Andra turun dari taksi online yang baru saja ia pesan. Hari ini setelah lima hari di rawat Andra diperbolehkan pulang. Selama lima hari Mama, Papa serta Bang Cakka tidak sama sekali menjenguknya. Kini, bagi Andra, keluarganya bukan lagi rumah tempat ia pulang. Mereka hanya orang-orang asing yang kebetulan dititipkan Tuhan dalam hidupnya—bukan untuk saling menyayangi, hanya untuk saling mengenal, sebatas itu.
Andra perhalan membawa tas sekolahnya yang berisi baju-baju selama ia sakit. Baju-baju tersebut Banu yang membawakan dari kamar Andra dan segala perlengkapan yang dibutuhkan Andra ketika sakit. Hari ini Andra tak mengabari teman-temannya, Alea dan Tante Dahlia jika sudah diperbolehkan pulang. Karena takut merepotkan jika mereka harus ke rumah sakit untuk menjemputnya.
Andra perlahan masuk menyusuri pekarangan rumah. Rumah itu masih sama dengan cat berwarna putih yang kini hampir kusam seperti terakhir ia lihat. Begitu sampai di depan pintu ia merogoh tas mengambil kunci, perhalan membukanya. Ketika membuka pintu ia berharap ada secuil kehangatan yang menanti di dalam. Namun, yang menyapanya hanga keheningan.
Tidak ada suara televisi di ruang tengah. Tidak ada aroma masakan di dapur. Tidak ada langkah kaki tergesa yang menyabut kedatangannya. Hanya sepi yang menyelimuti di udara. Perlahan Andra melangkah masuk menutup pintu dengan pelan. Ia memandang ruang tamu dengan tatapan kosong. Tempat di mana dulu mereka duduk bersama saling melempar tawa sambil menonton acara televisi sebelum perceraian kedua orang tuanya terjadi.
Kini, yang Andra lihat hanya sofa coklat yang sudah berganti bantal yang terjatuh di lantai. Setumpuk majalah lama. Serta foto-foto masih kecilnya yang masih terpajang. Andra menahan sesuatu yang terasa mendesak di dada dan air mata yang hampir jatuh dipelupuk mata. Sekarang dalam hidupnya hanya dipenuhi rasa kecewa sampai luka itu tak lagi berdarah dan mengering.
Andra duduk diujung sofa cokelat usai menaruh tas yang tidak jauh dari sofa. Ia tidak berniat membawa tas tersebut masuk ke dalam kamar dan segera merapikan baju-baju yang berada di dalam tas. Ia menyandarkan tubuh lelahnya dan keheningan yang menyapa. Tatapan Andra menatap langit-langit ruang tamu ada rasa hampa yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan kata. Rasanya ia ingin marah, menangis dan berteriak namun, rasa lelah dan kecewa di dalam tubuhnya terlalu besar.
Dalam keheningan suara getaran ponsel membuyarkan lamunan Andra. Ia merogoh saku jaket.
Andra lo di mana? Bunda sama gua di rumah sakit tapi lo gak ada
Andra kemarin gua tanya dokter besok lo udah boleh pulang. Hari ini udah beneran boleh pulang kan? Biar gua jemput
Andra membaca pesan itu lama. Jari-jarinya terasa kaku untuk membalas pesan dari Alea dan Banu yang sekarang sedang mengkhawatirkan dirinya. Tetapi perhatian itu justru membuat batin Andra terasa teriris. Karema bukan dari orang-orang di rumah ini bahkan keluarga kandungnya hanya Alea dan Banu yang tetap ada.
Lea. Sorry gak ngabarin. Gua tadi udah diperbolehkan pulang. Sekarang udah di rumah.
Banu sorry gak ngabarin. Gua udah pulang sendiri ke rumah. Gua gak mau ngerepotin jadi gua pulang sendiri. Btw thanks buat semuanya.
Andra memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket. Ia pun bangkit dan menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas. Ketika melangkah melewati anak tangga dan di samping anak tangga masih terpajang foto-foto keluarga mereka yang utuh. Hal itu mengingatkan Andra pada masa kecilnya berlari naik turun tangga bersama Bang Cakka hingga sampai dimarahi oleh Bara—papa nya. Sekarang suara itu hanya gema samar di kepala.
Andra mengambil kunci lagi yang kali ini berada di saku celana. Ia membuka kamarnya pintu kamar di dorong perlahan. Ia sedikit terkejut melihatnya sebab kamar itu rapi dan wangi. Perlahan ia memasuki kamar pandangan Andra teralih pada secarik kertas yang berada di atas meja. Tertulis dengan huruf yang ia kenali—tulisan tangan Banu.
Udah gua rapihin kamar lo. Kalo nanti lo udah pulang gak perlu lagi repot buat rapihin kamar. Selamat istirahat , Bro!
Dan untuk pertama kalinya hari itu, air mata Andra jatuh. Bukan karena luka yang sudah lama ia simpan, tapi karena kebaikan kecil yang terasa terlalu besar di tengah dunia yang dingin. Pantas saja kemarin ketika menjenguk Banu tiba-tiba memberikan kunci kamar tidur nya. Ia pikir Banu takut jika kejadian uang nya yang diambil oleh Cakka terulang kembali, namun ernyata salah. Ia duduk di tepi ranjang, memegang kertas itu erat. Mungkin, pikirnya, rumah memang tidak harus penuh orang. Kadang, cukup satu orang yang tulus untuk membuat seseorang tetap bertahan.
***
Menjelang malam. Kamar Andra hanya diterangi lampu meja yang temaram. Hanya menciptakan bayang-bayang samar di dinding. Ia belum berganti baju hingga pukul delapan malam hanya duduk diam di sisi ranjang. Memandangi jendela yang menampilkan langit gelap dan lampu jalanan.
Pikiran Andra mengembara pada lima hari terakhir di ranjang rumah sakit, aroma obat suara alat-alat medis serta wajah-wajah yang bukan saudara kandung lebih sering menanyai kabarnya dibanding keluarganya sendiri. Ia membenci perasaan ini membenci rasa kosong yang ada di dalam hatinya.
Andra berdiri menarik napas panjang, kemudian mengambil ponsel nya. Membuka galeri mencari foto yang dulu pernah membuatnya tersenyum bahagia. Ada satu foto dirinya, Mama, Papa, Bang Cakka dan adiknya—Cikka. Diambil saat moment liburan ke kebun binatang dalam foto itu semua tersenyum bahagia. Tapi sekarang, senyum di foto itu mendadak hilang karena kebohongan. Ia menatap foto itu lama, lalu menghapusnya.
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu terdengar. Pintu itu terbuka perlahan, menampilkan sosok Banu dan Alea berdiri sembari memegang nampan kecil berisi semangkuk sup dan segelas air putih. Ia tak bicara apa-apa dan lantas langsung menaruh nampan itu di atas meja.
"Kalian ke sini?" tanya Andra terkejut.
"Ya lo pikir?" jawab Alea sinis.
"Makan cepet! Gua tau lo pasti daritadi siang belum makan dan minum obat!"
Bukannya menuruti perintah Alea. Andra justru kembali merebahkan tubuh di tempat tidur.
"Ish! Andra! Lo mau sembuh gak sih!"
Alea menarik baju Andra hingga tubuh mau tak mau berbalik tidak membelakangi Alea. Gadis itu sudah menyodorkan sendok tepat di depan mulut Andra.
"Sabar kenapa Lea. Tumpah nanti."
"Lo lama abisnya!"
Andra bergegas bangun dari tidur dan menerima suapan bubur dari Alea.
"Sepupu lo tuh ya. Bawel banget sumpah. Pusing gua dengernya! Gara-gara lo yang gak bales-bales pesan dia, jadinya gua yang diteror!" Alea mendelik
"Kenapa, gak suka lo?!"
Banu meringis tidak enak hati. Andra mengamati wajah Alea. Wajah yang sinis tapi menyimpan kepedulian yang tulus. Sejak kecil mereka sering main bersama hingga akhirnya Andra harus tinggal di rumah sang Mama yang sudah menikah kembali. Dan kedekatan mereka sedikit renggang karena jarak rumah yang cukup jauh membuat mereka menjadi jarang untuk bermain bersama. Tapi justru dari semua orang yang pernah satu atap dengannya, hanya Banu dan Alea yang tidak pernah membuatnya merasa sendiri.
"Makasih ya. Alea, Banu.." Andra berkata pelan.
“Makasih, Nu…” Andra berkata pelan.
"Iya sama-sama," jawab Banu dan Alea bersamaan.
"Besok… lo mau ke sekolah?”
Andra menggeleng pelan. “Belum siap. Kayaknya gua butuh waktu.”
“Ya udah gak apa-apa kalau belum pulih maksimal. Tapi jangan kelamaan ngurung diri. Lo bukan sendiri, Ndra," kata Alea.
Kalimat yang terdengar sederhana. Tapi, rasanya seperti selimut hangat yang menyelimuti dirinya di tengah malam yang dingin. Andra mengangguk pelan. Ia berusaha menahan bulir air mata ia sungguh terharu mendengar perkataan itu,, sebab masih ada yang peduli terhadapnya.
Untuk pertama kalinya mungkin ia perlahan bisa belajar pulang lagi. Bukan pulang ke rumah, melainkan ke tempat yang mencintainya tanpa syarat selayaknya keluarga.