Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

Trin menyetel suhu AC untuk meningkahi udara di luar yang gerah. “Gue mandi dulu, ya. Lo santai-santai aja.”

Aku mengangguk sambil memandangi Trin menuju kamar mandi. Dia baru pulang jogging dan belum sempat mandi di rumah. Saat ditinggal sendiri, aku mengamati kamar Trin. Kamar itu sangat rapi, persis kamar Trin di rumah. Kakakku itu selalu memastikan semua barang terletak di tempatnya. Dia pernah mengamuk ketika aku meminjam hair dryer dan meletakkannya di atas meja setelah selesai dipakai, bukannya di dalam laci.

Selama beberapa tahun terakhir hubunganku dan Trin sedikit merenggang. Entah bagaimana awalnya, aku juga enggak tahu. Aku menganggap Trin terlalu sinis, sementara Trin menganggapku sebagai perpanjangan tangan Mama. Dia sering melampiaskan kekesalannya setelah berantem dengan Mama kepadaku, membuatku ikutan kesal karena merasa itu enggak adil.

Tapi, aku di sini sekarang. Berada di bawah perlindungan Trin.

“Mau pesan makanan enggak?” tanya Trin, membuatku terlonjak kaget.

Aku menoleh dan menatapnya yang baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

“Boleh,” sahutku. Baru kusadari perutku keroncongan karena tadi enggak sempat sarapan, dan sekarang sudah mau masuk jam makan siang.

Trin mengambil handphone untuk memesan makanan, dan saat itulah dia mendapatiku sedang memeriksa halaman Instagram.

“Kali ini enggak usah cek Instagram dulu bisa enggak? Followers lo enggak bakal ke mana-mana.” Trin berkata pelan.

She’s right. Untuk apa mengeceknya karena cuma bikin aku makin terpuruk?

“Jadi, selain dituduh selingkuh, ada komentar menarik?” tanya Trin sambil mengulum senyum.

“Nothing special. Cuma bilang kalau angle kiri gue masih jelek. Katanya muka gue lebar banget.” Tentu saja, yang paling vokal adalah akun Karianna Godzilla.

Trin menatapku dengan dahi berkerut. “Lo pikirin semua komentar begituan?”

Aku menghela napas panjang. “Ya enggak mau, sih. Cuma kepikiran.”

“Kepikiran doang?” desaknya.

“Kepikiran banget, sih. Sampai gue ngikutin, makanya enggak pernah foto dari angle kiri soalnya gue kelihatan gendut. Muka gue jadi aneh.” Aku mengaku jujur.

“Tapi?”

“Kata Ansel enggak gitu. Di foto-fotonya Ansel enggak kelihatan aneh, sih. Ya itu karena Ansel aja yang fotonya jago,” jawabku.

“Bukan karena Ansel. Karena emang enggak ada yang salah sama angle kiri lo.” Trin menepuk sisi karpet kosong di sampingnya, memintaku untuk duduk di sana. “Namanya manusia, mana ada yang mukanya define banget, enggak ada cela.”

“Ada, Bella Hadid. She’s a golden ratio.”

Trin mendengus. “Cuma Bella Hadid, satu di antara sekian miliar orang di dunia ini. Jadi, itu bukan perbandingan yang pas.”

Aku ikut tertawa mendengarkan jawaban Trin. Dalam diam, aku melirik ke arahnya. Ada desakan dari dalam diriku untuk memulai pertanyaan yang sejak tadi sudah menggantung di lidahku, tapi aku bingung cara memulainya.

“Lo mau tahu kenapa gue mundur dari film itu?”

Pertanyaan Trin menyentakku. Perlahan aku mengangguk.

“Sebenarnya gue enggak mau berhenti. Gue masih nyimpan keinginan buat balik, tapi tiap kali mau balik, gue langsung ciut.” Trin menatapku dengan raut wajah penuh duka. “One of the producers molested me. Kalau katanya, cuma pegang-pegang biasa doang. But the truth is, he tried to kissed me. I was 16 years old. He’s too old to be my father.”

Rasanya seperti ada petir menyambar, membuatku enggak bisa melakukan apa-apa selain memandangi Trin dengan sejuta pertanyaan di benakku.

“Tadinya Papa mau perkarain, tapi gue enggak mau karena ribet dan udah keburu capek duluan. Gue akuin tindakan itu salah, tapi gue enggak punya bukti juga. Long story short, kita bayar penalti, gue mundur, dan gue di-blacklist.”

Ada banyak skenario yang pernah terpikirkan olehku, tapi aku enggak pernah menduga kalau kenyataan yang dialami Trin sangat menyesakkan seperti ini.

“Jadi, itu yang bikin lo dan Mama selalu dingin?”

Trin mengangguk. “Buat Mama, what’s pass is pass. Jadi, kenapa menggeneralisasi semua orang itu berengsek? Makanya Mama mencoba bujuk gue, tapi gue enggak bisa punya pikiran yang sama. Benar, sih, enggak semua orang berengsek kayak produser itu, tapi gue masih trauma.”

“Ya wajarlah lo trauma. Yang enggak wajar itu, kenapa Mama maksa?” tanyaku.

Seharusnya kejadian yang menimpa Trin memberikan pelajaran untuk Mama. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mama seperti enggak belajar sama sekali, malah kini ikut mendorongku semakin jauh.

“Yang lo alamin sekarang enggak separah gue dulu. Sekarang lo mendingan, Mama masih mau diajak kompromi.”

“Apanya yang mau diajak kompromi?”

“Yang gue lihat, ya. Makanya lo enggak pernah didorong ke sinetron sampai lo tamat SMP. Baru setahun ini aja, kan, Mama mencoba buat dapetin peran? Itu pun serial, yang lingkungannya lebih baik dan lebih sehat ketimbang sinetron,” jelas Trin.

Selama beberapa saat aku menekuni perkataan Trin. Selama ini Mama fokus membesarkan namaku sebagai model Instagram, meskipun Mama tahu di mana keinginanku. Selama bertahun-tahun, Mama enggak pernah membujukku terjun ke dunia akting, apalagi sinetron, yang dipercaya jadi jalan paling cepat menuju popularitas.

Dulu aku pernah aktif di sinetron bareng Trin, tapi begitu Trin mundur, otomatis aku ikutan mundur. Setelah itu, Mama mengenal Instagram dan mendorongku aktif di sana sampai akhirnya terkenal sebagai model Instagram dengan jutaan followers.

Sesekali Mama pernah mencoba, tapi langsung ditentang Papa, sehingga aku enggak pernah dapat peran lagi setelah berhenti jadi aktris cilik.

Mungkin memang ada yang dipelajari Mama dari kejadian yang menimpa Trin.

“Tapi, ya Mama emang begitu. She’s a real definition of stage mother.” Trin terkekeh.

“Stage mother?”

Trin mengangguk. “Mama punya obsesi anak-anaknya harus selalu jadi yang nomor satu, makanya haus popularitas. Kalau kita sukses, kita dikenal, itu artinya Mama juga ikutan sukses. Ya enggak salah, sih, cuma lama-lama Mama jadi kelewat batas. Semuanya dilakuin demi mengejar popularitas, dan bikin kita serasa jadi objek buat memenuhi impian Mama.”

Trin memang blak-blakan, dan sekarang ucapannya yang blak-blakan itu membuatku sadar akan satu hal. Aku enggak begitu mengenal ibuku.

Waktu kecil, aku pernah kalah ikut lomba fashion show di mal dan Mama enggak terima. Selama seminggu setelahnya, Mama mengajariku cara berjalan ala model. Mama juga yang mengajariku cara berpose di depan kamera. Gimana caranya tersenyum, gimana caranya menjaga ekspresi wajah, semuanya harus dikuasai. Ketika aku menang di lomba berikutnya, Mama tampak puas. Namun itu enggak cukup. Mama masih mengkritik, ada aja detail kecil yang enggak di tempatnya dan bagi Mama itu kesalahan besar.

Beranjak dewasa, tuntutan itu berkembang. Enggak lagi sekadar menang lomba fashion show di mal. Tapi merambah ke banyak hal. Sekarang, jumlah follower dan subscriber jadi sumber obsesi Mama. Seperti ketika Kenny melampaui jumlah subscriber-ku, padahal dia membuka akun YouTube beberapa bulan setelahku, bagi Mama itu kekalahan besar. Mama memutar otak mencari cara, salah satunya dengan bekerjasama bareng Dafa.

“Kenapa Mama kayak gitu?”

Di sampingku, Trin meluruskan kakinya, “Mama memang terobsesi, seperti dulu Oma yang terobsesi pengin Mama jadi artis tapi gagal. Terus obsesinya dilanjut ke gue, tapi gagal. Sekarang, harapan Mama cuma lo.”

Aku enggak begitu kenal dengan Oma karena beliau meninggal waktu aku berumur tiga tahun. Mama juga enggak cerita banyak soal Oma, tapi dari cerita yang seadanya itu, aku tahu Mama sangat menghormati Oma.

“Gue enggak tahu Mama pernah kepengin jadi artis.”

“Bukan Mama, tapi Oma. Lama-lama, Mama jadi terobsesi, tapi masanya udah lewat. Makanya dilampiasin ke anak-anaknya. Tapi, itu kan harapan Mama. Obsesinya Mama. Bukan harapan lo,” sahut Trin.

