Anak-anak Klub Jepang di kelas XI IPA 4 terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing, menyiapkan dekorasi untuk exhibition. Suara gunting yang mengiris kertas, gesekan karton, dan alunan musik Jepang dari speaker portable milik Ryan memenuhi ruangan.
Ryan, sang ketua klub, duduk di sudut kelas, fokus mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Tiba-tiba—
BRAK!
Pintu kelas terbanting terbuka.
Semua orang melonjak kaget. Kepala mereka serempak menoleh.
Bumi berdiri di ambang pintu, napasnya memburu. Matanya yang tajam menyapu ruangan seperti predator mencari mangsa. Seketika, kegiatan anak-anak Klub Jepang terhenti. Tidak ada satu pun yang berani bergerak atau bersuara.
“Mana Sophia?” tanyanya. Nadanya dingin dan mengancam.
Mereka saling berpandangan, panik.
“Ta-tadi dia sempat di sini… tapi habis itu keluar,” jawab salah satu anggota klub, ragu-ragu.
Kening Bumi mengernyit. “Nggak ada yang tahu dia ke mana?”
Ryan masih asyik dengan laptopnya, tampaknya belum menyadari aura bahaya yang menggantung di udara. Tanpa mengangkat kepala, ia menjawab santai, “Tadi dia dipanggil anak marching band. Katanya mau diukur buat baju mayoret…”
Bumi langsung menoleh. Pandangannya menajam.
Ia melangkah cepat ke arah Ryan. Anak-anak yang duduk di jalurnya spontan mundur menjauh.
Tanpa peringatan, Bumi mencengkeram kerah baju Ryan dan menariknya berdiri. Ryan terkesiap, wajahnya langsung pucat.
“Ke mana?” tanya Bumi. Suaranya rendah, tapi tajam seperti pisau.
“Ke-ke XII IPS 3,” jawab Ryan terbata.
“Siapa yang manggil dia?”
“Anak marching band…”
Alis Bumi terangkat curiga.
Ryan buru-buru menambahkan, “Yang ngasih tahu gue Karla. Katanya dititipin pesan buat manggil Sophia ke sana.”
Karla? Pikiran Bumi langsung berderak.
Bumi menggertakan giginya, “Sial,” desisnya pelan.
Ia melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Ryan terdorong ke belakang.
Tanpa menoleh lagi, Bumi berbalik dan berlari keluar, meninggalkan anak-anak Klub Jepang yang masih terpaku di tempat—antara bingung, takut, dan syok.
***
Pipi Sophia kembali menyentuh lantai kelas. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa berat.
Raka menarik paksa tubuhnya yang sudah terkapar. Sophia berusaha bangkit, menopang dirinya dengan tangan yang gemetar. Tapi belum sempat berdiri tegak, Raka mencengkeram kerah bajunya dan memaksanya menatap mata sang penyerang.
Sophia mendongak. Matanya lelah, tapi tak gentar. Tak takut.
“Kenapa? Nggak suka?” Raka menyeringai, suaranya tajam seperti ejekan.
Sophia tetap diam. Sorot matanya menatap lurus tanpa berkedip. Ada air yang menggenang di pelupuknya, tapi tak ia biarkan jatuh.
“Mau nangis? Bilang ‘Maaf, Kak’, ‘Ampun, Kak’—mungkin gue bakal lepasin,” katanya merendahkan, mendekat hingga napasnya terasa di wajah Sophia.
Tapi Sophia menggigit bibirnya, menahan diri sekuat mungkin. Ia tidak akan memberi mereka kepuasan untuk melihatnya menyerah.
Kalau ia harus jatuh, maka ia akan jatuh dengan kepala tegak.
Raka tertawa kecil. “Nantangin?”
Tangannya menampar wajah Sophia.
Dunia berputar. Telinganya berdenging. Tapi ia tetap diam.
Cengkeraman Raka mengencang. “Gue nggak punya masalah pribadi sama lo. Gue cuma disuruh. Sama Rika.”
Rika? Nama itu menggema di kepala Sophia, membuat hatinya menegang.
“Kalau lo mau benci, bencilah sama cowok lo. Kalau dari awal dia nggak bikin masalah sama gue, lo nggak bakal ada di sini.”
Tiba-tiba, Sophia tertawa. Suaranya pelan, tapi dingin.
“Masalah lo sama Bumi… tapi yang lo serang gue?” Ia menyeringai, memandang Raka dengan jijik.
Ia menoleh ke teman-teman Raka yang berdiri di sekeliling. “Kenapa? Nggak cukup laki buat ngelawan dia langsung? Makanya kalian berenam keroyokan cuma buat ngalahin satu cewek kayak gue?”
Wajah Raka berubah merah. Tapi Sophia belum selesai.
Ia menatapnya dengan senyum sinis. “Pengecut,” bisik Sophia tajam.
Raka mengangkat tangannya lagi. Tamparan lain mendarat. Kepala Sophia terhuyung.
Pandangannya buram.
Ia mulai gemetar. Tangannya tak sanggup bergerak. Tubuhnya kaku.
Raka masih berdiri di atasnya, memaksa wajahnya menghadap. Senyumnya menyeringai terlalu dekat.
“Sophia… lo pikir bisa keluar dari sini kayak nggak terjadi apa-apa?”
Lalu—
Langkah kaki.
Berat. Cepat. Menabrak udara.
BRAK!
Pintu terbanting terbuka. Suara itu menggema, menghentikan seluruh ruangan.
Seseorang berdiri di ambang pintu. Nafasnya memburu. Matanya menyala merah.
“Bumi…” bisik Sophia, entah terdengar atau tidak.
Bayangan itu menerjang masuk. Bukan berjalan—menerobos seperti badai lepas kendali.
Duk!
Tubuh Raka terhempas ke samping. Genggamannya terlepas.
Kepala Sophia kembali menyentuh lantai, tapi kini ia tak merasa sakit. Pandangannya kabur, namun cukup untuk melihat siluet itu.
Bumi.
Tapi bukan Bumi yang biasa ia lihat—yang tenang, yang terkontrol.
Yang ini… liar.
Gerakannya cepat. Tanpa ragu. Tanpa suara.
Suara benturan mulai memenuhi ruangan. Meja terguling. Kursi bergeser. Suara teriakan terdengar dari sudut.
Sophia bisa mendengar Raka berteriak minta berhenti.
Tapi Bumi tak menjawab.
Tinju-tinju itu mendarat bertubi-tubi. Seperti badai yang datang tanpa arah. Seperti kemarahan yang tak sempat diberi nama.
Perlahan, dunia Sophia memudar.
Suara berubah jadi gema. Gerakan jadi bayangan.
Tubuhnya terasa ringan. Dingin.
Namun, sebelum segalanya menjadi hitam, satu hal terakhir terpatri dalam pikirannya:
Dia datang.
Bumi datang.
Lalu—
Gelap.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama