang terpajang di ruang tamu. Foto di mana orang tuanya berada dalam masa jaya, ketika putra putrinya masih berumur sekitar sepuluh tahun. Senyuman itu tak akan pernah mereka dapatkan lagi di tahun sekarang.

Tas besar di pundak dan satu buah tas tangan berhasil Phiko bawa. Pada pukul sembilan malam, lelaki itu benar-benar melangkahkan kakinya keluar rumah. Phiko kabur, membawa ilmu dan jati diri yang telah ia bangun selama bertahun-tahun seorang diri. Tak tahu tujuan Phiko harus ke mana setelah ini. Namunn, selepas berkilo-kilo meter jalan kaki, langkah Phiko akhirnya terhenti pada sebuah apartemen yang cukup mewah, berlantai puluhan, serta diharuskan menggunakan kartu identitas penghuni supaya bisa masuk ke dalamnya. 

Phiko mengambil ponsel dari saku. Menekan nomor telepon seseorang. 

Ibu, Phiko di depan apart Ibu.

Sulit dipercaya, dengan langkah sadar Phiko malah menghampiri tempat tinggal ibunya. Seorang wanita yang tergoda dengan kekayaan lebih, sampai menghancurkan mental anak-anak dan merelakan pria yang dia cintai patah hati cukup dalam. Setelah tiga tahun lamanya, akhirnya Phiko bisa berhadapan dengan perempuan yang sejujurnya masih ia sayangi.

Wanita itu berjalan tergesa-gesa keluar dari lift yang baru dinaikinya. Tidak ada yang berubah dari wanita itu, hanya rambutnya yang memanjang dan kulitnya putih bersih karena perawatan, bajunya juga terlihat memiliki merk ternama. 

“Phiko anakku,” ucap Ibu. Ia sempat mematung beberapa saat, sampai akhirnya memburu memeluk Phiko. Putranya sudah tumbuh tinggi, bahkan Ibu harus mendongakkan kepala agar bisa menatap putranya.

“Sudah malam. Ayo, kita ke apartemen Ibu di lantai lima.” Ibu menarik Phiko supaya mengikutinya. 

Entah alasan apa yang menarik Phiko bisa sampai ke apartement mewah ini, selain pertengkarannya dengan Vino. Kaki jenjangnya melangkah begitu saja tanpa ada paksaan. Entah kenapa pula Phiko sampai rela meninggalkan Bapak yang sedang sakit bersama dua manusia bejat itu. Namun, di sinilah Phiko berada. Duduk di kasur empuk, di ruangan beraroma kasturi yang menghilir di dua lubang hidungnya.

“Jadi, kamu sama Vino sedang bertengkar, ya?” tanya Ibu sambil menyajikan secangkir cokelat hangat di depan Phiko. Anak itu hanya mengangguk halus. Canggung sekali rasanya, apalagi melihat suami baru Ibu, alias Bapak tirinya duduk mengawasi dari balkon, ia tengah merokok.

“Tidak apa, wajar kalian bertengkar begitu. Kalian adik-kakak. Besok-besok juga Vino tidak akan nakal lagi. Seperti dahulu, saat kamu menangis karena Vino merebut sepedamu. Karena kalian bertengkar, taunya Finna memakai sepeda itu tanpa sepengetahuan kalian.” Ibu tertawa getir membayangkan masa lalunya. 

Ibu membalut kedua tangan Phiko dengan genggamannya. Hangat sekali. Phiko nyaris telah melupakan kehangatan genggaman ini. 

“Mas, Phiko izin tinggal di sini, ya. Di kamar kita yang kosong itu.” Ibu melepaskan genggamannya, beranjak menghampiri suaminya di balkon.

Phiko mengamati gerik pria jangkung itu. Ia mengibaskan tangannya pertanda boleh. Phiko sedikit tersentak. Reaksinya tidak mengenakkan. Namun, Ibu tersenyum karena suaminya membolehkan putra bungsunya tinggal di apartemen yang sudah seperti rumah ini. Tidak, mungkin Phiko bukan anak bungsu lagi di mata ibunya. Sebab saat dirinya melewati sebuah kamar bersama sang ibu, Phiko bisa melihat tempat tidur bayi di sana. Lega sekali, bahkan jika kamarnya dan kamar Finna disatukan lagi, kamar bayi itu jauh lebih besar.

