Ruang interogasi di Polsek itu terlihat dingin redup dan pucat karena lampu yang menyala redup. Menambah suasana ketegangan yang ada saat itu. Enam remaja duduk pada kursi, dihadapkan dengan banyak pertanyaan. Andra merasa sungguh gelisah, tangannya memainkan kuku jari dan berkeringat. Dihadapannya duduk seorang penyidik yang tidak terlihat ramah wajahnya tidak tersenyum sama sekali.
"Kamu tahu darimana tas itu datang?"
Andra menggeleng cepat. "Enggak, Pak. Saya kira itu orang iseng yang lagi lempar sampah ke kami. Waktu temen saya mau buka muncul senjata tajam. Kami gak tau apa-apa, Pak," jelas Andra.
"Siapa yang biasa nongkrong di sana selain kalian?"
Andra terdiam. Sekilas bayangan Banu terlintas di dalam benaknya. Dia datang bersama dengannya. Tapi, tidak mungkin jika Banu yang melakukan hal itu. Meskipun tas itu muncul setelah beberapa detik Banu pergi. Andra mengatupkan bibir. Menyebutkan nama Banu hanya akan menambah permasalahan di antara mereka.
Tetapi, tidak semua teman sejalan dengan pemikiran Andra Vandra yang duduk tidak jauh dengannya duduk dengan posisi santai berusaha terlihat tenang meskipun hatinya berdebar. Pertanyaan yang sama diberikan padanya.
"Kalau dugaan saya yang tahu lingkungan pos itu selian kita ya, Banu. Dia tadinya ikut nongkrong sama kita, Pak. Karena perutnya sakit jadi dia pulang duluan. Tapi, saya gak nuduh. Tapi merasa aneh aja dia sempet nongkrong terus gak lama dia pergi. Ada orang yang melempar itu ke kami. Aneh kan, Pak?"
Penyidik mencatat. Hanya satu kalimat, tapi membuat nama Babu masuk ke dalam daftar perhatian polisi.
Penyidik mencatat. Hanya satu kalimat, tapi cukup menaruh nama Banu dalam daftar perhatian polisi.
***
Sejak kejadian malam itu, Banu tidak bisa tidur ia bermimpi bertemu dengan teman-temannya di penjara. Mereka terlihat kurus dan lesu, namun tetap tersenyum padanya.
"Jangan menyerah, Banu," kata Andra, sahabat terbaiknya.
"Kami akan selalu menjadi temanmu."
Banu terbangun dari mimpi itu dengan perasaan yang campur aduk. Ia sadar bahwa ia tidak bisa menyerah. Ia harus melakukan sesuatu untuk membantu teman-temannya dan untuk memperbaiki kesalahannya.
Pagi mulai menyambut rumah Banu terasa sunyi dan mencekam. Orang tuanya, terutama bundanya tiba-tiba saja menelepon Banu berkali-kali. Menanyakan Banu sedang dimana, padahal kemarin bunda sekolah tidak peduli dengan kehadiran Banu. Padahal Bunda baru saja menampar Banu karena Banu memarahi Naya yang merobek piagam penghargaan Banu.
Pada akhirnya Banu mengalah. Ia kembali ke rumah Pradipta ayah tirinya. Baru saja sampai dan duduk di ruang tamu pagi itu, bunda terus saja mengungkit tentang perbuatan teman-temannya. Berita itu ternyata sudah sangat cepat menyebar. Tatapan kecewa ibunya menusuk hati Banu. Ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
"Bunda sudah dengar tentang kasus di sekolah kamu." Harsana menatap Banu ia menjeda kalimat.
"Bagaimana bisa kamu bergaul dengan orang-orang seperti itu, Banu?" tanya Harsana dengan nada tegas.
"Pantas saja selama ini kamu tidak pernah bisa banggakan Bunda!"
"Bunda, aku tahu apa yang teman-temanku lakukan salah. Aku menyesal banget. Tapi, berita tentang mereka ga sepenuhnya benar.."
"Ga sepenuhnya benar? Kamu harusnya bisa membedakan mana yang benar dan salah," cetus Harsana.
"Aku tahu. Tapi aku juga nggak mau ninggalin teman-teman aku. Aku merasa bersalah kalau ninggalin mereka sendirian."
"Kamu harus ingat. Teman sejati tidak akan membawa kamu ke jalan yang salah. Kamu harus lebih selektif dalam memilih teman. Dan bunda rasa teman-temanmu itu bukan teman yang baik." Usai mengucapkan kalimat tersebut Harsana pergi meninggalkan Banu.
Banu hanya bisa menunduk. Ia tahu bahwa ibunya benar. Teman-temannya telah membuat kesalahan besar, dan ia pun ikut terseret dalam masalah ini. Namun, di lubuk hatinya, ia masih merasa bersalah jika meninggalkan mereka saat mereka membutuhkannya.
Pradipta yang sedaritadi hanya memperhatikan percakapan Banu dengan Harsana pun mencoba mendekat. Ia duduk di samping Banu. Menepuk perlahan pundak Banu.
"Papa sudah dengar semua yang terjadi."
"Papa tidak ingin memarahimu terus-menerus. Tapi, kamu harus belajar dari kesalahan teman-temanmu. Jangan sampai terulang lagi."
"Kamu tau yang terbaik buat dirimu sendiri."
***
Sebuah pesan Banu terima dari Kala. Ia sedikit mengernyitkan kening dengan pesan yang Kala kirimkan.
Banu, gimana kabar kamu? Sehat? Aku dengar kamu ada masalah benar?
Tak lama pesan dari grup teman dekatnya yaitu Nata, Ghani, janu, kenzie, ganandra.
Nata
Oy, Banu
Are you okay?
Lo jadi omongan di sekolahan. Sebenernya apa yang terjadi si?
Kenzie
Ia benar yang dibilang Nata. Ada apa, Nu? Lo sama Andra kenapa?
Janu
Banu, lo bukan otak dibalik aksi pelemparan sajam itu kan? Orang-orang pada bilang gitu soalnya. Kata orang itu asumsi Vandra
Ganandra
Sabar guys. Jangan keroyokan
Nu, Kalo lo.mau cerita. Cerita aja jangan dipendem sendiri. Siapa tau kita bisa bantu lo.
Banu mengusap wajah ia sungguh bingung dengan pesan-pesan dari temannya. Apalagi yang dikatakan Janu. Banu menjadi menegang detak jantungnya terasa lebih cepat, ia tidak tahu harus bagaimana.
Alhamdulilah gua gak apa-apa, Kal. Semuanya akan baik-baik aja.
Banu lantas mengirimkan pesan itu kepada Kala. Dan tidak lupa juga membalas pesan dari Grup The Boys.
Gua gak apa-apa kok.
Gua juga gak tau kenapa. Kemarin itu gua diajak Andra buat nongkrong lagi sama Vandra. Gua mau nolak gak enak, jadi gua ikut sama Andra.
Tapi, gua gak lama soalnya gua lagi gak enak badan. Jadi gua pulang duluan. Waktu perjalanan pulang perasaan gua gak enak kepikiran Andra. Waktu gua mau hampir sampe pos. Gua liat mereka udah dikepung polisi.
Pesan pun terkirim. Banu memilih untuk tidak membuka ponselnya. Pikirnya saat ini kacau. Ia terlalu takut jika Bundanya tau akan rumor tersebut. Ia pasti akan marah besar terhadapnya. Segera mungkin Banu harus menyelesaikan masalah ini.
***
Cahaya pagi matahari menyinari sela-sela jeruji besi. Menerangi wajah-wajah remaja yang tampak lelah. Andra duduk di sudut sel, matanya berkaca-kaca saat melihat teman-temannya silih bersantu didatangu keluarga. Sementara ia hanya bisa termenung duduk di sudut ruangan yang dingin dan suram. Di luar dunia terus bergerak, tapi ia terjebak dalam keheningan yang menggerogoti jiwa.
Tidak ada satupun orang dari keluarganya yang berniat untuk melihat keadaannya. Entah karena malu, kecewa atau memang ia sudah benar-benar tidak dianggap ada dalam keluarga. Satu-satunya yang setia menemani hanyalah perasaan bersalah yang tak kunjung reda, menyiksanya setiap detik.
Kalau gua gak mau diajak ketemuan lagi dengan Vandra mungkin semua gak akan seperti ini.
Banu pasti udah gak mau anggap gua teman lagi.
Ketika sedang asik melamun memikirkan segala hal buruk padahal belum tentua terjadi. Seorang penjaga menghampiri dan membuka pintu sel. Ia memanggil Andra untuk keluar menemui seseorang. Andra merasa jantungnya berdebar kencang sebab tidak tahu siapa yang akan ia temui. Apakah orang tuanya? Atau mungkin seseorang yang merasa kasihan pada dirinya?
Begitu keluar dari sel, Andra disambut oleh kedatangan seorang remaja dengan raut wajah khawatir. Ia adalah Banu—teman dekatnya. Andra terkejut, tidak menyangka Banu akan datang menemuinya. Ia pikir Banu akan marah terhadapnya dan tidak peduli.
"Nu," kata Andra. Mata Andra berkaca-kaca. Ia merasa dunia seolah terbuka sedikit untuknya.
Banu berdiri tegak dihadapannya dengan perlahan ia memeluk tubuh Andra yang tampak lesu dan lemah. Andra bisa merasakan sedikit kehangatan tubuh Banu seakan memberikannya harapan ditengah kegelapan.
"Gimana kabar, lo?" tanya Banu.
"Gue... yah, seperti yang lu lihat sekarang aja, Nu. Lo pasti udah tahu dan liat sendiri kondisi gue," jawabnya pelan. "Gue baik-baik aja," jawab Anda, suaranya serak.
Andra menahan air mata ia masih tidak menyangka Banu datang. Itu sangat berarti bagi Andra, karena masih ada yang peduli terhadapnya. Banu tersenyum tipis, meskipun jelas sekali ia berusaha menutupi ke khawatirannya.
Banu menghela napas panjang. Ia menatap Andra yang pandangannya kosong. Tubuhnya tamoak lebih kurus dan matanya sembab. Ia ingin menanyakan sesuatu yang sangat penting bagi dirinya. Tapi melihat kondisi temannya itu Banu terlihat ragu.
"Gua sebenernya mau nanya suatu hal penting sama lo, Ndra."
"Tentang isu yang lo jadi pelaku pelemparan tas hitam?" tanya Andra memastikan. Andra sudah tau Banu pasti akan menanyakan hal itu.
"Lo nyebut nama gua, Ndra?" tanya Banu langsung tanpa basa-basi.
Andra menggeleng keras. "Enggak, Nu. Gua berusaha untuk gak nyebut nama lo justru. Gua bela lo, tapi Vandra beda cerita."
"Maksudnya?" tanya Banu memastikan.
"Gua gak atau pastinya. Tapi waktu gua diintrogasi. Vandra bilang nama lo. Dia bilang lo ada di sana tapi tiba-tiba pergi. Dan gak lama ada orang yang lempar sajam itu. Dia bilang itu hal aneh."
"Lo percaya sama perkataan Vandra?"
Andra menatap Banu ia pun menggeleng kepala. "Gua kenal lo dari jaman SMP. Lo bukan tipe orang yang main belakang. Apalagi sampe ngelakuin hal kriminal kaya gitu."
"Vandra itu kayaknya lagi iri sama lo. Jadi cari-cari kesalahan lo."
"Nu, gua mau minta maaf sama lo. Karena gua gak dengerin perkataan lo untuk jauhin Vandra, jadinya begini."
Banu menepuk pundak Andra. "Gak apa-apa, Ndra. Yang penting sekarang lo udah sadar kalo Vandra bukan teman yang bain buat kita."
"Oh iya. Maksudnya Vandra iri itu gimana?"
"Lo berubah, Nu. Lo maju. Sementara dia ngerasa lo ninggalin dia. Kadang, iri sama orang yang kita anggap sahabat itu gak sadar. Tapi nyata.”
Banu termenung. Ia tidak marah—ia kecewa. Nama baiknya terguncang, kepercayaannya dilukai oleh orang yang dulu bersumpah jadi saudara.
“Gue harus ngomong sama dia.”
Andra menatap Banu dalam. “Kalau lo emosi, jangan sekarang. Karena bisa memperburuk keadaan, Nu."
"Lagi juga sekarang Vandra gak di dalam sel. Dia dikasih sedikit keringanan buat pulang sementara selama tiga hari. Soalnya Bundanya masuk rumah sakit lagi, dia lagi jenguk Bundanya."
Banu pun memahami hal itu. Tidak lama pembicaraan mereka karena waktu yang terbatas. Andra pun segera kembali ke sel usai jam kunjangan selesai.