-That's Why He My Man-
•••
I'm overthinking about you
Hoping but knowing it's not true
I wish you didn't find somebody
'Cause maybe you'd be thinking about me
And how am I meant to forget you
When you're the favorite thought in my mind?
I hate it, but I know I can't choose
I guess loving is a game I lose
'Cause I keep overthinking about you
(Overthinking About You – Keenan Te)
“Bu Bell.”
Bella tengah fokus dengan ponselnya ketika seorang anak perempuan memanggil dirinya. “Gimana, Pita? Ada yang masih belum ngerti?” tanya Bella.
Pita mengangsurkan buku tulis matematikanya pada Bella. “Ini cara ngerjainnya sama kaya yang di contoh soal?” tanyanya.
Bella mengangguk singkat. “Iya, angka yang ini dimasukin ke rumus fungsinya. Ini kan di contoh soal itu rumus fungsinya …” Bella menjelaskan dengan teliti, meski ini bukan mata pelajaran yang ia ampu. “Nah, udah paham?” tanya Bella.
Pita mengangguk senang. “Paham, Bu. Makasi ya, Bu,” ucapnya yang kemudian kembali duduk dan mengerjakan tugas matematikanya dengan tenang.
“Ibu, aku capek.” Luthfi masuk ke dalam kelas bersama teman-temannya yang lain.
Bella mengulas senyum kecut. “Saya juga capek, Lufi,” ujarnya.
“Boleh ke kantin nggak, Bu? Beli minum gitu. Janji deh, Bu. Abis ini aku langsung kerjain tugas dari Bu Billa,” usul Luthfi.
“Makanya kamu jangan main bola siang-siang. Udah tau saya masuk kelasmu, kamu harusnya ya ikut masuk. Malah ngeyel tetep main.”
Luthfi hanya meringis tanpa dosa. Anak itu mengeluarkan buku catatan matematikanya dan hendak menulis. “Beli minum dulu sana, kalian tuh astaga keringetnya itu loh,” ujar Bella.
Perempuan yang hari ini menggunakan blouse biru muda dengan bawahan celana hitam itu tampak tersiksa dengan aroma tidak sedap yang menguar dari badan anak-anak. “Saya pusing lama-lama di sini,” ujar Bella lagi.
Bella memutuskan untuk keluar dari kelas 8, ia duduk di teras kelas dan menunggu mereka selesai mengerjakan tugas. “Bu, Jimjim mau tanya dong. Bilangan prima itu apa, Bu?” tanya Haazimah.
“Em, bilangan prima tuh bilangan yang faktor pembaginya itu angka 1 sama bilangan itu sendiri. Contoh kaya 2, 3, 5, 7 dan seterusnya.”
“Oh, makasi, Bu Bell. Aku udah paham sekarang.” Haazimah kemudian masuk kembali ke dalam kelas.
Bella sendirian di luar, menatapi langit biru yang siang ini cerah dan bersih. Awan putih sepertinya sedang tidak ingin menghalangi sinar matahari, membuat teriknya semakin terasa. “Siang-siang gini kalo beli es enak sebenernya,” gumam Bella pelan sembari memikirkan uang yang tersisa di dompetnya. Bella menggeleng pelan, ia tidak boleh tergoda dan berakhir membeli jajan. Ia harus menabung dan melunasi cicilan motornya.
Ting!
Sunshine
Sayang kamu ada dana nggak?
Akhir bulan April nanti aku boleh pinjem 100?
Buat jaga-jaga sih, takutnya aku belum gajian
Bulan lalu gajiku kepake buat nambal kekurangan pengeluaran
Bahu Bella merosot. Perempuan itu membaca notifikasi pesan tersebut. Namun jemarinya belum tergerak untuk membuka dan membalasnya. “Gimana bisa saving money kalo kaya gini,” gumamnya.
Bella beranjak dari duduknya, ia melangkah menuju pintu ruang kelas 8. “Udah selesai semua belum?” tanyanya.
“Dikit lagi, Bu Bell. Nanti aku yang anter bukunya deh, Bu,” ucap Wawa si ketua kelas. Bella mengacungkan jempolnya kemudian berujar, “Yaudah saya ke kantor dulu, kalian jangan ribut.”
“Bu Bell, besok ujian praktek IPAnya apa?” Nadia dari kelas 9 bertanya pada Bella yang melewati kelasnya.
“Sementara saya ajuin praktikum pakai mikroskop dulu, ya. Paling nanti praktikum yang mudah aja, liat lapisan epidermis bawang merah. Harusnya kalian ujian praktiknya itu rangkaian listrik tapi kayaknya materi kalian aja belum siap,” jelas Bella.
“Dulu waktu Pak Remi praktikum IPAnya bikin es krim, Bu. Masa kita enggak,” tutur Adela.
“Saya punya planning sendiri, Dela. Lagipula kalau bikin es krim, kelas kalian malah berantakan. Saya nggak mau bikin guru lain terganggu karena kelas kalian kotor,” balas Bella. Dia lelah sekali dibandingkan dengan sosok Remi yang dulu pernah menjadi guru IPA di sekolah ini. Bella mengajar tidak hanya untuk mencari nafkah, ia juga merasa kasian dengan anak-anak jaman sekarang yang pikirannya terlanjur terpengaruh dengan hal-hal negatif.
“Ah, Bu Bella nggak asik banget.”
Bella mengabaikan ucapan Adela. Perempuan itu sudah hafal dengan kelakuan anak-anak kelas 9 yang masih belum insaf akan kelakuan mereka. Jaman dahulu, murid-murid nakal akan mengurangi kenakalan mereka dan lebih fokus belajar ketika berada di akhir jenjang sekolah. Tetapi itu dulu, sekarang mungkin murid seperti itu sangat minim ditemukan.
“Udah, Bu. Biarin aja si Dela. Ibu yang sabar, ya. Ngajar anak-anak sini emang susah-susah,” ucap Nadia yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Bella.
“Mapel siapa sekarang, Nad?” tanya Bella sembari mengecek jadwal di ponselnya.
“Mapel Bu Tasya, Bu.”
“Oh, iya. Yaudah masuk sana, disiapin yang buat ujian praktek minggu depan,” ujar Bella sebelum ia berlalu ke ruang guru.
“Bu Bella, administrasi ujian sekolah dan ujian praktek siap?”
Bella mengangguk dan berkata, “Sudah, ini mau print.”
Bu Tari mengangguk-anggukan kepalanya pelan. “Jumat pokoknya sudah harus selesai semua, ya,” tuturnya sebelum pergi keluar menuju ruang tata usaha.
“Ya Allah, astaghfirullah, kenapa ya tiap ada beliau hari-hariku berat banget.” Kanisa mengeluh yang tentunya disetujui oleh beberapa rekan kerjanya.
Megatron, Nyai Roro, Kanjeng Bos begitulah mereka menyebut Bu Tari. Sikapnya yang memang kebanyakan kurang mengenakkan di hati, membuat hampir semua orang rasanya ingin segera resign dari tempat ini. Sebenarnya ini bisa jadi tahun terakhir Bella berada di tempat ini mengingat Bu Tari hanya menawarkan kontrak 3 tahun padanya. Namun, ia belum menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari sini. Ia perlu alasan kuat yang dapat diterima oleh Bu Tari juga orang tua Bella.
Bella mulai mencetak semua adminstrasi yang ia buat. “Bu Humai, tolong isiin tinta printer dong, keknya mau abis,” pinta Bella saat perempuan itu melihat tinta hitam hasil cetaknya menipis dan melihat notifikasi peringatan di laptopnya.
“Aku ke kelas dulu aja, ya? Nanti isinya pas jam pulang aja. Tinggal dikit kan yang dicetak?” jawab dan tanya Humaira balik.
“Iya, Bu Humai. Yaudah aku cabut aja deh,” tukas Bella. Perempuan itu mencabut kabel printer dan menata beberapa berkas yang sudah dicetaknya.
“Bu Bella, bisa ke kantor saya. Printer saya sepertinya bermasalah. Saya sudah coba cek dan coba print berkali-kali tapi kok tulisannya nggak keluar. Padahal kemarin masih bisa. Apa ada yang pakai tanpa seizin saya? Bu Bella coba masuk, dicek dan dibetulkan printernya.”
Bella berjalan mengikuti Bu Tari ke ruangannya sembari menggerutu dalam hati. Kenapa harus selalu dia yang disuruh untuk memperbaiki printer milik Bu Tari? Memangnya di wajahnya tertulis kalau dia punya pengalaman sebagai tukang service printer?
Entah kenapa jadi yang paling muda itu serba salah. Membantu salah, tidak membantu lebih salah. Ada saja hal yang membuat Bella kena ceramah. “Ya Allah, pengin pulang,” batin Bella.
“Tuh lihat hasil printnya jelek begini.”
Bella mengecek masing-masing tangka tinta. Semua masih dikategorikan aman kecuali tinta hitam yang ternyata kosong dan kering. Perempuan itu ingin mengumpat namun ia menahannya dengan kuluman bibir. “Habis tinta hitamnya, Bu,” ucap Bella pelan.
“Oh, habis, ya? Ya sudah besok saya tanyakan sudah ada refill-nya atau belum. Sementara saya ikut nebeng print di ruang guru.”
“Iya, Bu. Silahkan. Kalo gitu, saya permisi dulu.” Bella langsung keluar dari ruang kepala sekolah. Perempuan itu mendudukan dirinya di kursi miliknya.
“Printernya kenapa, Bu Bell?”
“Habis tinta.” Bella berujar pelan menjawab pertanyaan Jemima.
Jemima hampir meledakkan tawanya mendengar permasalahan tersebut. “Perkara habis tinta doang sampe rebut begitu,” tuturnya.
“Assalamu’alaikum, Bu Bell. Mau ngumpulin tugas matematika.” Wawa memasuki ruang guru setelah diberi ijin.
“Semuanya ngerjain tugas, Wa?” tanya Bella sembari menghitung jumlah buku yang terkumpul.
“Ada yang nggak ngerjain sih, Bu. Tadi mainan sendiri terus Reza ama yang lain tuh bawa hp, Bu,” adu Wawa.
“Cuma 20 anak, sisanya pada nggak ngerjain ya? Yau dah, biar besok saya sampaikan ke Bu Billa apa adanya saja. Saya juga capek kalo harus suruh-suruh mereka ngerjain tugas,” putus Bella, enggan memperpanjang urusan.
Ting!
Sunshine
Sayangg, kamu lagi sibuk, ya?
Bella mendecak pelan sebelum bertanya pada Kanisa yang tengah mengoreksi tugas, “Bu Nisa ada saldo dana nggak? Aku males banget mau top up.”
Kanisa menoleh sekilas kemudian mengecek ponselnya, “Wait.”
“Ada, mau berapa Bu Bell?”
“Hm, 200 ada?” tanya Bella.
“Ada, langsung aku kirim aja, ya.” Kanisa mengirimkan uang sejumlah dua ratus ribu ke rekening dana milik Bella.
“Thanks, Bu Nis. Ini cashnya.” Bella menaruh 2 lembar uang serratus ribuan di meja Kanisa.
“Kayaknya yang punya dana di sini cuma kita ya, Bu Bell?” tanya Kanisa.
“Iya, itu pun kadang nggak ada isinya.” Bella menjawab diiringi dengan tawa.
Bella
Aku tf 200 sekalian, ya
Maaf aku lagi sibuk di kelas dan ga sempet liat hp tadi
Sunshine
Terimakasii sayangg
Aku janji bakal ganti uangnya
Bella
Iya, sama-sama
Bella meletakkan ponselnya. Perempuan itu berpindah duduk di lantai dan menyender ke tembok. Kakinya ia luruskan dan ia pijat mandiri. Intro DNA kembali terdengar meskipun lirih, Bella meraih ponsel dan mengangkat telepon dari Nora.
“Halo, Bell? Are you busy?”
Bella menggeleng. “Nope. Kenapa, Noy?” tanyanya.
“Nanti cek e-mail, yak! Proposal kegiatan sama RAB. Aku juga udah cc ke Bagas, jadi ikut kan dia? Awas aja kalo ga jadi.” Di seberang telepon, Nora tampaknya berada di tempat ramai.
“Noy? Lagi di RS, ya?”
“Iyaa, Bell. Ya udah, tolong kabarin si Bagas, ya. Ga bakal sempet pegang hp lagi nih aku, byee.” Telepon langsung terputus tanpa sempat Bella menjawab. Perempuan itu menggelengkan kepalanya pelan. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali memijat kakinya lagi.
“Bu Mima, tolong ambilin minyak angin di kotak P3K dong,” pinta Bella sembari mengulurkan tangannya ke meja Jemima yang memang duduk di sampingnya. “Terima kasih, Bu Mima. Novan kok ga pernah diajak sekolah lagi sih, Bu? Kan aku kangen,” lanjut Bella usai menerima uluran minyak angin di tangannya.
“Nggak ah, kamu kalo pengin punya mah bikin sendiri.”
“Ish. Aku kan masih kecil, Bu Mimaa. Nggak boleh bikin-bikin begitu,” ujar Bella dengan nada khas anak kecil.
“Jijik banget astaga, Bell.” Jemima bergidik ngeri sampai melupakan sematan kata Ibu pada nama Bella. Sejak dapat ceramah untuk selalu memanggil dengan embel-embel Ibu dan tidak boleh memanggil nama meskipun pada yang paling muda, semua rekan kerja Bella sangat berusaha agar tidak keceplosan di depan Bu Tari maupun para sepuh lain.
Bella tertawa geli sebelum kembali berfokus dengan urusan kakinya. Dalam ramainya suasana istirahat. Diam-diam sebuah tanya menelusup ke dalam benak Bella, apakah dia juga bisa punya keluarga utuh seperti yang selalu ia bayangkan? Apakah pilihannya sudah tepat kali ini? Apakah Rakha tidak akan membuatnya terluka?
Hubungan jarak jauh menjadikan Bella kadang kelimpungan. Ia mengalami berbagai jenis perasaan. Namun setiap ia bicarakan hal itu dengan Rakha, semua perasaan Bella tidak bermuara pada sebuah ketenangan. Mungkin semua rasa itu justru semakin menjadi-jadi sejak Bella tahu, jika Rakha pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain di belakangnya.
•••
-That's Why He My Man-