Langkahku terhenti di lobi sekolah. Di parkiran, aku melihat Dafa menungguku sambil bersandar di mobilnya yang sangat mencuri perhatian itu. Seperti biasa, dia sengaja mengatur pose agar tampak menarik kalau ada yang curi-curi kesempatan untuk memotretnya.
Aku sengaja berdiam di tempat, bukan karena enggak mau ketemu Dafa. Biarin aja dia menunggu lama di parkiran, kepanasan karena sibuk tebar pesona. Siapa suruh pakai jaket tebal, padahal matahari lagi terik-teriknya?
“Cowok lo, tuh.” Arisha menyenggol lenganku. “Maksud gue, pacar setting-an lo.”
“Mantan pacar setting-an,” ralatku. Aku ikut tertawa bersama Arisha. Sejak jujur kepadanya, Arisha sering meledekku soal hubungan pura-pura itu.
“Kok gue yang kegerahan ya lihat dia?” tanya Arisha.
“Gue juga. Pasti jaket endorse, makanya dipakai padahal lagi terik begini. Dia tuh nyadar enggak ya kalau saltum?” timpalku.
Arisha terbahak, membuat beberapa orang menatap ke arah kami.
Saat itulah aku enggak sengaja bersitatap dengan Ghania. Dia menatapku dengan pandangan penuh permusuhan.
“Ghe, langsung balik?” tanyaku.
Ghania mendengkus. “Bukan urusan lo.”
Ucapannya terdengar ketus dan dingin. Ghania langsung berlalu setelah sekali lagi menunjukkan tatapan mengajak berantem.
“Enggak ngerti, deh, gue sama dia. Kenapa marah sama lo?” tanya Arisha sambil menatap kepergian Ghania.
“Dia juga marah sama lo kayaknya.”
Arisha memutar bola matanya. “Dia enggak pernah consider gue sebagai teman. Kan dia cuma mau temenan sama lo, tapi ikutan stuck sama gue karena kita lebih dulu temenan.”
Sejak video pertengkaranku dengan Dafa viral, Ghania langsung memutus hubungan pertemanan denganku. Otomatis, dia enggak lagi berteman dengan Arisha.
“Kayaknya dia suka sama Dafa, tapi marah ke gue karena omongan Dafa di videonya. Salah alamat marahnya,” seruku.
“Udah dari dulu kali dia suka sama Dafa, jadi enggak heran kalau dia ada main sama Dafa di belakang lo. Kalau dia tahu hubungan lo cuma setting-an, pasti bakalan makin marah.” Arisha terkekeh. “By the way, tuh Dafa liatin lo mulu. Awas, ntar dia ngamuk karena kepanasan.”
Aku mengalihkan pandangan ke arah Dafa. Meski tertutup kaca mata hitam, aku bisa merasakan tatapannya yang tajam tertuju ke arahku.
“Gue samperin dulu, deh. Mau tahu maunya apa. Ketemu di auditorium, ya,” ujarku.
“Jangan telat, lima belas menit lagi mulai latihan.”
Aku mengangguk dan menuju ke arah Dafa, sementara Arisha menuju arah sebaliknya. Enggak banyak waktu yang kupunya karena ada jadwal latihan teater sore ini. Namun, aku tahu sebaiknya enggak nyuekin Dafa. Kalau dibiarin, dia bisa jadi duri dalam daging. Terus mengganggu sampai keinginannya terpenuhi.
“Mau apa lagi?” serbuku begitu tiba di depannya.
Dafa membuka kacamatanya. “Ngomong di mobil, ya.”
“Aku mau ada latihan teater,” seruku.
Dafa mendecakkan lidah. “Sebentar doang. Panas, nih.”
Tanpa mengindahkanku, dia masuk ke mobilnya. Melihatnya membuatku merasa geli. Mengapa dia bisa sekonyol ini? Terlepas dari wajahnya yang ganteng itu, tingkah konyolnya yang menggelikan ini membuatku enggak akan pernah bisa menyukainya.
