Kepalanya berat. Terlalu berat.
Kenangan dan mimpi seolah bertabrakan tanpa arah—menjadi kilasan-kilasan yang tak utuh. Potongan-potongan adegan kabur melompat-lompat: tawa, jeritan, rasa sakit, dan dinginnya lantai kyang mencium pipinya berulang kali.
Dalam salah satu mimpi itu, ia melihat Bumi.
Tapi bukan Bumi yang ia kenal.
Bumi berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata dingin. Bukan marah. Bukan cemas. Hanya… kosong. Tanpa emosi.
Lalu ia berbalik.
Meninggalkannya.
Suara tawa kejam kembali menggema di sekeliling. Seperti lingkaran setan yang tak bisa diputus. Sophia ingin berteriak. Ingin memanggil. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
“Bumi…”
Tangannya terulur. Tapi Bumi semakin menjauh. Langkahnya mantap, tak menoleh. Seperti dulu. Seperti saat ia masih menjadi sosok asing yang tak peduli.
Lalu—ia tersentak.
Tubuhnya seperti ditarik paksa dari kubangan mimpi gelap menuju permukaan. Napasnya tercekat. Perlahan, inderanya mulai menangkap dunia nyata.
Aroma antiseptik menusuk hidung. Lembut, tajam. Udara sejuk mengusap wajahnya yang terasa nyeri. Dan pelan-pelan, kelopak matanya bergerak.
Terbuka.
“Pia… Pia, kamu udah sadar?”
Suara itu…
Hangat. Gemetar. Penuh harap.
Pandangan Sophia masih buram, tapi ia bisa menangkap siluet di hadapannya. Wajah yang lama-lama menjadi lebih jelas. Garis wajah yang ia kenal seumur hidupnya.
“Omma…” bisiknya lirih.
Wajah Omma Maya langsung mendekat. Air mata membasahi sudut matanya. Ia mengusap pipi Sophia dengan lembut, seolah takut menyentuh luka.
“Iya… ini Omma.” Suaranya pecah. “Astaga… Pia…”
Untuk beberapa saat, hanya suara napas dan desiran mesin yang mengisi ruang.
“Pia… di mana?” tanyanya pelan.
“Di rumah sakit. Kamu nggak apa-apa sekarang.”
Lalu ingatan itu menyusup. Raka. Karla. Gina. Tawa. Jeritan. Rasa sakit.
Dan—
“Bumi?” gumamnya.
Omma Maya menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan.
“Untung ada anak itu... Kalau bukan karena dia, Omma nggak tahu sekarang kamu kayak gimana.”
Mata Sophia menoleh ke arah Omma.
“Setelah dia nyelametin kamu dari anak-anak itu,” lanjut Omma Maya, suaranya menurun, “dia langsung bawa kamu ke rumah sakit. Terus nelepon Omma. Dia tungguin kamu sampai Omma datang.”
Hening menyelimuti sejenak.
Lalu sesuatu yang hangat merambat di dada Sophia.
Bumi tidak meninggalkannya.
Bumi benar-benar datang.
Dan tinggal.
“Terus… dia ke mana sekarang?” tanyanya pelan.
Omma tersenyum kecil. Lelah, tapi hangat. “Pulang. Dia sempat minta maaf karena nggak bisa nunggu kamu sadar.”
Sophia menoleh ke jendela. Sinar matahari pagi menyusup lewat sela tirai putih. Langit cerah. Dunia masih berjalan.
“Kamu dibawa ke sini semalam,” kata Omma lagi. “Baru sehari.”
Sehari.
Tapi terasa seperti seumur hidup.
Perlahan, Sophia menggenggam selimut rumah sakit yang membungkus tubuhnya. Pandangannya menerawang.
Bumi… gimana dia, ya? Apa dia akan kena masalah setelah ini? pikirnya cemas.
Omma Maya berdiri, membetulkan letak syal di pundaknya. “Omma mau ngurus administrasi rumah sakit sebentar, ya…”
Sophia mengangguk pelan.
“...kamu istirahat lagi aja,” ujar Omma, lalu menyelimuti tubuh Sophia dengan hati-hati sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar.
