Trin menyetel suhu AC untuk meningkahi udara di luar yang gerah. “Gue mandi dulu, ya. Lo santai-santai aja.”
Aku mengangguk sambil memandangi Trin menuju kamar mandi. Dia baru pulang jogging dan belum sempat mandi di rumah. Saat ditinggal sendiri, aku mengamati kamar Trin. Kamar itu sangat rapi, persis kamar Trin di rumah. Kakakku itu selalu memastikan semua barang terletak di tempatnya. Dia pernah mengamuk ketika aku meminjam hair dryer dan meletakkannya di atas meja setelah selesai dipakai, bukannya di dalam laci.
Selama beberapa tahun terakhir hubunganku dan Trin sedikit merenggang. Entah bagaimana awalnya, aku juga enggak tahu. Aku menganggap Trin terlalu sinis, sementara Trin menganggapku sebagai perpanjangan tangan Mama. Dia sering melampiaskan kekesalannya setelah berantem dengan Mama kepadaku, membuatku ikutan kesal karena merasa itu enggak adil.
Tapi, aku di sini sekarang. Berada di bawah perlindungan Trin.
“Mau pesan makanan enggak?” tanya Trin, membuatku terlonjak kaget.
Aku menoleh dan menatapnya yang baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
“Boleh,” sahutku. Baru kusadari perutku keroncongan karena tadi enggak sempat sarapan, dan sekarang sudah mau masuk jam makan siang.
Trin mengambil handphone untuk memesan makanan, dan saat itulah dia mendapatiku sedang memeriksa halaman Instagram.
“Kali ini enggak usah cek Instagram dulu bisa enggak? Followers lo enggak bakal ke mana-mana.” Trin berkata pelan.
She’s right. Untuk apa mengeceknya karena cuma bikin aku makin terpuruk?
“Jadi, selain dituduh selingkuh, ada komentar menarik?” tanya Trin sambil mengulum senyum.
“Nothing special. Cuma bilang kalau angle kiri gue masih jelek. Katanya muka gue lebar banget.” Tentu saja, yang paling vokal adalah akun Karianna Godzilla.
Trin menatapku dengan dahi berkerut. “Lo pikirin semua komentar begituan?”
Aku menghela napas panjang. “Ya enggak mau, sih. Cuma kepikiran.”
“Kepikiran doang?” desaknya.
“Kepikiran banget, sih. Sampai gue ngikutin, makanya enggak pernah foto dari angle kiri soalnya gue kelihatan gendut. Muka gue jadi aneh.” Aku mengaku jujur.
“Tapi?”
“Kata Ansel enggak gitu. Di foto-fotonya Ansel enggak kelihatan aneh, sih. Ya itu karena Ansel aja yang fotonya jago,” jawabku.
“Bukan karena Ansel. Karena emang enggak ada yang salah sama angle kiri lo.” Trin menepuk sisi karpet kosong di sampingnya, memintaku untuk duduk di sana. “Namanya manusia, mana ada yang mukanya define banget, enggak ada cela.”
“Ada, Bella Hadid. She’s a golden ratio.”
Trin mendengus. “Cuma Bella Hadid, satu di antara sekian miliar orang di dunia ini. Jadi, itu bukan perbandingan yang pas.”
Aku ikut tertawa mendengarkan jawaban Trin. Dalam diam, aku melirik ke arahnya. Ada desakan dari dalam diriku untuk memulai pertanyaan yang sejak tadi sudah menggantung di lidahku, tapi aku bingung cara memulainya.
“Lo mau tahu kenapa gue mundur dari film itu?”
Pertanyaan Trin menyentakku. Perlahan aku mengangguk.
“Sebenarnya gue enggak mau berhenti. Gue masih nyimpan keinginan buat balik, tapi tiap kali mau balik, gue langsung ciut.” Trin menatapku dengan raut wajah penuh duka. “One of the producers molested me. Kalau katanya, cuma pegang-pegang biasa doang. But the truth is, he tried to kissed me. I was 16 years old. He’s too old to be my father.”
Rasanya seperti ada petir menyambar, membuatku enggak bisa melakukan apa-apa selain memandangi Trin dengan sejuta pertanyaan di benakku.
“Tadinya Papa mau perkarain, tapi gue enggak mau karena ribet dan udah keburu capek duluan. Gue akuin tindakan itu salah, tapi gue enggak punya bukti juga. Long story short, kita bayar penalti, gue mundur, dan gue di-blacklist.”
Ada banyak skenario yang pernah terpikirkan olehku, tapi aku enggak pernah menduga kalau kenyataan yang dialami Trin sangat menyesakkan seperti ini.
“Jadi, itu yang bikin lo dan Mama selalu dingin?”
Trin mengangguk. “Buat Mama, what’s pass is pass. Jadi, kenapa menggeneralisasi semua orang itu berengsek? Makanya Mama mencoba bujuk gue, tapi gue enggak bisa punya pikiran yang sama. Benar, sih, enggak semua orang berengsek kayak produser itu, tapi gue masih trauma.”
“Ya wajarlah lo trauma. Yang enggak wajar itu, kenapa Mama maksa?” tanyaku.
Seharusnya kejadian yang menimpa Trin memberikan pelajaran untuk Mama. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mama seperti enggak belajar sama sekali, malah kini ikut mendorongku semakin jauh.
“Yang lo alamin sekarang enggak separah gue dulu. Sekarang lo mendingan, Mama masih mau diajak kompromi.”
“Apanya yang mau diajak kompromi?”
“Yang gue lihat, ya. Makanya lo enggak pernah didorong ke sinetron sampai lo tamat SMP. Baru setahun ini aja, kan, Mama mencoba buat dapetin peran? Itu pun serial, yang lingkungannya lebih baik dan lebih sehat ketimbang sinetron,” jelas Trin.
Selama beberapa saat aku menekuni perkataan Trin. Selama ini Mama fokus membesarkan namaku sebagai model Instagram, meskipun Mama tahu di mana keinginanku. Selama bertahun-tahun, Mama enggak pernah membujukku terjun ke dunia akting, apalagi sinetron, yang dipercaya jadi jalan paling cepat menuju popularitas.
Dulu aku pernah aktif di sinetron bareng Trin, tapi begitu Trin mundur, otomatis aku ikutan mundur. Setelah itu, Mama mengenal Instagram dan mendorongku aktif di sana sampai akhirnya terkenal sebagai model Instagram dengan jutaan followers.
Sesekali Mama pernah mencoba, tapi langsung ditentang Papa, sehingga aku enggak pernah dapat peran lagi setelah berhenti jadi aktris cilik.
Mungkin memang ada yang dipelajari Mama dari kejadian yang menimpa Trin.
“Tapi, ya Mama emang begitu. She’s a real definition of stage mother.” Trin terkekeh.
“Stage mother?”
Trin mengangguk. “Mama punya obsesi anak-anaknya harus selalu jadi yang nomor satu, makanya haus popularitas. Kalau kita sukses, kita dikenal, itu artinya Mama juga ikutan sukses. Ya enggak salah, sih, cuma lama-lama Mama jadi kelewat batas. Semuanya dilakuin demi mengejar popularitas, dan bikin kita serasa jadi objek buat memenuhi impian Mama.”
Trin memang blak-blakan, dan sekarang ucapannya yang blak-blakan itu membuatku sadar akan satu hal. Aku enggak begitu mengenal ibuku.
Waktu kecil, aku pernah kalah ikut lomba fashion show di mal dan Mama enggak terima. Selama seminggu setelahnya, Mama mengajariku cara berjalan ala model. Mama juga yang mengajariku cara berpose di depan kamera. Gimana caranya tersenyum, gimana caranya menjaga ekspresi wajah, semuanya harus dikuasai. Ketika aku menang di lomba berikutnya, Mama tampak puas. Namun itu enggak cukup. Mama masih mengkritik, ada aja detail kecil yang enggak di tempatnya dan bagi Mama itu kesalahan besar.
Beranjak dewasa, tuntutan itu berkembang. Enggak lagi sekadar menang lomba fashion show di mal. Tapi merambah ke banyak hal. Sekarang, jumlah follower dan subscriber jadi sumber obsesi Mama. Seperti ketika Kenny melampaui jumlah subscriber-ku, padahal dia membuka akun YouTube beberapa bulan setelahku, bagi Mama itu kekalahan besar. Mama memutar otak mencari cara, salah satunya dengan bekerjasama bareng Dafa.
“Kenapa Mama kayak gitu?”
Di sampingku, Trin meluruskan kakinya, “Mama memang terobsesi, seperti dulu Oma yang terobsesi pengin Mama jadi artis tapi gagal. Terus obsesinya dilanjut ke gue, tapi gagal. Sekarang, harapan Mama cuma lo.”
Aku enggak begitu kenal dengan Oma karena beliau meninggal waktu aku berumur tiga tahun. Mama juga enggak cerita banyak soal Oma, tapi dari cerita yang seadanya itu, aku tahu Mama sangat menghormati Oma.
“Gue enggak tahu Mama pernah kepengin jadi artis.”
