-That's Why He My Man-
•••
Can I love someone again?
Can I hear you say that I'm pretty?
If the opportunity comes for just one day
I will shine with all my might
(Drama – IU)
Usai makan malam yang hampir 1 bulan berlalu. Bella tidak lagi menemukan Isabel yang ngotot menjodohkan dirinya dengan anak teman-teman wanita itu. Hal itu justru menjadi tanda besar yang membuat Bella resah. Ia memikirkan apa yang sedang Isabel rencanakan.
Bella tengah berada di kamarnya dan membuat administrasi PTS. Perempuan itu menikmati weekendnya dengan bekerja dengan tampilan rapi dan wangi. Ketukan di pintu membuat senandung Bella terhenti.
Damar masuk dan membawa potongan buah apel dan anggur di dalam mangkok kecil. Ia menaruhnya di atas meja nakas. “Jadi, boleh ayah simpulkan, Bell?” ujarnya tiba-tiba.
“Apa, Yah?” tanya Bella bingung. Merasa tidak mengerti dengan arah pembicaraan ayahnya.
“Rambut kamu yang panjangnya sepinggang itu sekarang cuma sampai setengah lengan kamu itu karena putus? Dan perubahan kamu yang sekarang ini juga karena itu?” Damar sebenarnya bukan tipe yang ingin mencampuri urusan anaknya. Hanya saja, istrinya itu cerewet dan menyimpan rasa penasaran besar terhadap Bella yang harus dituntaskan dengan cara apapun.
“Hm, semua orang pasti bakal nemuin hidayahnya, Yah. Mungkin aku sekarang udah nemuin itu dan pengin berubah jadi perempuan yang lebih baik lagi. Aku nggak sekaya, sepintar dan secantik perempuan di luar sana yang sudah sukses di usia sekarang ini. So, aku cuma pengin memperbaiki diri aja,” jelas Bella.
Perempuan itu menemukan kenyamanan pada rutinitas dan penampilannya setelah putus. Bella juga mulai rajin mengikuti berbagai macam kegiatan; dari seminar, webinar, maupun pelatihan lain. Ia mengisi waktunya sepadat mungkin agar tidak ada kekosongan dan berakhir mengingat masa lalunya. Bella ingin menjadi sosok yang baru tanpa mengingat sosok Rakha dihidupnya.
Damar terdiam. Ia memahami apa yang putrinya lakukan merupakan hal baik dan tidak sepantasnya juga ia meragukan perubahan tersebut. Hanya saja, Damar jadi kehilangan sosok ceria Bella. Perempuan itu jadi semakin sibuk dan jarang bercengkerama dengan ia maupun Isabel.
“Ayah nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja kok.”
Damar tersenyum. “Iya ayah ngerti, tapi jangan sampai kamu lalai jaga kesehatan juga, ya? Kamu itu sekarang sibuk banget, tiap pulang kerja langsung di kamar mulu. Keluar buat makan terus masuk kamar lagi,” ucapnya.
“Yaa, mau gimana lagi, Yah? Bulan kemarin lagi hectic banget. Event agustusan, terus ini PTS. September ini bentar lagi ANBK abis itu ada SAS. Job desk kerjaanku masih tetep sama walaupun ganti TA, Yah. Apalagi sekarang sekolah nambah ekstrakurikuler baru dan pembina yang ditunjuk itu aku, makin sibuk deh tuh. Belum lagi jadwal lesku juga mulai banyak,” tutur Bella menjelaskan kegiatan di sekolahnya.
“Kalo capek dan udah nggak mau lanjut lagi, berhenti aja, ya, Bell? Nggak apa-apa, di sini ada Ayah yang bakal urus kamu.” Damar mengusap lembut kepala putrinya.
“Iya, Ayah. Aku masih bisa kuat kok,” balas Bella.
“Ayah sebenernya ada sesuatu yang perlu dibicarakan sama kamu, nggak harus sekarang tapi Ayah pengin kita bicarakan hal ini dengan kepala yang dingin dan keadaan yang tenang. Sekarang kamu lagi sibuk, jadi besok-besok aja,” ujar Damar yang membuat Bella penasaran. Namun urung bertanya karena pria itu berlalu dari kamarnya.
Bella kembali menatap layar laptopnya yang menampilkan proposal PTS. Jemarinya kembali bergerak lincah di keyboard dan melanjutkan aktivitasnya. Ia harus segera menyelesaikan administrasi ini sebelum hari senin datang.
