Lima bulan berlalu begitu cepat. Asia sudah mulai terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya di kelas. Tidak butuh waktu lama untuk mereka saling mengenal. Mungkin dikarenakan jumlah mahasiswa yang jumlahnya tidak terlalu banyak dan banyaknya waktu saling berdiskusi tentang materi perkuliahan menjadi penyebab kedekatan mereka sekelas.
Asia juga bergabung organisasi di Himpunan Mahasiswa Psikologi (Himapsi). Disana dia mengenal struktur keanggotaan yang tidak jauh berbeda dengan struktur OSIS di sekolahnya dulu seperti adanya ketua himpunan, wakil ketua, sekretaris dan bendahara, serta beberapa divisi. Departemen atau divisi yang ada disana juga cukup beragam seperti divisi keilmuan dan akademik, divisi pengabdian masyarakat, divisi kewirausahaan, divisi hubungan masyarakat, divisi internal, serta divisi minat-bakat.
Asia berada di dalam divisi pengabdian masyarakat. Kegiatan yang dilakukannya juga cukup padat. Mereka yang berada di dalam divisi tersebut menjalani program Psikoedukasi ke berbagai sekolah dan panti asuhan, menjalani bakti sosial, serta kampanye kesehatan mental.
Awalnya Asia merasa rasa takut saat berada di dalam divisi ini. Takut tidak bisa sejalan dengan hati nuraninya. Tetapi entah kenapa rasa penasaran terus tergelitik di dalam dirinya. Dia pun menghapus rasa takut dan belajar untuk nekat menjalani hari-hari di divisi tersebut.
Pernah suatu hari Asia dan timnya membuat program pengabdian masyarakat berupa sesi psikoedukasi dan menciptakan sesi curahan hati di sebuah sekolah menengah pertama. Mereka mengangkat tema ‘Mengelola Emosi di Masa Remaja' dan memberi ruang aman bagi para siswa untuk bercerita tentang segala hal.
Sebagai bagian dari koordinator lapangan, Asia bertugas untuk menyusun materi, mengatur alur kegiatan, dan menjadi pendamping dalam ruang bercerita di kelompok kecil.
Kelompok kecil itu duduk di kursi dalam bentuk melingkar. Masing-masing dari para siswa menceritakan segala keluh kesah yang tidak pernah mereka ceritakan kepada banyak orang. Ada yang bercerita dengan lugas, ada yang merasakan tekanan kala bercerita, dan ada juga yang mengungkapkan permasalahan hidupnya sambil menangis tersedu-sedu.
Awalnya Asia sempat bimbang, karena dia merasa tidak cukup siap untuk membantu. Mengingat dirinya yang pernah gagal menghadapi di situasi yang sama saat pertama kalinya Mayu dan Marella saling konflik di ruang perpustakaan fakultas, membuat Asia semakin bingung bagaimana cara membantu orang lain saat menghadapi emosinya. Namun seiring waktu berjalan, ia mendapatkan pengalaman berharga melalui bimbingan dosen dan bekal ilmu di perkuliahannya.
Sedikit demi sedikit, Asia memiliki keyakinan dalam dirinya untuk menerapkannya di dalam program tersebut. Secara perlahan dia juga menyadari bahwa terkadang yang dibutuhkan mereka hanyalah kehadiran yang tulus serta kemauan untuk mendengarkan. Asia mulai belajar mendengarkan tanpa menghakimi dan memahami bahwa setiap individu memiliki lukanya masing-masing.
Asia menjadi bercermin dengan situasi yang terjadi di dalam hidupnya. Dia sedikit menyadari bahwa selama ini dia tertekan karena dorongan ibunya yang mengatasnamakan demi kebaikan masa depannya. Setelah masuk ke dalam universitas swasta pun, ibunya selalu menanyakan kesehariannya dan mengingatkannya untuk memiliki citra yang baik di universitasnya. Ibunya terus menekannya untuk tetap menyeimbangkan nilainya di perkuliahan saat Asia juga sibuk di organisasinya.
Jujur, rasanya berat. Asia baru merasakannya akhir-akhir ini. Terkadang dia menangis sendirian di dalam kamar. Dia ingin jujur di hadapan ibunya, tetapi pengalaman sebelumnya membuatnya belajar untuk tidak mengukir kesedihan lagi di mata ibunya.
Masuk ke universitas swasta saja sudah memupuskan harapan ibunya, apalagi kalau Asia menceritakan tekanan hidup yang diberikan ibunya kepadanya. Asia tidak dapat membayangkan badai apa lagi yang akan terjadi di hidupnya jikalau dia melakukan hal itu.
Perkuliahan Asia juga berjalan dengan lancar. Jurnal hariannya masih menjadi panduan utama baginya. Dengan jurnal harian, kegiatannya sehari-hari menjadi teratur. Anggota kelompoknya juga lama-lama terbiasa dengan aturan yang dibuat oleh Asia. Tetapi terkadang ada satu anggota yang kadangkala tidak mengikuti jalur yang dia buat, yaitu si Aria.
Kalau sudah begitu, Asia selalu mengomeli cowok itu. Namun apa daya, segala keluhan Asia tentang Aria hanya masuk dari tenga kanan keluar telinga kiri. Bahkan Asia mencatat semua kelalaian Aria.
“Lagi-lagi kamu tidak bisa menjawab presentasi hari ini. Kamu malah menjawab ala kadarnya. Bahkan sekarang sudah berani tepe-tepe ya!” keluhnya kesal. Aria hanya mendengarkan sambil bersandar di tembok, menyelonjorkan kakinya, dan mengorek telinga dengan jari kelingkingnya.
“Apaan tuh tepe-tepe?” tanya Aria menengok ke arah Satria. Sontak Satria dan kedua temannya menjawab secara bersamaan, “Tebar pesona, bosss!!!”
Asia melipat kedua tangannya sembari menahan kekesalannya saat melihat Aria yang malah tertawa terbahak-bahak. Pikirannya teralihkan ketika ada seseorang yang membeli roti di tokonya.
Mayu melihat Asia yang masih melayani pelanggannya. Kemudian dia menyenggol Aria, “Hey, kamu tidak kasihan sama Asia yang selalu mencatat kebiasaan burukmu itu. Sudah seharusnya kamu berubah, ege'.”
Sambil mengunyah nastar, dia berbisik, “Seperti kamu nggak mengenal diriku saja.” Mendengar hal itu membuat Mayu melirik ke arah Satria yang masih sibuk mendikte Marella yang juga mengetik keyboard laptop sambil mendengarkan. Aria sengaja mengeraskan suaranya, “Lagipula Asia sendiri yang punya inisiatif mencatat setiap kelalaianku. Lihat kan betapa perhatiannya dia sama aku!”
Ternyata Asia mendengarnya dan menoleh ke arah Aria dengan memberikan tatapan sengit. Aria malah membalas tatapannya dengan berkata, “I love you too, Asia. Muach!”
Asia dan ketiga temannya langsung merinding mendengar dan melihat perilaku Aria yang semkakn menjadi-jadi. Setelah selesai melayani pelanggannya, Asia langsung menghampiri Aria dan menjewer telinganya.
“Nggak usah tepe-tepe! Nggak bakal ngefek ya sama aku!” serunya kesal. Aria mengaduh kesakitan.
“Masa?” jawabnya lagi. Asia hendak menjewer telinga cowok itu lagi, tetapi diurungkannya saat melihat ibunya datang sambil membawa nampan berisi minuman.
“Tante bawakan es sirup oren buat kalian biar semakin semangat belajarnya. Diminum ya,” ucap ibu Asia. Mayu langsung berdiri dan menerima nampan dari tangan ibu Asia.
“Duh! Nggak perlu repot-repot, te,” katanya.
“Terima kasih, tante,” kata Aria juga. Ibu Asia tersenyum padanya. Asia melihat keanehan dari ibunya yang tidak henti-hentinya menatap apa yang dilakukan oleh Aria.
“Bu, ada yang perlu aku bantu?” tanyanya canggung. Ibunya tersenyum lagi.
“Nggak ada. Kamu mengerjakan tugas kuliah saja dengan teman-temanmu. Belajar yang serius ya, Asia.”
‘Glek!’ Asia menelan ludah sesaat. Dia merasa aneh dengan perkataan ibunya. Setelah ibunya pergi, Asia membuka-buka halaman buku diktatnya dengan perasaan gelisah. ‘Apa sedari tadi aku terlihat bermain-main saja?’ pikirnya kalut.
Aria menyadari kegelisahan temannya itu. Dia menyolek lengan Asia berkali-kali. Gadis itu merasa terganggu, “Apaan sih Aria?”
“Kamu yakin sudah mencatat semua kelalaianku?” tanyanya. Asia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh cowok itu. Dia kembali mengingat tatapan ibunya tadi.
Asia berucap dengan ketus, “Aku tidak minat lagi mencatat semua kelalaianmu. Mengerjakan tugas kuliah lebih penting daripada itu.” Gadis itu kembali membaca buku diktatnya dan berusaha tidak mempedulikan cowok itu lagi.
“Oke,” jawab Aria singkat. Cowok itu kembali menulis hasil rangkuman di buku tulisnya. Diam-diam Asia melirik ke arah kemeja yang dikenakan oleh Aria. Gadis itu tidak bisa berkonsentrasi lagi. Dia meletakkan bukunya di lantai dengan frustrasi.
“Aria, sekarang kamu lagi pakai kaus kutang nggak?” tanyanya kemudian. Aria mendelik kaget. Begitu pula dengan ketiga temannya.
“Idih, Asia! Ngapain kamu tanya-tanya soal begituan. Mencurigakan,” goda Marella. Satria tertawa ngakak. Sementara Mayu juga bingung mendengat pertanyaan Asia.
“Aku.. Pakai? Iya, aku pakai kutang,” jawab Aria heran. Asia menengadahkan tangannya.
“Copot kemejamu. Cepat,” perintah Asia. Teman-temannya kembali terkejut dengan perkataannya. Aria memeluk tubuhnya dengan malu-malu.
“Idih, Asia. Jangan..,” jawabnya. Satria, Mayu, dan Marella tertawa melihat reaksi Aria.
“Apaan sih?! Jangan mikir yang nggak-nggak ya! Aku terganggu saja dengan kemeja yang kamu pakai. Itu sudah disetrika nggak sih? Kok kelihatan kusut banget. Cepetan copot sebelum aku berubah pikiran,” mendengar Asia yang masih bersikukuh meminta kemejanya membuat Aria menurutinya. Cowok itu melepaskan kemeja dan memberikannya pada gadis itu.
Asia segera masuk ke dalam rumah dengan membawa kemeja milik Aria. Saat menyetrika, ibunya keluar kamar dan menghampirinya. “Asia, kamu ngapain?” tanyanya.
“Oh! Ini, bu. Baju Aria kusut banget. Mataku semakin gatal melihatnya memakai kemeja kusut ini. Makanya aku setrika sebentar biar rapi.”
Ibunya mengernyitkan dahi. Ia heran melihat perilaku Asia. Setelah selesai menyetrika, Asia mencabut kabel setrika dari stop kontak. Ibunya menahan lengannya. “Asia, kamu tahu kan ibu menaruh kepercayaan sama kamu?”
Asia bingung dengan pertanyaan ibunya. “Maksud ibu apa ya?” tanyanya balik. Ibunya kembali melihat kemeja yang sudah dilipat rapi oleh Asia.
“Apa yang kamu lakukan sekarang? Belajar atau bermain rumah-rumahan dengan temanmu itu?”
Asia terperangah mendengar perkataan ibunya. Dia segera menjawab, “Aku dan teman-teman benar-benar sedang mengerjakan tugas kuliah, bu.”
“Lalu apa yang kamu pegang sekarang?” jelas ibunya. Asia hanya menelan ludah. Dia tidak berani menjawab perkataan ibunya lagi. “Ibu mengawasimu sedari tadi. Sepertinya kamu kelihatan dekat dengan anak lelaki itu. Ibu nggak mau ya kalau kamu mikirin cinta-cintaan sekarang dan hilang fokus sama kuliah kamu.”
Asia menundukkan kepalanya seketika. Seberapa besar dia ingin membela dirinya, Asia tetap tidak berani dan memilih untuk tetap diam. “Kamu paham kata-kata ibu? Asia?” tanya ibunya dengan suara kalem tapi terdengar lantang dan tegas di telinganya. Asia menganggukkan kepala. Lantas ibunya masuk ke dalam kamar lagi.
Asia menghembuskan nafasnya, berusaha mengeluarkan rasa sesak di dadanya. Gadis itu mencoba menenangkan dirinya dan kembali menghampiri teman-temannya lagi.
“Ini. Cepat pakai,” diserahkannya kemeja kepada Aria. Cowok itu tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar saat melihat kemejanya sangat rapi. Tidak terlihat kusut seperti sebelumnya.
Dipakainya kemeja dengan grasak-grusuk. Wajahnya tampak senang. “Terima kasih, Asia,” katanya tulus. Asia hanya menganggukkan kepala sambil membaca kembali bukunya.
“Oh ya, Asia. Rencana kamu ketemu teman-teman lamamu besok jadi?” pertanyaan Mayu membuat Asia ketar-ketir. Dia memberi isyarat Mayu untuk diam.
“Ssst! Jangan keras-keras. Sebenarnya aku sengaja tidak ijin ibuku. Aku bilangnya kalau besok mengerjakan tugas kuliah di rumah Marella,” katanya dengan suara rendah.
“Lah, kok aku?” tanya Marella kaget ketika namanya disebut. Asia memintanya untuk merendahkan suaranya juga. Marella paham. Dia kembali mengulang pertanyaannya dengan suara berbisik, “Lah, kok aku?”
Asia kembali melihat ke arah dalam ruangan, memastikan ibunya tidak berada disana. Lalu dia berkata lagi dengan suara rendah, “Ibuku tidak ingin kedua temanku itu tahu kalau aku sudah berkuliah di sekolah swasta. Jadi sebenarnya aku dilarang menemui mereka untuk sementara.”
Aria menghela nafas panjang. “Sementara? Sampai kapan? Empat tahun kuliah itu lama, Asia. Bukan waktu yang sebentar.”
Aria tidak lagi menjawab. Dia kembali fokus membaca bukunya. Sebenarnya dia sendiri juga tidak tahu sampai kapan ibunya melarangnya untuk bertemu dengan kedua sahabatnya itu. Padahal Asia sudah sangat merindukan mereka. Bagaimanapun juga mereka sudah berteman lama. Untuk pertama kalinya Asia mengindahkan perintah ibunya.
***
Setelah mata kuliah Psikologi Umum berakhir, Asia berjalan melalui depan gerbang kampus dan menyusuri jalanan hingga sampai di depan halte bis transjatim yang tidak jauh dari kampusnya. Dia duduk bersama dengan orang-orang disana untuk menunggu kedatangan bis berikutnya.
Setelah bis berikutnya datang, mereka masuk ke dalam bis satu-persatu. Ada petugas yang mengawasi dan mengatur orang-orang agar tidak berdesak-desakan saat masuk.
Asia pun duduk di kursi yang berada di paling belakang. Saat melihat petugas melakukan transaksi pembayaran, Asia segera mengeluarkan uang di dalam dompetnya. “Mau turun dimana, mbak?” tanya petugas itu.
“Saya turun di bungurasih saja, pak,” ucapnya. Kemudian petugas tersebut menyebutkan nominal pembayaran dan Asia memberikan uang tunai padanya. Asia mendapatkan karcis sebagai bukti bahwa dia sudah melakukan transaksi pembayaran.
Saat turun di terminal Bungurasih, dia kembali melanjutkan perjalanan dengan bis Suroboyo rute R4 yang menuju kampus kedua sahabatnya. Dia bingung saat melihat ada orang melakukan pembayaran dengan sampah plastik.
“Anu, pak. Apakah harus membayar dengan botol-botol plastik, pak?” tanyanya. Petugas tersebut menjelaskan bahwa pembayaran bisa menggunakan kartu elektronik maupun non-tunai. Gadis itu bernafas lega. Dia membayar dengan uang digital.
Asia tidak merasa lelah walaupun harus menempuh waktu kurang lebih sekitar dua sampai tiga jam untuk sampai kesana. Karena dia merasa rasa lelahnya akan terbayarkan dengan saling melepas rindu. Sesampainya di kampus, Asia mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia tidak menyangka jika dia benar-benar sampai di tujuan. Kemudian dia menelepon Valeria.
“Halo, Val? Kalian dimana? Aku sudah sampai nih.”
“Asia!” panggil seseorang dari kejauhan. Gadis itu bisa melihat Valeria dan Asta langsung berlari-lari kecil menghampirinya. Valeria dan Asia saling berpelukan. “Aku kangen banget!” katanya.
“Aku juga!” seru Asia juga. Asta menepuk-nepuk bahunya. Gadis itu melambaikan tangan ke arah Asta. “Hey, Asta! Ternyata kamu juga datang.”
“Iya dong. Eh, kita ngobrolnya di cafe ajah yuk. Panas disini.”
Mereka saling mengobrol sambil berjalan kaki menuju kafe terdekat. Asia tidak menyangka jika kedua sahabatnya sama sekali tidak berubah. Mereka tidak canggung dan tetap asik diajak ngobrol.
Setelah pesanan minuman mereka datang di meja, Valeria bertanya dengan tatapan menyelidik, “Kamu kesini dari Malang atau dari Gresik?”
Asia terkekeh setelah menyesap minumannya, “Ya dari Gresik lah. Rumahku kan di Gresik.” Asta dan Valeria saling melihat satu sama lain. Asia melanjutkan pembicaraannya, “Naik bis transjatim lalu lanjut naik Suroboyo bus. Eh, ini pertama kalinya aku naik bis Suroboyo loh. Ternyata bayarnya bisa pakai botol bekas ya? Aku langsung cari tahu dong di internet kalau pembayaran bisa dilakukan dengan menukar sampah plastik di halte-halte yang telah ditentukan oleh Dinas Perhubungan Kota Surabaya. Tapi ternyata juga bisa bayar pakai uang non-tunai. Keren ya?!”
Kedua sahabatnya masih terdiam. Asia baru menyadari jika ada yang aneh dengan Asta dan Valeria. “Kalian kenapa?” tanyanya. Asta hendak mengatakan sesuatu, tetapi Valeria memegang tangannya dan menahannya untuk tidak berbicara secara langsung pada Asia.
“Asia, bukannya sekarang kamu tinggal bersama dengan ayahmu di Malang?” tanya Valeria dengan nada hati-hati. Asia mengerutkan kening tidak mengerti. Sudah jelas kalau Asia tidak pernah mengatakan kepada mereka kalau dia tinggal dengan ayahnya. Lantas dia teringat akan ibunya.
“Apa.. Ibuku yang bilang?” tanyanya pelan. Valeria dan Asta mengangguk secara bersamaan.
“Ibumu menelepon ibu kami dan memberitahu kalau sekarang kamu sudah berkuliah di universitas negeri disana. Ibumu juga meminta kami tidak menghubungimu untuk sementara agar kamu bisa fokus dulu dengan kuliahmu,” jelas Asta. Asia terkejut mendengar hasil rekayasa ibunya yang dirancang sedemikian rupa.
“Asia, jangan tersinggung ya? Apa benar kamu lagi kuliah dan tinggal di Malang? Kalau iya, kenapa ibumu tidak mengijinkan kami menghubungimu atau menjengukmu disana? Apa benar fokus kuliah memang alasannya?” pertanyaan Valeria membuat Asia bungkam. Dia berpikir bahwa tidak mungkin dia ikut ke dalam arus permainan ibunya, beralasan dengan mengatakan kalau dia memang berkuliah di Malang dan ia sedang ingin pulang ke rumah. Asta dan Valeria tidak sebodoh itu.
Asta dan Valeria saling melihat lagi. Valeria tidak tahan untuk berbicara lagi, “Melihat reaksimu sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dari kami ya?”
Asia langsung mendekap kedua tangan Valeria. Dia segera menjelaskan semuanya, “Aku diterima di universitas swasta di dekat rumah. Ibuku malu jika sampai kalian dan ibu kalian mengetahuinya. Aku mohon jangan sampai ibu kalian juga tahu.”
