-That's Why He My Man-
•••
You know some days you feel so good in your own skin
But it's okay if you want to change the body that you came in
'Cause you look greatest when you feel like a damn queen
We're all just playin' a game in a way, tryin' to win that life
Most girls are smart and strong and beautiful
Most girls work hard, go far, we are unstoppable
Most girls, our fight to make every day
No two are the same
I wanna be like, I wanna be like most girls
(Most Girls – Hailee Steinfeld)
Ruang keluarga Bella malam ini terdengar sedikit ramai. Tak seperti malam biasanya yang di mana Bella dan anggota keluarganya yang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mereka duduk bersila melingkari meja bundar dengan laptop di tangan Bella dan mini proyektor yang menyorot ke arah dinding─menampilkan sebuah worksheet berisi planning keuangan bulanan.
“Pemasukan kita masih tetep sama, ya. Dari Ayah 1 juta dan aku 2 juta. Pengeluaran bulan kemarin juga nggak banyak, tapi bentar lagi bakal akhir semester. Ayah sama Ibu jelas tau kan tiap akhir semester pengeluaran kita membludak karena bayar kebutuhan kuliah Dimas dan tahun ini Shadira juga mau lulus SMA. Dimas kemarin katanya udah part time, jadi aku rasa nggak ada salahnya kalo Dimas ikut masukin sebagian uangnya ke planning keuangan keluarga. Kamu mau sekalian ngasih pemasukan Dimas?” jelas Bella.
Merasa tak mendapat jawaban dari adik lelakinya, Bella menoleh dan langsung menghadiahkan cubitan maut di perut adiknya. “Aduh, pedes banget gila!” sungut Dimas yang kini konsentrasi bermain mobile legend-nya mulai turun.
“Part time kamu sebulan dapat berapa?” tanya Bella tanpa peduli dengan lirikan sengit Dimas.
“750.”
“Oke kamu kasih berapa ke sini?”
“Kalo aku nggak kasih?”
“Kamu bayar beberapa kebutuhanmu sendiri.”
Dimas merengut. Kurang suka dengan apa yang kakak sulungnya bilang. “Gaji kakak kan lebih gede. Kenapa nggak kakak tambah aja ke planning?” ujarnya sengit.
Bella mendelik. “Kamu pikir aku sendiri nggak punya kebutuhan?” balasnya tak kalah sengit.
“Udah, Bell. Kalo emang Dimas nggak mau kasih untuk planning, uang pemasukan kan masih cukup,” ujar Isabel menengahi.
“Loh, nggak gitu, Bu. Maksud Bella, Dimas ikut kasih uang pemasukan itu biar dia juga belajar tanggung jawab sama urusan rumah. Walaupun sekedar tagihan listrik bulanan.” Bella ingin Dimas belajar mandiri, suatu saat nanti, Bella pasti akan pergi. Dia tidak akan bisa lagi fokus dengan orang tuanya lagi, dengan adiknya. Jika nanti ia menikah, mungkin waktu dengan keluarganya akan berkurang. Mungkin juga ia akan berhenti mengirim uang untuk kebutuhan keluarganya.
Bella sudah berpikir sejauh itu, meski ia sendiri tidak yakin kapan dirinya akan menikah. Namun satu yang pasti, tidak selamanya ia akan hidup seperti ini. Bella juga ingin finansialnya stabil, bisa menyelesaikan cicilan motornya, menabung untuk membeli sesuatu yang dapat ia jadikan investasi. Ia juga ingin punya rumahnya sendiri.
“Dimas kan kebutuhan kuliahnya banyak, Bell. Biarin dia gunain gajinya untuk beli kebutuhannya.”
Bella menghela napasnya berat. “Kalo gitu dia udah ga perlu uang bensin dan jajan di luar. Dia punya duit gajinya sendiri, jadi bisa beli sendiri. Di sini Bella kurangin bagian itu aja buat bulan ini. Kalo sampe Dimas ngerengek minta uang tambahan, gausah dikasih. Biar dia belajar kelola keuangannya sendiri,” jelas perempuan itu.
Damar─Ayah Bella─berdehem. Lelaki berumur 53 tahun menatap proyektor dan mengangguk. “Berarti sudah aman, ya. Dimas kamu belajar mandiri sedikit, ya. Kasian kakak kamu, nanti dia susah sisihin buat dirinya,” pungkasnya.
