“Setelah dipikir-pikir, gue kepaksa setuju sama ucapan lo kemarin.” Ansel mendudukkan tubuhnya di sisi jalan, kemudian meluruskan kakinya, mengikutiku yang sudah lebih dulu beristirahat setelah satu jam lebih bersepeda keliling kompleks.
Bersepeda selama satu jam, meski cuma keliling kompleks, tetap saja bikin capek. Apalagi sore ini matahari lagi terik-teriknya, membuatku jadi lebih gampang capek.
“Lo tuh pintar, kenapa buat hal ini lama banget pahamnya?” timpalku.
Ansel terkekeh. Dia melakukan peregangan, sekadar untuk mengusir lelah di kaki.
“Semalam gue berpikir, gimana kalau Dafa ikutan kita sepedaan? Ya, itu hal paling mustahil, sih. Mana mungkin dia mau sepedaan bareng kita? Udahlah panas, cuma bikin capek. But I got your point.” Ansel melirikku sekilas. “Gue juga paham kalau Nashila cemburu.”
Mendengar nama Nashila selalu berhasil memunculkan rasa enggak rela di hatiku, tapi enggak ada yang bisa kulakukan selain menelannya mentah-mentah. Bukan tempatnya bagiku cemburu. Sekalipun Ansel adalah sahabatku, tetap saja aku enggak punya hak buat cemburu atas hubungannya dengan Nashila.
“Lo udah ngomong sama Nashila?”
Ansel mengangguk pelan.
“Terus?”
“Dia ngerti, kok.”
Aku menatap Ansel dengan mata memicing, berusaha meyakinkan diri bahwa ucapannya jujur. Bukan sekadar pengalihan karena Ansel enggak mau aku tahu fakta sebenanrya.
“By the way, kalau lo enggak mau ikut gue hunting foto lagi, gue bisa terima.” Ansel tersenyum lembut. “We have our moment. Kalau lo sedih lagi, kita sepedaan aja. Jadi enggak ada waktu buat sedih karena keburu capek.”
Aku menyikut lengan Ansel, tapi tak urung ada senyum di wajahku.
“Soal teater gimana? Enggak jadi mundur, kan?”
Setelah memikirkannya masak-masak aku melihat jauh lebih banyak kerugian kalau t mundur. Jadi, aku menekan ego dan melupakan emosi. Sehingga, aku bisa menjalani proses ini dengan hati ringan.
“Tadi meeting pertama antara semua cast dan kru. I’m very excited.”
“Enggak kesal lagi sama Tammy?”
Aku menempelkan jari telunjuk dan jempol, hanya memberikan sedikit jarak yang enggak terlalu kentara. “Dikit, but … enggak ada gunanya juga marah sama Tammy. She’s just doing her job.”
Ansel menepuk punggungku bersahabat. “Baguslah. Ngapain buang-buang energi buat marah, kan?”
Untuk apa memupuk rasa kesal dan terus memendam emosi? Cuma membuatku merasa semakin sesak. Enggak ada hal positif yang muncul, jadi buat apa terus bersikap begitu?
Ansel menghela napas panjang dan bangkit berdiri. “Gue antar pulang, ya. Abis itu mau ke toko, buku tugas gue ketinggalan.”
Belum terlalu sore dan aku masih ingin menghabiskan sore ini dengan Ansel. Jadi, aku menawarkan untuk menemaninya kembali ke toko untuk mengambil buku tugasnya di Heart Scent.
Berhubung Ansel masih sekolah, jam buka toko itu enggak menentu. Dia menjaganya bersama sepupunya, Zaskia. Kalau Zaskia ada kuliah dan Ansel sekolah, mereka terpaksa tutup. Lagipula, toko itu ramainya di sore hari dan weekend, jadi enggak masalah kalau Ansel tutup di hari biasa.
Setelah memastikan sepeda terkunci dengan erat di parkiran, aku berjalan beriringan dengan Ansel menuju tokonya. Seperti biasa, area ini cukup ramai di sore seperti ini.
Zaskia menyambut kami begitu tiba di toko itu. Sementara Ansel mengambil buku tugasnya, aku menunggu di samping tokonya.
“Here you are. Udah aku duga kamu di sini.”
Aku mengangkat wajah dan mendapati Dafa berdiri di depanku sambil berkacak pinggang. Wajahnya memerah, tampak seperti sedang menahan marah.
“Kamu ngapain di sini?”
Dafa mendengkus. “Enggak nyangka bakal aku pergokin di sini?”
“Hah?”
Drama apa lagi ini? Aku enggak punya keinginan untuk meladeni drama Dafa, tapi Dafa punya keinginan lain.
“Aku pikir yang di Bali itu cuma karena salah paham, tapi aku dengar kalau kamu sering ke sini. Ini tokonya Ansel, kan?” tanya Dafa dengan nada tinggi, membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh ke arahku.
Berbanding terbalik denganku yang risih karena jadi tontonan, Dafa malah senang. Dia bahkan sengaja semakin berteriak, karena orang-orang akan melupakan apa pun kesibukan mereka dan memperhatikan kami.
Bagi seseorang yang suka menjadi pusat perhatian seperti Dafa, dia sangat menikmati momen ini.
“Kenapa, sih? Bisa-bisanya kamu selingkuh di belakangku?”
Rasanya pengin tertawa menanggapi tuduhan Dafa yang sangat menggelikan. Namun, sudah enggak ada energi tersisa sehingga aku cuma bisa menghela napas.
“Udahan, deh, Daf. Enggak usah ngomong ngaco kayak gini lagi,” timpalku.
“Siapa yang ngaco?” tanya Dafa sambil berteriak. Kini aku bisa melihat orang-orang terang-terangan merekam pertengkaran ini.
Sial, aku pasti jadi bulan-bulanan publik sekarang.
“Kamu yang selingkuh, ya. Enggak usah mengelak. Kalau enggak selingkuh, ngapain kamu di sini?” Dafa masih berteriak dengan tuduhannya yang enggak berdasar itu.
“Terserah kamu, deh, ya mikir gimana. Mau nuduh aku selingkuh sama Ansel, silakan. Aku enggak peduli,” balasku, ikut-ikutan sengit. “Kalau kamu mau nyari masalah, jangan sama aku.”
Ansel muncul di antara kami. Dia langsung berdiri di antara aku dan Dafa. Meski dia membelakangiku, aku bisa merasakan kemarahan yang menguar dari tubuhnya.
“Lo jauh-jauh dari tempat gue kalau mau nyari masalah,” hardiknya.
Dafa mendorong Ansel ke samping. Ansel yang enggak menduga, jadi terhuyung. Aku bergerak mendekatinya, tapi Dafa lebih dulu menghalangiku.
“Kamu sengaja, kan, cari masalah di sini?” tuduhku. “Biar orang-orang ngerekam terus kamu punya bahan buat bikin konten.”
Dafa menggertakkan giginya. “Enggak usah…”
Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Ansel menarik Dafa hingga menjauh dariku. Sekali lagi, dia menempatkan dirinya di antara aku dan Dafa.
“An, lo jangan ikut campur. Ini banyak yang ngerekam, ntar lo juga ketimpa masalah,” bisikku.
Ansel menatapku dengan ekspresi keras di wajahnya. “Lo pikir gue bisa diam aja?”
Tiba-tiba, Dafa tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin mengundang orang-orang untuk berkerumun di sekitar toko Ansel. Kami bertiga berubah jadi badut paling menggelikan, sementara orang-orang ini malah tertawa meledek sambil mengacungkam kamera handphone. Sama sekali enggak mau kehilangan momen menggelikan ini.
“Biar semua orang tahu kalau kalian itu munafik.”
