Ketika dikonfirmasi kalau penemuan tulang-belulang di Kabupaten Kampar adalah sisa-sisa jasad Tante Sandrina, Aruna langsung terduduk lemas.
Sabtu itu, seperti biasa, Aruna bekerja paruh waktu di Perpustakaan Lentera sejak pukul delapan pagi karena hari itu dia tidak ada perkuliahan di kampus. Setibanya di sana, Mbak Tantri menyampaikan berita tersebut. Aruna lemas bukan main. Air matanya langsung tumpah tanpa bisa ditahan. Mbak Tantri menenangkan gadis itu.
Sisa hari itu merupakan hari yang suram bagi staff Perpustakaan Lentera. Walaupun Mbak Tantri dan beberapa staff tidak mengenal Tante Sandrina seperti Aruna mengenal wanita itu, suasana perpustakaan menjadi kelam lantaran berisi orang-orang yang tengah berduka.
Adam–yang semenjak mengetahui Aruna bekerja paruh waktu di sana–datang hampir setiap hari (terutama weekend). Namun, ia bisa melihat betapa berbeda Perpustakaan Lentera hari ini.
Cowok itu menghampiri Aruna yang sedang menyusun buku di rak filsafat dengan kuyu. Adam menatap Aruna lekat-lekat, sampai gadis itu menatap Adam dengan tatapan malas. Bawah mata Aruna menggelap, matanya juga merah–jelas habis menangis.
“Kamu nggak apa-apa?”
Aruna mendengus, bibirnya tersenyum tipis. “Rada aneh lihat kamu perhatian begini. Tapi, aku nggak apa-apa.”
“Aku nonton beritanya. Beliau dulu staff di sini, kan?” Aruna mengangguk mengiyakan. Adam terdiam. Ia menjilat bibirnya dan wajahnya terlihat gelisah.
“Kamu kenapa, Dam?” tanya Aruna. Adam terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya menggeleng.
“Pasti sulit buat kamu dan staff yang lain. Soalnya, kata Mbak Tantri, kamu pengunjung yang dekat dengan korban,” kata Adam pelan.
Hati Aruna mencelus. Korban. Menurut kepolisian, setelah diidentifikasi oleh keluarga dengan melakukan tes DNA dan terbukti bahwa itu adalah Tante Sandrina, otopsi dilaksanakan. Hasilnya mengatakan bahwa Tante Sandrina meninggal akibat pukulan benda tumpul di kepala. Kasus ini kembali dibuka. Dulu, karena Tante Sandrina adalah orang dewasa dan tidak adanya bukti yang memperlihatkan bahwa ada dugaan keterlibatan orang lain atas menghilangnya wanita itu, Tante Sandrina dinyatakan menghilang, tapi karena keinginannya sendiri. Tidak ada juga bukti yang menunjukkan kalau Tante Sandrina pergi dengan seseorang, jadi keluarga menyimpulkan bahwa Tante Sandrina pergi begitu saja. Ditambah, memang ada masalah dengan keluarga sebelumnya. Dulu pencarian tetap dilakukan, tapi tidak membuahkan hasil. Keluarga pasrah dan menerima kalau saja Tante Sandrina memang kabur dari rumah.
Kini, semuanya mengatakan sebaliknya. Diduga jasadnya dibuang di perbatasan antara perkebunan sawit yang tidak terawat dan hutan sekitar empat tahun yang lalu, tidak lama setelah Tante Sandrina menghilang. Polisi menerima segala informasi dari masyarakat yang sekiranya memiliki informasi tentang Tante Sandrina.
Adam melihat gerakan tangan Aruna yang terhenti, tidak lagi menyusun buku-buku filsafat.
“Na?” panggil Adam lembut. Cowok itu pun tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini ia menjadi super perhatian terhadap Aruna.
Aruna tidak bergeming. Adam berdecak. “Ada Kak Evan, tuh.”
“Hm?” gumam Aruna. Adam menggerutu. “Giliran Kak Evan aja, langsung merespons.”
Aruna tersipu. Ternyata tidak ada Evan. “Jangan ganggu aku, deh.”
“Aku khawatir sama kamu,” seru Adam.
“Aku nggak apa-apa,” kata Aruna keukeuh.
“Dipanggil nggak merespons, nggak apa-apa apanya?” cibir Adam. Aruna tidak membalas.
Adam menghela nafas. “Aku tahu kamu sedih. Kamu baru aja kehilangan orang yang berharga di hidup kamu. Dan kamu nggak harus langsung mengubur diri kamu di kerjaan.”
“Aku nggak ngubur diri di kerjaan,” dalih Aruna.
