-That's Why He My Man-
•••
And make you understand
You had your chance, had your chance
But even if the stars and moon collide
I never want you back into my life
You can take your words and all your lies
Oh, oh, oh, I really don't care
(Really Don’t Care – Demi Lovato ft Cher Lloyd)
Ting!
Bella mengecek ponselnya tanpa minat. Ia mencebik tak suka ketika lagi-lagi ada dm masuk dari orang yang tiba-tiba random menanyakan apakah dirinya adalah satu peserta CPNS yang ujian di Semarang. Mendaftarpun tidak, bagaimana bisa dia ujian di sana. Padahal ia sudah menjelaskan hal tersebut, namun lelaki itu sepertinya memang punya niat lain.
Bella bukan perempuan kemarin sore yang tidak peka ketika ada orang yang tertarik padanya. Hanya saja, dirinya masih tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Sebulan ini, perempuan itu benar-benar merubah total kesehariannya. Ia yang tidak pernah sempat nongkrong ketika sepulang kerja, sekarang dirinya masih menyempatkan untuk mampir menikmati kafein.
Memulai sebuah hubungan baru ketika Bella baru selesai dengan hubungannya yang bertahun-tahun itu rasanya agak sulit. Ia jadi kesulitan mempercayai lelaki. Bahkan jika berniat serius sekalipun, Bella menutup mata dan telinga. Enggan untuk membuka hati karena dirinya tak siap terluka lagi untuk yang kesekian kali.
Henry Tjandra
Hai dek bela, mas boleh kenal lbh jauh g?
Arabella Zahra
Hi, Mas. Sorry, tapi aku baru aja putus dan belum pengin punya hubungan lagi. So, if you wanna get married as soon as possible, you better go and found someone else, Mas.
Tidak ingin memperpanjang urusan dengan semua lelaki yang mendadak mendekati dirinya. Itu yang Bella terapkan sejak ia putus dengan Rakha. Perempuan itu membalas semua pesan di sosial medianya dengan singkat dan tidak membuka akses untuk siapapun mengenalnya lebih jauh. Bella juga tidak ingin beresiko menjalin hubungan yang pada akhirnya, ia justru akan menyakiti orang tersebut.
Ting!
@abdngr_rkh started following you
@abdngr_rkh want to sent you a message
Rakha Abdinegoro
Bella, aku nggak bisa lupain kamu
Aku janji kalo kamu kasih aku kesempatan lagi, aku bakal perbaiki hubungan kita
Please, Bell. Aku masih sayang banget sama kamu
Nggak ada perempuan sebaik kamu bell
Bella mendecih pelan membaca pesan Rakha. Lelaki itu masih saja berusaha. Bella sampai bosan membaca pesannya karena sudah berkali-kali Bella memblokir akun baru dengan nama Rakha. Lelaki itu tak kenal kata menyerah. Tetapi Bella juga tidak mengenal kata mengalah. Harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Rakha. Tidak akan Bella biarkan dirinya kembali terjebak dalam jeratan Rakha.
Arabella Zahra
Kamu udah habisin semua kesempatan yang aku kasih rakha
Mulai sekarang, aku minta kamu jangan pernah hubungin aku lagi
Aku merasa terganggu begitu juga pasanganku
Rakha Abdinegoro
Kamu udah punya pacar, Bell?
Arabella Zahra
Of course, aku kan udah pernah bilang, aku pengin nikah diumur 27
So, ketika kamu nggak bisa mewujudkan hal tersebut
Ada orang lain yang sigap gantiin posisimu
Rakha Abdinegoro
Fuck you bel
Aku tau kamu pasti nikah sama Bagas
Sejak dulu aku udah tau kalo kamu sama Bagas pasti punya sesuatu di belakangku
Arabella Zahra
Jangan sok tahu kamu rakha
Bagas bukan suamiku
Dan tolong berhenti hubungin aku
Aku sama sekali nggak tertarik sama kamu
Rakha Abdinegoro
Sialan kamu bel
Dasar sundal
Bella langsung memblokir akun Rakha saat lelaki itu masih ingin mengetikan balasan. Bella merasa jijik dengan kelakuan lelaki itu. Perempuan itu bergidik ngeri, bisa-bisanya ia dulu bucin dengan Rakha yang gila perempuan itu. Pantas saja Nora selalu memberikan ekspresi mual tiap kali Bella menceritakan tentang Rakha. Ternyata lelaki itu memang setidak layak itu untuk dipertahankan.
Ayah is calling
“Wa’alaikumsalam, Ayaaah. Ada apa?” sapa Bella sembari melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, pukul 4 sore. Sepertinya ini sudah waktunya ia pulang.
“Kok belum pulang? Kamu di mana? Motornya susah distater lagi? Ayah perlu jemput, Bell?” tanya Damar dari seberang sana.
“Nggak, Yah. Ini mau pulang kok, abis beli kopi,” jawab Bella sembari terkekeh pelan. Ayahnya langsung memberinya ultimatum untuk segera pulang sebelum kena omel Ibunya.
Bella mengendarai motornya pelan dan santai, ia tak ingin cepat-cepat sampai rumah. Toh, kegiatannya sama saja, mengerjakan tugas sekolah yang tiada habisnya. Motornya melewati jalanan yang samping kanan kirinya terhampar sawah. Perempuan itu berkendara selama 20 menit sebelum akhirnya sampai ke rumahnya. Ia menemukan sebuah mobil hitam ber-plat N di halaman rumahnya.
“Mobil siapa nih? Ayah lagi ada tamu keknya,” gumam Bella. Perempuan itu jadi bimbang harus masuk lewat mana. Ia memutar ke belakang rumah yang ternyata pintu yang terhubung dengan dapur itu masih terkunci. Mau tak mau, Bella akhirnya masuk lewat pintu depan yang jelas beresiko bertemu dengan tamu ayahnya.
Bella itu paling malas menghadapi tamu, apalagi jika ia tidak kenal dan memang tidak memiliki kepentingan apapun. Perempuan itu akan selalu bersembunyi tiap ada tamu, meski itu kurir paketnya sekalipun, kadang ia lebih memilih merengek pada ibunya agar wanita itu saja yang menemui kurir tersebut. Ibunya sampai lelah sendiri menghadapi kelakukan Bella yang lebih mirip anak kecil itu.
“Assalamu’alaikum,” sapa Bella singkat dengan niat langsung kabur meski akhirnya ia gagal juga.
“Wa’alaikumsalam, nah ini Bella yang paling sulung. Kalo Dimas memang lagi kuliah di luar kota, Dira juga. Jadi rumah sepi, karena cuma bertiga.” Itu suara Isabel. “Sini, Bella, kenalan dulu sama Bu Namira,” lanjut wanita itu.
Bella dengan langkah beratnya mengurungkan niat untuk masuk ke kamar tamu-kamar paling dekat dari pintu depan. Niat awalnya tadi, ia akan masuk dan sembunyi di ruangan tersebut.
“Bella, Ibu.” Bella mencium punggung tangan seorang wanita yang bernama Namira. Wanita yang sepertinya seumuran dengan Isabel. Bella juga mencium punggung tangan Isabel.
Damar muncul dari arah dapur sembari membawa sepiring kue brownis coklat. “Anak ayah udah pulang, gimana hari ini, Bell? Kerjaan lancar?” tanya pria itu dengan senyuman yang manis.
Bella ikut tersenyum dan menghampiri ayahnya. Perempuan itu mencium punggung tangan ayahnya. Damar mengusap puncak kepala putrinya sebelum akhirnya menarik tangan anak perempuan itu untuk ikut duduk di samping ibunya.
“Bella, ini Bu Mira tetangga ayah di KalTim dulu.” Damar memperkenalkan ulang sosok yang dipanggil Bu Mira. Bella menganggukan kepalanya, bingung juga harus menanggapi seperti apa karena dia tidak pandai mencari topik obrolan dengan orang baru.
“Bu Mira ini lagi nemenin anaknya survey lokasi buat bikin usaha. Anaknya punya usaha clothing line. Beliau ini ternyata masih saudaranya Pak Agam, Bell,” jelas Isabel dengan semangat. Bella hanya mengulas senyum kaku.
“Bella udah kerja berapa lama, Nak?” tanya Bu Mira.
Kelopak mata Bella mengerjap pelan, suara Bu Mira itu lembut banget. Khas ibu-ibu yang pas marahin anaknya justru keliatan disegani dan nggak perlu pakai otot biar anaknya nurut. Beliau punya aura yang karismatik sekaligus anggun. Bu Mira mirip ibunya Nora yang auranya ibu-ibu kajian. Bella sampai tertegun sejenak. “Udah tiga tahun, Bu,” jawabnya.
“Betah, Nak? Kerjanya enak nggak?”
Bella mengerjap dan terdiam selama beberapa saat sebelum ia berujar, “Hm. Semua kerjaan kayaknya ada enak dan nggak enaknya sih, Bu.”
Bu Mira tersenyum. “Nak Bella sudah punya calon?” tanyanya lembut.
Bella terbengong lagi melihat senyuman Bu Mira yang menurutnya manis sampai batin perempuan itu berkata, “Si ibu cantik begini, gimana anaknya ya?”
Bella menggeleng pelan. “Nggak ada, Bu. Baru putus sebulan yang lalu,” jawabnya sesantai mungkin namun menimbulkan keributan lain. Isabel sampai terbatuk mendengar jawaban putri sulungnya itu. Wanita itu sampai mendelik menatap garang anaknya yang dengan santainya mengambil sepotong kue brownis.
“Kamu pacaran?” tanya Bu Mira yang mendapat anggukan dari Bella. Bella pikir tipikal Ibu-ibu seperti Bu Mira ini pasti ingin punya menantu yang baik dan tidak punya riwayat dosa panjang seperti Bella. Jadi perempuan itu pasti bisa menggagalkan rencana perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya itu.
“Tapi sekarang udah nggak?” tanya Bu Mira lagi.
Bella menggelengkan kepalanya. “Nggak, Bu. Sekarang lagi fokus ke diri sendiri sih, belum pengin punya hubungan lagi,” ucapnya.
“Kemarin putusnya karena apa, Nak?”
Kening Bella berkerut meski hanya sekilas ia merasa bingung mengapa Bu Mira ini penasaran sekali dengan hubungan masa lalunya ini. Bella melirik Isabel yang menatapnya dengan tatapan yang seolah berbicara, “Jangan ngomong yang nggak-nggak.”
“Dia selingkuh 2 kali sama perempuan yang sama,” jawab Bella seadanya.
Isabel memijat keningnya pelan, sedangkan Damar tersenyum dan mencoba mencari topik lain untuk mengalihkan fokus Bu Mira. “Bu Mira mau makan malam di sini sekalian kan?” tanya pria itu.
Berhasil. Fokus Bu Mira terlihkan. “Oh, apa nggak repot Pak Damar? Ini anak saya kayaknya masih lama survey tempatnya,” jawabnya.
“Nggak repot, Bu. Nanti biar kami siapkan, syukur-syukur anak ibu bisa sekalian ikut makan malam di sini. Bella kamu masuk kamar dan bersih-bersih, nanti turun bantu Ibu masak, ya, Bell,” ucap Damar yang langsung mendapatkan senyum masam dari Bella.
Bella mematut diri di depan cermin, perempuan itu mengenakan gamis warna coklat muda, sedangkan untuk jilbab ia memilih warna coklat tua. “Aman kok,” gumamnya sembari mengecek penampilannya sore ini.
Bella menghabiskan waktu 1 jam untuk membersihkan dirinya dan bersiap membantu ibunya, meski dirinya tidak yakin. Sejak putus dengan Rakha, Bella memang merubah penampilannya. Perempuan itu akan memakai pakaian panjang yang menutupi lekuk tubuhnya, kadang ia memakai jilbab, kadang juga tidak. Hal itu justru membuat kedua orang tuanya senang karena melihat anak sulung mereka sudah mulai belajar untuk menjadi lebih baik.
Adzan maghrib berkumandang kala Bella sampai di dapur. Isabel yang melihat putrinya itu langsung menghampiri dan mencubit perutnya pelan. “Telat kamu, Bella. Ibu udah kelar masak, kamu malah baru turun. Kelamaan di kamar kamu mah,” omel ibunya.
Bella meringis meminta bantuan pada sang ayah. “Bella tolong siapin sisanya, ya? Ayah sama ibu mau sholat maghrib dulu sama bebersih. Kamu siapin meja sama tata makanan, ya?” ujar Damar.
Damar dan Isabel berlalu meninggalkan Bella yang mulai membersihkan meja makan dan menata makanan yang sudah tertuang di masing-masing wadah. Bella sedang datang bulan, hari ke 5 dan perutnya hari ini sebenarnya tidak terlalu baik-baik saja. Ibunya memasak makanan yang cukup menggugah selera. Tetapi tidak dengan selera makan Bella yang sedang tidak jelas.
30 menit kemudian Isabel datang membawa serta wangi sabun buah-buahan yang segar. Ia sudah selesai membersihkan diri dan tampil lebih segar. Wanita itu menuangkan opor ayam yang masih di dalam panci. “Bella, ini lauknya.” Isabel mengoper semangkuk opor ayam yang mengepulkan aroma gurih pada Bella. Perempuan itu menerimanya dan membawanya ke meja makan.
“Kamu panggil Ayah sama Bu Namira di ruang tamu ya.”
Bella mengangguk dan berjalan menuju ruang tamu. Ayahnya dan Bu Namira tampak sedang berbincang santai.
“Ayah, Bu Mira, makan malam sudah siap,” beritahu Bella sopan.
“Oh, sudah siap ya? Kebetulan sekali,” sahut Damar sambil berdiri. Bu Namira ikut berdiri dengan anggun.
“Mari, Nak Bella,” ajak Bu Mira dengan senyum lembutnya. Mereka bertiga berjalan menuju ruang makan. Bella berjalan lurus melewati ruang makan menuju dapur, Ia membuka kulkas, matanya menyelisik isinya tanpa minat. Di rak paling bawah, ia menemukan beberapa buah alpukat yang tampak matang. Keningnya mengerut tipis, memikirkan apa yang bisa ia buat dengan buah tersebut. Sayangnya, Bella tidak menemukan sekotak pun susu di dalam kulkas. Bella menghela napas pelan, menutup pintu kulkas dengan perlahan. Nafsu makannya tiba-tiba menguap.
Saat Bella kembali dari dapur, sekilas perempuan itu dapat melihat Damar yang berdampingan dengan seorang pemuda yang Bella percayai itu adalah anak Bu Mira. Bella memasuki ruang makan dan duduk di samping ibunya, berseberangan dengan anak Bu Mira.
“Ini anak saya Tarmiji. Miji, ini Om Damar tetangga kita dulu yang pernah jadi guru les privat kamu. Ini Tante Isabel istrinya dan itu Bella anak sulung mereka.” Bu Mira memperkenalkan putra sulungnya yang ditanggapi dengan baik oleh Damar dan Isabel. Lain dengan Bella yang hanya tersenyum singkat dan tidak berminat menatap wajah Tarmiji.
“Miji ini yang punya clothing line Al-Khafi yang sempat Bu Mira ceritakan, bukan? Fokusnya ke pakaian muslim ya, Nak Miji?” tanya Damar.
“Betul sekali, Om. Al-Khafi ini usaha kecil-kecilan saya sama teman di Pasuruan. Kita fokus ke pakaian muslim lelaki seperti koko dan thobe yang desainnya cukup simple tapi masih bisa tampil elegan dan exclusive. Cocok juga buat dipakai keseharian, sekarang kan pasti ingin tampil seperti itu,” jawab Tarmiji ramah. Matanya melirik Bella yang makan dengan tenang di seberangnya. Ia yakin betul, perempuan ini adalah gadis yang sama dengan yang ia temui di Bandung.
“Wah, bagus sekali idenya. Sekarang anak muda juga banyak yang sadar akan pentingnya berpakaian sesuai syariat tapi tetap stylish,” puji Isabel antusias, sesekali melirik Bella di sampingnya yang makan dengan tenang tanpa berminat dengan obrolan. Isabel sampai gemas dalam hati karena anaknya ini tidak tertarik untuk menjalin hubungan lebih jauh dengan Tarmiji. Padahal Isabel inginnya, Bella ikut antusias dengan makan malam hari ini. Siapa tahu kan, ia jadi bisa menjodohkan Bella dengan Tarmiji.
“Alhamdulillah, Tante. Itu juga salah satu visi kita. Kita pengen anak muda tetap bisa tampil keren tanpa melupakan identitas muslimnya,” sahut Miji.
“Al-Khafi, nama yang Islami sekali, Ada artinya sendiri?" timpal Damar. "Pasti di Pasuruan banyak peminatnya ya?”
“Ada, Om. Al-Khafi itu salah satu nama surat di Al-Qur’an. Artinya kurang lebih 'para penghuni gua'. Kita ambil filosofinya tentang persahabatan dan perjuangan. Alhamdulillah, kita punya pelanggan setia sendiri. Ini lagi coba buka cabang di Purwokerto. Kita lihat potensi pasarnya seperti apa,” jelas Miji dengan antusias.
“Wah, dalam sekali artinya," komentar Isabel terkesan. “Kalian berdua yang mendirikan usaha ini? Terus kenapa pilih Purwokerto? Kayaknya jauh sekali.”
“Iya, Tante. Saya bagian desain dan marketing, teman saya di Pasuruan bagian produksi. Saya ke sini itu niatnya mau survei pasar dulu, Tante. Sekalian nemenin Mama yang juga mau silaturahmi ke kakek di sini,” jawab Tarmiji.
Bella terus menyuapkan nasi, gerakannya terkesan pelan. Ia mendengarkan percakapan tentang clothing line muslim, nama brand yang terdengar religius, dan rencana Tarmiji di Purwokerto. Ia tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi. Pikirannya masih dipenuhi rasa hampa dan keinginan untuk segera menyendiri. Ia hanya menjadi pendengar yang baik.
Tarmiji dengan semangat menjelaskan lebih detail tentang desain koko dan thobe Al-Khafi, pemilihan bahan, dan strategi marketing mereka. Pandangannya sesekali tertuju pada Bella yang duduk di seberang meja, mengamati wajahnya yang tanpa ekspresi. Ia ingat jelas emosi yang meluap dari gadis itu di Bandung. Perbedaan itu membuatnya semakin penasaran, namun ia tetap menjaga sopan santun dan membiarkan Bella dengan dunianya sendiri. Suasana hangat percakapan di meja makan kontras dengan keheningan Bella.
•••
-That's Why He My Man-