Beberapa hari ini Aria tidak lagi datang kuliah. Semenjak presentasi hari itu, dia sama sekali tidak ada kabar. Asia dan teman-teman satu kelompoknya berusaha meneleponnya. Namun panggilan telepon mereka tidak pernah dijawab olehnya. Asia mencoba mengirim chat untuk mengajak cowok itu mengerjakan tugas kelompok Filsafat, tetapi tetap saja tidak ada balasan darinya.
Siang itu Satria menelepon Aria berkali-kali. Namun hasilnya tetap nihil. Satria meletakkan handphone-nya di atas meja dengan rasa kesal.
Marella berhenti mengetik keyboard laptop dan melihat ke arah Satria. Asia dan Mayu juga melihat ke arah cowok yang kini sedang mengelus dadanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
“Sudah satu jam kita berada disini untuk mengerjakan tugas kelompok sekaligus menunggu kedatangannya. Tetapi dia tetap tidak mengangkat telepon. Asia, kamu sudah mengirim pesan kepadanya kan tadi?” Asia menganggukkan kepala saat Aria bertanya padanya.
“Aku sudah chat dia kalau kita menunggunya di perpustakaan fakultas.”
Marella ikut angkat bicara, “Sudahlah. Lebih baik kita fokus mengerjakan tugas ini sampai selesai daripada menguras tenaga karena hal yang tidak perlu.”
“Hal yang tidak perlu?” pertanyaan Mayu membuat ketiga temannya menoleh ke arahnya. Gadis itu mengernyitkan dahi dan suaranya terdengar sedikit bergetar seperti menahan amarah, “Marella, hal yang menurutmu tidak perlu itu adalah menunggu kehadiran Aria, teman kita. Dia bukan sekedar anggota kelompok kita, tetapi juga teman yang akrab dengan kita. Apa kamu tidak mengkhawatirkannya sedikitpun? Dia sudah tidak masuk beberapa hari ini loh!”
Laptop yang semula berada di pangkuannya, kini diletakkannya di atas meja. Marella melipat kakinya dan berusaha duduk senyaman mungkin. Ia bersiap untuk mengatakan segala uneg-unegnya.
“Kamu salah paham, Mayu. Maksudku tidak begitu. Aku juga tahu kalau Aria itu teman terdekat kita. Tetapi bukankah lebih baik kita tetap mengerjakan tugas filsafat ini sampai selesai? Presentasinya besok pagi loh! Tetapi sekarang kita masih stagnan di makalah. Ppt juga sama sekali belum dibuat. Kamu mikir nggak sih kalau tugas Filsafat kita lebih penting daripada mikirin Aria yang entah sekarang berada dimana.”
Mayu berdiri dengan kilatan api amarah yang terlihat dimatanya, “Kamu sama sekali tidak mencemaskan Aria. Kamu hanya mementingkan tugas kelar terus dapat nilai bagus daripada kebersamaan kita berlima. Seharusnya yang Aria sebut egois itu bukan Asia, tetapi kamu!”
Asia kaget sekali ketika namanya juga dikaitkan dengan pertengkaran di antara kedua temannya. Satria memberinya isyarat agar Asia mau untuk menengahi keduanya.
Asia ikut berdiri. Ia bingung bagaimana cara menengahi pertikaian di antara kedua temannya tanpa harus terlihat memihak salah satunya. “Ehmm.. Aduh, sudah jangan bertengkar. Pakai sebut-sebut namaku lagi. Eeng.. Ingat, kita masih di perpus loh. Nanti suara kita terdengar dari luar kan nggak enak. Aria juga pasti datang kok sebentar lagi,” ucapnya dengan terbata-bata.
Akhirnya keduanya terdiam. Asia bernafas lega. Ia kembali duduk di atas karpet. Namun ternyata Marella mengambil tas ranselnya dan beranjak dari duduknya seraya berkata, “Asia, Satria! Aku pulang! Capek banget meladeni orang yang kelihatan cinta mati sama Aria!”