“Omma,” panggil Sophia tiba-tiba.
Omma menoleh, “Ya?”
Sophia menarik napas pelan. Mendadak matanya yang masih bersinar lemah itu menajam.
“Pia boleh minta kertas dan pulpen?”
Omma Maya mengernyit.
***
Tiga hari sejak tubuhnya dihantam bola, ditampar, diseret, dan dijatuhkan berkali-kali. Luka-luka itu masih terasa nyeri. Memar-memar di sekujur tubuhnya belum sepenuhnya pudar. Tapi setidaknya, kini ia bisa duduk dan makan sendiri, meski masih pelan.
Namun, satu hal yang membuat hatinya nyeri lebih dari fisiknya.
Selama tiga hari itu, Bumi tidak datang.
Hatinya mulai gelisah. Bertanya-tanya. Menebak-nebak.
Dia ke mana? pikirnya.
Karena ponselnya dirusak oleh Gina hari itu, Sophia mencoba menghubungi Bumi memakai ponsel milik Omma. Ia menelepon. Berkali-kali. Mengirim pesan singkat. Tapi tak satu pun dibalas. Tidak juga diangkat.
Hatinya semakin tak tenang.
Siang itu, ia duduk di ranjang rumah sakit dengan nampan makan siang di meja dorong. Tapi sendoknya hanya berputar-putar di atas nasi, tanpa benar-benar menyuap apa pun ke mulut. Selera makannya hilang.
Lalu—pintu ruang perawatan terbuka.
Sophia sontak mendongak.
Bumi? pikirnya. Harapan menyusup cepat ke dadanya.
Namun yang berdiri di ambang pintu adalah Omma Maya.
Wajah neneknya terlihat hangat, dan senyum kecil muncul di bibirnya.
“Pia, temen-temen kamu datang.”
Sophia mengerutkan kening.
Omma bergeser. Dan seorang gadis berseragam SMA melangkah masuk ke dalam ruangan.
Wajahnya tampak cemas. Matanya membelalak saat bertemu dengan mata Sophia.
Bella.
Dan tidak hanya Bella. Di belakangnya, satu per satu menyusul: Niken, Riani, Sasha… bahkan Geri dan Nino. Mereka semua berdiri di sana, terdiam, terpaku memandangi wajah Sophia yang masih dihiasi memar biru kekuningan di pipi dan bawah matanya.
Wajah mereka tampak syok. Ngeri. Seolah tak percaya bahwa gadis tenang yang dulu mereka lihat penuh senyum kini terbaring dengan tubuh penuh luka.
“Kalian?” gumam Sophia kaget. “Kok kalian di sini…?”
Bella menggigit bibirnya. Matanya memerah. Lalu air matanya jatuh.
“Ya jenguk elo lah! Ngapain lagi?!”
Suara Bella pecah.
Ia melangkah cepat mendekati Sophia, lalu langsung memeluknya erat.
Tubuh Sophia masih nyeri saat pelukan itu menghimpitnya, tapi ia tak mengeluh. Karena pelukan itu… terasa hangat. Terasa nyata.
Bella menangis di pundaknya. Isaknya mengguncang bahu.
Sophia tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus melakukan apa. Ia hanya diam—terdiam di tengah tangis dan kehadiran sahabat-sahabatnya.
Perlahan, ia mengangkat satu tangannya. Ragu. Tapi akhirnya, ia mengusap punggung Bella pelan, seolah mengatakan enggak apa-apa… gue udah enggak apa-apa.
***
Sophia menceritakan segalanya.
Kronologis kejadian di kelas XII IPS 3 ia uraikan perlahan—dari awal hingga akhir. Suaranya pelan, namun setiap katanya membekas. Tangannya kadang gemetar, napasnya sesak dan terputus-putus saat mengingat kembali detail paling kelam yang menimpanya hari itu.
Ketika ia selesai, ruangan mendadak hening. Tak satu pun dari mereka berkata-kata.
Wajah-wajah yang semula menyunggingkan senyum hangat kini berubah menjadi campuran antara ngeri, marah, dan tak percaya.
“Gila…” gumam Nino akhirnya, rahangnya mengeras. “Psikopat.”
Bella menghela napas keras, tangannya mengepal di pangkuan. “Gue juga masih di sekolah waktu itu, Sop. Gue ada di lantai dua. Tapi gue nggak nyangka... kalau sampai ada kejadian segila itu.”
Ia menggeleng, napasnya memburu.
“Kita baru tahu lo diapa-apain setelah Bumi ngehajar mereka habis-habisan. Suaranya ngeri banget, sumpah. Sampai kedengeran ke satu sekolah.”
Mata Sophia membelalak. “Serius?”
Geri yang duduk di sudut tempat tidur ikut bersuara. “Gue juga kebetulan masih di lantai tiga. Begitu denger suara ribut, gue ikut turun. Pas sampai bawah, Bumi udah keluar dari kelas nggendong lo. Dia langsung nyari bantuan buat bawa lo ke rumah sakit.”
Ia menelan ludah. “Gue sempat ngintip ke dalam kelas. Raka sama temen-temennya...”
Geri bergidik. “...udah babak belur sampai susah dikenalin.”
Bella mendengus. Matanya menyala. “Harusnya cewek-cewek setan itu juga kena! Gina, Karla, sama Nora. Sialnya, mereka kabur begitu Bumi datang. Dia langsung fokus ke Raka sama gengnya.”
Sophia menggigit bibir. Hatinya mencelos.
“Terus... Bumi?” tanyanya pelan.
Nino menghela napas. “Dia diskors, Sop.”
Ucapan itu membuat jantung Sophia seperti berhenti berdetak.
Geri mengangguk. “Gue nanya Pak Zainal. Katanya Bumi diskors seminggu. Orang tua Raka dateng ke sekolah. Bokapnya—yang polisi itu—marah besar.”
Nino menambahkan, suaranya merendah, “Gue ngintip waktu mereka di ruang kepala sekolah. Bokapnya Bumi... dimarahin habis-habisan. Sama sekali nggak bisa lawan. Dia cuma bisa nunduk, minta maaf, mohon-mohon supaya Bumi nggak dikeluarin.”
Dada Sophia terasa diremas. Sosok Bumi—yang selama ini begitu tenang dan tak tergoyahkan—tiba-tiba tergambar sebagai seseorang yang harus menanggung semuanya sendirian... demi dirinya.
Bella menghentakkan napas. “Kesel banget gue! Gila! Yang salah jelas-jelas anaknya, yang kayak setan itu! Tapi mereka bisa seenaknya tekan sekolah cuma karena punya jabatan?”
Nino hanya mengangkat bahu, seolah berkata: ya mau gimana lagi.
“Tapi bisa jadi Bumi bakal dikeluarin beneran,” kata Geri pelan.
Sophia menoleh cepat. “Kenapa?”
Geri menyilangkan tangan. “Gue denger desas-desus. Katanya bokapnya Raka sebenernya udah nggak mau perpanjang urusan. Karena ya... Raka juga salah. Bokapnya Bumi juga udah siap bayar biaya rumah sakit, dan Bumi udah kena skors. Tapi...”
Ia terdiam sebentar sebelum melanjutkan, “…ibunya Raka yang nggak terima.”
Bella mengernyit. “Nggak terima gimana?”
Geri menarik napas. “Dia mau Bumi dikeluarin dari sekolah... dan dikenain pidana.”
Keheningan merambat.
Dan di tengah keheningan itu, wajah Sophia berubah. Wajah yang biasanya ragu dan malu-malu kini memucat—bukan karena takut, tapi karena ketegasan yang mencuat.
“Gue nggak akan ngebiarin itu,” katanya tiba-tiba.
Mereka semua menoleh ke arahnya.
Tangan Sophia mengepal erat “...gue nggak akan biarin mereka nyentuh Bumi.”
Tak ada yang membantah. Karena dari cara bicara dan sorot mata Sophia, mereka tahu satu hal pasti: kali ini, dia tidak ragu. Dan dia tidak main-main.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama