“Key, tahu enggak kalau Ansel dan Nashila putus?”
Hampir saja aku menjatuhkan skenario yang sedang kubaca ketika Arisha berbisik di telingaku. Saat ini kami berada di auditorium, menunggu mulainya sesi latihan.
“Putus?” tanyaku, sambil ikut berbisik.
Arisha mengangguk. “Kata Theo gitu.”
Perasaan bersalah menelusup ke dalam hatiku. Aku memang menyukai Ansel dan sampai sekarang masih menginginkan dia jadi pacarku, tapi bukan berarti aku malah bersorak atas fakta yang disampaikan Arisha barusan.
Terlebih karena aku tahu, aku ada andil di balik berakhirnya hubungan mereka.
“Karena videonya Dafa, ya?” tanyaku, mempertanyakan sesuatu yang sudah kuketahui dengan jelas jawabannya.
Arisha menarik kursinya ke tempat semula ketika Mr. Sam memasuki auditorium.
“Kurang tahu, kenapa enggak tanyain aja sama Ansel?” bisiknya, sebelum Mr. Sam memulai sesi latihan.
Sepanjang latihan, aku cukup kesulitan berkonsentrasi. Benakku enggak mau disuruh berhenti memikirkan Ansel. Beruntung aku masih bisa memberikan penampilan terbaik, sehingga enggak bikin kacau saat latihan.
Setelah latihan selesai, aku mendahului Arisha yang masih membereskan isi tasnya. Alih-alih pulang, aku menuju ke toko untuk menemui Ansel.
Aku enggak akan bisa tenang sebelum mendengar penjelasan langsung dari Ansel.
Ansel mengangkat kepalanya ketika aku membuka pintu Heart Scent. Baguslah, dia sendirian, jadi aku bisa bicara empat mata dengannya.
“An, enggak bilang mau ke sini,” sambutnya. “Dari sekolah? Tumben sore banget.”
Aku menarik salah satu kursi di dalam toko Ansel dan mendudukinya. “Latihan teater dulu tadi.”
Ansel menganggukkan kepala. Dia merogoh sesuatu dari dalam box di bawah meja kasir, lalu beranjak mendekatiku.
“Titipan Mama.”
Aku melirik lilin berwarna putih yang diletakkan Ansel di atas meja. Aku enggak tahu apakah itu beneran titipan Tante Silvia atau Ansel cuma membual. Namun, aku mendiamkannya karena ada hal lain yang jauh lebih penting untuk kutanyakan kepada Ansel.
“An, lo beneran putus sama Nashila?”
Selama sejenak, Ansel tertegun. Namun detik selanjutnya, dia malah tertawa. “Kenapa lo tahu secepat ini? Kita beda sekolah, gue juga bukan siapa-siapa, tapi beritanya udah nyebar aja.”
Berbeda dengan Ansel yang memasang ekspresi santai, aku justru makin merasa bersalah.
“Karena gue, ya?”
Ansel sudah berhenti tertawa. “Enggaklah. Bukan salah lo.”
Penyangkalan itu terdengar sangat enggak meyakinkan. Siapa pun yang mendengarnya enggak akan percaya.
“Jujur, deh. Karena videonya Dafa, kan?” buruku.
“Bukan.” Ansel membantah pendek. Kali ini, dia enggak lagi tertawa. Malah tampak gusar.
“Terus?”
Ansel menatapku dengan mata menyipit. “Kenapa lo pengin tahu?”
“Gue merasa bersalah banget kalau lo putus sama Nashila karena gue,” sahutku.
Ansel enggak langsung menjawab, tapi tatapannya yang tertuju kepadaku membuatku terpaku. Ditatap lekat-lekat seperti ini membuat jantungku kembali berdetak cepat, nyaris enggak keruan. Kedekatanku dengan Ansel selama ini enggak membuatku imun, nyatanya tetap saja aku merasa jengah ketika dia menatapku seperti ini.
“Kalau gue bilang karena lo, terus kenapa?”
Aku menggigit bibir. “Sorry.”
Apalagi yang bisa kulakukan selain minta maaf?
“Mungkin karena lo, An. Tapi, bukan karena alasan yang lo pikir. Enggak ada hubungannya sama Dafa,” ujar Ansel pelan.
“Maksud lo?”
Ansel menghela napas panjang. “Nashila cemburu dan lo benar soal itu. Dia cemburu sama lo, sama persahabatan kita. Katanya dia enggak bisa jalin hubungan untuk tiga orang. Gue, Nashila, dan lo. Kita udah temenan lama, enggak mungkin gue ninggalin lo gitu aja. Gue juga enggak mau ninggalin lo, sekalipun Nashila minta buat jauhin lo.”
“Nashila bilang gitu?”
Ansel mendesah. “Intinya begitu, meski persisnya enggak gitu.”
“Terus?”
“Ya setelah gue pikir-pikir, ini enggak adil juga buat Nash. Sejak awal, gue emang enggak adil sama dia,” bisik Ansel.
Aku menggeleng, merasa bingung dengan penjelasan Ansel yang terdengar begitu mengawang-awang.
“Gue enggak ngerti,” ujarku.
Ansel kembali menatapku dengan sebaris senyum tipis di wajahnya. “Masalah lo sama Dafa ngebuka mata gue kalau sejak awal, hubungan gue dan Nashila enggak pernah kuat. Cuma tinggal nunggu waktu aja sampai ada yang minta putus.”
Jawaban itu sama sekali enggak kuduga, malah membuatku semakin bingung. “Kalian kelihatannya baik-baik aja.”
“Kelihatannya, kan? Nyatanya enggak gitu. Lo sama Dafa juga kelihatannya romantis banget, tapi nyatanya?” Ansel menatapku dengan mimik serius.
“What happened?”
Ansel menggaruk bagian belakang kepalanya, kebiasaan setiap kali kebingungan. Melihat reaksinya semakin membuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dirasakannya?
“Gue bingung bilangnya gimana. Intinya, gue jadian sama Nashila di saat gue enggak benar-benar sayang 100% sama dia. Gue jadian sama dia karena … cemburu.”
“Cemburu?” tanyaku.
Perlahan, Ansel mengangguk.
“Cemburu sama siapa?”
Ansel menatapku lekat-lekat sebelum satu nama meluncur dari bibirnya. “Dafa.”
Satu nama itu sukses membuatku terbelalak. Aku menggeleng kencang-kencang, berusaha mengurai keadaan yang makin rumit.
“Gue enggak paham.”
Ansel memaksakan diri buat tertawa, sementara aku hanya bisa melongo seperti orang bodoh.
“Lo lagi dekat sama Dafa, dan gue … cemburu.” Ansel berkata pelan. “Terus ada Nashila. Ya kalau dipikir-pikir, gue jahat, sih, sama dia.”
“Kenapa lo cemburu sama Dafa?”
Ansel mengangkat bahu, sama sekali enggak berniat menjawab pertanyaanku.
Selama ini, aku yang memendam cemburu itu seorang diri. Aku cemburu melihat Nashila dekat dengan Ansel, sehingga aku menyetujui ide Mama untuk menerima Dafa. Namun sekarang Ansel malah bilang kalau dia cemburu pada Dafa, dan itu yang membuatnya mendekati Nashila?
“Akhirnya, Nashila yang minta putus. Dia enggak bisa terus-terusan terjebak dalam persahabatan kita. So yeah, itu yang terbaik. Gue sayang Nashila, dan gue sayang lo juga.” Ansel kembali membuka mulut.
Penuturannya membuatku terbelalak. “Lo sayang gue?”
Ansel mengangguk. “You’re my best friend. Lo yang bantuin gue waktu bokap meninggal. Lo nemenin gue sepedaan tiap sore karena enggak berani naik mobil. Lo juga yang bantu gue sampai akhirnya berani nyetir lagi. Gimana gue enggak sayang sama lo?”
Seolah ada yang menusukku dengan pisau, tepat di jantungku. Aku menelan ludah, merasakan pahit mengalir ke hatiku. “Kirain, lo sayang sama gue kayak lo sayang sama Nashila.”
“Gue kira lo sayangnya sama Dafa, tahunya setting-an doang.” Ansel terkekeh. “Lo butuhnya teman, jadi gue ada ya sebagai teman. Karena lo butuhnya itu.”
Aku menggeleng. “Gue enggak pernah sayang sama Dafa. Gue pacaran sama Dafa karena disuruh Mama. Sekarang gue udah putus sama Dafa.”
“Baguslah, daripada lo terus bareng cowok yang enggak menghargai lo kayak gitu, walaupun cuma setting-an.” Ansel berkata dingin.
“Kata Trin, umur 17 saatnya belajar banyak hal. Gue belajar banyak hal di umur gue ini. Gue masih clueless soal apa yang gue mau, but it’s normal. Mengutip kata Trin, it’s okay berbuat kesalahan di umur 17 tahun,” sambungku.
“Good to know.”
Aku menghela napas panjang dan menatap Ansel. Ketika menyelami matanya, aku tersadar akan satu lagi keslaahan yang kulakukan.
“Mungkin ini kesalahan lain di umur 17 gue, tapi gue enggak akan menyesal. An, gue sayang sama lo, bukan sebagai sahabat. Gue enggak pernah butuh lo sebagai teman.”
Entah dari mana datangnya keberanian itu, sampai-sampai aku dengan lantang mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya.
Di luar dugaan, Ansel malah tertawa.
“Kenapa ketawa?”
Ansel berusaha mengendalikan tawanya. “Tahu gitu, gue enggak perlu cemburu sama Dafa, apalagi jadian sama Nashila karena ujung-ujungnya gue nyakitin Nash.”
Ada yang berbeda dari cara Ansel menatapku. Aku tersentak, ini bukan kali pertama aku melihatnya menatapku seperti ini. Inilah cara Ansel menatapku selama ini, tapi aku enggak pernah menyadarinya.
Perlahan, aku bisa mengurai penjelasan Ansel.
Bukan hanya aku saja yang diam-diam menyukainya. Dia juga menyimpan perasaan lebih untukku. Namun, dia memposisikan dirinya sebagai sahabat. Seperti katanya, yang aku butuhkan adalah sahabat, jadi dia menempatkan diri sebagai sahabat.
Aku enggak pernah berkata kalau aku membutuhkannya lebih dari sekadar sahabat.
Ketika semuanya terbuka, aku merasa ini bukan saat yang tepat. Aku memang masih menyukai Ansel, tapi ada hal lain yang harus kubereskan. Aku harus menata hidupku terlebih dahulu.
“Gue memang suka sama lo, tapi gue enggak mau jadi pacar lo. Gue butuh waktu buat menata ulang hidup gue. Cuma gue, bukan karena suruhan Mama atau memenuhi keinginan followers gue yang jutaan itu.” Aku berkata lirih. “Mungkin nanti, kalau gue ngerasa hidup gue udah bener, gue bisa nembak lo.
“Gue anti ditembak cewek.” Ansel berkata enteng.
Aku menatapnya dengan mata menyipit. “Kalau gitu, lo mau nembak gue?”
Ansel mengangkat bahu, dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. “Lihat nanti.”