Bella menyiman perubahan tersebut dan membereskan semua peralatannya. Di tengah kegiatannya, Damar mengajukan sebuah tanya yang membuat beban pikiran Bella bertambah. “Kamu belum mau nikah, Bella?” tanya Damar.
Bella menggeleng. “Belum, Yah. Bella masih pengin sendiri, lagian Dimas juga belum kelar kul─”
“Apa hubungannya sama aku coba?” potong Dimas.
“Kalo aku nikah sekarang, kamu pikir siapa yang bakal biayain kuliahmu? Kamu mau sekalian biayain kuliahnya Shadira besok?” tanya Bella dengan tenang. Dimas terdiam tak mampu menjawabnya.
“Kalo kamu sudah siap, kamu bilang ke Ayah, ya?”
Bella mengibaskan tangannya. “Santai, Yah. Lagian Bella belum setua itu buat didesak nikah kali. Bella sehat kok, 6 bulan sekali juga sekolah pasti kedatangan petugas puskesmas buat cek kesehatan. Semua hasil tesku aman-aman aja,” ujarnya santai, meski dalam hati, ia juga takut.
“Kamu udah punya calon kan, Bell? Ibu udah capek nawarin kamu ke temen-temen PKK-nya Ibu. Aduh, kamu tuh kalo disuruh kenalan susah banget, pusing Ibu jadinya.” Isabel menggelengkan kepalanya.
Wanita berumur 46 tahun yang terlihat awet muda itu sebenarnya merasa sangsi dengan hubungan putrinya sendiri. Bella kerap kali menolak ajakan berkencan dari anak teman-teman Isabel. Alasannya, Bella selalu berkata jika ia sudah punya pacar. Namun sosok pacar Bella yang entah siapa itu tidak pernah terlihat bagaimana wujudnya, wajar kan jika Isabel makin ragu dan berpikir aneh terhadap putrinya sendiri. Takut, jika putrinya ternyata menyukai sesame jenis.
“Kamu masih suka cowok kan, Bell?” Pertanyaan dari Isabel membuat kegiatan Bella terhenti. Perempuan itu urung memasukan mini proyektornya ke dalam rak televisi.
“Ya, masih lah, Bu. Ibu tanyanya aneh banget,” jawab Bella sengit.
“Ya, abisnya kamu bilang punya pacar tapi nggak pernah di bawa ke rumah. Dulu kakak kelasmu yang pernah main ke sini juga udah pada nikah 3 tahun lalu. Terus siapa itu, ya? Oh! Si Bagas, katamu dia udah punya calon. Temen mainmu di luar juga paling Nora sama Bagas, itu aja kalian jarang ketemu karena beda kota. Ibu jadi ikutan frustasi mikirin siapa pacar kamu. Kamu kelamaan pacarana nanti putus terus jadi susah jodoh gimana? Ini pasti kamunya nih yang belum mau diajak nikah, ya? Pasti aslinya pacarmu itu udah ngebet pengin nikah tapi kamunya nolak mulu, ya kan?” oceh Isabel panjang lebar.
Bella memutar bola matanya, ia selesai dengan pekerjaannya. “Udah, ah. Ibu mah kepo, besok kalo udah waktunya nikah juga aku nikah kok. Lagian kalo pun putus, ya tinggal cari lagi. Susah amat deh, Bu. Di dating apps banyak kali. Santai, Bu. Mending ibu mah santai aja,” balasnya.
Langkah kaki Bella membawa perempuan itu berlalu dari ruang keluarga. Bella masuk ke kamarnya dan duduk di atas kasur. Pandangannya mengelilingi kamar yang luasnya 2,5 × 1,5 meter itu. Bella rasa, ia belum siap meninggalkan kamar pribadinya. Rasanya masih terlalu dini jika perempuan itu harus menempati kamar baru dan berbagi tempat tidur dengan seorang lelaki. Meski dengan Rakha sekalipun, Bella masih terasa berat. Selama ini, Rakha seolah menggantungkan hidupnya pada Bella.
