Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let Me be a Star for You During the Day
MENU
About Us  

Pagi itu hujan turun deras. Langit tampak gelap. Jalanan terlihat beberapa orang berjalan dengan payung. Ada juga orang-orang yang sudah memakai jas hujan terlihat lalu-lalang dengan kendaraan bermotornya.

Atmosfer yang terasa dingin merambat masuk di sela-sela jendela yang tidak tertutup begitu rapat. Namun terdapat tirai yang sudah tertutup hingga sama sekali tidak ada cahaya yang menerangi kamarnya. Tampak Aria duduk di sudut kamarnya. Dia meringkuk gemetaran di balik selimutnya yang tebal. Di kelilingi sunyi yang terlalu bising di kepalanya.

Daya ponselnya mati, lampu sengaja dimatikan olehnya. Bukan karena menghemat listrik, tetapi karena ia tak sanggup menatap bayangannya sendiri di cermin. Aria merasa lemah dan rapuh. Sangat sulit baginya untuk berdiri. Dia sudah mencoba untuk berpijak lagi di bumi dengan segala kesadarannya, tetapi realita kembali membunuhnya.

Terdengar suara ketukan dari luar kamarnya. “Mas Aria, bapak sama ibu sudah pergi kerja. Mereka berpesan kalau masnya nggak ada kuliah hari ini, mas Aria bisa nyusul mereka di rumah makan buat lanjut magang. Mas?” Aria tidak menghiraukan suara perempuan yang terdengar di luar kamarnya. Seluruh tubuhnya masih gemetaran.

Dia mengeluarkan tangannya dan terus melihat gelang karet berwarna kuning cerah yang terpasang di tangan kanannya. Dia berusaha menguasai diri. Tetapi tetap tidak bisa. Dia kembali menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut.

***

Satu minggu sudah berlalu. Sejak presentasi hari itu, Asia tidak melihat Aria hadir di perkuliahannya. Asia membaca obrolan chat lama di grup ponselnya.

Semenjak Aria menghilang, group-chat mendadak sepi. Dia baru sadar kalau chat mereka biasanya ramai karena ada nyawanya disana. Dan ‘nyawa' itu adalah sosok Aria. Tanpanya, obrolan mereka tak lagi asik.

Bisa diumpamakan Aria seperti micin. Makanan akan terasa semakin enak jika ada tambahan micin di dalamnya. Bagi mereka, itulah Aria. Hubungan mereka tetap baik seperti biasanya, namun terasa hambar tanpa anggota kelompok kelimanya.

“Harap perhatian semuanya!” para mahasiswa Psikologi yang semula ramai, mulai memperhatikan keberadaan Satria yang berdiri di depan kelas. “Kelas pak Inggih ganti di ruangan sebelah. Ayo, bubar! Pindah ke sebelah sekarang.”

Para mahasiswa langsung bergegas keluar kelas. Satria meminta Asia dan kedua temannya untuk mengobrol dengannya sebentar.

“Ada apa, Sat?” tanya Asia. Satria memastikan tidak ada mahasiswa yang berada di ruangan tersebut, selain dia dan ketiga temannya.

“Aku cuma menceritakan ini hanya dengan kalian saja ya. Tadi pak Inggih bertanya padaku kenapa Aria tidak hadir selama seminggu,” ungkap Satria.

Marella bingung dan nyeplos, “Lah, darimana pak Inggih tahu? Kan pak Inggih cuma ngajar sekali dalam seminggu.”

Satria menepuk jidatnya. Mayu pun menjawab, “Ya bisa jadi ada dosen yang cerita ke pak Inggih atau mungkin beliau melihat langsung absensi kehadiran mahasiswanya. Ingat, pak Inggih kan dosen wali kita.”

“Yaelah, itu masih ‘kemungkinan' kan?” celoteh Marella yang membuat Satria mengelus-elus dadanya. Mayu dan Asia juga menghela nafas singkat secara bersamaan.