“Bukan Mama, tapi Oma. Lama-lama, Mama jadi terobsesi, tapi masanya udah lewat. Makanya dilampiasin ke anak-anaknya. Tapi, itu kan harapan Mama. Obsesinya Mama. Bukan harapan lo,” sahut Trin.
Harapan. Sekarang, aku jadi semakin bingung apa sebenarnya yang aku harapkan?
“Gue enggak tahu harapan gue yang sebenarnya apa.”
“Katanya mau akting.”
Aku tergelak. “Sekarang gue enggak yakin lagi. Setelah apa yang menimpa lo, juga soal Mama, gue enggak yakin itu beneran keinginan gue atau keinginan yang diam-diam ditanamin Mama ke gue.”
“Mama enggak brainwash lo,” canda Trin.
“I know.” Aku tertawa pelan.
Di sampingku, Trin menghela napas panjang. “Sewaktu seumur lo, gue juga enggak tahu mau jadi apa. Come on, you’re still 17. Masih clueless di umur 17 itu enggak masalah.”
Aku menggeleng, sama sekali enggak setuju dengan ucapannya. “Kan udah punya KTP, udah dewasa. Harusnya enggak clueless lagi.”
Trin malah tergelak. “Itu ekspektasi yang diaminin banyak orang. Berumur 17, udah punya KTP belum tentu lo jadi dewasa.”
Sekarang aku ingat kenapa aku begitu menunggu-nunggu momen ulang tahun ke-17. Karena di benakku, usia 17 tahun artinya sudah dewasa. Aku bukan anak-anak lagi, dan artinya aku boleh menentukan jalan hidupku. Aku sudah bisa menolak suruhan Mama, karena enggak sreg dengan isi hatiku.
Namun kenyataannya enggak semudah itu.
“Umur 17 cuma datang sekali. Ada banyak hal menarik yang dialami di usia lo sekarang. Sekolah, teman, pacar, family drama, just name a few.” Trin merangkul pundakku. “Buat lo dramanya ya ini. Populer dan jadi panutan banyak orang. Pressure buat lo enggak cuma dari keluarga, sekolah, atau teman, tapi juga dari orang lain di luar sana yang enggak lo kenal.”
Aku menunduk, memainkan jari-jariku, sementara aku meresapi setiap perkataan Trin.
“Pressure itu bakalan selalu ada, tapi kita bisa ngendaliinnya. Apalagi pressure dari orang-orang yang enggak kita kenal. Kalau lo udah enggak nyaman, berhenti aja.”
Berhenti. Akhir-akhir ini, aku sering mendengar kata-kata itu. Bahkan dari diriku sendiri.
“Nanti gue yang bilang ke Mama, walau kayaknya enggak bakal mudah, sih.”
Aku mendongak untuk menatap Trin. Dia balas menatapku dengan kesungguhan terpancar di matanya.
Ini memang enggak akan mudah, tapi aku enggak sendirian. Bagiku, itu sudah cukup.
“Hidup ini punya lo, bukan punya Mama, klien yang ngasih endorse lo, produser atau sutradara yang janjiin peran buat lo, atau followers lo yang jutaan itu,” lanjut Trin.
“Walau sekarang gue dicap tukang selingkuh?”
Trin terbahak, sampai tubuhnya terguncang. “Ya, itu lumayan harsh, sih, sebenarnya. By the way, ide video klarifikasi itu enggak ada salahnya, kalau itu bisa bikin lo tenang.”
Hal itu juga terpikirkan olehku. Rasanya enggak enak dituduh melakukan sesuatu yang buruk, dan aku sama sekali enggak melakukannya. Aku punya hak untuk membela diri, meski mungkin enggak semua orang bisa menerima pembelaan diri itu. Aku cuma enggak mau terus-terusan jadi bulan-bulanan untuk kesalahan yang enggak kulakukan.
“I know. Gue udah kepikiran mau bikin video klarifikasi kayak apa,” jawabku, terkejut oleh suaraku sendiri yang terdengar sangat mantap.
Di sampingku, Trin tersenyum. “Good for you. Just say what you want to say. It’s your channel, bukan channel-nya Mama Nica. Mungkin dengan begini, lo bisa manfaatin platform itu sebaik-baiknya sesuai dengan keinginan lo dan untuk kebaikan lo.”
Aku merebahkan kepala di pundak Trin. Hari yang tadinya terlihat kabur, kini mulai tampak jelas.
“Nanti bantuin gue bikin videonya, ya,” pintaku.
Di sampingku, Trin cuma mendengung. Namun, aku menganggap itu sebagai persetujuan.