# Email 002 – 25 Oktober 2022
To: in_ara@email.com
Subject: Tempat pulang yang rasanya makin jauh
Hai, Inara.
Hari ini hari ke-10 sejak Papa tiada, dan aku menjalani hidup seperti biasa.
Sekarang aku tinggal di rumah Ibu. Kayaknya kamu masih ingat rumah ini—yang dindingnya tipis, suara TV dari ruang tengah bisa kedengeran sampai ke kamar. Tapi yang paling keras bukan suara TV, tapi suara di kepalaku.
Aku pikir setelah Papa gak ada, aku bisa mulai dari awal. Aku pikir Ibu akan menjadi tempat pulang. Tapi aku lupa kalau sekarang rumah ini bukan rumah kita. Rumah ini menjadi rumah dia. Dia — orang yang katanya suami Ibu, tapi rasanya lebih kayak sipir yang selalu mengawasi.
Aku merasa tidak nyaman. Tidak aman. Tapi aku juga tidak bisa berkata.
Beberapa kali dia mencoba melucu, tapi nadanya bikin merinding. Beberapa kali dia berjalan terlalu dekat. Matanya terlalu lama memandang. Tangannya pernah nyentuh punggungku pas aku lagi berdiri di dapur. Katanya cuma lewat, tapi kenapa aku ngerasa kotor banget setelahnya?
Aku sempat bilang ke Ibu. Tapi Ibu cuma ketawa dan bilang:
“Itu tuh bentuk kasih sayangnya, Nak.”
Aku pengen marah. Tapi yang keluar cuma diam. Aku takut kalau aku bilang lebih, malah dianggap berlebihan. Kau tahu, kejadian seperti itu tidak sekali dua kali, setiap ada kesempatan dia selalu melakukannya dan aku tidak bisa melawan. Entah karena aku takut ditinggalkan, atau memang sudah pasrah dengan keadaan.
Kamu tahu, kadang aku nanya ke diri sendiri:
Kalau semua tempat gak bisa jadi rumah, aku harus tinggal di mana?
Aku nulis ini jam dua pagi. Aku gak bisa tidur. Rasanya sesak sekali. Terkadang dunia terasa sempit, kecil, memuakkan. Namun terkadang aku seperti berlari di ruang kosong, hampa, tidak ada ujungnya dan aku gak tahu pintu akhirnya ke arah mana.
Tapi kamu di masa depan… aku harap kamu sudah punya tempat pulang. Bukan cuma bangunan, tapi ruang aman.
Hari ini aku masih bertahan. Entah sampai kapan.
Salam
Inara, yang pura-pura kuat.