Lama Bella berkutat dengan pekerjaannya, perempuan itu menghentikan sejenak tarian jemarinya. Ia meregangkan tubuh dan menatap pantulan dirinya di cermin. “Ya Allah, kusut banget sih aku. Jodohku masih mau nggak ya kalo tau aku kek gini,” gumamnya.
Bella mengusir pikirannya soal pasangan. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Untuk apa ia memikirkan hal-hal seperti itu ketika dirinya saja sudah pusing dengan pekerjaannya. “Keluar deh, cari tempat nugas baru,” monolognya di sabtu siang ini.
Bada dzuhur, Bella benar-benar merealisasikan keinginannya. Perempuan itu pamit pergi keluar untuk mencari suasana baru. Dalam perjalanan, Bella menghela napas. Dulu mana pernah ia diperbolehkan untuk keluar di hari weekend seperti ini. Rakha pasti melarangnya dengan alasan boros uang, boros bensin. Sekarang Bella sudah tak perlu ijin dari Rakha. Perempuan itu bebas menentukan apa yang ingin ia lakukan.
Bella sampai di depan sebuah kafe yang menawarkan sebuah spot baca. Saat perempuan itu masuk, lonceng di atas pintu berbunyi. Ia disambut ramah oleh seorang customer service. “Siang, Kak. Silahkan mau pesan apa?” tanya seorang perempuan yang lebih muda usianya dari Bella.
Bella tersenyum sopan. “Saya mau choco milk, rice bowl chicken teriyaki sama air mineral juga ya, Kak,” tuturnya kemudian menyerahkan kartu atm-nya untuk membayar pesanan. Setelah itu Bella langsung menuju meja kosong di sudut ruangan yang dekat dengan rak buku dan jendela yang menampilkan suasana kafe bagian outdoor.
Bella meletakkan tasnya di kursi dan mengeluarkan laptopnya. Tanpa basa-basi ia melanjutkan pekerjaannya. Suasana kafe ini cukup tenang. Bahkan orang-orang yang menempati bagian luar kafe tampak sibuk dengan buku bacaan masing-masing. Bella suka dengan keheningan seperti ini. Fokusnya tidak terpecah sampai menit ke 20, seorang pelayan mengantarkan pesanannya.
Bella mengalihkan pandang ke arah luar. Satu per satu pelanggan mulai meninggalkan kafe. Tatapan perempuan itu terkunci pada seorang lelaki dengan kemeja oversized warna denim, bawahan celana putih dan sepatu warna senada. Lelaki itu sepertinya sedang membuat konten unboxing sebuah paket buku.
Bella memperhatikannya dengan seksama. Beberapa kali lelaki melakukan sebuah kekeliruan dalam membuka paket. Hal tersebut membuat Bella tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum geli. Sebenarnya perempuan itu ingin tertawa, tetapi ia menahannya sampai badannya ikut bergetar.
Melihat betapa lucunya ekspresi kesal lelaki itu, Bella sampai menyeka setitik air mata yang lolos. Perempuan itu menarik napas, mengumpulkan banyak oksigen dan menahan dirinya lagi untuk tidak melepaskan tawanya.
Bella jadi teringat dengan kejadian minggu lalu saat dirinya berada di taman. Ia melihat seorang lelaki yang juga tengah membuat konten. Bella masih ingat bagaimana penampilan lelaki itu. Lelaki itu mengenakan kemeja putih oversized dan celana jeans warna biru langit, ia mencangklong tas ranselnya.
Bella juga masih ingat jelas betapa kesulitannya lelaki itu untuk mengambil gambar. Perempuan itu bahkan sampai menahan tawa untuk tidak terlepas dan mengacaukan konsentrasi lelaki itu. Sebenarnya jarak keduanya saat itu cukup jauh, mungkin sekitar 3 meter. Tetapi Bella masih ingat berapa kali lelaki itu mondar mandir untuk mengecek hasil gambar dan berapa kali langkahnya tersandung.
Bella bahkan sampai merekam lelaki itu dan mengirimkannya pada Nora. Perempuan itu langsung mengecek ponselnya. Ia mencari riwayat chatnya dengan Nora minggu lau. Ditontonnya kembali video yang ia kirimkan pada Nora yang masih membuat Bella tersenyum geli ketika menontonnya lagi.
Bella melirik kembali lelaki yang berada di luar kafe. Ia membandingkan dengan lelaki yang berada di taman. Sepertinya mereka adalah dua orang yang sama. Sama-sama membuat Bella ingin tertawa sampai menangis saking lucunya.
Bella menggelengkan kepalanya. Mengalihkan pandangan dan mencoba menikmati makanannya agar tidak terus memikirkan kejadian lucu itu. “Kira-kira hasil video unboxing-nya kayak apa, ya?” gumam Bella bertanya-tanya. Ia jadi penasaran sendiri.
Hampir 2 jam lebih Bella habiskan untuk menyelesaikan tugasnya. Perempuan itu merapikan meja dan juga mengecek penampilannya. Ia keluar dari kafe dan menatap area outdoor, lelaki yang ia lihat sudah tidak ada di kafe ini. Bella terkekeh geli mengingat kelakuan lelaki itu.
Saat sampai di rumah, Bella baru melepaskan tawa yang sejak tadi ia tahan. Perempuan itu tertawa sejadi-jadinya sampai tak sadar ada tamu yang tengah duduk di sofa. Jika bukan ditegur oleh Isabel, Bella pasti tak akan menghentikan tawanya.
“Bella! Kamu ini kenapa!? Pulang-pulang ketawa kayak orang kesurupan gitu. Ada tamu di sini, nggak sopan kamu!”
Bella seketika mengunci mulutnya. Ia berdehem beberapa kali berusaha meredam tawa yang ingin keluar setiap perempuan itu teringat dengan kejadian di kafe tadi. “Maaf ibu, maaf,” ujar Bella sembari mengangkat kepalanya perlahan.
Dua mata Bella seolah ingin keluar dari tempatnya ketika melihat sosok yang jadi tamu Isabel. “Loh itu kan cowok yang di kafe tadi!” batin Bella berteriak mendapati siapa yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Perempuan itu juga menangkap keberadaan Bu Mira. “Jangan bilang kalau itu anaknya Bu Mira!” Bella membatin lagi.
“Bella habis pergi kemana, Nak?” tanya Bu Mira ramah.
Bella mengulas senyum canggung, sebisa mungkin ia merubah ekspresi wajahnya. “Keluar sebentar, Bu. Tadi abis ambil paket juga di ekspedisi,” dustanya.
“Nah ini, Bu Mira, contoh jelas kenapa punya anak perempuan itu bikin pusing. Suka belanja-belanja, Bu. Saya jadi pening lihat paketnya menggunung,” ujar Isabel.
Bella mengerucutkan bibirnya. Ia saja jarang membeli barang secara online. Dalam satu tahun, bisa dihitung berapa paket yang datang atas nama Bella. Perempuan itu bahkan hampir tidak pernah membeli apapun untuk kepentingan pribadinya sejak pacaran dengan Rakha. Kecuali jika skincare perempuan itu habis, barulah Bella belanja. Baru-baru ini saja, Bella membeli sebuah sepatu pantofel baru untuk ia gunakan bekerja setelah mengenakan sepatu yang sama selama 3 tahun belakangan.
Bu Mira tersenyum. “Semuanya sama lah, Bu Is. Miji juga kadang belanja di online kok,” tuturnya.
Bella melirik Tarmiji yang juga menatap ke arahnya. Perempuan itu buru-buru mengalihkan pandangan dan berlari secepat kilat menuju kamarnya. Ia sampai tersandung ketika menaiki tangga. Isabel sampai pusing menghadapi Bella dengan kelakuannya yang menurut Isabel kadang minim sopan santun.
“Loh, Bella mana, Bu? Perasaan tadi pas ayah di dapur, ayah denger suara anaknya ketawa ketiwi keras banget.” Damar datang dari arah belakang membawa nampan berisi minuman dan potongan banana cake buatan Isabel.
“Lari masuk kamar itu. Kebiasaan kalo ada tamu sukanya ngumpet. Aku naik ke atas dulu, ya, Mas.” Isabel pamit dengan kedua tamu Damar.
Damar menyambung obrolan dengan Bu Mira dan Tarmiji yang ternyata akan kembali ke Pasuruan sedangkan Bu Mira tentu akan kembali ke Kalimantan. “Semoga selamat sampai tujuan, ya, Bu Mira, Nak Miji. Jadi, bisnis Nak Miji ini bagaimana akhirnya? Sudah sampai mana progress-nya?” ucap dan tanya Damar.