Tiba-tiba handphone Valeria yang ada di atas meja berdering. Gadis itu segera berdiri saat melihat nama si penelepon. “Sebentar ya,” ucapnya. Lalu dia keluar cafe dan menjawab panggilan teleponnya. Tinggal Asia dan Asta yang berada disana. Asia menatapnya dengan penuh harap.
Asta tidak tahan melihat kesedihan di wajah sahabatnya itu. Tetapi dia juga ada rasa bimbang. Asta berkata jujur, “Sebenarnya aku tidak pernah berbohong kepada bunda. Walaupun kita bertiga dekat, tetapi aku tidak ingin menutupi segala hal darinya.”
Asia kembali memohon, “Kamu cukup tidak bercerita tentangku padanya. Aku minta kepadamu dengan tulus. Aku tidak ingin ibuku tahu kalau kalian semua mengetahui tentang keadaanku sekarang.”
“Tapi kalau bundaku bertanya kepadaku tentang dirimu? Aku pasti tidak bisa menutupinya lagi, Asia,” ungkap Asta lagi. Asia mengusap-usap wajahnya dengan frustrasi. Dia bingung harus berkata apa lagi. Asta berbicara lagi,“Asia, maafkan aku karena tidak bisa membantumu. Mungkin kamu perlu membicarakan hal ini kepada ibumu.”
“Menceritakan pada ibuku kalau kalian sudah tahu? Bagaimana mungkin?! Kalian saja tahu bagaimana ibuku sangat tegas padaku. Hari ini saja aku berbohong padanya dan diam-diam menemui kalian sampai kesini.”
Mendengar hal itu, membuat Asta tidak merasa nyaman. Setelah Valeria kembali, Asia segera berdiri dan pamit pulang, “Maafkan aku juga. Ini salah. Semuanya salahku. Seharusnya sedari awal aku jujur pada kalian. Seharusnya hari ini aku juga tidak berbohong pada ibuku. Aku salah karena sudah melangkahi jurnal harianku. Sekali lagi maafkan aku.”
Asia segera pergi dari cafe. Kedua sahabatnya hanya memandang kepergiannya dengan rasa cemas. Sepanjang perjalanan pulang, Asia membiarkan dirinya menangis. Dia tidak mempedulikan bagaimana pandangan ornag-orang. Dia merasa kesal bercampur kecewa pada semua orang. Terutama pada ibunya sekaligus dirinya sendiri.
Dia mengecek chat yang sedari tadi masuk melalui handphone-nya. Chat di grup WA-nya tidak pernah sepi. Sudah lama Asia, Aria, Mayu, Satria, dan Marella membentuk grup WA. Setiap hari mereka saling kirim chat dan stiker. Terkadang juga video call sampai malam.
Asia membaca obrolan teman-temannya:
Satria
Siapa yaa.. Yang kemarin dipaksa copot baju sampai pakai kutang doang? Lucu banget!
Mayu
Apaan sih? Yakin masih bahas ini?
Marella
Hei, bahas dong bahas.. @Asia perhatian banget sama @Aria sampai bajunya ajah diperhatiin. Soo sweateerrr..
Mayu
So sweet kali!
Marella
Idih, ada yang cemburu.. Xixixi..
Mayu
Eh, nggak ada ya.. Cemburu-cemburu apaan...
Marella
Duh, galaknya. Seharusnya yang galak kan Asia ya? Mana nih Asia sama Aria..
Aria
Duh, udah dong. Jangan dibahas lagi. Jadi ingin malu saya..
Satria
Malu-maluin luuu..
Mayu
@Asia, gimana perjalananmu? Aman?
Marella
@Asia jangan lupa oleh-olehnya.. Roti Toga Surabaya juga boleh..
Mayu
Heh @Marella, ngapain pakai nitip-nitip segala? Malu tau.. Lagipula di Gresik juga ada Toga. Beli sendiri, gih..
Satria
Eh, jangan gangguin @Asia dulu woy.. Biarin dia menghabiskan waktu dengan teman-temannya dulu.
Aria
Selamat bersenang-senang, @Asia!
Diam-diam Asia merasa senang dengan perhatian dari keempat temannya. Dia menghapus sisa-sisa air matanya dan hendak menjawab pesan teman-temannya. Namun belum sempat mengetik, Tiba-tiba ada chat masuk dari Asta.
Asia segera membaca pesan darinya:
Asta
Aku dan Valeria sudah mendiskusikan tentang permintaan kamu tadi. Kami memutuskan untuk tidak menceritakan tentang kebenaran dari dirimu kepada ibu kami. Maaf, Asia. Kami berdua tidak ingin berhubungan denganmu lagi.
Bukan karenamu. Kamu teman baik dan setia. Tapi dari awal kita berteman juga karena dipertemukan oleh ibumu yang notabene membentuk kelompok belajar siswa-siswi yang berprestasi.
Kami tidak nyaman setelah dibohongi oleh ibumu. Tetapi kami juga lebih tidak nyaman lagi kalau kamu juga membohongi ibumu demi bertemu dengan kita. Hubungan antara kamu dan ibumu memang rumit. Saran kami sih kamu harus segera menyelesaikan permasalahanmu dengan ibumu.
Kasihan kamu ke depannya. Kasihan juga dengan ibumu yang masih tidak tahu kalau banyak keinginan dan perasaan yang kamu tahan demi memenuhi harapannya. Selamat tinggal, Asia. Semoga suatu saat nanti kamu bisa menemukan kebahagiaanmu yang sesungguhnya. Menemukan dirimu yang sebenarnya, tanpa kendali dari ibumu lagi. Salam sayang, Val dan Ast.
Asia hanya termenung setelah selesai membaca chat dari Asta. Tiba-tiba ada panggilan masuk dari ibunya. Asia tidak sanggup menerima telepon dari ibunya dan memutuskan untuk mematikan daya handphone-nya.
***
Asia membuka pintu rumah dengan kunci cadangan miliknya. Dia terkejut ketika mendapati ibunya sedang duduk tegap di ruang tamu. Dia menyalami tangan ibunya dan bergegas masuk ke dalam kamar. Ibunya memanggil namanya berkali-kali sambil membuntutinya sampai masuk ke dalam kamar anaknya. Asia tidak menghiraukan ibunya. Dia hanya diam saja.
“Jam berapa ini? Kenapa kamu pulang sampai malam? Kenapa ibu sulit sekali meneleponmu?” pertanyaan ibunya yang beruntung membuat kepalanya semakin pusing.
“Bu, aku capek. Biarkan aku istirahat dulu ya,” ucapnya pelan. Asia meletakkan tas ranselnya dan segera berbaring di atas kasur. Ibunya langsung membalikkan tubuhnya dengan kasar.
“Jelaskan pada ibu sekarang juga! Kamu kemana saja tadi? Masa kamu mengerjakan tugas di rumah teman sampai malam?!! Kamu juga baru pulang bukannya mandi dan berganti baju, malah langsung tidur.”
“Koreksi aku terus, bu!” seruan Asia membuat ibunya kaget. Tidak pernah anaknya berteriak seperti itu pada dirinya. “Aku capek! Kepalaku migrain! Biarin aku tidur sebentar. Aku mohon!”
Ibunya mulai berbicara lagi, kali ini dengan nada tinggi, “Kamu nggak pernah membentak ibu seperti itu. Jangan-jangan karena kamu sering bergaul dengan teman-teman kuliahmu itu ya?! Kamu jadi berani sama ibu sekarang!”
Asia berdiri di hadapan ibunya sambil meneteskan air mata. “Nggak ada hubungannya sama mereka. Aku kecewa sama ibu. Kenapa ibu bilang kalau sekarang aku kuliah di Malang dan tinggal bersama dengan ayah? Dengan alasan agar aku fokus kuliah, ibu sampai menyuruh Asta dan Valeria untuk tidak menemuiku dulu.”
“Oh, jadi kamu sudah berbohong sama ibu. Bilangnya belajar, tapi ternyata kamu menemui Asta dan Valeria ya?!”
"Ibu juga berbohong pada banyak orang! Termasuk aku. Aku tahu, bu. Kalau ibu merasa malu karenaku. Makanya aku menuruti apa kata ibu. Aku tidak menemui kedua sahabatku untuk sementara waktu, masuk organisasi, dan berusaha lebih keras untuk mendapatkan nilai bagus di akademik. Semua aku lakukan untuk kebahagiaan ibu. Apa itu masih kurang?”
Asia yang sedari tadi menunduk sambil menutup matanya karena saking takutnya bersuara di hadapan ibunya, mulai mengangkat wajahnya. Tetapi dia malah melihat raut wajah sedih dari mata ibunya.
“Ibu nggak pernah memintamu bekerja dan menghasilkan uang. Ibu hanya memintamu belajar dengan baik dan unggul di segala bidang. Semua ibu lakukan agar kamu bisa mandiri kelak. Nggak seperti ibu, janda beranak satu yang hanya bisa membuka toko roti. Ada banyak hal yang kamu tidak tahu. Terserah, lakukan sesukamu sekarang. Toh, ayah kamu kan yang membiayai kuliahmu sekarang.”
Ibunya berjalan keluar dari kamarnya dengan lesu. Kepala Asia semakin sakit. Dia menutup pintu kamarnya dan segera berbaring di atas kasur karena migrain yang dirasakannya seperti sudah di ambang batas. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk berpikir. “Entah apa yang akan terjadi nantinya, akan kupikirkan besok saja!” gumamnya. Tak lama Asia tertidur pulas.
***
Migrainnya masih belum hilang juga. Padahal hari ini dia harus presentasi bersama dengan kelompoknya. Asia berjalan menaiki tangga kampus sambil memikirkan apa yang terjadi sebelumnya. Ia hendak meminta maaf pada ibunya karena sudah berperilaku di luar batas. Tetapi setelah menyalami tangan ibunya, Asia ditinggalkan begitu saja di ruang dapur. Padahal ibunya sedang membuat adonan. Beliau langsung masuk ke kamar.
“Ibu pasti marah banget sama aku sampai nggak berbicara sedikitpun,” gumamnya. Dia masuk ke dalam kelas yang masih kosong. Setelah duduk, dia sengaja tidur dan menelungkupkan badannya di atas meja. Beberapa saat kemudian ada seseorang yang membangunkannya.
“Asia, bangun. Kamu kelihatan capek banget,” ucap Mayu. Asia melihat para mahasiswa sudah banyak yang datang. Dia mengucek-ucek matanya.
“Ehm, Mayu. Sekarang jam berapa?” tanyanya.
“Sudah jam tujuh lewat lima,” jawab Marella yang duduk di sebelah Mayu. “Kita harus segera presentasi sekarang,”
Asia melihat Satria dan Marella yang sudah beranjak dari duduknya. Asia sudah merasa tidak pusing lagi. Dia segera mengeluarkan binder dan laptop dari dalam tasnya.
Mayu membantunya menyalakan laptop dan menyambungkannya ke layar proyektor. Asia merasa ada yang kurang. Sosok Aria tidak dilihatnya hari ini.
“Sat, dimana Aria? Lagi ke toilet ya?” tanyanya. Satria mengendikkan bahunya.
“Dia tidak bisa dihubungi seperti waktu itu,” jawab Mayu. Asia mengernyitkan dahi.
“Dia menghilang kemana lagi sih?! Sudah lama loh dia nggak kayak gitu. Parah sih!” ujarnya kesal. Satria dan Marella terkejut dengan suara Asia yang tiba-tiba meninggi.
Mayu menyentuh lengannya seraya berkata, “Ada hal-hal yang kamu tidak tahu. Mungkin dia sedang kesulitan atau ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Sebaiknya kita presentasi saja tanpanya.”
Asia tercenung beberapa saat ketika mendengar perkataan Mayu yang hampir mirip dengan kata-kata ibunya semalam, ‘Ada banyak hal yang Asia tidak tahu'. Satu kalimat itu sedikit mengganggu pikirannya.
Marella menyenggol Asia yang masih bengong. Asia kembali tersadar dan berusaha untuk fokus kembali. Gadis itu mengucapkan salam saat membuka presentasi. Di belakangnya, Diam-diam Mayu memperhatikannya dengan pandangan yang penuh misteri.
***