Untuk Gilbert,
Sejujurnya, aku nggak bisa berkata apa-apa. Percayalah kalau kubilang bahwa jemariku mengambang di atas kertas lama sekali.
Aku bingung harus menulis apa. Lebih tepatnya, saat ini aku marah. Tidak. Aku murka.
Empat tahun yang lalu kamu pergi begitu saja. Tanpa meninggalkan apa-apa. Bahkan sepenggal kata pun nggak ada. Surat dariku kauambil (atau mungkin saja enggak?). Tapi aku nggak tahu sedikit pun tentang dirimu yang menghilang.
Kau tinggalkan aku di sini sendiri. Menunggu. Tanpa kepastian. Padahal kau tahu kalau menunggu adalah sesuatu yang menakutkan.
Rasanya aku bahkan terlalu marah untuk menulis.
Tapi, apakah kamu baik-baik saja?
-Anne (dan, ya, aku rasa kita udah kuliah sekarang)
Dengan wajah tertekuk Aruna membawa surat untuk Gilbert yang tersimpan rapi di saku blazer-nya. Langkahnya mantap membawa gadis itu berjalan di antara rak-rak buku Perpustakaan Lentera, menuju rak fiksi.
Semalam Aruna memutuskan untuk membalas surat dari Gilbert setelah memikirkan hal itu ratusan kali. Keesokan harinya, di sinilah ia sekarang. Membawa secarik kertas berisi isi hatinya yang paling dalam untuk si sahabat pena misterius.
Mood Aruna tidak lebih baik daripada kemarin, tetapi gadis itu sudah bisa meresapi apa yang terjadi. Seperti kata Adam, Aruna menerima rasa sedih yang ia derita akibat kehilangan Tante Sandrina.
Aruna berbelok ke rak dengan tulisan 'fiksi' di atasnya. Gadis itu berjalan lalu berbelok ke rak berikutnya yang memuat fiksi klasik. Dibukanya buku Anne of Green Gables, dan diselipkannya surat itu di halaman 212. Nomor keberuntungan, kata Gilbert. Ia cepat-cepat menutup buku itu dan mendesah, mendekap buku itu seakan-akan buku itu adalah sumber kekuatannya.
Aruna benci bahwa hatinya masih terikat ke Gilbert dan surat-surat darinya. Aruna membenci dirinya sendiri karena membiarkan dirinya terperangkap di masa lalu.
"Aruna," panggil Adam. Suara baritone cowok itu mengejutkan Aruna. Dengan tergesa-gesa gadis tersebut menyelipkan kembali buku Anne of Green Gables ke rak dan ia berlari-lari kecil agar Adam tidak menemukannya di sana.
Benar saja, Adam tengah mencarinya di antara deretan rak buku.
"Ah, di sini kamu. Kecil banget, sih, makanya kayak tenggelam di antara rak-rak buku raksasa ini," kata Adam sambil tersenyum geli.
Aruna memutar bola mata. "Yang raksasa itu kamu. Terlalu tinggi untuk ukuran mahasiswa semester dua."
"Padahal banyak, lho, yang pengen setinggi ini," jawab Adam dengan bangga.
"Aku enggak. Nanti susah lewat di pintu."
Adam menyemburkan tawa. Aruna langsung memelototi cowok itu agar tidak berisik. "Nggak ada orang, kok, di sini. Kan baru jam delapan." Adam membela diri.
"Nah, yang jadi pertanyaannya, kenapa kamu ada di sini sedangkan sekarang baru jam delapan pagi? Perpustakaan juga baru buka lima menit yang lalu kan?" Aruna melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan lewat lima menit.
"Hmm, pertanyaan bagus," jawab Adam. "Mungkin aku mau gangguin staff paruh waktu Perpustakaan Lentera."
Mereka berjalan berdampingan di antara rak-rak buku dan Adam sedikit menyenggol lengan Aruna dengan sikunya. Aruna pura-pura bersikap galak. Padahal di dalam hati, ia deg-degan.
Kemarin sore, Aruna menunjukkan sisi rapuhnya pada Adam. Ia menangis di hadapan cowok itu setelah mengetahui berita duka tentang Tante Sandrina. Padahal, Aruna adalah gadis yang jarang sekali menangis. Terutama di depan orang lain. Entah kenapa, ia bisa menghancurkan tembok pertahanannya di depan Adam. Dan hal itu baru bagi Aruna.
Di sisi lain, Adam berhati-hati dalam bersikap. Ia tahu Aruna masih sedih soal Tante Sandrina. Tapi sepertinya gadis itu bersikap seperti biasa hari ini. Adam tidak menyinggung soal kemarin.
"Gangguin staff lain aja. Hari ini aku lagi nggak mood," sahut Aruna masam.
"Galak banget," komentar Adam.
"Biarin," ejek Aruna. Adam tersenyum dan menggelengkan kepala. Di dalam hati, ia senang melihat Aruna yang sepertinya mulai bisa menerima rasa sedih. Tapi, juga penasaran seperti apa hari gadis itu kemarin setelah ia pulang, dan sosoknya digantikan oleh Evan.
Kedua remaja itu sampai di dekat pintu masuk ke arah ruang duduk. Aruna melirik ke sekitarnya sebelum berkata, "Adam, bisa kita ngomong sebentar?"
"Dari tadi kan kita juga ngobrol?"
"Maksudnya, di tempat yang nggak ada orang lewat."
"Mau ngajakin aku mojok?" canda Adam. Aruna langsung melayangkan bogem mentah ke lengan berotot cowok itu. Adam meringis. "Cuma bercanda."
Aruna mengajak cowok itu ke spot favoritnya di Perpustakaan Lentera di mana ia sering menggambar: sudut pojok perpus yang menampilkan pusat kota Pekanbaru.
Adam menatap Aruna yang kini tengah menunduk. Hanya setinggi 155cm, Aruna memang tampak kecil di hadapan Adam yang tingginya 180cm. Adam memperhatikan gadis di depannya. Rambut ikal sebahu Aruna, wajah oval gadis itu dengan alis nan rapi, hidung mancung dan bibir yang tipis, serta matanya yang bulat seperti boneka. Bohong kalau Adam tidak menganggap Aruna menarik. Tapi, yang paling menarik perhatian Adam adalah kecerdasan Aruna serta pembawaannya yang pendiam dan tertutup, seolah Aruna takut kalau gadis itu menampilkan emosinya.
"Kata Kak Evan, kamu kirim pesan ke dia," kata Aruna pelan. Gadis itu masih menunduk.
Adam mengangguk. "Kamu lagi sedih, dan aku pikir kamu pengen Kak Evan ada di sisi kamu."
Semburat merah muda merayap ke pipi Aruna. Tapi ia tidak berkata apa-apa. Aruna memainkan jemarinya dengan gelisah. "Aku mau bilang makasih sama kamu."
Adam menaikkan alis mata. "Ke aku? Karena udah WhatsApp Kak Evan?"
"Itu salah satunya," jawab Aruna pelan, masih menunduk.
"Bukannya nggak sopan, ya, kalau ngomong tapi nggak menatap lawan bicara?" sindir Adam tapi dengan nada bercanda.
Aruna berdecak pelan lalu mengangkat wajahnya, menatap Adam. Bukan debu di sepatunya yang menarik, tapi Aruna takut kalau gadis itu ketahuan bahwa rona merah muda di wajahnya disebabkan oleh Adam. Bukan karena Evan yang telah menemaninya selepas Adam pulang.
"Nah, gitu dong. Kan wajahku nggak jelek-jelek amat untuk dilihat," kata Adam sambil tersenyum. Aruna tahu Adam cuma bercanda. Cowok itu pasti sadar akan pesonanya. Rambut ikal, rahang tegas, hidung mancung, dan matanya. Astaga. Aruna baru kali ini benar-benar memerhatikan mata Adam. Berwarna cokelat yang mengingatkannya akan cokelat Toblerone yang enak.
Aruna menggelengkan kepalanya. Ia hampir saja tenggelam dalam mata yang indah itu. Adam memandangnya dengan geli. "Kamu kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa," jawab Aruna cepat.
Meski tahu Aruna berbohong, Adam tidak membahas hal itu. "Jadi, alasan lain kamu bilang terima kasih?" tanya Adam penasaran.
"Hmm, itu..." kata Aruna ragu-ragu. Adam menaikkan sebelah alis. Aruna menggigit bibir bawahnya. "Makasih udah... duduk sama aku kemarin. Itu, waktu kamu bilang kalau aku harus... menerima rasa sedihku. Kamu benar, Dam," kata Aruna pelan. Manik matanya yang bulat menatap langsung ke manik mata Adam yang berwarna cokelat. Lagi-lagi, Aruna merasa ia tersedot ke dalam mata cowok itu. Gadis itu mengira Adam akan mengejek atau menggodanya seperti biasa. Di luar dugaan, ia mendapati Adam tersenyum lembut dan mengangguk.
