Malam itu, Bumi duduk berhadapan dengan ayahnya di meja makan. Tubuhnya bersandar malas, kedua tangan disilangkan di dada, sementara pandangannya kosong menatap gelas bening yang diam di depannya. Di sisi lain meja, Arjuna hanya duduk diam. Pandangannya menerawang jauh entah ke mana.
Di atas meja tergeletak selembar kertas—surat peringatan dari sekolah yang menyatakan bahwa Bumi diskors selama satu minggu. Di bawahnya, tercantum tagihan biaya rumah sakit untuk orang-orang yang telah dihajarnya.
Keheningan menggantung lama. Terasa seperti seabad.
Akhirnya, Arjuna membuka suara.
“Cewek itu… Sophia. Pacar kamu?”
Bumi mengangguk pelan.
“Kalau ada yang nyakitin Mamah…” ucapnya pelan, “...mungkin Papah juga akan bunuh orang.”
Nada suaranya tenang. Terlalu tenang.
Bumi mengangkat kepala, menatap ayahnya dengan alis sedikit berkerut. Kalimat itu terdengar terlalu ringan, seolah bukan hanya ungkapan—melainkan kenangan.
Arjuna menyunggingkan senyum tipis. “Waktu kamu dan Dirga lahir, hidup kita nggak mudah. Lalu nggak lama, Sagara nyusul. Mama dan Papah pikir tiga anak aja udah cukup. Tapi ternyata Agni lahir juga…”
Ia tertawa kecil, sekilas. Senyum samar itu mengendap sebentar di wajahnya, seperti hangat yang nyaris padam.
“Mama sama Papah kerja keras bareng-bareng. Supaya kalian bisa makan yang cukup, punya tempat tinggal, sekolah… bisa punya hidup yang lebih baik dari kami berdua.”
Kata-kata itu menghantam dada Bumi seperti beban yang menekan perlahan, tapi dalam. Tangannya yang menyilang di depan dada diam-diam mengepal, seolah berusaha menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya.
Arjuna diam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Papah nggak mau ceramah panjang. Papah tahu kamu masih punya otak.”
Tatapan Arjuna kini berubah. Tajam. Dalam.
Bumi menahan napas tanpa sadar. Tatapan itu membuat dadanya terasa sesak.
“Dunia emang nggak adil, Bumi…” lanjut Arjuna, tubuhnya condong ke depan. Suaranya menurun, nyaris seperti bisikan yang kelam. “Orang-orang kayak kita selalu ada di rantai makanan paling bawah. Kalau kamu selalu nanggepin semua hal cuma dengan kekerasan brutal, suatu saat… kamu juga akan dimakan.”
Bumi terdiam. Terhenyak. Pandangannya kembali turun ke gelas di depannya, kosong, sama seperti isi kepalanya saat itu.
“Suatu saat kalau Papah nggak ada, kamu yang harus ambil alih rumah ini…”
Ucapan itu terasa seperti batu besar yang jatuh di pundaknya. Bumi hanya diam, tetapi tubuhnya menegang.
“Kalau kamu nggak punya masa depan…” Arjuna menarik napas pelan. “Menurut kamu, adik-adik kamu bakal punya?”
Ia menatap Bumi beberapa detik.
“Pikirin itu.”
Arjuna bangkit. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia meninggalkan ruang makan—dan meninggalkan Bumi sendiri dalam sepi, bersama pikirannya dan penyesalan yang mulai merambat seperti duri tajam dalam dada.
***
Selama masa skorsing, Bumi hanya bisa mengurung diri di rumah. Hari-harinya terasa hampa. Waktu berjalan lambat, dan pikirannya terus dihantui satu nama: Sophia.
Ia memikirkannya hampir setiap saat. Namun, setiap kali ponselnya bergetar dan nama Sophia muncul di layar, rasa takut menelan keberaniannya. Ia tidak menjawab. Tidak membalas.
Bukan karena tidak peduli. Tapi karena merasa bersalah. Karena belum siap.
Karena merasa gagal. Tidak layak untuk gadis sekuat itu.
Seharusnya dari awal dia memang tidak buat masalah dengan Raka.
Seharusnya dia dulu mendengarkan Dirga, mendengarkan ibunya. Jangan bikin masalah.
Seandainya waktu itu mendengarkan mereka, mungkin Sophia…
Bayangan hari itu masih menghantui kepalanya—saat ia pertama kali membuka pintu ruang kelas yang menjadi tempat eksekusi kejam. Sophia, penuh luka, berada dalam cengkeraman Raka. Dan dalam sekejap, amarah Bumi membakar habis akalnya.
Ia tidak lagi berpikir.
Yang ada di benaknya hanya satu:
Seseorang harus hancur untuk ini.
Ia mungkin tidak akan berhenti memukuli Raka… jika saja tidak sadar bahwa Sophia telah pingsan. Tubuhnya dingin. Nafasnya lemah. Ia butuh pertolongan—dan segera.
Hari-hari berikutnya di rumah dipenuhi diam dan rasa bersalah. Hingga siang itu, Bumi akhirnya memutuskan keluar rumah. Sekadar untuk mencari udara baru, mengusir bosan yang menggumpal di kepalanya.
Langkahnya membawanya ke warnet dekat rumah. Tempat lama yang jarang ia datangi. Begitu layar menyala, seekor lumba-lumba digital menyambutnya dengan latar laut biru.