Bella sadar jika dirinya memang lebih tua dari Rakha. Namun, salahkah jika Bella mengaharapkan hubungannya untuk tidak seperti ini? Bisakah ia merasakan apa yang perempuan lain selalu rasakan ketika dirinya dirayakan? Ia juga ingin merayakan anniversary-nya dengan makan malam romantis. Bukan dengan kata maaf karena lupa.
Bella juga ingin menghabiskan waktu malam minggu dengan bertemu, jalan-jalan, makan, menonton film atau sekedar makan di angkringan bersama pacarnya. Bukan dengan kata maaf karena jarak yang terlalu jauh. Lelaki lain selalu mempunyai kejutan untuk kekasihnya. Bella juga ingin mendapatkan hal seperti itu, bukan malah ia yang harus mengusahakannya sendiri.
Bella juga ingin menikmati kencan; dijemput, diberi bunga atau coklat, tampil cantik memakai pakaian terbaiknya. Tetapi ia tidak dapatkan semua itu dari Rakha. Dulu Bella pikir, ia harus bekerja lebih keras lagi agar perempuan itu bisa mengakomodasi perjalanan Rakha. Agar keduanya bisa bertemu. Namun entah kenapa setiap dirinya membahas ingin bertemu, Rakha hanya selalu menyuruhnya untuk bersabar. Harus sampai kapan? Pikir Bella.
Bella iri dengan perempuan seumurannya yang bisa menikmati kehidupan santai tanpa memiliki tanggungan. Mereka yang terlihat cantik dengan dress mungilnya, mereka yang terlihat manis bak putri negeri dongeng, mereka yang bisa menghabiskan waktu berlama-lama membuka lembar demi lembar novel. Mereka yang mampu merayakan dirinya.
Sedangkan Bella, ia harus bekerja keras. Ia harus pintar dan kuat. Tidak boleh terlihat lemah, karena itu akan berpengaruh pada semua pekerjaanya. Bella harus bisa berdiri di kakinya sendiri, setiap hari memperjuangkan seonggok rupiah yang nyatanya jauh dari kata cukup bagi orang-orang. Jaman semakin maju, tidak ada yang gratis di dunia ini kecuali kebaikan.
Bella menatap rak buku putar yang berisi lebih dari 15 buku. Dulu ia suka membeli novel. Bella suka membaca buku-buku fiksi. Hobinya tumbuh sejak perempuan itu terpaksa menjalani rawat jalan di rumah sakit besar yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Bella terserang flek paru-paru saat ia duduk di kelas 4 semester 2.
Sebulan sekali dia selalu pergi ker rumah sakit untuk check-up, harusnya pengobatan itu dijalani dalam 1 tahun, begitulah dokter menyarankannya. Namun Bella hanya bisa menjalaninya sampai 6 bulan, karena di bulan berikutnya, Ayahnya harus fokus dengan adiknya yang akan masuk ke TK. Gaji Damar tidak cukup untuk berobat. Bella tidak marah. Ia berusaha lebih keras untuk menjaga kesehatannya sendiri agar tidak jatuh sakit dan merepotkan kedua orang tuanya.
Beralih pada tumpukan plastic vacum berisi baju-baju lawasnya yang sengaja di letakkan di atas lemari di dalam sebuah box bening.
“Kalo nikah nanti, apa aku juga bisa beli novel lagi?” bisik Bella pelan. Perempuan itu merebahkan diri di atas kasur dengan bed cover warna biru muda, menatap langit langit kamar dengan banyak tempelan sticker bintang.
Menikah dengan Rakha, harusnya Bella bisa bahagia bukan? Bella menyayangi Rakha. Mereka juga sudah lama bersama, meski tak pernah bertemu, Bella yakin ia bisa menerima Rakha menjadi suaminya nanti. Bella yakin Rakha pasti akan lebih baik lagi pada perempuan itu setelah mereka berdua menikah nanti. Rakha selalu meyakinkan Bella untuk menunggu lelaki itu menemuinya. Maka Bella berusaha keras mempertahankan perasaannya, meski ia tidak bisa menjadi seperti wanita-wanita yang dirayakan setiap harinya. Ia merasa cukup bangga bisa merayakan dirinya sendiri meskipun butuh waktu yang lama.
•••
-That's Why He My Man-