“Sudahlah! Tinggalin ajah nih si oneng. Ayo ke kelas sebelah. Nanti kita telat masuk,” ajak Mayu dengan greget. Asia dan Satria berjalan keluar ruangan bersama dengan Mayu. Sementara Marella menyusul mereka di belakang.

Saat keluar ruangan, mereka melihat Aria yang sedang mengobrol dengan pak Inggih tidak jauh dari kelas sebelah. Keduanya tampak mengobrol dengan serius. Setelah itu, pak Aria berjalan duluan yang kemudian disusul Aria yang berjalan di belakangnya.

“Eh, kalian kok belum masuk? Ayo, masuk. Kelas sudah mau dimulai,” tegur pak Inggih. Satria dan Marella bergegas masuk mendahului pak Inggih.

Asia juga berjalan masuk ke dalam ruangan kelas tepat di belakang dosennya. Entah kenapa dia ingin melihat bagaimana keadaan Aria sekarang. Gadis itu melihat Aria dan Mayu yang saling menatap dalam diam. Saat Mayu menyadari jika Asia masih berdiri disana, dia segera mendorong dan mengajak gadis itu untuk segera masuk ke dalam kelas.

Saat pak Inggih menayangkan file word yang terpampang jelas di layar proyektor, membuat mahasiswanya berseru heboh.

“Ya, nggak terasa sudah bulan ke-enam ya sekarang? Pertemuan kuliah kita tinggal tersisa dua kali pertemuan lagi. Tetapi hari ini adalah kelas Antropologi terakhir kita,” jelas pak Inggih sambil membetulkan kacamatanya. Reaksi para mahasiswa menunjukkan ekspresi kecewa. Tapi ada juga yang tersenyum lebar. “Nah, saya memberikan waktu dua minggu untuk mengumpulkan dua tugas akhir individual ini. Tugas pertama kalian harus mereview teori antropologi struktural Levi Strauss. Bobot penilaiannya dua puluh persen,” sepanjang pak Inggih menjelaskan, beberapa mahasiswa ada yang mencatat dan ada juga yang hanya mendengarkan.

Pak Inggih lanjut menjelaskan sambil menggerakkan kursor, “Tugas kedua kalian bisa memilih salah satu diantara kedua pilihan yang saya berikan. Pilihan pertama, kalian harus mendeskripsikan fakta kebudayaan di sekitar. Kalian bisa melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi tentang kebudayaan tersebut. Pilihan kedua, kalian harus menarasikan cerita rakyat atau foklor yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat di sekitar. Tugas ini sama ya seperti pilihan yang pertama, harus melakukan wawancara. Bobot penilaiannya sama, tiga puluh persen. Ada pertanyaan?”

Ditra mengangkat tangannya. Pak inggih mempersilakannya untuk berbicara. “Bagaimana dengan standar pembuatannya, pak? Apakah ada ketentuannya ukuran berapa, harus menggunakan font apa, dan sebagainya?” tanya Ditra.

“Oh ya, jelas ada. Sebentar,” pak Inggih kembali menggerakkan kursornya. Kemudian menunjukkan beberapa ketentuan format penulisan. “Di word ini sudah ada ketentuannya. Ditra maju kesini. Salin file ini ke flashdisk seperti biasa dan bagikan di grup kelas ya.”

Ditra meletakkan tangan kanannya di pelipis, memberi hormat, “Siap, pak!” dengan segera, ia maju ke depan dan menyalin file tersebut ke dalam flashdisk-nya.

“Pak,” giliran Asia mengangkat tangannya. Pak Inggih melihat ke arahnya. “Wawancaranya harus dengan tetua setempat atau boleh masyarakat biasa?”

Pak Inggih berdeham,lalu menjelaskan kembali, “Pertanyaan yang bagus. Kalian bisa melakukan wawancara dengan masyarakat biasa tetapi yang mengetahui dan bisa menceritakan tentang fakta kebudayaan ataupun cerita rakyat. Ada yang ingin bertanya lagi?”