Ia menjelajah internet tanpa arah. Iseng. Sampai akhirnya jari-jarinya mengetik satu URL yang sudah lama tak disentuh:
friendster.com
Ia membuka halaman Friendster miliknya. Tampilan halamannya sepi. Usang.
Ada satu testimoni dari Dirga:
"Diktator."
Bumi mendengus pendek.
Tapi matanya terhenti pada satu testimoni lain.
Mata Bumi membulat. Nafasnya tercekat.
“Temen sebangku yang keliatan dingin, tapi sebenernya perhatian banget. 🙂”
Dari: Pipiya_endymion
Dada Bumi terasa sesak.
Ia menggerakkan kursor dan membuka profil itu.
Alunan theme song Sailor Moon langsung mengalun dari halaman.
Latar profilnya dihiasi langit malam bertabur bintang dan bulan purnama yang menggantung besar. Foto-foto kecil di kolom album: Sophia. Mengenakan kostum Sailor Mercury. Tersenyum cerah, bahagia, seolah dunia tak pernah menyakitinya.
Bumi menatap layar itu lama. Lama sekali.
Bukan hanya karena rasa bersalah yang menghimpit dadanya… tapi juga kerinduan yang tiba-tiba menyeruak, begitu kuat, begitu menyakitkan.
***
Hari demi hari berlalu. Terasa lambat. Terasa gelap.
Hanya tinggal 2 hari lagi sampai masa skorsingnya habis.
Malam itu, di tempat tidur, Dirga telah terlelap dengan ponsel masih menggantung di tangan. Layarnya memancarkan cahaya redup yang pelan-pelan padam.
Bumi bangkit dari duduknya. Ia bermaksud keluar sebentar untuk mengambil minum. Namun langkahnya terhenti di lorong.
Di meja makan, ia melihat kedua orang tuanya duduk bersebelahan dalam cahaya lampu yang temaram. Mereka tidak menyadari kehadirannya. Bumi memilih berdiri diam, mengamati dari kejauhan.
“Untuk biaya tagihannya gimana?” tanya Indira pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. Seolah tak ingin ada yang mendengar, bahkan dinding.
“Aku udah minta tolong Pak Surya, bos di proyek. Pinjam dulu,” jawab Arjuna sambil mengusap wajah. “Untungnya dia ngerti. Nanti bisa aku cicil tiap bulan.”
Indira menghela napas panjang. “Apa aku coba kerja lagi di klinik Bu Risma, ya? Nanti aku cari orang yang bisa jaga Agni sementara…”
Arjuna menepuk punggung istrinya dengan lembut. “Udah. Kamu jagain Agni aja. Aku masih takut kalau dia dijaga orang lain.”
Indira hanya mengangguk pelan. Lelah. Tertahan.
“Bumi gimana?” tanya Arjuna kemudian.
Bumi menahan napas. Tubuhnya menegang.
“Dia diam aja di rumah. Nggak banyak ngomong apa-apa… Mungkin dia kepikiran juga,” sahut Indira.
Bumi mengepalkan tangan. Ia tidak menyangka, orang tuanya membicarakannya seperti itu. Peduli. Mengkhawatirkannya.
“Aku pikir dia mirip kamu,” ucap Arjuna, suaranya lebih ringan. “Keras kepala, gengsian…”
Indira mendelik, mengerucutkan bibir. “Kok kamu jadi nyindir aku?”
Arjuna terkekeh pelan. Tapi tawanya cepat meredup.
“…tapi ternyata dia mirip aku juga,” lanjutnya, pelan. “Berbahaya.”
Indira memandang suaminya lama. Lalu mengelus bahunya, lembut. Dan menaruh kepalanya di bahu suaminya. Seolah ingin menenangkan gelombang yang mengendap di sana.
“Kamu inget nggak waktu dia lahir?” tanya Indira, suaranya mulai ringan. “Kita harus nyetop angkot karena ketuban aku udah pecah di rumah.”
Arjuna tersenyum, mengangguk. “Iya. Kita panik banget waktu itu.”
“Supir angkotnya juga,” sambung Indira. Mereka tertawa kecil.
“Tapi waktu Bumi dan Dirga lahir…” Indira melanjutkan, suaranya melembut. “Sakitnya kayak hilang. Aku belum pernah ngerasa sebahagia itu.”
Arjuna menoleh menatap istrinya. Senyum kecil kembali muncul di wajahnya.
“Aku juga.”
Dari balik lorong, Bumi menarik napas panjang. Tenggorokannya tercekat. Dadanya sesak.
Tangannya yang mengepal mulai bergetar.
“Biarpun kelihatannya anak itu dingin, keras…” ucap Indira, lirih. “Tapi aku tahu, hatinya sebenarnya lembut…”
Dan saat itu—Bumi melangkah mundur. Diam-diam.
Ia berbalik. Kembali ke kamarnya.
Langkahnya pelan. Kakinya berat. Dunia terasa senyap.
Begitu pintu tertutup, ia merosot ke lantai. Bersandar di baliknya.
Kepalanya menunduk. Bahunya mulai gemetar.
Bibirnya bergetar. Dan akhirnya—air mata itu jatuh.
Diam-diam. Tanpa suara.
Ia menutup mulut dengan telapak tangan, berusaha keras menahan isak.
Tapi tubuhnya terus terguncang.
Bersama malam yang sunyi.
Dan hati yang retak perlahan.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama