Aku menghela napas panjang sebelum menekan tombol live. Begitu kamera menyala, sudah enggak ada waktu untuk menjadi pengecut dan mundur.
Lagipula, aku sudah menyiapkan diri untuk momen ini. Termasuk siap dengan segala risiko dan konsekuensi yang menungguku.
Aku mengangkat wajah dan bersitatap dengan Trin. Dia mengangguk, mengalirkan kepercayaan diri kepadaku.
“Hi guys, udah lama gue enggak live di Instagram. Actually, I just want to share something.” Aku menghela napas panjang.
Melihat jumlah orang yang menonton live sukses membuatku ciut. Namun aku enggak mungkin mundur atau menundanya. Sudah cukup aku menunda-nundanya dan itu malah membuatku semakin kalut.
The sooner, the better.
“Buat kalian, gue adalah life goals. Nyatanya, gue cuma orang yang bisa bohongin kalian dan mengeruk keuntungan dari kalian.”
Ternyata, yang sulit itu adalah memulai, karena begitu kalimat itu meluncur dari bibirku, serasa ada beban berat yang baru saja diangkat dari pundakku,
Berikutnya, aku merasa tenang dan bisa mengungkapkan apa yang selama ini aku rasakan.
“Pertama-tama, gue mau klarifikasi soal video Dafa. Gue enggak selingkuh. Ansel itu sahabat gue, sahabat terbaik gue dan selama ini diam-diam gue naksir dia. Sementara hubungan gue dan Dafa cuma setting-an. We are not a relationship goals. We are just a bunch of liars who taking advantage of this fame.” Aku berkata pelan.
Mataku menyisir komentar yang mulai bermunculan seiring dengan pengakuanku. Sesuai dugaan, komentar yang ada bernada kaget dan memojokkan. Sekilas aku juga melihat komentar kasar yang sangat enggak sopan.
Aku menggeleng, berusaha mengabaikan komentar itu. Memikirkannya cuma membuatku kembali ciut dan mundur. Aku harus menyelesaikannya saat ini juga.
“Gue dan Dafa enggak pernah menjadi pasangan seperti yang kalian pikir. Gue pacaran sama Dafa karena popularitas, setting-an, atau whatever it is. Intinya, I’m not in love with him. So, we’re done.” Aku menelan ludah sebelum melanjutkan kata-kataku. “Gue enggak bisa terus pura-pura, termasuk setuju dengan ide Dafa membuat konten kita balikan karena saat ini, kami sedang ada pembicaraan untuk terlibat di satu proyek serial, sehingga harus jadi pasangan. Dafa sengaja buat drama ini, biar dia viral dan jadi perbincangan.”
Pintu kamarku terbuka, dan Mama muncul dengan wajah memerah. Mama memberi kode agar aku berhenti. Namun, Trin menghampiri Mama dan membawanya keluar. Aku enggak mendengar dengan jelas, cuma mendengar suara-suara teredam dari balik pintu kamar.
Aku menatap layar handphone dan melanjutkan penjelasanku. “Harus gue akui kalau jadi terkenal datengin banyak kemudahan. Juga membuat gue makin dekat dengan impian gue. Tapi harga yang dibayar cukup mahal. Gue jadi enggak tahu siapa diri gue yang sebenarnya?
Kita semua dapetin pressure. Sekolah, teman, keluarga, pacar, lingkungan, semuanya memberikan pressure. Bagi gue, juga ada pressure dari media sosial. Pressure untuk selalu menghadirkan kehidupan yang menyenangkan. Pressure untuk selalu ikutin tren karena seolah ada kewajiban buat gue untuk selalu jadi yang terdepan. Kalian enggak memaksa, tapi pressure itu nyata dan gue rasain.” Suaraku bergetar, membuatku kesulitan mengendalikan serbuan emosi.
Aku menghela napas panjang, upaya sia-sia untuk menenangkan diri. “Sampai-sampai gue insecure sama diri gue sendiri. Komentar demi komentar yang gue baca enggak semuanya baik, dan komentar jelek itu jauh lebih mempengaruhi. Gue merasa enggak pernah benar. Ada yang salah sama diri gue. Kalian sering bercandain angle kiri gue, sampai-sampai gue ngerasa muka gue aneh kalau dilihat dari sisi kiri. Padahal enggak aneh sama sekali. Gue aja yang kepikiran.” Aku tergelak.
Pintu kamarku terbuka dan Trin kembali menemaniku. Entah apa yang diucapkannya kepada Mama, aku enggak lagi mendengar teriakan Mama.
“Hubungan gue dan nyokap juga jadi bermasalah. Gue merasa nyokap terlalu ambisius, sampai-sampai bikin gue merasa tercekik. Memang, Mama yang bikin gue sampai di titik ini. Namun, gue capek dengan semua tekanan ini. Simplenya memang gue yang sengaja nyari pressure, karena siapa juga yang nyuruh gue aktif di sini, kan? Gue mengeluh dapat banyak tekanan, tapi gue lupa kalau gue bisa berhenti kapan aja.”
Aku merasa jauh lebih tenang saat ini dibanding saat aku memulai live setengah jam yang lalu.
“Gue enggak tahu lagi mana yang tulus. Gue dideketin karena orang pengin take advantage dari gue. Padahal, gue juga take advantage dari kalian yang follow gue. I just don’t realize it.” Aku tertawa kecil. “Gue pengin menjalani hidup normal seperti layaknya remaja 17 tahun. Maybe this is the kind of normal for me. Jadi, di sisa enam bulan sebelum gue berumur 18 tahun, gue mau memperbaiki hidup.
Ini pelajaran berarti yang gue rasain. Mungkin kalian marah karena dibohongi, wajar kok kalau kalian marah. Tapi, gue juga berharap semoga kita bisa sama-sama belajar dari ini. Apa yang ada di media sosial, bukan berarti kenyataan selalu begitu. Seperti gue dan Dafa, atau gue dan Ghania, atau gue dan orang-orang yang deketin gue karena tujuan tertentu. Kita semua punya agenda masing-masing, dan saling memanfaatkan.
Yes, we all are liars. I am a liar. I’m not proud of it. But I’m proud of myself right now. Karena gue bisa ngelakuin sesuatu yang gue mau dan seharusnya gue lakuin sejak dulu. Just being me and never let others told me what I should do.”
Aku menatap Trin dengan senyum lebar terkembang di wajahku.
“I’ll be back again someday. Kalau kalian mutusin buat benci gue dan enggak mau terima pas gue balik, it’s okay. I’ll make you fall in love with me again. Thank you for the lesson. See you again, someday.”
Aku menekan tombol merah dan mengakibatkan live itu berarti.
Trin bertepuk tangan. “Lega?”
Aku mengangguk. “Banget.”
“Mama malah sebaliknya.”
Aku mengerang. “What should I do?”
Trin mendekatiku dan merangkul pundakku. “Nothing. So, jadi deactivate?”
“Masih ada beberapa endorse yang terikat kontrak, jadi tunggu sampai kontrak kelar baru deactivate,” sahutku.
“Enggak perlu seekstrem itu sih, Dek.”
Trin benar, enggak perlu bertindak sejauh itu. Aku menatap handphone dan menimbangnya. Sebenarnya enggak harus sampai deactivate, tapi aku sadar kalau aku enggak sekuat itu. Aku terbiasa mengecek akun media sosial setiap hari, jadi sudah terasa sebagai kewajaran. Daripada tergoda buat mengeceknya, pilihan terbaik adalah deactivate.
“Sekarang pasti banyak yang menghujat gue, jadi anggap aja ini yang terbaik. Biar gue enggak down kalau ada komen enggak enak.”
Trin tergelak. “Nanti juga kalau ada isu baru, mereka bakal lupa. Gue yakin Dafa enggak bakal tinggal diam. Pasti lagi kelimpungan cari cara buat nyelametin diri.”
Dalam hati, aku membenarkan perkataan Trin. Tinggal menunggu waktu sampai Dafa muncul lagi dengan drama baru.
Diam-diam, aku melirik Trin. Menyenangkan rasanya memiliki seseorang yang mendukungku penuh, dengan tulus dan enggak ada niat terselubun. Ini juga jadi momen yang pas, agar aku berhenti curiga tanpa alasan yang jelas. Keuntungan apa lagi yang bisa didapat dariku? Enggak ada.
“Sorry, ya, selama ini gue ngeselin. Gue tahu kalau gue bukan kakak yang baik,” ujar Trin tiba-tiba.
“Sorry juga gue udah ngeselin. Gue cuma … gue iri sama lo.”
Tawa Trin terpecah. Dia terpingkal-pungkal sampai tubuhnya berguncang. “Kenapa iri? Gue ini has been, sementara lo lagi high demand.”
Aku mendengkus. “Bukan itu. Gue iri karena lo berani nentuin maunya apa, sekalipun jadinya malah berantem mulu sama Mama.”
“Enggak mesti jadi kayak gue. Sekarang pun lo udah nunjukin kalau lo bertanggung jawab sama hidup lo. Capek tahu berantem mulu sama Mama.” Trin tersenyum lembut. “Lo sama kayak Papa, sebisa mungkin menghindari konflik. Makanya kesannya lo nurut banget sama Mama. Lo lihat hubungan gue sama Mama jadi enggak enak, dan lo enggak mau kayak gitu. Makanya lo iyain aja apa kata Mama.”
“Terlalu nurut jadinya malah kayak enggak punya pendirian,” timpalku.
“Ya namanya juga masih anak-anak.”
“But I’m seventeen.”
Trin hanya memutar bola matanya. “Kenapa, sih, lo pengin cepat gede? Ntar kalau udah dewasa, nyesel karena mau cepat-cepat gede. Why don’t you just enjoy your time?”
Aku tertawa pelan. She’s right. Why don’t I just enjoy my time?
Bunyi notifikasi di handphone menyela perbincanganku dengan Trin. Senyumku refleks terkembang saat membaca pesan dari Ansel, yang sudah menunggu di depan rumah, mengajakku bersepeda sore ini.
“Gue mau sepedaan dulu sama Ansel. Thanks Trin.”
Tanpa menunggu jawaban Trin, aku sudah memelesat keluar kamar.