Sepanjang sisa siang, mau enggak mau aku jadi kepikiran ucapan Nashila. Bahkan, sampai Ansel menurunkan Nashila di depan rumahnya dan hanya ada kami berdua di mobilnya, aku enggak bisa mengenyahkan ucapan Nashila dari benakku.
Sekarang aku mengerti alasannya cemburu. Dia punya hak buat cemburu. Kalau aku berada di posisinya, aku akan merasakan hal yang sama. Terlepas dari hubungan persahabatan, aku pasti akan keberatan karena Ansel membawa orang lain ke dalam momen spesial kami berdua.
Aku paham Nashila keberatan aku ikut kegiatan hunting foto. Bukan karena aku mengganggu mereka. Atau karena dia merasa Ansel jadi cuek karena ada aku. Melainkan karena Ansel membawa orang asing ke dalam momen spesial yang hanya diperuntukkan bagi dia dan Nashila. Aku memang sahabatnya, tapi di hubungan mereka, aku tetap orang asing.
Artinya, aku enggak seharusnya ada di momen spesial itu.
“Tadi gue candid lumayan banyak foto lo. Mau enggak?” tanya Ansel.
Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan, sampai-sampai pertanyaan itu menyentakku. Aku menoleh ke arah Ansel yang tengah berkonsentrasi dengan jalanan di hadapannya.
“Boleh,” sahutku pelan.
“Lo kenapa diam aja? Capek?”
Aku mengangguk, sama sekali enggak berniat membantah Ansel.
“Nyesel udah nemenin gue hunting foto?”
Aku menggeleng. Malah sebaliknya, aku senang banget sudah menerima ajakan ini. Hanya saja, aku merasa enggak enak sama Nashila.
“Kulit lo enggak gosong, kan? Ntar gue direbus Mama Nica kalau lo sampai gosong.” Ansel terkekeh.
Biasanya candaan seperti itu bisa membuatku tertawa, tapi kali ini gagal. Aku cuma bisa tersenyum kecut, sama sekali enggak berniat meladeni leluconnya.
“Serius, deh, An. Lo kenapa?”
Ansel memang peka, jadi percuma juga pura-pura di depannya.
“Kata Nashila, kamera itu hadiah lomba foto. Kok gue enggak pernah dikasih lihat foto yang mana?” tanyaku.
“Adalah.” Ansel menjawab enteng.
Aku mendengus. “Kok main rahasia-rahasiaan, sih?”
Ansel membelokkan mobilnya keluar dari kompleks perumahan Nashila. “Udah lupa foto yang mana. Gue ikut banyak lomba, jadi enggak ingat submit foto yang mana aja. Mau langsung balik atau nongkrong dulu?”
Sebenarnya aku mau langsung pulang. Selain capek, tubuhku terasa lengket karena seharian berpanas-panasan. Namun, aku juga mau ngobrol dengan Ansel dan mengobrol di rumah bukan pilihan yang tepat.
“Ngopi, yuk. Gue tahu tempat yang enak.”
Aku mengetik di handphone dan menunjukkan alamatnya kepada Ansel. Dia punya memori yang kuat, jadi bisa dengan mudah menghafal jalan. Hanya sekali lihat, Ansel sudah bisa merekam alamat coffee shop yang kami tuju.
Mobil Ansel melaju di jalanan yang kosong dengan rumah-rumah yang tampak serupa di kiri kanan jalan. Sesekali, ada deretan ruko dengan café atau restoran yang menarik untuk dikunjungi.
Ansel memasuki pekarangan deretan ruko, tepat di depan coffee shop yang aku maksud. Di sampingnya, ada tanah kosong yang ditumbuhi rumput lumayan tinggi, dan jadi pemandangan tersendiri dari dalam coffee shop.
Aku memesan ice coffee latte, sama dengan Ansel, dan kami menempati meja panjang yang ada di dekat jendela sehingga bisa menatap ke luar.
“Lihat hasil foto lo.” Ansel menyodorkan tangannya.
Aku mengambil kamera dan menyerahkannya kepada Ansel. Sedetik kemudian, dia sudah sibuk memelototi hasil fotoku.
“Bagus, An. Kirain lo cuma jago dipotret doang,” ujarnya. “Kapan-kapan kalau gue ajak hunting foto lagi, lo mau?” tanya Ansel, setelah selesai mengecek fotoku. Dia meletakkan kamera itu di meja dan menatapku.
“Bareng Nashila?” tanyaku, yang dijawab Ansel dengan anggukan. “Nashila enggak bakal setuju.”
“Kenapa? Tadi dia biasa aja,” elak Ansel.
Mungkin, untuk beberapa hal, Ansel perlu mengasah kepekaannya. Jelas dia enggak melihat Nashila yang cemburu sepanjang hunting foto tadi.
“Dia cemburu karena ada gue.”
Di luar dugaan, Ansel malah tertawa. “Ngaco. Ngapain juga cemburu sama lo?”
Dia enggak bermaksud menyakitiku, tapi hatiku tersentil saat mendengar pertanyaan itu.
“An, wajarlah dia cemburu. Itu momen spesial kalian, terus tiba-tiba gue muncul. Dia keberatan gue ada di antara kalian,” jelasku.
Ansel masih menatapku dengan ekspresi geli. “Kalau Nashila ajak temannya ikut hunting foto, gue enggak bakalan cemburu.”
Kini, aku malah geregetan dengan tanggapannya. “Untuk beberapa hal, lo super peka. Namun, menyangkut hal ini, lo sama sekali enggak paham.”
Cengiran menghilang dari wajah Ansel, berganti dengan kerutan di kening.
“Hunting foto itu momen lo dan Nashila, dengan adanya orang lain, jadinya enggak spesial lagi. Makanya, Nashila cemburu.” Aku menjelaskan.
Ansel tampak berpikir, tapi kemudian dia menggelengkan kepalanya. “Gue enggak melihat ada yang salah di situ. Lagian, lo bukan orang lain.”
Rasanya ingin menjitak kepalanya biar paham.
“Lo keberatan kalau Dafa ikut kita sepedaan bareng?” tanyaku, meski sebenarnya enggan mmbawa nama Dafa.
Sekali lagi, Ansel menyengir lebar. “It’s not gonna happen.”
Kini, aku beneran menjitak kepalanya, membuat Ansel mengaduh.
“Kalau, An. Anggap aja Dafa mau, lo keberatan enggak?”
Dia sudah membuka mulut, tapi mengurungkan niatnya. Ansel kembali berpikir sejenak. “Dikit, sih.”
Aku menghela napas. “Gue bakal cemburu dan keberatan kalau lo ajak Nashila sepedaan bareng.”
Ansel menatapku dengan wajah serius, dia bahkan enggak berkedip sekalipun. Keterdiamannya jelas menyuruhku memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Sama kayak momen hunting foto, sepedaan bareng itu momen spesial kita. Gue enggak suka ada orang lain yang masuk ke dalam momen itu. Jadi, paham, kan, kenapa Nashila keberatan?”
Akhirnya, Ansel mengangguk. Aku enggak menyangka dia butuh waktu lama untuk memahami permasalahan ini.
“Buat gue itu bukan masalah. Itu juga momen spesial gue, jadi gue rasa enggak ada salahnya mengajak lo. Lagian, gue udah janji buat menghibur lo tiap kali sedih, jadi ini cara gue buat nepatin janji.” Ansel akhirnya buka suara.
Aku menggeleng pelan. “Kalau dengan nepatin janji bisa nyakitin orang lain, mending jangan.”
“Ini urusan gue dan Nash. Dia bisa ngerti, kok.” Ansel berusaha meyakinkanku.
Nashila enggak akan mengerti. Dia sudah terang-terangan menyatakan isi hatinya.
“No, she’s jealous dan gue ngerti kenapa dia cemburu,” bantahku. “Gue enggak mau lo dan Nashila jadi bermasalah karena ini.”
Terlepas dari cinta terpendamku untuk Ansel, aku enggak mau hubungan Ansel dan Nashila jadi bermasalah karena aku.
“Lagian, gue enggak mau ada di momen spesial lo dan cewek lain. Kita udah punya momen spesial tersendiri, jadi buat gue itu cukup.” Aku tersenyum, sekaligus meyakinkan hatiku akan keputusan barusan.
Hunting foto dengan Ansel memang menyenangkan, tapi kalau dengan begitu bisa menimbulkan masalah antara dia dan Nashila, aku lebih baik enggak ikutan.
Dan juga, aku enggak yakin bisa kuat menanggung cemburu melihat Ansel dan Nashila.