Kini, aku yang mendorong Ansel agar enggak lagi menghalangiku dan Dafa. Sama seperti Dafa, aku juga berkacak pinggang di depannya, dengan emosi menyala-nyala.
Sudah cukup semua tuduhan itu. Sudah cukup dia mempermalukanku.
“Ngaca, Dafa. Yang selngkuh itu lo, ya.” Aku ikut berteriak. Kepalang basah, sekalian saja aku mempermalukan diri dengan mempertontonkan drama paling pribadi. Biar orang-orang yang haus keributan punya banyak bahan untuk dipergunjingkan. “Enggak usah playing victim, Dafa. Yang cium cewek lain, siapa? Bukan cuma cewek lain, lo cium teman gue.”
Dafa terkesiap. Dia tidak lagi berteriak-teriak seperti orang gila, malah menatapku dengan wajah murka. “Gue enggak cium siapa-siapa,” elaknya.
Aku mendengus. “Lo cium Ghania, dalihnya karena curhat terus kebawa suasana. Itu namanya apa?”
“Gue enggak cium Ghania.”
“Jadi, lo nuduh Ghania bohong.” Aku menghardiknya.
“Dia yang cium gue, padahal gue enggak mau. Ghania suka sama gue, walaupun dia tahu kita pacaran. Dia sering deketin gue, tapi gue tolak.” Dafa membela diri, tapi di telingaku penjelasan itu terdengar memuakkan.
“Lo ngomong A, Ghania ngomong B, tapi kalian berdua enggak ada yang bisa dipercaya.” Aku berteriak kencang. “Kita putus. Gue enggak mau ada urusan apa-apa lagi sama lo.”
Aku mendorong Dafa yang menghalangi jalanku. Sambil berlari, aku menjauh dari tempat itu. Aku terpaksa menyeruak di antara kerumunan agar bisa secepatnya menjauh. Menjauh dari kamera yang disodorkan ke hadapanku, seakan-akan aku objek yang pantas dipermalukan.
Sebelum air mataku jatuh, aku harus pergi dari tempat ini.
Aku mendengar Ansel memanggil, tapi aku enggak peduli. Aku mempercepat lari, hingga tiba di tempat memarkir sepeda. Air mataku nyaris jatuh, jadi aku memaksakan diri membuka kunci dengan mata berkabut.
“An, tenang dulu. Bahaya kalau lo pulang dalam keadaan kayak gini,” cegah Ansel yang sudah berada di parkiran.
Melihatku yang kesulitan membuka kunci sepeda, Ansel mengambil alih. Begitu sepedaku terbebas, aku merebutnya. Tanpa berkata apa-apa, aku menaiki sepeda dan mengayuhnya menjauh.
Enggak ada orang yang haus keributan mengikutiku, tapi aku tetap mengayuh sepeda secepat yang aku bisa. Pandanganku yang kabur cukup menyulitkan. Tanpa sengaja aku mengayuh sepeda terlalu mepet ke trotoar di sisi kiri, sehingga sepeda jadi enggak stabil. Aku enggak bisa mengendalikannya hingga sepeda itu oleng dan aku jatuh ke trotoar, ditimpa oleh sepedaku sendiri.
Lututku yang mencium trotoar terasa perih. Aku melihat legging yang kupakai robek, dan meski enggak terlihat, aku bisa merasakan lututku luka.
Tangisku makin menjadi-jadi. Mengapa aku harus mengalami kejadian memalukan seperti ini?
Di saat aku sedang terisak, aku melihat Ansel mengangkat sepedaku. Dia membantuku duduk di atas trotoar dan meluruskan kaki. Lututku masih perih, tapi bukan itu yang membuatku menangis seperti anak kecil.
Aku enggak berkata apa-apa. Begitu juga halnya dengan Ansel. Dia cuma duduk di sampingku, sementara aku terus menangis.
The truth is, I don’t know why I am crying.