"Sama-sama. Aku senang kalau kamu udah ngerasa lebih baikan."
Aruna tersenyum kecil, dan hal itu membuat jantung Adam berdegup lebih kencang. "Ngomong-ngomong, Kak Evan nggak lama di sini."
"Oh, karena perpus udah mau tutup?"
Aruna menggeleng. "Bukan, karena aku suruh pulang." Dan karena aku bingung, soalnya aku merasa lebih nyaman ketika sama kamu, batin Aruna.
Adam melongo tidak percaya. "Aku bela-belain nge-chat Kak Evan untuk nemenin kamu dan kamu malah nyuruh dia pulang?"
"Bukan gitu. Aku udah ngerasa lebih baik semenjak... kamu nemenin aku kemarin," Adam tersenyum mendengar bagian ini. "Dan Kak Evan lagi buru-buru juga." Sontak Adam kembali menekuk bibirnya ke bawah. Tahu seperti itu, ia saja yang menemani Aruna sampai perpustakaan tutup!
"Sia-sia, dong, usahaku kemarin," gumam Adam pelan, tidak menatap Aruna.
"Apa?" tanya Aruna polos. Adam menggeleng pelan.
"Yang penting, kamu udah ngerasa lebih baik. Dan itu udah cukup." Adam tersenyum lembut pada Aruna. Manik matanya yang cokelat menatap mata bulat Aruna dalam-dalam, membuat Aruna salah tingkah.
"Sekarang, tunjukkan rak buku biologi, staff Aruna. Aku punya banyak waktu buat ganggu kamu hari ini," sahut Adam. Aruna langsung menatapnya dengan tatapan malas.
***
Nyatanya, malah Adam yang merasa terganggu hari ini. Baru pukul setengah sepuluh, Evan datang dan menarik perhatian Aruna seutuhnya.
Adam yang duduk di salah satu meja belajar yang disekat, melirik Aruna dan Evan yang sedang mengobrol di dekat rak buku-buku seni.
"Ngapain, sih, udah lima menit ngobrol di situ," gerutu Adam pelan, lebih ke arah menggumam. Buku tentang kardiologi di hadapannya sudah tidak dibaca selama beberapa menit.
Aruna terlihat menertawakan sesuatu yang dibisikkan oleh Evan. Mendengar tawa pelan gadis itu yang terdengar seperti lantunan melodi yang indah, membuat Adam keki.
Adam membawa buku-buku dan barang-barangnya lalu berjalan ke arah Aruna dan Evan. Ia berdeham sedikit untuk mendapatkan perhatian Aruna. "Na, aku lupa kalau slide presentasi untuk tugas reading udah selesai aku buat. Aku mau kamu cek slide-nya." Adam mengangguk ke arah meja belajar yang lebih besar di Perpustakaan Lentera yang cocok untuk diskusi grup.
"Oh. Oke. Tolong kirimin ke e-mail aku aja deh kayaknya. Soalnya ini kan jam kerjaku, dan nggak enak kalau mau ngecek tugas kuliah sekarang ini," jawab Aruna.
"Nggak apa-apa, sekarang aja. Nggak akan makan waktu lama."
Alis Aruna bertaut. Adam tahu bahwa gadis itu hendak menolak saat Evan berkata, "Cek aja sebentar, Na. Adam benar. Pasti nggak akan lama. Terus, ada yang mau aku obrolin juga sama kamu." Ternyata ada udang di balik batu, kata Adam dalam hati.
Mereka duduk di meja diskusi yang terletak di dekat sudut, dengan Aruna di tengah-tengah kedua cowok remaja tersebut.
"Aku lihat tanda berduka cita di depan pintu masuk perpustakaan." Evan membuka suara.
Adam langsung memperhatikan ekspresi Aruna. Gadis itu tampak sangat sedih.
Evan melanjutkan. "Dan, pasti berat banget bagi kamu dan staff yang lainnya, ya, Na. Apalagi kamu cerita ke aku kalau kamu dulunya dekat banget sama mendiang." Aruna mengangguk. Slide presentasi tak lagi menjadi perhatian kedua remaja tersebut. Aruna sibuk bergulat dengan rasa sedihnya, sementara Adam fokus dengan perasaan Aruna.
"Dan... mungkin ini sedikit mengejutkan. Tapi... Sandrina Wijayanti itu... adalah Tanteku," bisik Evan.
Similar Tags

