Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

Mama masih belum bisa menerima keputusanku. Padahal aku sudah mencoba untuk tetap profesional dengan enggak mangkir dari tanggung jawab. Aku belum menonaktifkan akun Instagram milikku karena ada beberapa foto yang harus kuunggah.

Namun diam-diam Mama masih menerima endorse sekalipun aku sudah mengutarakan niat untuk mundur. Ketika stok foto yang harus dibuat mulai terasa enggak masuk akal, aku kembali terlibat perang dingin dengan Mama.

“Kenapa, sih, Mama enggak mau ngerti juga?” tanyaku. Aku sudah berniat untuk skip sarapan karena Mama mulai menyuruhku untuk foto dengan tas yang baru datang semalam. “Kan, aku udah bilang enggak mau lagi. Mama bisa nolak, kan?”

“Nolak dan bikin kamu kehilangan banyak kesempatan?”

“Aku cuma kehilangan tas,” sahutku sambil melirik tumpukan box di ruang tengah. “Aku juga enggak butuh tas itu.”

Mama menghela napas panjang. “Mama ngerti kalau Trin yang keras kepala, tapi kamu enggak pernah kayak gini.”

“Mungkin Mama yang sebenarnya keras kepala,” semburku.

“Anna,” teriak Mama, tidak lagi menutupi kemarahannya. “Kamu jadi makin kelewatan ya sekarang.”

Aku meneguk orange juice sampai habis dan mengambil roti yang tersisa setengah. Sambil lalu, aku berpamitan kepada Mama.

Saat akan menuju mobil yang sedang dipanaskan, Papa muncul dengan wajah masih mengantuk. Papa baru pulang lewat tengah malam, dan biasanya Papa butuh waktu lebih lama untuk recharge energi setelah penerbangan panjang.

“Papa antar ke sekolah, ya.”

Aku tertegun. Ini sesuatu yang enggak biasa. “Papa enggak capek? Kayaknya masih ngantuk.”

Papa cuma tertawa kecil dan menghampiri Pak Ujang, lalu mengambil alih kunci mobil. Aku mengikuti Papa masuk ke dalam mobil.

Pasti ada yang ingin dibicarakan Papa. Kalau enggak, mana mungkin Papa rela mengorbankan jam tidurnya? Pasti sangat penting, makanya Papa enggak bisa menunggu sampai aku pulang sekolah.

“Soal Mama…” Papa akhirnya buka suara, padahal kami belum keluar dari kompleks rumah. “Papa sudah coba ngomong sama Mama, jadi kasih Mama waktu.”

Aku mendengus. “Tapi Mama masih aja terima endorse.”

“Mungkin kamu perlu tindakan lebih ekstrem lagi?”

Aku melirik Papa dengan kening berkerut. “Maksud Papa?”

Papa tertawa kecil. “Katanya mau deactivate, kenapa enggak dilakuin juga? Ini sudah seminggu lho.”

“Ya karena masih ada kontrak. Lagian, tiap hari ada aja kontrak baru. Makanya enggak jadi-jadi.” Aku cuma bisa bersungut-sungut ketika menyadari ini akal-akalannya Mama.

“Makanya langsung deactivate aja, kelar kan masalahnya?”

“Terus kontraknya gimana?” Aku balas bertanya.

Papa tertawa kecil. “Gampang, nanti Papa bayar penalti.”

Aku tahu Papa cuma bercanda, tapi juga ada kesungguhan di balik ucapan Papa. Sekalipun Papa enggak bilang, dan aku sudah melakukan hal ini lebih dulu sehingga harus bayar penalti, aku enggak ragu Papa mau membayarnya.

“Papa bukannya ngajarin kamu buat lepas tangan, enggak bertanggung jawab. Anggap aja ini force majeur. In the meantime, Papa coba bujuk Mama.” Papa kembali melirikku dengan wajah serius. “Kamu cuma perlu ingat, Mama sayang sama kamu. Mungkin caranya salah, tapi Mama sayang sama kamu.”

Untuk hal ini, aku enggak meragukannya. Aku yakin kalau Mama menyayangiku, makanya mau banting tulang seperti ini.

“Papa juga mau minta maaf karena kesannya selama ini Papa enggak peduli, makanya enggak mencegah Mama. Tapi, Papa sering menegur Mama. Mungkin tegurannya kurang kencang.” Papa tersenyum kepadaku.

“Ya, Papa, kan, juga sibuk.”

“Itu bukan excuse, Na. Papa kerja ya karena itu tanggung jawab Papa sebagai kepala keluarga,” ujar Papa sambil membelokkan mobil memasuki pekarangan sekolah. “Nanti Papa jemput pukul berapa?”

“Pukul 4 aja. Aku ada latihan teater dulu.”

“Oh ya teater. Jangan lupa kasih tahu jadwalnya sejak jauh-jauh hari, biar Papa bisa nyesuaiin jadwal.” Papa mengulurkan tangannya dan aku mencium punggung tangan Papa.