“Aamiin. Kedatangan saya kemari juga karena ada lain hal, Pak Damar. Ayo, Miji. Kamu mau bilang sendiri apa Ibu aja yang bilang?” tutur Bu Mira.
Tarmiji berdehem pelan. “Kalau, soal cabang di Purwokerto, setelah survei beberapa tempat, saya masih banyak pertimbangan. Pasar pakaian muslim di sana lumayan, tapi persaingannya juga ketat. Saya masih perlu banyak riset lagi sebelum memutuskan, Om,” jelasnya.
“Oh, begitu, Nak Miji,” timpal Damar mengangguk-angguk. “Bagus kalau kamu hati-hati dan tidak terburu-buru. Keputusan bisnis memang perlu banyak pertimbangan.”
Bu Mira menimpali dengan senyum lembut. “Betul, Pak Damar. Miji memang anak yang teliti. Tapi selain soal bisnis, kedatangan kami juga ada maksud lain yang lebih pribadi.”
Damar menatap Bu Mira dengan tatapan bertanya.
“Begini, Pak Damar.” Bu Mira menarik napas sejenak. “Selama kami berkunjung di sini, saya dan Miji sangat berterima kasih atas keramahan Bapak sekeluarga. Kami merasa sangat nyaman di rumah ini,” lanjutnya.
“Kami juga senang sekali Ibu dan Nak Miji berkunjung,” sahut Damar tulus.
“Terima kasih, Pak Damar. Saya dengan jujur ingin menyampaikan, secara khusus kalau putra saya … Miji merasa ada ketertarikan yang tulus pada putri Bapak, Bella,” ucap Bu Mira.
Damar terkejut. Ia tidak menyangka arah pembicaraan akan seperti ini. Bayangan tentang momen seperti ini memang terbesit beberapa kali dipikirannya semenjak Bella menjadi putrinya. Damar tidak menyangka ia akan dihadapkan dengan situasi ini secepat ini. Meski ia juga tak keberatan jika Tarmiji menjadi menantunya. Namun ia juga mempertimbangkan perasaan Bella. Pria itu ingin putrinya lah yang memang sudah siap mengenal lelaki baru.
Tarmiji menimpali dengan nada sopan namun sungguh-sungguh. “Benar, Om. Sejak pertama bertemu, saya merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Mbak Bella. Sejujurnya, makan malam sebulan yang lalu, bukan kali pertama saya bertemu dengan Mbak Bella, Om,” ucap lelaki itu.
“Maksud, Nak Miji?" tanya Damar, ia kurang mengerti dengan Tarmiji yang sepertinya pernah bertemu dengan Bella tanpa sepengetahuan pria itu.
“Kali pertama saya bertemu dengan Mbak Bella mungkin sudah ada 7 tahun yang lalu, Om. Saya nggak sengaja berada di satu hotel yang sama dengan Mbak Bella di Malang. Waktu itu Mbak Bella baru saja mendapat kabar kalau papanya meninggal,” ujar Tarmiji pelan-pelan ia menjelaskan.
Lelaki itu masih ingat ketika dirinya tengah berada di Malang dalam kegiatan seminar. Umurnya saat itu masih 18 tahun, Tarmiji muda bertemu dengan Bella yang berusia 20 tahun. Bella yang rentan usai mendapat kabar meninggalnya sang papa, terlihat sangat terpukul dan kesulitan berpikir. Perempuan itu menelpon temannya dan berencana ingin mengakhiri hidup.
“Pram, papa meninggal. Aku harus gimana, Pram? Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain papa, Pram. Ibu nggak pernah sayang sama aku. Ibu cuma sayang sama Dimas dan Dira. Aku … aku boleh susul papa nggak, Pram?”
Tarmiji ikut khawatir mendengar penuturan Bella yang berada di lift yang sama dengannya. Mereka keluar di lantai yang sama. Tarmiji berjalan pelan mengawasi pergerakan Bella yang terlihat lemas. Dapat lelaki itu dengar ketika Bella masuk ke dalam kamarnya perempuan itu sepertinya menabrak sesuatu yang berakhir pecah. Suara pecahan itu semakin membuat Tarmiji berdebar.
10 menit berlalu, Tarmiji masih terdiam menatap pintu yang tidak tertutup sempurna di hadapannya. Namun tak ada suara apapun yang ia dengar dari dalam sana. pemuda itu langsung menelpon petugas keamanan hotel dan melaporkan hal tersebut. Ia langsung menjelaskan semuanya dengan lugas dan meminta petugas untuk datang. Bersamaan dengan itu seorang lelaki keluar dari lift dan berlari menuju ke arah kamar yang di hadapannya. Lelaki itu masuk dengan terburu-buru, tak lama kemudian petugas keamanan hotel datang dengan petugas kesehatan. Mereka juga masuk ke dalam sana.
Tarmiji dapat mendengar suara kepanikan dari seorang lelaki yang sepertinya mendapati Bella tenggelam dalam bath tub. Tarmiji muda ikut merasa khawatir dengan perempuan yang tak sengaja ia temui itu. Ketakutan menyergap dirinya, ia memutuskan masuk ke dalam kamarnya dan melaksanakan sholat isya. Berharap perempuan itu dalam keadaan baik-baik saja.
“Dia baik-baik aja, Nak Miji?” tanya Damar dengan raut sedihnya.
Tarmiji mengangguk. “Mbak Bella selamat, Om. Lima tahun kemudian saya kembali bertemu Mbak Bella di pesisir pantai. Waktu itu saya baru saja pulang dari mengisi acara seminar dan memang diajak teman saya untuk main ke pantai. Dia sepertinya baru putus dengan pacarnya dengan alasan diselingkuhi. Sebelum makan malam kemarin, saya bertemu Mbak Bella di Bandung saat dia putus dengan pacarnya dengan alasan yang sama, Om,” ucapnya.
Takdir memang tidak terduga. Tarmiji adalah orang yang selama ini Bella cari. Sosok yang memberinya satu buah susu kotak di pantai saat perempuan itu. Sosok yang menjadi tamengnya selama perempuan itu bersembunyi dari Rakha.
Tarmiji juga tidak menyangka akan kembali bertemu dengan Bella di makan malam itu. Selama ini ingatan tentang Bella, bagi Tarmiji adalah memori yang membuat dada Tarmiji ikut sesak ketika mengingatnya. Tarmiji selalu menemukan Bella dengan sisi terapuhnya. Tak pernah ia temukan perempuan itu dengan sebuah keceriaan.
Berangkat dari situ, Tarmiji meminta pendapat dan izin sang ibu jika dirinya ingin mencoba bertaaruf dengan Bella. Bu Mira tentu dengan senang hati memberikan puranya izin karena ia berbesan dengan orang yang dikenalnya. Wanita itu bahkan mengutarakan keinginannya untuk datang ke rumah ini sebelum mereka bertolak ke Jawa Timur.
“Saya nggak pernah tau anak saya melewati banyak momen menyesakkan seperti itu sendirian, hati saya sakit mendengarnya, Bu. Saya sangat berterimakasih pada Nak Miji yang mungkin sudah Allah gariskan untuk terus bertemu dengan Bella. Terimakasih sudah menemani dan menolong Bella, Nak Miji.” Damar mengucapkannya dengan nada bergetar. Ia mengelus dadanya yang sesak, membayangkan putrinya menangis tersedu-sedu di kota orang sendirian.
“Jadi, Nak Miji ingin bertaaruf dengan Bella dulu?” Damar mencoba kembali ke topik awal mereka.
“Betul Pak Damar.” Bu Mira mengambil alih. “Sebelum kami kembali ke Kalimantan dan Pasuruan, kami ingin menyampaikan niat baik. Apakah Bapak keberatan jika Miji ingin bertaaruf dengan Bella?” tanyanya.
Damar terdiam sejenak, Ia tahu Bella baru saja putus dan belum menunjukkan tanda-tanda ingin menjalin hubungan baru.
“Bu Mira, Nak Miji, saya dan istri saya sangat menghargai niat baik kalian,” jawab Damar dengan hati-hati. “Tapi Bella baru saja mengalami masa sulit setelah putus dari hubungannya yang cukup lama. Saya khawatir dia belum siap untuk memikirkan hal yang serius seperti taaruf.”
Tarmiji mengangguk penuh pengertian. “Saya sangat memahami itu, Om. Saya tidak terburu-buru dan tidak ingin memaksa. Saya hanya ingin menyampaikan niat baik saya dan meminta izin untuk mengenal Mbak Bella lebih dekat sesuai dengan syariat Islam, jika Mbak Bella dan keluarga berkenan. Saya siap menunggu waktu yang tepat bagi Mbak Bella.”
Bu Mira dengan lembut kembali berujar, “Betul, Pak Damar. Kami hanya menyampaikan harapan. Kami percaya bahwa Bella adalah wanita yang baik, dan Miji memiliki niat yang tulus.”
Damar menghela napas pelan, menimbang-nimbang. Ia melihat kesungguhan di mata Miji dan ketulusan dari Bu Mira.
“Baiklah, Bu Mira, Nak Miji,” kata Damar akhirnya. “Saya sangat menghargai kejujuran dan niat baik kalian. Saya akan menyampaikan hal ini kepada Bella. Keputusannya tentu ada di tangannya. Kami sebagai orang tua tidak bisa memaksakannya. Tapi saya berterima kasih atas kepercayaan kalian kepada keluarga kami.”
“Terima kasih banyak, Pak Damar,” ujar Bu Mira lega. Tarmiji pun mengucapkan banyak terimakasih pada Pak Damar. Bagi lelaki itu, Pak Damar adalah mentor terbaiknya selama ia SMP.
Di lain tempat Isabel tengah mengomeli anaknya yang masih asyik membaca novel. “Bella, mau sampai kapan kamu kayak gini?” tanya Isabel.
“Kayak gini gimana sih, Bu?” Bella balik bertanya. Ia tak pernah mengerti jalan pikiran ibunya. Baginya, ia selalu saja salah di mata Isabel.
“Kamu nggak bisa selamanya hidup sama ayah sama ibu, Bell. Umur kamu ini udah cocok untuk punya suami dan an─”
“Kenapa cuma aku yang dituntut, Bu? Kenapa Dimas dan Dira nggak dituntut untuk nikah juga? Selama ini aku selalu nurut kata ibu. Ibu minta uang gajiku untuk tetap dipakai bayar pengeluaran rumah dan adik-adik, aku selalu nurut, padahal ada ayah yang kerja juga. Aku nggak kasih uangku karena ayah bilang kalo ayah masih sanggup buat biayain kuliah Dimas dan Dira. Kalo ibu keberatan sama keberadaan aku di sini, aku bisa pergi.”
“Nggak gitu, Bella. Ibu cuma pengin liat kamu nikah, Bell. Ibu takut, kalo ibu nggak bisa liat kamu ketemu sama orang yang tepat. Papa kamu juga pasti pengin liat kamu menikah. Ibu nggak mau ninggalin kamu dengan orang yang nggak bisa jaga kamu, Bell. Selama ini, ibu juga kangen papa. Papa kamu sebenarnya kasih hadiah 1 buah rumah. Papa kamu penginnya kamu huni rumah tersebut sama suami kamu. Ayah sama ibu nggak pernah absen buat cek keadaan rumah kamu,” jelas Isabel.
“Ibu nggak bisa maksa aku buat nikah, Bu. Selama ini aku udah nurutin semua kemauan ibu, apa susahnya sih ibu kasih aku kelonggaran buat ngerasa bebas? Aku capek, Bu. Aku juga pengin nikmatin hidupku sendiri,” tutur Bella sedih. Ia selalu ingin keluar dari rumah ini setiap ada Damar dan Dira di rumah.
Bella tak pernah merasa dirinya mendapat kasih sayang yang adil dari Ibunya. Sejak kecil, ia terbiasa mengalah dan menurut dengan semua perintah Isabel. Cara Isabel dan Angger dalam mendidik anak berbeda. Angger ingin anak-anaknya tumbuh dengan pikiran yang luas dan mendapat semuanya sama rata dan adil. Namun adil dalam pandangan Isabel berbeda.
Sebagai anak pertama Bella dituntut untuk selalu membagi rata semua yang ia punya pada adiknya. Ketika Angger tidak dapat lagi memberikan les pada anak-anaknya, Isabel menyisihkan uang untuk membayar guru les private untuk Dimas dan Dira. Bella tidak mendapatkan hak tersebut, karena ia seorang kakak, jadi dirinya harus bisa belajar mandiri.
“Ibu nggak mau tau lagi, Bella. Kalo sekiranya nanti ada seorang lelaki yang datang dan meminta kamu dari ayahmu, ibu harap kamu nggak menolak. Ibu selama ini nggak pernah protes setiap kamu keluar uang untuk pergi liburan dengan teman-temanmu. Tapi ibu harap sekali ini saja, kamu nurut dengan ibu.”
Isabel keluar dari kamar anaknya. Meninggalkan Bella yang air matanya meluruh saat pintu kamarnya ditutup. Perempuan itu terisak pelan, ia pikir hidupnya akan mudah ketika ia mencoba menjadi lebih baik. Namun ternyata banyak masalah yang datang silih berganti menghampiri dirinya. Tetapi ia ingat, tidak ada jalan yang mudah untuk seorang manusia yang ingin menjadi lebih baik. Mungkin inilah jalan yang harus ia tempuh. Perempuan itu meraih tisu di atas meja nakas. Ia membersihkan sisa air mata di wajahnya sebelum keluar dari kamar. Bella yakin, masih ada tamu ayahnya di bawah sana.
“Bella, tolong duduk di sini bentar, Nak,” pinta Damar dengan lembut ketika mendapati putrinya keluar dari kamar dan turun ke ruang tamu. Bella menurut tanpa bantahan, perempuan itu duduk di sebuah single sofa. Di sofa lain, Bu Mira duduk dengan tenang, dan Tarmiji duduk sopan di samping ibunya.
Damar menarik napas sejenak, menatap putrinya dengan tatapan lembut namun sedikit serius. Sebisa mungkin ia tenang dalam menyampaikan niatan, Bu Mira dan Tarmiji. “Ada hal yang mau kami sampaikan, Bella,” ucapnya.
“Ada apa, Ayah?” tanya Bella pelan, matanya melirik Bu Mira dan Tarmiji sekilas.
Bella mengerutkan kening, menatap ayahnya dengan bingung. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Bu Mira dan Tarmiji di sofa seberang.
Bu Mira tersenyum lembut pada Bella. “Nak Bella, kami berdua sebenarnya ingin berpamitan. Rencananya besok pagi saya dan Miji akan kembali ke Jawa Timur.”
“Oh itu, kupikir apa,” batin Bella. Perempuan itu mengangguk pelan. “Oh, begitu. Semoga selamat sampai tujuan, Bu, Mas Miji,” ucapnya.
“Terima kasih, Nak Bella,” jawab Bu Mira. Tarmiji mengangguk sopan dari samping ibunya. Bu Mira menarik napas sejenak dan menatap Bella dengan tatapan penuh arti. “Begini, Nak Bella. Selama kami berkunjung di sini, Ibu sering sekali memperhatikan Bella. Dari dulu, ibu ingin punya anak perempuan, alhamdulillah ibu dikasihnya 2 bujang. Setiap lihat Nak Bella, ibu jadi tertarik untuk lihat kamu terus, tapi dengan versi yang berbeda. Ibu ingin bisa panggil kamu menantu ibu.”
Bella terdiam sejenak, menatap Bu Mira dengan bingung, lalu mengalihkan pandangannya pada Tarmiji yang menundukkan pandangannya.
“Ketertarikan?” gumam Bella pelan.
“Iya, Nak Bella,” lanjut Bu Mira dengan lembut. “Sebelum kami kembali, Miji ingin menyampaikan niat baiknya ... ia ingin bertaaruf denganmu.”
Mata Bella melebar sedikit, menunjukkan keterkejutannya. Ia menatap Tarmiji dengan tatapan yang sulit diartikan. Tarmiji mengangguk tegas. “Benar, Mbak Bella. Saya merasa ada sesuatu yang baik pada Mbak, dan saya ingin mengenal Mbak lebih dekat sesuai dengan ajaran agama.”
Bella terdiam, mengingat desakan ibunya untuk segera menikah. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya. “Begini, Ayah,” kata Bella tiba-tiba, memotong keheningan. Ia menatap Damar dengan tatapan yang asing. “Bella bersedia... tapi Bella ingin langsung menikah saja. Tidak perlu taaruf yang lama.”
Keheningan menyelimuti ruang tamu. Damar, Bu Mira, dan Tarmiji saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut yang sama. “Menikah, Nak?” tanya Damar memastikan apa yang ia dengar barusan. Pria itu benar-benar tidak menyangka dengan permintaan putrinya.
“Iya, Ayah,” jawab Bella dengan nada yang terdengar lebih mantap dari perasaannya yang sebenarnya. Ia kemudian menatap Bu Mira dan Tarmiji. “Jika Mas Miji bersedia, Bella ingin kita segera menikah saja.”
Bu Mira tampak terkejut namun kemudian menunjukkan senyum haru. “Nak Bella, apakah kamu yakin dengan keputusan ini?”
