Suasana di ruang tamu rumah Banu terasa tegang. Hembusan angin pagi yang masuk melalui jendela tidak mampu meredakan ketegangan yang menyelimuti rumah sederhana itu. Di sana, duduk dua orang dewasa yaitu Bu Loli dan Bu Sesil yang datang untuk berbicara dengan Banu. Mereka bukan orang asing— Bu Loli adalah wali kelas Andra sementara, Bu Sesil adalah seorang guru bimbingan konseling yang dikenal tegas di lingkungan sekolah. Keduanya datang dengan niat yang jelas; untuk menggali lebih dalam tentang kejadian yang menimpa teman-teman Banu yang baru-baru ini ditanggap polisi.
Banu duduk di kursi tamu, matanya menatap kosong ke lantai rumah. Wajahnya yang biasanya ceria kini, tampak muram dan sesekali ia mengusap wajah dengan tangan. Suasana sepi, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak perlahan.
"Banu, kami dengan mau terkait kejadian beberapa waktu lalu. Jangan khawatir, kami hanya ingin memahami apa yang sebenarnya terjafi," jelas Bu Loli.
Banu terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang mulai menggumpal di dadanya. Kejadian itu masih sangat segar dalam ingatannya, dan meskipun ia ingin menjelaskan semuanya, kata-kata terasa begitu berat untuk keluar.
"Tidak apa-apa kalau kamu merasa sulit untuk berbicara. Kami hanya ingin tahu, Banu. Kamu bisa menceritakan semuanya dengan jujur kepada kami," kata Bu Sesil.
Banu mengangguk pelan. Ia memandang Bu Sesil dan Bu Loli wajah mereka terlihat penuh perhatian tidak seperti beberapa orang lain yang menghakimi tanpa mencoba mengerti. Akhirnya, Banu membuka mulutnya.
"Awalnya, saya cuma mau nongkrong sama teman-teman. Mereka kan teman lama, teman yang saya kenal dari SMP. Dulu, kita sering main bareng, ngobrol-ngobrol, atau cuma sekedar main game." Banu berhenti sejenak, mencerna kembali setiap kata yang akan ia ucapkan. "Tapi... Saya nggak nyangka, kali ini jadi beda."
Banu menatap ke arah jendela, seakan mencari jawaban di luar sana. "Malam itu, saya, Andra, Vandra, Tama, dan Sahil kumpul di pos ronda yang udah lama nggak dipakai. Tempat itu selalu jadi tempat kita ngumpul, buat main game atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul. Kita nggak mikir apa-apa waktu itu."
"Lalu apa yang terjadi, Banu?"
Banu menghela napas berat. Suaranya terdengar serak, namun ia berusaha keras untuk menceritakan dengan jujur.
"Di tengah-tengah kita main. Perasaan saya ga enak bu. Jadi saya memutuskan untuk pulang duluan. Beberapa meter saya meninggalkan pos. Dari kejauhan saya lihat ada dua motor lewat. Mereka ngebut banget, hampir nggak keliatan. Saya nggak tahu kenapa, tiba-tiba salah satu dari mereka melempar tas goodie bag ke arah teman-teman saya."
" Awalnya mungkin teman-teman saya kira cuma sampah, tapi pas buka, ada parang dan celurit yang kelihatan." Banu menundukkan kepala, merasa cemas kembali mengingat kejadian itu. "Semua orang kaget, panik, dan... waktu itu saya cuma bisa lihat dari kejauhan, nggak tahu harus ngapain."
Pak Beni menatap Banu tajam, berusaha memahami setiap kata yang diucapkan.
"Jadi, kamu dan teman-temanmu tidak tahu kalau ada senjata tajam di dalam tas itu?"
Banu mengangguk cepat. "Iya, Pak. Kami nggak tahu sama sekali. Kita semua kaget, nggak ngerti harus gimana. Dari kejauha saya lihat Andra langsung teriak supaya jangan dipegang. Tapi Sahil... dia malah penasaran dan sempat mau sentuh tas itu." Banu mengerjapkan matanya, mencoba menahan air mata yang hampir keluar.