Mayu semakin marah mendengar perkataan Marella. Dia hampir saja menjambak rambut Marella, tetapi Satria dengan sigap menahan kedua tangan temannya yang diliputi kemarahan itu. Asia segera bangkit dari duduknya juga dengan perasaan campur aduk.
“Stop! Jangan biarkan kemarahan itu menguasaimu, May,” ujar Satria. Sementara Marella berbalik sebentar melihat Mayu yang masih memberontak dan berjalan pergi.
“Kenapa?! Kalian juga nggak peduli kan sama Aria?!! Teman macam apa kalian?!” seru Mayu seperti kesetanan. Mendengar hal itu membuat Asia muak seketika. Dia memisahkan Satria dari Mayu dan mengguncang-guncang tubuh Mayu dengan kasar.
“SADAR, KAMU! SADAR!” teriaknya kemudian. Satria terkejut mendengar Asia juga ikut berteriak. Ajeng yang menjaga ruang perpustakaan fakultas sampai masuk kembali ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa.
“Hey, kalian kenapa kok berisik? Suara kalian terdengar sampai dari luar loh!” tanyanya bingung. Satria pun tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghentikan kedua temannya.
Asia tidak memedulikan panggilan Satria. Dia tetap menatap mata Mayu yang masih diliputi kemarahan. “Dengar, Mayu! Aria memang teman kita! Tapi Marella juga teman kita! Kamu nggak sadar kalau sudah menyakiti hatinya? Apa yang dikatakan Marella itu benar! Besok kita sudah harus presentasi. Tapi kerjaan kita masih setengah jalan. Coba kamu pikir, kalau seandainya saja Aria datang sekarang, apa tugas Filsafat kita bisa kelar begitu saja? Seperti yang kamu tahu, kadar keseriusan Aria setiap mengerjakan tugas bersama cuma dua puluh lima persen! Dan itu nggak sebanding dengan usaha tujuh puluh lima persen yang sama sekali tidak dikeluarkannya!”
Mayu semakin melihat Asia dengan sinis, “Oh, jadi ini wujud sebenarnya dari seorang Asia, si paling egois! Sekarang aku tahu kalau sebenarnya kamu juga lebih mementingkan kuliahmu dan menyepelekan hubungan pertemanan kita kan. Kamu pasti tidak sadar kan kalau diam-diam aku menyadari setiap tujuan yang ingin kamu gapai dan merasakan setiap ambisi besar dari dirimu! Isi otakmu itu nggak jauh beda seperti buku jurnal harianmu itu!”
Ucapan Mayu seakan-akan menimbulkan suara petir di dalam ruangan itu. Setiap perkataannya seperti sebilah pisau yang menghujam jantungnya sampai dalam. Tanpa sadar Asia menampar pipi gadis itu.
“Asia! Hei, jangan begitu!” seru Satria kemudian. Dengan langkah cepat, Ajeng langsung memisahkan keduanya. Asia pun membelalakkan matanya kala menyadari apa yang baru saja dilakukannya kepada Mayu.
“Cukup ya kalian membuat keributan. Sebaiknya selesaikan permasalahan dengan berkomunikasi yang baik. Bukan dengan teriak-teriak, apalagi dengan kekerasan,” tegas Ajeng. Asia merasa malu dengan perbuatannya. Ia hanya diam dengan kepala tertunduk.
Sementara Mayu mulai menangis dan mengambil tas ranselnya. Dia melihat Asia sekilas dan memutuskan untuk pergi. Satria juga mengambil tas ranselnya.
Sebelum pergi, dia berkata kepada Asia dengan wajah sedih, “Maaf, aku harus mengejar Mayu. Seharusnya kamu tidak sekasar itu padanya.”
Setelah Satria juga pergi meninggalkan ruangan, tengkuk kaki Asia bergetar hingga terduduk di atas karpet. Air matanya mulai menetes. Asia pun menangis sesenggukkan. Ajeng menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengusap-usap punggung Asia pelan.
“Heran sama kalian. Terkadang paling kompak, terkadang juga paling chaos. Ampun deh!”