Tarmiji, yang sedari tadi diam, kini menatap Bella dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada keterkejutan, kebingungan, namun juga sedikit harapan di matanya. “Saya sangat menghargai kesediaan Mbak Bella. Tapi mungkin … mungkin kita bisa menjalani proses taaruf terlebih dahulu? Mengenal satu sama lain lebih dalam sebelum mengambil langkah yang lebih besar?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Damar mengangguk setuju dengan usulan Tarmiji. "Iya, Bella. Ayah rasa usulan Nak Miji ada benarnya. Menikah itu ibadah yang agung, tapi juga butuh persiapan dan saling mengenal. Bagaimana kalau kalian bertaaruf dulu selama ... mungkin tiga bulan? Selama itu kalian bisa saling berkomunikasi dengan didampingi keluarga, saling memahami visi dan misi hidup, sebelum memutuskan untuk menikah."
Bella terdiam sejenak, menimbang-nimbang usulan ayahnya. Sejujurnya, ia hanya ingin segera keluar dari rumah. Namun, ia juga menyadari bahwa menikah tanpa mengenal lebih jauh bisa menjadi masalah baru. Usulan taaruf tiga bulan mungkin bisa menjadi jalan tengah.
“Tiga bulan?” tanya Bella memastikan.
“Iya, Nak,” jawab Damar lembut. “Selama itu kalian bisa saling mengenal dengan lebih baik. Setelah itu, jika kalian merasa cocok dan mantap, kita bisa membicarakan pernikahan.”
Bella menghela napas pelan, lalu mengangguk. “Baik, Ayah. Bella setuju. Taaruf selama tiga bulan, dan setelah itu ... kita lihat bagaimana kelanjutannya.” Ia menatap Tarmiji dengan sedikit keraguan namun berusaha tersenyum tipis. “Mas Miji bersedia?” tanyanya.
Tarmiji menunjukkan senyum lega. “Alhamdulillah. Saya sangat bersedia, Mbak Bella. Terima kasih atas kepercayaannya, Om.”
Bu Mira tersenyum haru. “Alhamdulillah. Keputusan yang baik. Semoga Allah melancarkan semuanya.”
Damar menghela napas lega dan tersenyum haru. “Alhamdulillah. Kalau begitu, kita bicarakan langkah selanjutnya bagaimana baiknya,” ucapnya.
Malam hari setelah Bu Mira dan Tarmiji pulang. Bella berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya dalam kegelapan. Bella menggigit bibir bawahnya, matanya menerawang. Ia mengulang-ulang percakapan yang masih hangat tadi di benaknya. “Menikah tiga bulan lagi,” bisiknya lirih. Keputusan itu terasa begitu tiba-tiba, impulsif. Ia ingat jelas tatapan terkejut ayahnya, senyum lembut Bu Mira, dan ekspresi Tarmiji yang sulit dibaca.
Sebuah keraguan besar menghantamnya. Apakah ini benar-benar jalan yang ia inginkan? Apakah ia bisa membangun sebuah hubungan dengan seseorang yang baru dikenalnya, hanya karena ingin keluar dari rumah dan menghentikan desakan ibunya?
Kadang hatinya masih terasa perih mengingat Rakha. Kenangan tentang kebersamaan mereka, meskipun diwarnai pengkhianatan, masih membekas. Namun, di tengah keraguannya, muncul secercah tekad. Ia sudah mengatakan 'ya'. Ia tidak ingin mengecewakan ayahnya, dan ia melihat ketulusan di mata Tarmiji. Mungkin, dengan menjalani proses taaruf ini dengan pikiran terbuka, ia bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang baru. Ia harus mencoba. Ia harus meneguhkan pilihannya.
Bella membalikkan tubuhnya, mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan wajah Tarmiji, dengan senyum sopannya, terus berputar di benaknya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi dalam tiga bulan ke depan, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjalani proses ini dengan sungguh-sungguh.
Takdir memang sangat lucu. Ketika Bella mati-matian menolak ajakan kencan dengan para lelaki di media sosialnya. Justru Tuhan mengirimkan seseorang yang langsung mengajaknya menjalin ikatan suci. Mungkin Tuhan ingin menunjukkan bahwa Bella masih patut untuk merasa jatuh cinta lagi dan tidak semua lelaki itu sama. Mungkin juga Tuhan ingin Bella mengerti, bahwa Dia mengirimkan Tarmiji padanya karena lelaki itu akan jadi sosok yang tepat untuknya. Apakah ia bisa merasakan rasanya jatuh cinta lagi?
•••
-That's Why He My Man-