Marella mengangkat tangannya, “Pak, kata bapak kan hari ini kelas terakhir kita, berarti dua minggu ke depan kita libur dong?”

Seketika para mahasiswa langsung menyorakinya. “Huu.. Maunya!” sorak Mayu juga. Pak Inggih ikut tertawa melihat reaksi para mahasiswa bimbingannya.

Beliau berucap sambil tersenyum, “Ya, kalian libur. Tetapi kalian tetap dua kali tanda tangan absensi kehadiran saat mengumpulkan tugas mandiri di ruang fakultas ya,”

“Baik, pak,” jawab mereka serentak.

“Jangan khawatir bapak tetap menjadi dosen wali kalian sampai lulus. Bapak akan terus mengawasi kalian. Jadi kalau ada permasalahan apapun kalian bisa cerita ke saya. Bapak akan membantu kalian. Bapak harap kalian tetap rajin kuliah agar bisa cepat lulus. Saya doakan semoga kalian lulus tepat waktu!”

Para mahasiswa menjawab kembali secara serentak, “Amiiiinnn!!!”

Setelah pak Inggih menutup perkuliahan, beliau menenteng tas dan menghampiri Aria. “Aria, saya tunggu di ruang fakultas.”

“Iya, pak,” jawab Aria dengan senyuman khasnya. Setelah pak Inggih keluar kelas, Aria menarik nafas lega. Asia dan ketiga temannya melihatnya dengan penuh tanda tanya. Aria langsung cengengesan, “Iih, susahnya jadi mahasiswa kesayangan dosen. Apa-apa diajak ngobrol berdua. Guys, aku pergi ke fakultas dulu ya. Kalian pulang duluan ajah.”

Aria membereskan bukunya ke dalam tas ransel. Setelah itu dia bergegas keluar kelas. Asia melihat ke arah teman-teman yang. Dia hendak berbicara. Tetapi dia kaget ketika Aria masuk ke kelas lagi seraya merogoh sesuatu di dalam tasnya, “Oh ya, Asia. Aku mau kasih hasil rangkuman buat tugas kelompok kita berdua.”

“Hah, yang mana?” tanya Asia bingung. Aria berhenti merogoh tasnya.

Cowok itu mengingatkan Asia sembari menunjuk ke arahnya, “Itu loh. Masa kamu nggak ingat? Minggu kemarin kamu chat aku tentang tugas matkul Pancasila. Materinya tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Kata kamu kita berdua satu kelompok. Jadi aku rangkum duluan di buku catatan karena hari ini aku akan langsung pulang dan mungkin besok aku juga tidak bisa hadir di kelas. Tapi aku bakal ijin sama pak Yulio. Kamu presentasi sendirian nggak apa-apa kan?”

“Oh, iya. Nggak apa-apa sih,” jawabnya singkat. Dia melihat Aria yang kembali merogoh tasnya sambil kebingungan.

“Kemana ya bukunya? Perasaan tadi aku bawa. Masa ketinggalan di rumah sih?!”

Asia terus mengamati cowok di depannya yang masih kebingungan mencari buku catatannya. Gadis itu mulai menyadari kebiasaan Aria yang akhir-akhir ini sering menghilang, tidak aktif di chat, dan bahkan sekarang ia terlihat lelah meskipun selalu menunjukkan senyumannya.

“Eeng, Aria. Nggak perlu,” ucapnya kemudian. Aria berhenti mencari bukunya. Dia mengerutkan keningnya, tidak mengerti. Asia berkata lagi, “Maksudku nggak apa-apa kalau bukunya ketinggalan. Lagipula kemarin aku sudah menyelesaikan makalahnya kok karena aku takut kalau kamu tidak hadir lagi di kelas besok.”

Aria termenung sesaat. Dia kelihatan seperti orang bingung dan merogoh tasnya lagi. “Sudah cepetan sana ke fakultas. Ditunggu sama pak Inggih loh,” kata Asia lagi. Aria celingak-celinguk dengan kebingungan, entah apa yang sedang dipikirkannya.

“Eh, oh. Oke. Maaf ya, Asia. Guys, aku duluan,” Dia segera bergegas pergi. ‘Aku bohong lagi. Padahal makalahnya masih setengah jadi. Tapi entah kenapa aku melihat Aria seperti orang linglung hari ini. Dia seperti sedang banyak pikiran,’ Asia melamun memikirkan perilaku aneh dari temannya itu.

“Hari ini Aria kelihatan aneh nggak sih?” pertanyaan Marella kembali menyadarkannya. Dia merasa jika teman-temannya juga menyadari perilaku Aria sebelumnya. “Tiba-tiba saja dia datang. Eh, berbicara empat mata dengan pak Inggih. Terus dia juga agak-agak gimana gitu..,”

“Agak-agak? Maksud lu apa deh?!” seru Satria.

“Yaa.. Kelihatan nggak seperti Aria yang biasanya.”

Mayu langsung berdiri dan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dia ikut menimpali, “Ya wajarlah pak Inggih mau ngomong sama dia. Mungkin soal dia nggak masuk selama beberapa hari ini. Lagipula aku lihat Aria kelihatan biasa saja kok. Mungkin kamunya ajah yang terlalu peka. Padahal nggak peka peka amat! Hahaha..,”

“Idih! Iya deh, si paling peka!” jawab Marella. Keduanya saling membalas dengan kata-kata sindiran. Melihat pertengkaran kecil keduanya yang seperti biasa, membuat Asia kembali melamun.

‘Apa sebenarnya ada sesuatu yang membebani pikirannya ya?’ pikirnya lagi.

***

Esoknya Asia melakukan presentasi sendirian. Aria benar-benar tidak hadir di kelas. Pak Yulio, dosen mata kuliah Pancasila sampai menanyakan kemana rekan satu kelompoknya berada.

“Aria ijin tidak masuk hari ini, pak. Kemarin katanya akan menyampaikan ijinnya kepada bapak,” jawab Asia.

“Masa? Tapi kemarin saya tidak bertemu dengannya di kampus,” ucap dosen tersebut. Asia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Dia takut kalau dia mendapatkan nilai yang tidak sesuai dengan kemampuannya hanya karena ketidakhadiran anggotanya. Asia melihat pak Yulio memeriksa handphone-nya. “Oh, ya. Tadi dia mengirim pesan. Cuma belum saya baca.”

Asia bernafas lega. Pak Yulio bertanya lagi sambil menunjukkan makalah, “Tapi sebelumnya Aria juga ikut mengerjakan tugas kelompok ini kan?”

Asia menelan ludah sesaat. 'Bakalan gawat kalau pak Yulio tahu aku yang mengerjakannya sendiri. Nanti nilai yang aku dapatkan bakalan jelek nggak sih. Mungkin C plus? Aku nggak mau! Tapi masa aku harus bohong lagi?!! Asia, cepat jawab pertanyaan pak Yulio!’

“Eh, iya, pak. Aria juga ikut mengerjakan,” bohongnya kemudian. ‘Iya, dia juga mengerjakan.. hasil rangkumannya, tapi ketinggalan di rumahnya,’ lanjutnya dalam hati.

“Oke kalau begitu. Terima kasih, ya,” ucap pak Yulio.

Asia berbalik dan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia benar-benar tidak dapat menyembunyikan kelegaannya. “Kebohongan putih. Kebohongan putih,” katanya komat-kamit.

Pak Yulio keluar dari ruangan kelas. Sedangkan Asia langsung kembali duduk di kursinya. Dia hanya melempar senyum saat melihat Mayu terus melihatnya. Asia takut kalau sampai kebohongannya tadi didengar oleh gadis feminin berambut panjang itu.

“Tadi pak Yulio nanyain keberadaan Aria ya?” tanya Mayu. Asia hanya menganggukkan kepala. Untuk menyembunyikan kegugupannya, Asia mulai memperhatikan Marella dan Satria yang lagi asik mengobrol. Mau tidak mau, Mayu pun juga ikut menoleh ke arah kedua temannya itu.

“Lah, beruntung banget kamu nemuin tetanggamu itu. Aku malah belum sama sekali!” kata Marella sambil berpura-pura mewek. Mayu mencubit pipi gadis itu dengan gemas.

“Ngobrolin apaan sih?” tanya Asia.

Satria menengok ke arahnya, “Oh, itu loh! Aku lebih memilih menulis tentang cerita rakyat untuk tugas pak Inggih. Nah, kemarin malam aku diberitahu sama bapakku kalau ada tetanggaku yang bisa dijadikan narasumber. Beliau itu dulunya guru. Tapi sudah pensiun. Wawasannya juga luas. Beliau senang banget saat aku jadikan narasumber. Sore ini aku akan melakukan wawancara di rumahnya.”

Asia ikut merasa senang mendengarnya. “Wah, good luck yaa untuk wawancaranya, Sat.”

Satria mengacungkan jempolnya sambil ikut tersenyum. Lalu dia balik bertanya, “Kamu gimana? Sudah nemuin narasumber?”

Asia merasa sungkan untuk menjawab, “Aku.. Tugasku yang cerita rakyat sudah selesai. Tinggal ngerjain tugas teori Levi Strauss itu.”

Ketiga temannya kaget. “Hah, Asia malah sudah kelar setengah jalan,” keluh Marella lagi. Kali ini dia pura-pura mewek di pundak Mayu. Asia mengelus-elus kepala Marella sambil terkekeh.

“Narasumber kamu siapa?” tanya Mayu.

“Ayahku. Tapi karena beliau tinggal di Malang, jadi aku hanya vidcall dengannya. Screenshoot saat kami mengobrol, aku jadikan bukti fotonya deh.”

“Cerdas!” Satria mengacungkan dua jempolnya.

Mayu bertanya lagi, “Loh, ayah kamu kok tinggal di Malang? Ayah kamu lagi kerja disana?”

Sebenarnya Asia merasa malu untuk menceritakan tentang keluarganya. Tetapi dia sudah merasa dekat dengan teman-temannya. Jadi dia menceritakan semua yang terjadi pada keluarganya. Dia juga bercerita bagaimana kegagalan yang ibunya rasakan pasca bercerai dan bagaimana cara dia selalu berusaha untuk menghapus kekecewaan ibunya.

Teman-temannya terdiam saat mendengarkannya berbicara. Wajah mereka sampai terlihat tegang.

Marella beranjak dari duduknya dan segera memeluk Asia. Kali ini dia menangis sungguhan. “Nggak aku sangka ternyata kedua orang tuamu saling berpisah. Sekarang aku tahu kenapa kamu selalu kelihatan serius menjalani kuliah. Asia, kamu tegar banget!”

Mayu juga ikut memeluk sembari mengelus punggung temannya dengan penuh kasih. Sementara Satria mendongak ke atas menahan air matanya yang hampir keluar.

“Asia memang selalu kelihatan tegar, kuat, dan juga mandiri,” kehadiran Aria membuat Asia terkejut.

“Aria, katanya kamu nggak masuk hari ini?”

“Urusanku sudah selesai,” katanya singkat. ‘Dia tidak bilang tadi kemana. Urusan apa. Mungkin dia tidak ingin kami tahu,’ pikir Asia.

“Urusan apa, woy? Sibuk amat,” cetus Marella.

Asia langsung berusaha mengalihkan pembicaraan untuk menyelamatkan Aria dari pertanyaan yang dianggap membebaninya, “Hey, Aria bilang aku kuat, tegar, dan mandiri. Darimananya? Bohong amat.”

“Aku.. Tadi juga mendengarkan kisahmu. Terkadang apa yang kita lihat dari seseorang, belum tentu seperti itu yang terlihat sebenarnya. Dan itu yang kulihat dari dirimu sekarang.”

Ucapan Aria membuat Asia merasa aneh dalam sesaat. Dia bisa melihat dari dekat Aria yang berjongkok disebelahnya. Matanya tampak sembab seperti seseorang yang menangis semalaman.

Seolah-olah seperti memahami tatapan jujur dari wajah Asia, cowok itu segera berdiri. Dia menghapus air matanya sambil bercanda, “Duh, baru semalam aku maraton nonton film doraemon. Sedih banget euy! Sekarang ditambah aku merasa terharu setelah mendengar kisah hidup Asia. Perlu berapa ember lagi sih supaya mewekku ini berhenti?” ketiga temannya menertawakannya. Tetapi Asia masih terus terdiam. Bahkan saat Aria sudah duduk di kursi pojok di sebelah Satria, gadis itu masih tidak berkata apa-apa.

Pemikiran Asia mulai berubah tentang cowok yang biasanya kelihatan pemalas dan cuek itu, ‘Ekspresinya terasa berbeda, seakan-akan seperti ada kehampaan yang tidak bisa dijelaskan.’ Untuk pertama kalinya, Asia merasa ada luka yang sedang Aria tutupi.

“Baik, adik-adik. Minggu depan pertemuan terakhir mata kuliah Psikologi Perkembangan,” ucapan bu Sahara kembali mengejutkannya. ‘Lah, sudah ada dosen,’ sadarnya kembali. Asia merasa pikirannya tentang Aria terkadang bisa menyita pikirannya. Entah kenapa dia merasa bahwa akhir-akhir ini dia terus kepikiran tentang Aria. Kini dia kembali fokus dengan apa yang dipaparkan oleh bu Sahara, “Minggu ini kalian harus membuat surat ijin ke taman kanak-kanak untuk melakukan observasi dan wawancara disana. Minggu depan kalian sudah harus mempresentasikan hasilnya di depan ya. Nah, sekarang saya ingin kalian mengambil undian di depan kelas. Nanti kalian sekelompok berisi dua orang. Oh ya, karena jumlah orang di kelas kalian ada lima belas orang. Jadi nanti satu kelompok ada yang berjumlah tiga orang ya. Dimulai dari pojok kanan saya, Aria silakan maju.. sampai barisan belakang.”

Setelah Aria maju, Satria dan teman-teman lainnya langsung maju ke depan secara berurutan. Setelah selesai, Mayu menyenggol lengan Asia. “Aku dan Satria sama-sama dapat angka tujuh.”

“Lah, berarti kalian berdua satu kelompok dong?” tanyanya. Mayu mengangguk sambil mengembangkan senyumnya.

“Siapa yang mendapatkan angka satu? Silakan angkat tangan,” Asia mengangkat tangannya. Pandangannya menyusuri bagian kanan sampai bangku belakang. Namun tidak seorang pun yang mengangkat tangannya. “Ya berarti Asia dan Aria satu kelompok ya,” perkataan bu Sahara membuat Asia sedikit terkejut dan menoleh ke arah Aria yang kini menunjukkan angka di kertasnya sambil tersenyum.

“Wah, kita satu kelompok ya? Mohon bantuannya, Asia,” ucap Aria dengan gamblang. Asia tidak menyangka bahwa dia akan satu kelompok lagi dengan Aria setelah mata kuliah Pancasila. Asia berharap kalau Aria bisa menyempatkan waktunya untuk saling bekerjasama dan tidak malas seperti biasanya. Karena kali ini mereka hanya berdua. Asia berharap lebih kepadanya.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
OF THE STRANGE
1094      597     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
Fidelia
2065      887     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
GEANDRA
395      312     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Help Me Help You
1617      939     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Konfigurasi Hati
441      308     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Something about Destiny
160      136     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
My Sweety Girl
11352      2558     6     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...
Warisan Tak Ternilai
437      160     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
I Hate My Brother
455      321     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
Code: Scarlet
25192      4913     16     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.