Perang itu akhirnya pecah juga.
Pagi ini rumahku jauh lebih sibuk dibanding biasanya. Di studio, Mama heboh mengatur Mas Dwi untuk membuat video. Mama juga membangunkanku pagi-pagi banget, menyuruhku siap-siap untuk syuting.
Itu satu jam yang lalu, dan sampai sekarang aku masih belum mandi. Ketika melihatku, Mama langsung meradang.
“Kamu kenapa ngeyel gini sekarang?”
“Mama juga keras kepala,” semburku. “Kan, aku udah bilang enggak mau.”
“Kamu enggak mikirin dirimu sendiri.”
Justru karena aku mikirin diriku sendiri makanya aku enggak mau terlibat dalam konten enggak penting begini.
“Dafa udah setuju, dan nanti dia bakal maafin kamu.”
Jujur saja, aku sama sekali enggak bisa mengerti jalan pikiran Mama. Kenapa Mama begitu ngotot aku pengin terus bersama Dafa? Sebelum ini mungkin terasa menguntungkan, tapi setelah dijalani, rasanya enggak sebanding karena aku lebih sering makan hati.
“Maafin aku? Dia yang kurang ajar, kenapa dia yang harus maafin aku?” Sampai sekarang, aku masih belum lupa dengan perlakuan kurang ajarnya di Bali.
“Anna…” Mama menggeram pelan.
“Aku mau putus dari Dafa.” Aku berkata tegas. “Sekalian aja aku bikin konten yang bilang kalau hubunganku sama Dafa cuma setting-an dan kasih tahu dia sebenarnya gimana.”
Mama jelas enggak setuju, kalau dilihat dari raut wajahnya yang tampak gusar.
“Mama hampir dealing dengan series yang setuju memasang kamu dengan Dafa. Kalau kalian putus, deal itu hangus.”
Aku menggeleng. “Mama lebih mentingin aku atau uang, sih?”
“Anna, jaga mulut kamu kalau ngomong!”
Mama sepertinya sudah sampai ke puncak kesabarannya.
Namun, aku sudah enggak tahan lagi. Sama seperti Mama, aku juga sudah sampai di puncak kesabaranku.
“Kalau Mama percaya sama aku, kita enggak perlu Dafa dan drama enggak penting ini,” lanjutku.
“Oh ya? Apa kamu mampu?”
Di antara semua orang, seharusnya Mama enggak meragukanku. Gimana pun, dia ibuku. Bukankah seorang Ibu harusnya mendukung anaknya? Kenapa Mama berlaku sebaliknya.
“Aku mampu. Buktinya aku dapat peran di teater.”
“Jelas-jelas kamu dapat peran itu karena populer, bukan karena kamu mampu. Siapa yang bikin kamu terkenal? Mama, kan?”
Meski berat, mau enggak mau aku harus menerima kenyataan yang disampaikan Mama. Namun, aku enggak menampakkannya.
“Pokoknya aku enggak mau. Mama aja yang bikin video sama Dafa. Biar Mama yang terkenal, jadi enggak maksa aku lagi,” ucapku.
Tanpa memedulikan panggilan Mama, aku berlari ke luar rumah. Rumah Ansel satu-satunya jawaban, tapi Mama pasti menebak. Lagipula, kalau aku ke rumah Ansel, dia pasti akan terseret masalah baru. Sudah cukup aku membebaninya dengan masalahku.
Aku menghambur ke luar rumah, bertepatan dengan pintu yang terbuka dari luar. Tanpa sengaja, aku menubruk Trin yang baru pulang dari lari pagi.
“Kenapa, Dek?”
“Mama…,” sahutku pelan.
Trin menarikku hingga tersembunyi di balik punggungnya. Trin berdiri di depanku, menghalangiku dari Mama. Dia menempatkan dirinya sebagai perisai. Entah kenapa aku merasa aman bersembunyi di balik punggung Trin.
“Kamu jangan ikut campur,” tegur Mama.
“Mama kenapa, sih, enggak pernah belajar dari pengalaman?” Trin membalas teguran Mama.