***
Pagi itu seharusnya kelompok satu sudah harus mempresentasikan materi Filsafat tentang Pragmatisme. Tetapi anggota kelompok itu kebingungan karena mereka sama sekali tidak memiliki soft file makalah yang belum terselesaikan kemarin.
Satria meminta keringanan kepada dosennya agar kelompoknya bisa maju ke depan paling terakhir dikarenakan ada dua anggotanya yang masih belum datang. Sementara Marella masih berusaha menelepon Asia yang masih belum hadir. Mayu terkejut saat melihat Aria memasuki ruangan kelas.
“Sori datang telat. Hari ini ada presentasi?” tanyanya pada Mayu. Gadis itu hendak menjawab, tetapi Marella sudah menyahut duluan.
“Kebangetan sih. Baru muncul saat presentasi.”
Mayu menyindir balik temannya itu, “Jangan dengarkan dia. Marella sudah ketularan virus hyperfocused seperti Asia.”
“Ya kamu itu ngapain selalu belain dia? Eh, wajar sih! Si paling perhatian.. Si paling peduli!”
Mendengar duel antara Mayu dan Marella membuat Aria semakin bingung. Satria mendatangi mereka setelah berbicara dengan dosen, “Sudah ya! Nggak perlu drama lagi disini. Dosen memberikan kesempatan kita untuk maju paling terakhir. Harapan kita sekarang cuma Asia.”
Lantas Satria menyadari bahwa Aria masih belum tahu tentang kejadian kemarin. “Ceritanya panjang. Nanti aku ceritain. Intinya sekarang Marella dan Mayu musuhan. Kami bertiga juga melalaikan tugas Filsafat hari ini karena pertengkaran kemarin. Soft file-nya ada di laptop Asia. Dia juga masih belum ada kabar,” jelasnya. Aria hendak bertanya, tetapi Satria menyuruhnya untuk diam.
“Lebih baik kamu juga telepon atau chat Asia,” kata Satria lagi. Aria pun menurut. Dia segera menelepon Asia. Satria mendekati Marella dan Mayu yang masih beradu pandang dengan sengit.
“Guys, kita harus punya plan B. Marella, ikut aku sekarang ke perpus fakultas. Kita ambil beberapa buku Filsafat kemarin,” ajaknya. Lalu dia beralih melihat ke arah Mayu, “Dan kamu, tugas kamu sekarang buka laptop dan rangkum beberapa blog atau website untuk referensi. Sekalian susun makalahnya buat jaga-jaga.”
“Berat banget tugasku,” keluh Mayu.
Satria menepuk pundak Aria yang sedari tadi berusaha menghubungi Asia, “Bro, sekarang bantuin Mayu menyusun makalah. Aku sama Marella ke perpus dulu ambil buku buat referensi. Setelah balik, kita susun ppt bareng-bareng.”
“Owh, oke. Oke,” jawab Aria santai. Kemudian Satria dan Marella meminta ijin untuk keluar ruangan kelas sebentar. Setelah mereka keluar, Mayu mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Aria tergelitik untuk bertanya, “Kenapa kalian bisa bertengkar? Maksudku apa yang sebenarnya terjadi kemarin?”
Mayu menghela nafas kecil. Sambil menekan tombol dari laptopnya, gadis itu menyahut, “Kalau kamu segitu ingin tahunya, kenapa kemarin kamu tidak datang? Berkatmu, tugas Filsafat kita semua jadi amburadul.”
Aria malah terkekeh dengan canggung. Terdengar Mayu bergumam, “Seandainya saja aku mendengarkan apa kata Asia dan nggak menjadi emosional seperti kemarin, pasti hari ini presentasi kita berjalan lancar seperti sebelumnya.”
Aria menggeser kursinya hingga semakin dekat dengan Mayu. Dia berbisik, “Mayu yang baik hati dan tidak sombong. Cerita dong ada apa dengan kalian kemarin. Aku bisa jaga rahasia ko..,”
“Diam!” potong Mayu. Aria tidak mengindahkan perkataan Mayu. Dia tetap membuka mulutnya untuk berbicara lagi. Sambil fokus di depan layar monitor, Mayu berkata, “Jangan buat aku semakin kesal karena sudah membelamu. Sekarang bantu aku menyusun makalah ini.”
“Hah, membelaku? Maksud..,” ucapan Aria terhenti ketika melihat lirikan tajam dari mata Mayu. Aria langsung menutup mulutnya rapat-rapat dan memindahkan laptop Mayu di mejanya. Dia mulai terlihat fokus mengerjakan, walaupun sebenarnya isi kepalanya masih penuh dengan sejuta pertanyaan yang membuatnya mati penasaran.
***
Asia berjalan memasuki gerbang universitas negeri impiannya. Kehadirannya disambut hangat oleh Asta dan Valeria. “Aku bilang juga apa, Asia pasti diterima disini. Sekarang kita bisa bareng-bareng terus,” ucap Valeria seraya memeluk erat sahabatnya itu. Asta juga mengangguk sambil tersenyum. Ketiganya bergandengan tangan dan berlari-lari kecil dengan gembira sampai masuk ke dalam ruangan yang tidak asing baginya.
Asia mengerjap-ngerjapkan matanya, “Loh, kok aku ada di perpus fakultas? Val, kamu yakin kita nggak salah tempat?”
Asia menoleh ke arah Valeria. Tidak ada Valeria disisinya. Asia mulai merasa takut. Dia menoleh ke kiri dimana Asta berada. Tidak ada satu orang pun disana. Asia mulai ketakutan. “Val, Asta. Kalian dimana?” panggilnya.
“Asia,” gadis itu langsung berbalik ke arah sumber suara. Mayu sedang berdiri di depannya dalam keadaan marah. Wajahnya tampak merah padam. Asia memundurkan langkahnya. Dia tidak menyangka akan berhadapan dengan situasi yang sama.
“May, aku salah karena sudah menamparmu. Maaf..,” belum selesai Asia berbicara, Mayu berlari ke arahnya seperti adegan film horor yang sering ditontonnya.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang Aria!!!” teriaknya. Asia ikut berteriak sambil menutup matanya. Situasi itu sangat menakutkan bagi Asia.
Perlahan Asia membuka kedua matanya. Dia terkejut saat mendapati dirinya tertidur di atas meja. “Huah, ternyata hanya mimpi,” katanya lega.
Matanya mengarah ke layar laptop dan mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Dia berusaha menyusun puzzle-puzzle memori yang berhamburan di dalam pikirannya, “Kemarin siang menjelang sore kami bertengkar. Lalu ibu pamit pergi berlibur dengan ibu-ibu tetangga ke kota Batu. Setelah itu, aku menangis di kamar sampai malam. Lalu? Oh ya, aku ingat dengan tugas kelompok dan mengerjakannya sampai jam empat pagi. Aku pergi mandi dan beribadah. Setelah itu.. Aku mengerjakan tugas bahasa Inggris, tapi..,”
Asia menyalakan laptopnya dan hanya menemukan sebaris judul bertuliskan ‘All About Jackie Chan'. Selebihnya tidak ada lagi. Matanya langsung melotot. “Hah! Aku belum mengerjakan tugas ini dan hanya fokus dengan tugas kelompok! Padahal kan hari ini ada matkul bahasa Inggris! Tenang, Asia.. Tenang! Kamu bisa mengerjakannya. Masih ada waktu kok,” baru saja merasa lega, kedua matanya melotot lagi. Bahkan Asia sampai menjambak kepalanya saat melihat jam di layar laptopnya.
“UAPA?!! Sudah jam setengah delapan?! Jam tujuh kan ada matkul Filsafat! Hari ini presentasi kelompok dan aku sama sekali belum ngeprint ppt-nya! Ini namanya rencana di luar rencana! Waaa.. Aku bisa gila!”
Tiba-tiba terbesit di ingatannya tentang perkataan Aria di malam keakraban, ‘Nggak semuanya yang direncanakan akan melambung sukses. Terkadang hari yang random malah akan menjadi kenangan yang bagus.’
Asia kembali terdiam dalam beberapa saat. “Benar juga. Kejadian ini sudah di luar rencana. Aku nggak akan tahu apa yang akan terjadi nantinya, tetapi aku harus berusaha lagi semampuku agar tidak terlalu menyesalinya. Aria, hari yang random, katamu? Aku tetap harus menang dari hari yang random ini!”
Asia segera mematikan laptopnya, berganti baju, dan memasukkan laptop serta buku-buku ke dalam tas ransel. Dia melihat wajahnya yang masih polos di depan cermin. “Nggak perlu dandan,” ujarnya. Dia merapikan rambut dengan tangannya seraya bergegas keluar kamar.
***
Tampak ketegangan di wajah anggota kelompok satu. Satria dan Marella secara bergantian mendikte Aria yang masih terus mengetik di depan laptop. Sementara Mayu sedang membuat ppt melalui handphone-nya. Mereka terkejut tatkala mendengar suara tepuk tangan untuk kelompok tiga. Kini giliran kelompok satu harus mempresentasikan tugasnya. Keempat orang itu segera melihat ke arah jam dinding.
“Jam delapan lewat lima. Tapi makalah masih belum kelar juga,” kata Satria getir.
“Kenapa waktu cepat sekali berlalu. Sudah, ah! Capek. Nggak mau lagi aku!” keluh Marella yang hampir saja menangis.
Mayu juga ikut mengeluh sambil menghentak-hentakkan kakinya, “Aaaa! Aku nggak mau tersiksa kayak gini lagi! Ampuuunnn!!!”
“Jari-jariku juga hampir keriting nih!” kata Aria hampir menangis saat melihat jari-jarinya penuh warna kemerahan.
“Maaf, bu. Saya terlambat. Tadi saya bangun kesiangan untuk pertama kalinya. Padahal saya tidak pernah bangun kesiangan. Sungguh, bu. Ini di luar dari rencanaku. Buku jurnal harianku adalah saksinya,” mendengar suara yang tidak asing di telinga mereka, membuat keempatnya segera berbalik. Benar saja! Kedatangan seorang gadis dengan rambut tergerai acak-acakan dan mengenakan kemeja yang dikancing ala kadarnya membuat keempat orang itu terkejut bukan main.
“Asiaaaa..!!!” panggil mereka. Mayu dan Marella langsung memeluk Asia begitu saja. Sedangkan Aria dan Satria mendadak sujud syukur. Dosen dan kesepuluh mahasiswa lainnya benar-benar kaget melihat reaksi mereka yang di luar prediksi. Asia pun bingung dengan tingkah keempat temannya yang menjadi baik kembali dengannya.
‘Tunggu dulu! Bukankah kemarin hubungan kita semua lagi kacau?’ pikirnya penuh tanda tanya.
“Asia, maaf ya aku sempat ngereog kemarin. Kata-kataku keterlaluan,” ucap Mayu sambil terisak.
“Iya. Maaf juga aku sudah menyakitimu kemarin,” kata Asia sambil menunjuk pipi Mayu. Kedua gadis itu saling berpelukan.
“Nggak apa-apa kok kalau tugasnya belum kelar. Satria sudah punya rencana cadangan walaupun cuma lima lembar,” kata Marella juga. Ketiganya saling berpelukan.
Suara berdeham dosen yang duduk di sebelah mereka membuat anggota kelompok satu kembali tersadar. “Sudah dramanya?” tanya dosennya. Mereka berlima tertawa malu. “Bisa dimulai sekarang?”
Keempat temannya melihat Asia dengan rasa cemas. Awalnya Asia masih belum paham kenapa teman-temannya hanya diam, lalu dia menyadari hal itu. “Oh, baik, bu. Ini makalahnya," Asia menyerahkan makalah kepada dosennya. Dia melanjutkan ucapannya, "Kami akan segera melakukan presentasi.”
Anggota kelompoknya kembali terkejut melihat Asia berjalan ke depan kelas. Mereka baru tersadar ketika melihat layar proyektor menampilkan powerpoint yang bertuliskan ‘Pragmatisme' disertai nama lengkap anggota kelompok satu.
Asia mulai membuka suara, “Sebelumnya mohon maaf teman-teman karena kami belum sempat memberikan salinan hard copy dari ppt ini. Kami pastikan akan segera memberikannya kepada kedua kelompok siang ini. Baiklah, presentasi akan segera kami mulai.”
Aria dan ketiga temannya segera mengambil kursi dan meletakkannya di depan. Presentasi yang mereka lakukan berjalan dengan baik. Memang tidak mudah mempresentasikan karya milik orang lain, tetapi usaha mereka yang menjalankan rencana cadangan dadakan tanpa sadar membuat mereka cepat memahami materi.
“Baiklah. Sekian diskusi kita hari ini. Mohon maaf bila ada salah kata, Terima kasih semuanya,” Aria menutup presentasi dengan senyuman yang lebar. Para audience bertepuk tangan dan bu dosen memberikan mereka sepatah dua patah kata terkait presentasi mereka hari ini. Beliau juga menjelaskan betapa pentingnya disiplin waktu dan salut dengan kekompakan mereka.
Setelah dosen tersebut mengakhiri mata kuliahnya dan keluar ruangan, beberapa mahasiswa juga langsung berhamburan keluar kelas. Beberapa dari mereka ada juga yang masih mengobrol.
Mayu melihat Asia yang memasukkan binder dan buku diktatnya ke dalam tas ransel. Gadis itu bisa melihat jika sedari tadi wajah Asia sangat muram. Seolah-olah awan mendung menghiasi wajahnya.
“Kamu masih marah ya?” tanyanya kemudian. Mayu membetulkan kancing kemeja Asia yang tidak beraturan. Asia melihat ke arahnya. Kini wajahnya tampak biasa-biasa saja. Namun dia memang tidak pandai menyembunyikan apa yang dirasakannya saat ini.
“Nggak kok. Aku cuma..,” Asia tidak melanjutkan kata-katanya. Riak-riak air matanya hampir menyeruak.
“Asia, ini laptopnya sudah aku matikan,” Marella memberikan laptop tersebut kepada Asia. Mayu menyentuh pundak Asia dengan khawatir.
“Asia, kamu kenapa?” tanyanya lagi. Asia segera memasukkan laptopnya ke dalam tas. Marella bertanya ‘Ada apa?’ ke arah Mayu tanpa suara. Mayu hanya menggelengkan kepalanya.
“Guys, aku pergi duluan ya,” pamit Asia. Mayu hendak mengejarnya tetapi ditahan oleh Marella. “Ada apa sih? Asia kenapa?” tanyanya lagi.
“Duh, nggak tahu. Kayaknya dia masih marah deh soal kejadian kemarin.”
Aria dan Satria berhenti bermain perang-perangan saat mendengar kepanikan Mayu. “Akh, aku tidak mengira bakalan jadi begini!!!”
Aria langsung mendekati Mayu yang masih panik. “Sebenarnya ada masalah apa sih kemarin?” tanya Aria penasaran.
“Aduh, Aria! Ini bukan saatnya kamu tanya-tanya soal masalah ini dan itu,” jawab Mayu semakin panik. Satria menyentuh bahu Aria dan memberinya isyarat untuk ikut bersamanya. Mereka berdua berbicara di sudut ruangan kelas.
Satria mulai berbicara, “Sebenarnya kemarin itu..,”
***
“Kalau begitu aku tinggalin dulu sebentar ya ke lantai bawah. Aku titip perpusnya,” ucap Ajeng sebelum meninggalkan perpustakaan. Asia hanya menganggukkan kepala.
Setelah Ajeng pergi, Asia berdiri dan memilah-milah buku di rak bagian Psikologi Abnormal. Dia mengambil salah satu bukunya dan membolak-balik halaman tiada henti. Lalu dia berlutut dan mulai menangis. Dia menutupi wajahnya dengan belahan buku agar tangisannya tidak terdengar dari luar.
“Tuhan, aku pikir aku sudah kuat. Tetapi sekarang aku malah menangis seperti ini. Aku lelah. Aku capek. Apa mungkin karena terlalu banyak yang kupendam?” Asia merintih di sela-sela tangisnya. Aria datang menghampirinya dan diam-diam duduk di sebelahnya, lalu berkata, “Terkadang yang bikin kita meledak itu bukan satu hal besar, tetapi bisa jadi itu adalah serpihan-serpihan kecil yang sudah kita tahan terus selama ini.”
Asia terkejut melihat Aria yang sudah berada disampingnya.
“Sudah. Puasin dulu nangisnya. Anggap saja aku patung,” Aria mendadak bereaksi seperti patung jaman Romawi. Dia terus terdiam sambil memalingkan wajahnya. Hampir saja Asia tertawa melihat kelakuan Aria yang ajaib. Asia kembali menangis sejadi-jadinya.
Sepuluh menit kemudian, lambat laun Asia kembali tenang. Gadis itu melihat cowok disampingnya yang sedari tadi tidak bergerak smaa sekali. Ditepuknya pundak Aria seraya berkata, “Hei, patung. Kemana saja kamu?” tanyanya.
Aria merasa lega. Tubuhnya kembali digerakkan ke kanan dan ke kiri. “Hah, akhirnya! Loh, sedari tadi aku kan disini. Kamu tidak benar-benar menganggapku patung kan?!”
“Bukan itu maksudku. Kemana saja kamu kemarin? Tanpa kabar. Menghilang tiba-tiba, muncul juga tiba-tiba,” gerutu Asia. Cowok itu tidak menjawab. Dia menyunggingkan senyuman.
“Ciyee.. Yang khawatir,” godanya. Asia melihatnya dengan tatapan aneh.
“Apa sih? Geli tahu. Aku kira kamu sudah berubah. Ternyata masih gini-gini aja,” katanya ketus. Aria terus saja tersenyum melihat gadis yang kini sedang membolak-balik buku yang dipegangnya.
“Yang paling susah itu bukan berubah, tapi jujur sama apa yang kita rasain,” ucap Aria. Gadis itu menoleh lagi. Mereka berdua saling beradu pandang. Saling berkomunikasi. Berusaha saling memahami.
***
Malam itu Asia menulis jurnal hariannya. Tidak henti-hentinya dia tersenyum sambil membayangkan apa yang terjadi dengannya hari ini.
Jurnal Agustus-ku,
Hari ini adalah hari terandom buatku. Baru kali ini aku merasa puas tanpa aturan jadwal yang biasanya aku jalani. Aku nekat. Tak kusangka teman-teman kembali menyambutmu dengan hangat. Kukira konflik itu akan terus berlanjut. Tetapi tetap saja aku merasa bersalah karena sudah melangkahi rencana yang aku buat. Aku takut hal itu akan merusak tujuanku ke depannya.
Namun aku tidak menyangka jika seorang Aria bisa menghibur seseorang. Dia bilang kalau instingnya yang menuntunnya untuk menemukanku. Tetapi ternyata kak Ajeng mengatakan jika sebelumnya dia berpapasan dengan Aria di lantai bawah dan memberitahu keberadaanku.
Fyi, selain menghiburku, Aria juga membantuku menulis tugas bahasa Inggris. Tetapi saat matkul bahasa Inggris dimulai, ternyata dia belum mengerjakan tugasnya. Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Pernahkah dia berpikir kalau kebiasaannya itu selalu merugikannya?
Aku jadi mengkhawatirkan masa depannya. Jadi aku bertanya apakah dia mempunyai mimpi. Dia bilang, ‘Ada dong. Tetapi mimpiku tidak sebesar dirimu. Mimpiku itu sederhana, damai.’
Katanya impianku untuk menjadi seseorang yang memiliki profesi dan hidup dengan nyaman di masa depan adalah mimpi yang besar. Tetapi Aria hanya ingin rasa ‘damai' di hidupnya. Apa damai juga bisa jadi tujuan hidupku?
***