“Untuk sementara, kamarmu di sini, ya.” Ibu membuka salah satu bilik kamar. Letaknya ada di dekat dapur. Agak jauh dari kamar Ibu dan kamar bayi tadi. 

Tidak mungkin. Napas Phiko hampir terputus melihat kamar pemberian ibunya yang boleh dikatakan seperti kamar tahanan. Kotor, berdebu, sempit. Kamarnya dengan kamar ini saja lebih besar kamarnya.

“Kamar ART. Tapi, kamu gak akan kita anggap seperti ART, kok. Sementara kamu tinggal di kamar ini aja, karena ART Ibu yang kemarin udah lama keluar kerja, pulang kampung katanya.” 

Phiko mengedarkan pandangan setelah masuk ke kamar tersebut. Ibu juga meninggalkannya. Sesekali Phiko terbatuk karena debu saat membersihkan kasurnya. Ah, Phiko ingin mengumpat. Kamar ini hanya cukup untuk satu kasur kecil. Dan tidak ada meja sama sekali. Di mana ia akan belajar malam ini? 

Sekilas, dirinya mengingat kamarnya di rumah Bapak. Itu jauh lebih layak, jauh lebih luas.  Walaupun harus berbagi lahan dengan Vino, tapi karena Vino jarang ada di kamar, jadinya terasa milik sendiri. Kira-kira ... mereka sedang apa sekarang? Phiko mengusap wajahnya kasar. Ponselnya sedari tadi bergetar, tapi Phiko tidak memedulikannya. Apakah keputusan kaburnya ini salah? 

Tak apa. Biar mereka tahu bagaimana rasanya jika Phiko minggat dari rumah.

∆∆∆

Di sekolah, Finna dan Vino tidak memunculkan batang hidungnya. Lebih tepatnya, mereka tidak sekolah. Phiko sudah sengaja mencarinya, walau di mata anak kelas dan anak kelas tetangga ia akan terlihat aneh. Ke mana mereka? Apakah mereka memutuskan menjadi anak nakal saja daripada sekolah? Seharusnya Bapak sudah pulang hari ini dari rumah sakit, dan Finna juga Vino bisa sekolah saja karena yang mengantar ialah Pak RT.

Akan tetapi, kalau dipikir-pikir, bukankah tidak mungkin Finna pekerjaannya memuaskan nafsu orang di hotel? Tempo hari, Finna terlihat ketakutan. Ia juga meminta Bapak keluar dari kamarnya. Biasanya tidak begitu. Biasanya Finna akan bermalas-malasan di kasur menggunakan seragamnya. Kalau Bapak masuk kamarnya, Bapak akan diajak menjadi tumbal atas tutorial make up-nya. Gadis itu suka sekali dengan merias wajah sampai Bapak berkorban. Dan hal itu selalu terulang berkali-kali. Bapak tidak protes atau pun bosan. 

Omong-omong, Mahen dan keroconya juga tidak menampakkan batang hidung hari ini.
Satu-satunya yang menarik perhatian Phiko hari ini adalah kehadiran guru baru di sekolahnya. Guru matematika. Sebab, guru lama sudah pensiun karena memasuki masa senja. Namun, guru kali ini membuat kepala si Pintar Phiko sampai berasap.  Pasalnya, guru itu justru langsung mengadakan ulangan dadakan. Semalam, kan, Phiko habis kabur. Sampai apartemen Ibu juga dirinya langsung tidur. Akankah dirinya mendapatkan nilai terbaik seperti biasanya?
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Langkah yang Tak Diizinkan
195      163     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
DocDetec
440      282     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Spektrum Amalia
802      539     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
2430      912     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Diary of Rana
207      178     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Unexpectedly Survived
117      104     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Dalam Satu Ruang
156      105     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Halo Benalu
1093      492     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Let Me be a Star for You During the Day
1077      583     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Sebab Pria Tidak Berduka
120      100     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...