“Kamu jangan coba-coba mengajari Mama, Trin.”
“Siapa yang mau ngajarin Mama?” Trin melirikku. “Kamu disuruh apa?”
Aku menatap Mama dan Trin berganti-gantian. Aku yakin Trin pasti sudah tahu soal video Dafa, meskipun dia enggak pernah bertanya secara langsung.
Wajah Trin memerah begitu aku menyelesaikan ceritaku.
“Kenapa, sih, Ma? Harus banget dapetin peran itu?” tanya Trin.
“Ini demi adikmu.” Mama berkata tajam, membuatku bergidik. “Kamu pernah nyia-nyiain kesempatan. Kamu mau adikmu juga lakuin hal yang sama?”
“Aku enggak nyia-nyiain kesempatan. Mama enggak bisa ngelindungin aku, jadi aku punya caraku sendiri.”
Meskipun Trin berkata pelan, aku menangkap nada sedih di balik ucapannya barusan.
Di belakang Trin, aku teringat pada pertikaian Trin dan Mama yang enggak ada habisnya itu. Sumbernya masih sama, keputusan Trin mundur dari film. Keputusan sepihak yang mengakibatkan keluargaku harus bayar penalti dalam jumlah banyak.
“Mama ingat, kan, apa yang aku alami dulu sampai enggak mau ikut casting lagi? Harusnya kejadian itu bikin Mama berhenti, tapi yang ada malah menjadi-jadi maksa Anna.” Trin berkata pelan tapi tajam.
Aku menatap Trin, raut wajahnya tampak terluka. Apa pun yang terjadi saat itu, pasti sangat berat. Meski sudah lama, kalau melihat ekspresi Trin saat ini, aku yakin dia masih belum melupakan kejadian itu.
“Mama pastiin kejadian itu enggak akan terjadi sama Anna,” balas Mama.
Selama beberapa saat, Mama dan Trin saling menatap.
“Memang enggak, tapi kalau nanti ada produser atau siapa pun yang menggerayangi Anna dengan imbalan peran utama di film, sinetron, apa pun, Mama pilih apa? Anna atau uang?”
Rasanya seperti tersambar petir saat mendengar pertanyaan itu meluncur dari mulut Trin.
“Katrinna, jaga ucapanmu!” hardik mama.
“Ada apa ini ribut-tibut?”
Aku, Trin, dan Mama menoleh ke sumber suara. Di pintu, Papa berdiri dengan ekspresi keras di wajahnya. Papa menyandarkan koper yang selalu dibawanya setiap kali bekerja di dekat pintu dan menghampiri kami.
“Papa tanya aja sama Mama ada apa,” balas Trin dan menyambar tanganku. “Aku mau bawa Anna ke kosan, daripada di sini sama Mama.”
Trin menarikku menjauh, ketika Mama berteriak melarangnya.
“Mama harusnya introspeksi diri. Kami ini anak Mama, bukan objek yang bisa dijual buat keuntungan Mama.” Trin berhenti dan melepaskan kata-kata yang terdengar sangat dingin. “Kalau Mama gagal meraih impian, bukan berarti Mama berhak maksa aku atau Anna ikutin apa yang Mama mau. Kami juga punya hak buat nentuin maunya apa.”
Usai berkata begitu, Trin membawaku ke luar rumah, diikuti isakan Mama dari dalam rumah. Aku mau berbalik, mengetahui mengapa Mama menangis. Namun, cengkeraman Trin begitu kencang sampai-sampai aku enggak bisa melepaskan diri.
Trin baru melepaskanku begitu kami tiba di mobilnya.
“What’s going on?” tanyaku.
Trin hanya melirikku sekilas, sembari menyalakan mesin mobil.
“Later, gue perlu nenangin diri biar enggak nabrak di jalan.”
Melihat wajah Trin yang memerah karena menahan emosi, aku menahan rasa ingin tahu. Baik aku atau Trin, enggak ada yang bicara sepanjang perjalanan, sampai Trin memasuki pekarangan rumah kos yang ditempatinya di Depok, hampir satu jam kemudian.