"Saya takut banget, Pak. Kita semua takut. Polisi datang, dan langsung ngepung teman-teman saya. Gak ada yang bisa kabur."
"Kenapa kamu tidak memberitahukan polisi apa yang terjadi?" tanya Bu Loli penasaran.
Banu terdiam sejenak, merasakan beratnya pertanyaan itu. "Saya takut, Bu. Semua orang langsung panik, saya pikir kalau saya ngelapor malah bisa jadi masalah. Apa kata orang kalau tahu kami duga terlibat? Kami kan cuma kumpul-kumpul, nggak pernah mikir bakal ada masalah seperti itu."
Banu meremas tangan, seolah mencoba mencari kekuatan dalam dirinya. "Tapi saya nggak bisa lari dari kenyataan, Bu. Teman-teman saya, Tama, Sahil, dan Vandra ditangkap. Gimana pun juga, mereka semua sahabat saya. Tapi saya tahu, mereka nggak tahu apa-apa soal senjata itu."
"Jadi, kamu merasa mereka tidak bersalah?" selidik Pak Beni.
Banu menatap Pak Beni, matanya penuh rasa bersalah. "Mereka nggak bersalah, Pak. Kami semua cuma main game, nggak ada niat buruk. Kalau mereka tahu ada senjata tajam, pasti mereka nggak bakal diam aja. Tapi... entah kenapa, kami jadi terjebak di situasi yang nggak kami pahami."
"Banu, kamu tahu bahwa teman-temanmu bisa menghadapi masalah serius karena kejadian ini. Polisi tentu akan menginvestigasi lebih dalam, dan kamu mungkin akan dipanggil sebagai saksi."
Banu menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tahu, situasi ini semakin memburuk, dan meskipun ia tidak terlibat langsung dengan kejahatan itu, ia tetap merasa bersalah. Mungkin jika ia lebih waspada, kejadian ini tidak akan terjadi.
"Setelah kejadian itu, saya bingung. Saya enggak tahu harus ngomong apa ke orang tua, enggak tahu harus ngapain. Yang jelas, saya enggak ingin teman-teman gue dihukum karena masalah ini." Banu mengusap wajahnya, air mata sudah tidak bisa dibendung lagi.
"Mereka kan cuma teman-teman saya Bu, Pak. Kita nggak ngerti apa-apa. Kita cuma mau senang-senang, nggak ada niat jelek," sambungan Banu.
"Ini memang masalah besar, Banu. Tapi kamu sudah melakukan hal yang benar dengan berbicara sekarang. Itu langkah pertama yang baik. Kami akan bantu, jangan khawatir." Pak Beni mencoba menenangkan Banu, meskipun di dalam dirinya juga ada kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi pada teman-teman Banu.
"Kadang, kita memang harus menghadapi konsekuensi dari apa yang terjadi, Banu. Tapi yang penting adalah kamu harus jujur dan bertanggung jawab. Semua orang berhak tahu kebenarannya. Itu yang akan membantu kamu dan teman-temanmu untuk keluar dari masalah ini."
Banu mengangguk, mencoba memahami kata-kata Bu Loli. Ia tahu, meskipun sulit, ia harus tetap tegas dan jujur. Ini adalah masalah yang harus ia hadapi, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk teman-temannya yang kini sedang terjebak dalam situasi yang mereka sendiri tidak pahami.
"Terima kasih, Bu, Pak. Saya akan berusaha. Saya janji, akan bantu teman-teman. Saya akan jelasin semuanya. Walaupun susah, saya enggak mau mereka dihukum cuma karena kejadian yang nggak mereka ngerti."
Suasana di ruang tamu itu sedikit lebih tenang setelah percakapan panjang itu. Meskipun ketegangan belum sepenuhnya hilang, Banu merasa sedikit lebih lega. Ia tahu, apa yang ia lakukan sekarang akan menjadi langkah pertama untuk mencari keadilan, meskipun jalan yang harus ditempuh tidak akan mudah.
Namun, di balik semua itu, ia masih merasa bersalah. Teman-temannya sedang berjuang, dan ia harus ikut bertanggung jawab untuk membantu mereka keluar dari masalah besar ini.