“Dari tadi aku lihat kamu mondar-mandir. Selalu ada aja yang kamu kerjain. Entah itu nyusun buku, nulis daftar buku,” jawab Adam, dengan tidak langsung meminta Aruna memberikan perhatiannya pada cowok itu.
Aruna menghadap Adam. “Itu emang job descriptions aku selama kerja di sini.”
“Tapi nggak kayak robot juga,” kata Adam sambil bersedekap. Aruna tidak bisa menjawab cowok itu. Ia memang tidak membiarkan tubuhnya diam semenjak diberitahu berita duka tentang Tante Sandrina tadi pagi. Bahkan gadis itu sukses tidak menghiraukan Adam yang mengganggunya.
“Duduk dulu, yuk?” ajak Adam. Aruna memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk. Mereka berjalan ke salah satu meja yang ada di Perpustakaan Lentera yang menghadap ke pusat kota.
Adam dan Aruna duduk dalam diam selama beberapa saat. Adam beberapa kali menatap gadis itu. Kesedihan terpancar jelas di mata Aruna. Adam membiarkan Aruna meresapi kesedihan itu, sampai gadis itu benar-benar siap untuk membicarakannya.
Dulu, segala sesuatu tentang Adam selalu Aruna asosiasikan dengan kata berisik dan mengganggu. Tidak pernah sekali pun kehadiran Adam ia asosiasikan dengan ketenangan. Ketenangan adalah saat Aruna bersama Evan. Namun kali ini, gadis itu merasakannya dengan Adam. Ada gelenyar aneh, tapi familiar yang Aruna rasakan. Tetapi ia tidak bisa menjelaskan perasaan apakah itu.
“Nggak apa-apa kok, kalau kamu merasa sedih,” kata Adam. “Kamu nggak perlu pura-pura bisa melakukan semuanya.”
Nafas Aruna tercekat. Menunjukkan emosi tidak ada di dalam kamusnya. Selama ini, ia diajarkan bahwa emosi sebaiknya disimpan sendiri. Bahwa menampilkan emosi menjadikannya lemah. Membawa masalah. Tapi tak ayal, dadanya merasa sakit. Sesak.
Punggung Aruna bergetar. Pelan-pelan, bulir-bulir air mata turun membasahi pipi gadis itu. Ragu-ragu, tangan Adam meraih bahu Aruna dan menepuk dengan pelan, menenangkan gadis itu. Tubuh Aruna menegang sejenak. Tapi kembali rileks. Aruna menangis dalam diam di sudut ruang diskusi Perpustakaan Lentera, ditemani oleh satu-satunya orang yang tidak ia sangka.
***
“Please, Mbak. Kasih tahu aku nomor WhatsApp Kak Evan,” Adam memohon pada Mbak Tantri. Sebenarnya, Adam ragu apakah yang ia lakukan ini benar atau tidak. Ia memiliki keinginan untuk tetap berada di samping Aruna sampai jam kerja gadis itu selesai di Perpustakaan Lentera. Tapi, ia merasa Aruna akan lebih bahagia jika Evan yang berada di sampingnya.
Mbak Tantri, di lain pihak, malah ingin Adam yang menghibur Aruna. Ia lah yang meminta Adam untuk menghibur Aruna yang sudah bermuram durja sejak pagi. “Kenapa nggak kamu aja yang nemenin Aruna, Dam? Aruna kelihatan lebih baik ketimbang tadi sebelum sama kamu.”
Adam terdiam sejenak. “Karena bukan aku yang Aruna inginkan ada untuk menghiburnya, Mbak. Kak Evan. Aruna suka sama Kak Evan.”
Mata Mbak Tantri membesar. Wanita itu bertugas di meja resepsi dan mengetahui siapa saja pengunjung perpustakaan. Mendengar nama Evan, Mbak Tantri tertarik karena Aruna memang pernah menyebut bahwa gadis itu memang naksir Evan. Tapi, menurut Mbak Tantri, Adam sendiri juga terlihat naksir sama Aruna.
“Kamu yakin mau manggil Evan untuk nemenin Aruna?” tanya Mbak Tantri lagi.
Adam mengangguk. Dengan begitu, Mbak Tantri menyerahkan nomor Evan (secara diam-diam, tentunya). Adam mengirim pesan melalui WhatsApp, dan di parkiran, Adam melirik ke sudut dekat Aruna dan dirinya duduk tadi. Aruna masih di sana, pandangan matanya menerawang, sama sekali tidak melihat ke arah Adam. “Semoga, kamu lebih baik pas Kak Evan datang nanti,” gumam Adam. Lagi-lagi, perih mengisi hatinya.
Similar Tags