“Siap, bos.”

Setelah melambai kepada Papa, aku berbalik dan memasuki gedung sekolahku dengan hati ringan.

**

 

“Tammy kayaknya kesal sama lo, deh,” bisik Arisha, saat berjalan bersisian denganku ketika keluar dari ruang auditorium.

Tanpa diberitahu Arisha, aku bisa merasakan kalau Tammy kesal kepadaku. Sejak muncul di auditorium dua jam yang lalu, dia sudah bersikap dingin. Beda banget dengan sikapnya selama ini.

“Mungkin dia menyesal udah milih gue, soalnya sekarang enggak bisa ngandelin gue buat promo gratisan lagi. Tahu gitu, mending pilih Sofia aja,” timpalku.

“Tapi lo nunjukin perkembangan yang bagus banget, jadi gue yakin dia enggak nyesel-nyesel amat,” tukas Arisha.

Aku memang mau membuktikan diri kalau kehadiranku di teater ini enggak akan mengecewakan. Lewat pujian dari Mr. Sam, aku bisa bernapas lega. Walau masih banyak yang harus kupelajari lagi agar bisa tampil maksimal.

“Untung banyak buat gue, sih,” ujarku.

Arisha terkikik. “Gue salut sama lo, berani deactivate. Gue aja yang malas-malasan, masih pertahanin akun buat eksis.”

Aku berdiri di depan loker dan menatap Arisha. “Hitung-hitung gue nenangin diri, enggak perlu baca komen jelek lagi. Lo tahu enggak selama ini gue insecure dan enggak mau difoto dari angle kiri karena kata komen yang gue baca, muka gue aneh kalau dilihat dari kiri?”

Arisha menatapku dengan wajah geli menahan tawa. “Segitunya?”

Aku mengangguk sambil membuka loker. “Katanya rahang kiri gue lebih lebar. Terus alis gue juga lebih tinggi yang kiri. Malah ada yang bilang gue juling.”

“Yang lihat kali yang juling,” timpal Arisha.

Sambil mengambil tas dari dalam loker, aku melirik Arisha. Detik ini aku menyadari kalau pertemanan yang tulus itu harganya sangat mahal karena enggak mudah menemukan seseorang yang berteman dengan tulus. Salah satunya Arisha. Sekarang aku baru menyadari artinya sepenuhnya.

“Thanks ya, Sha. At least ada yang tulus temenan sama gue.”

Arisha menutup pintu lokernya sambil tertawa kecil. “Kalau gitu, lo mau dong nemenin gue nungguin Theo? Dia lagi latihan basket.”

Satu lagi yang kusadari, waktu juga sangat berharga. Selama ini aku enggak pernah benar-benar menikmati waktu yang kumiliki. Rasanya selalu terburu-buru, membuatku merasa makin terdesak dan tahu-tahu, waktu yang kumiliki sudah berlalu begitu saja. Juga keharusan untuk selalu update atau mengikuti yang lagi tren, membuatku enggak pernah menikmati setiap detik yang kulewati.

Jadi, aku mengangguk di depan Arisha.

Aku mengirim pesan kepada Papa untuk enggak menjemputku ke sekolah karena mau pergi bareng Arisha. Nanti aku bisa pulang sendiri, atau minta dianterin Theo. Atau, mungkin aja Ansel masih di sekolahnya, jadi bisa pulang bareng.

Meski berteman dengan Ansel, aku cukup jarang main ke sekolahnya padahal jaraknya enggak sampai lima belas menit kalau jalan kaki. Karena memang enggak ada waktu juga. Kalau ada waktu kosong sepulang sekolah, ya diisi untuk foto endorse atau bikin konten. Atau bareng Dafa.

Aku mengikuti Arisha berbelok ke samping bangunan utama dan menuju lapangan basket. Sudah sore, tapi lapangan basket itu masih ramai. Theo sempat melambai ketika melihat Arisha. Kami menuju bangku panjang yang ada di pinggir lapangan dan menunggu Theo di sana.

“An, tumben ke sini.”

Aku berbalik dan mendapati Ansel berdiri di luar lapangan. Di tangannya ada kamera yang selalu menemaninya ke mana-mana.

“Nemenin Arisha nungguin Theo.”

Seseorang memanggil Ansel, membuatnya membelakangiku untuk bicara dengan temannya. Enggak lama, Ansel kembali menoleh ke arahku.

“Ntar pulang bareng, ya. Gue ada rapat buku tahunan dulu.”

Aku mengangguk. Mataku masih terpaku menatap punggung Ansel yang sudah berlari menjauh.

Sejak pengakuanku waktu itu, enggak ada yang berubah antara aku dan Ansel. Meski, rasanya canggung aja menyebutnya sebagai teman. Dia masih bersikap sama, meski kalau dipikir-pikir, Ansel yang sekarang jauh lebih perhatian dan lembut.

Aku menunduk, menyembunyikan semu merah di wajahku sebelum dilihat Arisha.

“Lo yakin enggak mau aktifin lagi akun lo? Enggak sayang sama followers lo yang jutaan itu?” goda Arisha.

Aku tertawa kecil. “Percuma juga gue aktifin, mau update apa? Followers gue yang jutaan itu enggak akan tertarik sama kehidupan gue yang sebenarnya. Yang nongkrong di pinggir lapangan basket nemenin temennya yang lagi nungguin pacarnya main basket, sambil makan cimol yang dibeli di pinggir jalan. Dan jomlo.”

Arisha tertawa sambil melahap cimol yang dibelinya di pinggir jalan tadi. “Ansel juga jomlo,” semburnya.

“I know.”

“Terus?” Arisha menyecarku.

“Terus … enggak ada keterusan.” Aku menjawab enteng.

Arisha mendengus. “Lo suka Ansel.”

Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat. “Itu pertanyaan atau pernyataan?”

“Pernyataan. Tadinya gue dan Theo sering ngerasa lo lebih cocok sama Ansel ketimbang Dafa. Dari yang gue lihat, lo kayak lebih enjoy pas bareng Ansel ketimbang Dafa. Setelah lo bilang soal hubungan lo dan Dafa, gue makin yakin kalau lo suka sama Ansel. Benar, kan?” tanya Arisha dengan tatapan menyelidik.

Enggak ada gunanya juga menghindar dari Arisha, sehingga aku mengangguk. “Memang, tapi gue lagi di tahap berdamai sama diri gue. Ansel juga suka gue, tapi kita sepakat buat temenan dulu aja sekarang.”

“Rumit,” ledek Arisha. “Whatever it is, jangan sampai lo kehilangan Ansel.”

“Well, dia udah janji bakal nikahin gue,” jawabku.

Hampir saja Arisha keselek cimol yang sedang dimakannya. “Hah?”

“Janji anak umur sepuluh tahun.” Aku terkikik.

Tentu saja janji itu enggak bisa dipegang. Waktu itu, aku syok karena Tante Lea batal nikah. Menurutku yang waktu itu baru berumur sepuluh tahun, batal nikah itu sesuatu yang mengerikan. Aku enggak bisa ngebayangin gimana kalau nanti aku batal nikah. Jadi, aku memaksa Ansel berjanji untuk menikahiku kalau nanti aku batal nikah setelah dewasa. Ansel yang malas berdebat cuma mengangguk.

Aku enggak yakin kalau dia masih ingat janji konyol itu.

“You know what, gue dan Theo sering enggak paham dengan dunia lo dan Ansel. Kalau udah bareng Ansel, kalian kayak punya dunia sendiri. Good for you, karena itu hak lo. Ngapain juga gue maksa harus masuk ke dunia punya lo itu? Enggak ada gunanya juga, kan, buat gue?” Arisha tersenyum lebar.

Dalam hati, aku mengangguk. Mungkin itu yang enggak bisa diterima oleh Nashila dan memaksa masuk ke dalam duniaku dan Ansel. Sayangnya, dia enggak bisa memasuki dunia itu karena di dalamnya cuma ada aku dan Ansel.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Bet
17113      2670     0     
Romance
Di cerita ini kalian akan bertemu dengan Aldrian Aram Calton, laki-laki yang biasa dipanggil Aram. Seperti cerita klise pada umumnya, Aram adalah laki-laki yang diidamkan satu sekolah. Tampan? Tidak perlu ditanya. Lalu kalau biasanya laki-laki yang tampan tidak pintar, berbeda dengan Aram, dia pintar. Kaya? Klise, Aram terlahir di keluarga yang kaya, bahkan tempatnya bersekolah saat ini adalah mi...
Metanoia
46      39     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Secrets
4192      1351     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
DocDetec
243      181     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Let me be cruel
4693      2627     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Kaca yang Berdebu
93      74     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Loveless
5742      2975     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Kama Labda
546      341     2     
Romance
Kirana tak pernah menyangka bahwa ia bisa berada di jaman dimana Majapahit masih menguasai Nusantara. Semua berawal saat gadis gothic di bsekolahnya yang mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Dan entah bagaimana, semua ramalan yang dikatakannya menjadi kenyataan! Kirana dipertemukan dengan seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah raja. Akankah Kirana kemba...
Bukan Pemeran Utama
36      35     0     
Inspirational
Mina, Math, dan Bas sudah bersahabat selama 12 tahun. Ketiganya tumbuh di taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah yang sama. Dalam perjalanan persahabatan itu, mereka juga menemukan hobi yang mirip, yakni menonton film. Jika Bas hanya menonton film di sela waktu luang saat ia tak sibuk dengan latihannya sebagai atlet lari , maka kegandrungan Math terhadap film sudah berubah m...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...