Harapan. Sekarang, aku jadi semakin bingung apa sebenarnya yang aku harapkan?

“Gue enggak tahu harapan gue yang sebenarnya apa.”

“Katanya mau akting.”

Aku tergelak. “Sekarang gue enggak yakin lagi. Setelah apa yang menimpa lo, juga soal Mama, gue enggak yakin itu beneran keinginan gue atau keinginan yang diam-diam ditanamin Mama ke gue.”

“Mama enggak brainwash lo,” canda Trin.

“I know.” Aku tertawa pelan.

Di sampingku, Trin menghela napas panjang. “Sewaktu seumur lo, gue juga enggak tahu mau jadi apa. Come on, you’re still 17. Masih clueless di umur 17 itu enggak masalah.”

Aku menggeleng, sama sekali enggak setuju dengan ucapannya. “Kan udah punya KTP, udah dewasa. Harusnya enggak clueless lagi.”

Trin malah tergelak. “Itu ekspektasi yang diaminin banyak orang. Berumur 17, udah punya KTP belum tentu lo jadi dewasa.”

Sekarang aku ingat kenapa aku begitu menunggu-nunggu momen ulang tahun ke-17. Karena di benakku, usia 17 tahun artinya sudah dewasa. Aku bukan anak-anak lagi, dan artinya aku boleh menentukan jalan hidupku. Aku sudah bisa menolak suruhan Mama, karena enggak sreg dengan isi hatiku.

Namun kenyataannya enggak semudah itu.

“Umur 17 cuma datang sekali. Ada banyak hal menarik yang dialami di usia lo sekarang. Sekolah, teman, pacar, family drama, just name a few.” Trin merangkul pundakku. “Buat lo dramanya ya ini. Populer dan jadi panutan banyak orang. Pressure buat lo enggak cuma dari keluarga, sekolah, atau teman, tapi juga dari orang lain di luar sana yang enggak lo kenal.”

Aku menunduk, memainkan jari-jariku, sementara aku meresapi setiap perkataan Trin.

“Pressure itu bakalan selalu ada, tapi kita bisa ngendaliinnya. Apalagi pressure dari orang-orang yang enggak kita kenal. Kalau lo udah enggak nyaman, berhenti aja.”

Berhenti. Akhir-akhir ini, aku sering mendengar kata-kata itu. Bahkan dari diriku sendiri.

“Nanti gue yang bilang ke Mama, walau kayaknya enggak bakal mudah, sih.”

Aku mendongak untuk menatap Trin. Dia balas menatapku dengan kesungguhan terpancar di matanya.

Ini memang enggak akan mudah, tapi aku enggak sendirian. Bagiku, itu sudah cukup.

“Hidup ini punya lo, bukan punya Mama, klien yang ngasih endorse lo, produser atau sutradara yang janjiin peran buat lo, atau followers lo yang jutaan itu,” lanjut Trin.

“Walau sekarang gue dicap tukang selingkuh?”

Trin terbahak, sampai tubuhnya terguncang. “Ya, itu lumayan harsh, sih, sebenarnya. By the way, ide video klarifikasi itu enggak ada salahnya, kalau itu bisa bikin lo tenang.”

Hal itu juga terpikirkan olehku. Rasanya enggak enak dituduh melakukan sesuatu yang buruk, dan aku sama sekali enggak melakukannya. Aku punya hak untuk membela diri, meski mungkin enggak semua orang bisa menerima pembelaan diri itu. Aku cuma enggak mau terus-terusan jadi bulan-bulanan untuk kesalahan yang enggak kulakukan.

“I know. Gue udah kepikiran mau bikin video klarifikasi kayak apa,” jawabku, terkejut oleh suaraku sendiri yang terdengar sangat mantap.

Di sampingku, Trin tersenyum. “Good for you. Just say what you want to say. It’s your channel, bukan channel-nya Mama Nica. Mungkin dengan begini, lo bisa manfaatin platform itu sebaik-baiknya sesuai dengan keinginan lo dan untuk kebaikan lo.”

Aku merebahkan kepala di pundak Trin. Hari yang tadinya terlihat kabur, kini mulai tampak jelas.

“Nanti bantuin gue bikin videonya, ya,” pintaku.

Di sampingku, Trin cuma mendengung. Namun, aku menganggap itu sebagai persetujuan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lepas SKS
153      132     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Behind The Spotlight
3226      1572     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Unknown
255      207     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
Untuk Reina
25458      3897     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Finding My Way
585      405     2     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Kelana
603      455     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
115      92     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Metamorf
146      120     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...
Da Capo al Fine
271      230     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Varian Lara Gretha
5466      1684     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...