Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

“Setelah dipikir-pikir, gue kepaksa setuju sama ucapan lo kemarin.” Ansel mendudukkan tubuhnya di sisi jalan, kemudian meluruskan kakinya, mengikutiku yang sudah lebih dulu beristirahat setelah satu jam lebih bersepeda keliling kompleks.

Bersepeda selama satu jam, meski cuma keliling kompleks, tetap saja bikin capek. Apalagi sore ini matahari lagi terik-teriknya, membuatku jadi lebih gampang capek.

“Lo tuh pintar, kenapa buat hal ini lama banget pahamnya?” timpalku.

Ansel terkekeh. Dia melakukan peregangan, sekadar untuk mengusir lelah di kaki.

“Semalam gue berpikir, gimana kalau Dafa ikutan kita sepedaan? Ya, itu hal paling mustahil, sih. Mana mungkin dia mau sepedaan bareng kita? Udahlah panas, cuma bikin capek. But I got your point.” Ansel melirikku sekilas. “Gue juga paham kalau Nashila cemburu.”

Mendengar nama Nashila selalu berhasil memunculkan rasa enggak rela di hatiku, tapi enggak ada yang bisa kulakukan selain menelannya mentah-mentah. Bukan tempatnya bagiku cemburu. Sekalipun Ansel adalah sahabatku, tetap saja aku enggak punya hak buat cemburu atas hubungannya dengan Nashila.

“Lo udah ngomong sama Nashila?”

Ansel mengangguk pelan.

“Terus?”

“Dia ngerti, kok.”

Aku menatap Ansel dengan mata memicing, berusaha meyakinkan diri bahwa ucapannya jujur. Bukan sekadar pengalihan karena Ansel enggak mau aku tahu fakta sebenanrya.

“By the way, kalau lo enggak mau ikut gue hunting foto lagi, gue bisa terima.” Ansel tersenyum lembut. “We have our moment. Kalau lo sedih lagi, kita sepedaan aja. Jadi enggak ada waktu buat sedih karena keburu capek.”

Aku menyikut lengan Ansel, tapi tak urung ada senyum di wajahku.

“Soal teater gimana? Enggak jadi mundur, kan?”

Setelah memikirkannya masak-masak aku melihat jauh lebih banyak kerugian kalau t mundur. Jadi, aku menekan ego dan melupakan emosi. Sehingga, aku bisa menjalani proses ini dengan hati ringan.

“Tadi meeting pertama antara semua cast dan kru. I’m very excited.”

“Enggak kesal lagi sama Tammy?”

Aku menempelkan jari telunjuk dan jempol, hanya memberikan sedikit jarak yang enggak terlalu kentara. “Dikit, but … enggak ada gunanya juga marah sama Tammy. She’s just doing her job.”

Ansel menepuk punggungku bersahabat. “Baguslah. Ngapain buang-buang energi buat marah, kan?”

Untuk apa memupuk rasa kesal dan terus memendam emosi? Cuma membuatku merasa semakin sesak. Enggak ada hal positif yang muncul, jadi buat apa terus bersikap begitu?

Ansel menghela napas panjang dan bangkit berdiri. “Gue antar pulang, ya. Abis itu mau ke toko, buku tugas gue ketinggalan.”

Belum terlalu sore dan aku masih ingin menghabiskan sore ini dengan Ansel. Jadi, aku menawarkan untuk menemaninya kembali ke toko untuk mengambil buku tugasnya di Heart Scent.

Berhubung Ansel masih sekolah, jam buka toko itu enggak menentu. Dia menjaganya bersama sepupunya, Zaskia. Kalau Zaskia ada kuliah dan Ansel sekolah, mereka terpaksa tutup. Lagipula, toko itu ramainya di sore hari dan weekend, jadi enggak masalah kalau Ansel tutup di hari biasa.

Setelah memastikan sepeda terkunci dengan erat di parkiran, aku berjalan beriringan dengan Ansel menuju tokonya. Seperti biasa, area ini cukup ramai di sore seperti ini.

Zaskia menyambut kami begitu tiba di toko itu. Sementara Ansel mengambil buku tugasnya, aku menunggu di samping tokonya.

“Here you are. Udah aku duga kamu di sini.”

Aku mengangkat wajah dan mendapati Dafa berdiri di depanku sambil berkacak pinggang. Wajahnya memerah, tampak seperti sedang menahan marah.

“Kamu ngapain di sini?”

Dafa mendengkus. “Enggak nyangka bakal aku pergokin di sini?”

“Hah?”

Drama apa lagi ini? Aku enggak punya keinginan untuk meladeni drama Dafa, tapi Dafa punya keinginan lain.

“Aku pikir yang di Bali itu cuma karena salah paham, tapi aku dengar kalau kamu sering ke sini. Ini tokonya Ansel, kan?” tanya Dafa dengan nada tinggi, membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh ke arahku.

Berbanding terbalik denganku yang risih karena jadi tontonan, Dafa malah senang. Dia bahkan sengaja semakin berteriak, karena orang-orang akan melupakan apa pun kesibukan mereka dan memperhatikan kami.

Bagi seseorang yang suka menjadi pusat perhatian seperti Dafa, dia sangat menikmati momen ini.

“Kenapa, sih? Bisa-bisanya kamu selingkuh di belakangku?”

Rasanya pengin tertawa menanggapi tuduhan Dafa yang sangat menggelikan. Namun, sudah enggak ada energi tersisa sehingga aku cuma bisa menghela napas.

“Udahan, deh, Daf. Enggak usah ngomong ngaco kayak gini lagi,” timpalku.

“Siapa yang ngaco?” tanya Dafa sambil berteriak. Kini aku bisa melihat orang-orang terang-terangan merekam pertengkaran ini.

Sial, aku pasti jadi bulan-bulanan publik sekarang.

“Kamu yang selingkuh, ya. Enggak usah mengelak. Kalau enggak selingkuh, ngapain kamu di sini?” Dafa masih berteriak dengan tuduhannya yang enggak berdasar itu.

“Terserah kamu, deh, ya mikir gimana. Mau nuduh aku selingkuh sama Ansel, silakan. Aku enggak peduli,” balasku, ikut-ikutan sengit. “Kalau kamu mau nyari masalah, jangan sama aku.”

Ansel muncul di antara kami. Dia langsung berdiri di antara aku dan Dafa. Meski dia membelakangiku, aku bisa merasakan kemarahan yang menguar dari tubuhnya.

“Lo jauh-jauh dari tempat gue kalau mau nyari masalah,” hardiknya.

Dafa mendorong Ansel ke samping. Ansel yang enggak menduga, jadi terhuyung. Aku bergerak mendekatinya, tapi Dafa lebih dulu menghalangiku.

“Kamu sengaja, kan, cari masalah di sini?” tuduhku. “Biar orang-orang ngerekam terus kamu punya bahan buat bikin konten.”

Dafa menggertakkan giginya. “Enggak usah…”

Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Ansel menarik Dafa hingga menjauh dariku. Sekali lagi, dia menempatkan dirinya di antara aku dan Dafa.

“An, lo jangan ikut campur. Ini banyak yang ngerekam, ntar lo juga ketimpa masalah,” bisikku.

Ansel menatapku dengan ekspresi keras di wajahnya. “Lo pikir gue bisa diam aja?”

Tiba-tiba, Dafa tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin mengundang orang-orang untuk berkerumun di sekitar toko Ansel. Kami bertiga berubah jadi badut paling menggelikan, sementara orang-orang ini malah tertawa meledek sambil mengacungkam kamera handphone. Sama sekali enggak mau kehilangan momen menggelikan ini.

“Biar semua orang tahu kalau kalian itu munafik.”

Kini, aku yang mendorong Ansel agar enggak lagi menghalangiku dan Dafa. Sama seperti Dafa, aku juga berkacak pinggang di depannya, dengan emosi menyala-nyala.

Sudah cukup semua tuduhan itu. Sudah cukup dia mempermalukanku.

“Ngaca, Dafa. Yang selngkuh itu lo, ya.” Aku ikut berteriak. Kepalang basah, sekalian saja aku mempermalukan diri dengan mempertontonkan drama paling pribadi. Biar orang-orang yang haus keributan punya banyak bahan untuk dipergunjingkan. “Enggak usah playing victim, Dafa. Yang cium cewek lain, siapa? Bukan cuma cewek lain, lo cium teman gue.”

Dafa terkesiap. Dia tidak lagi berteriak-teriak seperti orang gila, malah menatapku dengan wajah murka. “Gue enggak cium siapa-siapa,” elaknya.

Aku mendengus. “Lo cium Ghania, dalihnya karena curhat terus kebawa suasana. Itu namanya apa?”

“Gue enggak cium Ghania.”

“Jadi, lo nuduh Ghania bohong.” Aku menghardiknya.

“Dia yang cium gue, padahal gue enggak mau. Ghania suka sama gue, walaupun dia tahu kita pacaran. Dia sering deketin gue, tapi gue tolak.” Dafa membela diri, tapi di telingaku penjelasan itu terdengar memuakkan.

“Lo ngomong A, Ghania ngomong B, tapi kalian berdua enggak ada yang bisa dipercaya.” Aku berteriak kencang. “Kita putus. Gue enggak mau ada urusan apa-apa lagi sama lo.”

Aku mendorong Dafa yang menghalangi jalanku. Sambil berlari, aku menjauh dari tempat itu. Aku terpaksa menyeruak di antara kerumunan agar bisa secepatnya menjauh. Menjauh dari kamera yang disodorkan ke hadapanku, seakan-akan aku objek yang pantas dipermalukan.

Sebelum air mataku jatuh, aku harus pergi dari tempat ini.

Aku mendengar Ansel memanggil, tapi aku enggak peduli. Aku mempercepat lari, hingga tiba di tempat memarkir sepeda. Air mataku nyaris jatuh, jadi aku memaksakan diri membuka kunci dengan mata berkabut.

“An, tenang dulu. Bahaya kalau lo pulang dalam keadaan kayak gini,” cegah Ansel yang sudah berada di parkiran.

Melihatku yang kesulitan membuka kunci sepeda, Ansel mengambil alih. Begitu sepedaku terbebas, aku merebutnya. Tanpa berkata apa-apa, aku menaiki sepeda dan mengayuhnya menjauh.

Enggak ada orang yang haus keributan mengikutiku, tapi aku tetap mengayuh sepeda secepat yang aku bisa. Pandanganku yang kabur cukup menyulitkan. Tanpa sengaja aku mengayuh sepeda terlalu mepet ke trotoar di sisi kiri, sehingga sepeda jadi enggak stabil. Aku enggak bisa mengendalikannya hingga sepeda itu oleng dan aku jatuh ke trotoar, ditimpa oleh sepedaku sendiri.

Lututku yang mencium trotoar terasa perih. Aku melihat legging yang kupakai robek, dan meski enggak terlihat, aku bisa merasakan lututku luka.

Tangisku makin menjadi-jadi. Mengapa aku harus mengalami kejadian memalukan seperti ini?

Di saat aku sedang terisak, aku melihat Ansel mengangkat sepedaku. Dia membantuku duduk di atas trotoar dan meluruskan kaki. Lututku masih perih, tapi bukan itu yang membuatku menangis seperti anak kecil.

Aku enggak berkata apa-apa. Begitu juga halnya dengan Ansel. Dia cuma duduk di sampingku, sementara aku terus menangis.

The truth is, I don’t know why I am crying.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Merayakan Apa Adanya
363      270     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
The Call(er)
1186      700     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
One Step Closer
2345      979     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Segitiga Sama Kaki
563      396     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
After School
3104      1319     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
14846      2042     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Glitch Mind
42      39     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Unexpectedly Survived
96      85     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Pasal 17: Tentang Kita
120      42     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Atraksi Manusia
455      336     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...