Aku akhirnya masuk ke mobil Dafa. Dia sudah membuka jaket itu dan tengah bersungut-sungut karena kepanasan.
“Spill it,” desakku.
“Kapan kamu bikin video klarifikasi? Aku udah punya plan, tapi mundur karena kamu jadi ribet begini,” ujarnya dengan nada ketus.
“Penting, ya, video klarifikasi? Kan kamu bisa ngedrama sendiri, narik simpati sendiri,” balasku.
Dafa menatapku dengan ekspresi sengit. “Aku enggak mau kehilangan peran di series itu.”
“Apa hubungannya?”
Dafa memutar tubuhnya hingga berhadapan denganku. Wajahnya terlihat keras, jelas dia enggak bisa mengendalikan emosinya.
“Aku cuma bisa dapetin peran itu kalau kita masih pacaran. Itu janji sama produser, karena lebih menjual,” aku Dafa.
“Kalau gitu, ya udah lupain aja.”
Dafa menarik tanganku yang siap membuka pintu mobil.
“Jangan kayak gini, dong, Babe. Please, mau ya. Bikin videonya.” Kini, Dafa menatapku dengan wajah memelas.
Babe? Apa aku enggak salah dengar?
Di telingaku, kata itu terdengar kayak ejekan.
“Kamu aja sana bikin sendiri. Kemarin juga bikin sendiri, kan? Enggak peduli kalau video itu isinya bohong dan mojokin aku, yang penting orang bersimpati sama kamu,” semburku.
Dafa menggeram. “Sekali ini aja, Key. Janji, ini yang terakhir.”
Aku mengurungkan niat untuk keluar dari mobil. Alih-alih aku meneliti wajah Dafa. Selama mengenalnya, aku belum pernah melihat Dafa serius seperti ini.
“Beneran? Setelah itu kita putus.”
Dafa mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Terserah kamu, I don’t care. Yang penting sampai series ini kelar, kita barengan terus. Kalau pun putus, jangan sampai ada yang tahu. Kayak selama ini aja, kamu untung, aku untung.”
Apanya yang untung? Aku sering makan hati, itu sama sekali jauh dari kata untung.
“Oke, tapi terserah aku mau bikin video klarifikasi kayak apa.”
Senyum cerah terkembang di wajah Dafa. Akhirnya dia melepaskan cengkeramannya di tanganku.
Dafa enggak bertanya lebih lanjut, dan aku memendam sendiri video seperti apa yang ingin kubuat. Dia enggak perlu tahu soal rencanaku.
“Thanks, Babe. Enggak sia-sia aku sengaja ke tokonya Ansel. Benar, kan, jadi viral dan kita bisa punya banyak stok konten?” Dafa tertawa puas.
Di tempatku, aku tertegun. “Sengaja? Jadi semuanya udah direncanain?”
Tawa Dafa makin menjadi-jadi. “Kamu senaif ini, ya. Kamu pikir aja, ngapain aku marah-marah sampai nuduh selingkuh? Sama Ansel? Aku juga tahu itu ngaco.”
Aku terpana mendengar pengakuan itu. Kenapa aku enggak menduga kalau semua ini sudah direncanakan oleh Dafa? Kedatangannya jelas disengaja, makanya dia membawa teman-temannya untuk mengabadikan momen itu. Dasar bodoh, mengapa aku bisa termakan ke dalam setting-an enggak penting ini?
“Lagi sepi, Babe. Jadi harus bikin sesuatu biar rame lagi. Eh, rame banget malah. Bilangin makasih buat temanmu itu. Ada juga gunanya dia.”
Tanganku mengepal, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melayangkan tinju ke wajahnya yang tengah tersenyum pongah. Dia benar-benar menyebalkan.
Akhirnya, aku meninggalkan Dafa yang tampak puas dengan dirinya sendiri. Aku sengaja membanting pintu mobilnya, untuk melampiaskan emosi yang terpendam.