Mataku berbinar saat melihat voucher salon, kado dari Ansel. Aku enggak bisa menahan tawa saat membayangkan Ansel masuk ke salon untuk membeli voucher.
“Ini gue beli pakai keuntungan di toko, ya. Bukan endorse. Enjoy!” Bukan Ansel namanya kalau enggak ngeselin, termasuk pesan di balik kado pemberiannya.
So, here I am now. Di salon, deg-degan menunggu hasil akhir. Pilihanku cukup impulsif. Tadinya aku cuma mau creambath atau hair spa. Manicure kalau masih ada waktu. Namun, begitu sampai di salon, aku kepikiran potong rambut. Apalagi saat melihat bayanganku di cermin, tiba-tiba aku bosan dengan rambut panjang.
“Cobain blunt bob, ya,” ujar Mas Kyle, yang bertanggung jawab dalam sesi makeover ini.
Blunt bob enggak ada dalam kamusku. Potongan rambut pendek akan membuat wajahku makin bulat. Bisa-bisa aku malah kelihatan tambah gemuk. Mama pasti menolak tawaran itu. Namun, ketika mendengar penjelasan Mas Kyle, aku malah penasaran. Dia sangat jago merayu, jadi aku mengangguk.
Aku menggigit bibir saat rambut panjangku dipotong. Melihat rambutku berserakan di lantai, membuatku semakin khawatir. Aku menatap ke sembarang arah, ke mana saja asal enggak melihat pantulan bayanganku di cermin. Aku belum cukup kuat untuk menyaksikan perubahan drastis ini.
“See through bangs, ya.”
“Mas, yakin cocok pakai poni?” tanyaku ragu.
“Pernah ponian?”
“Dulu, waktu TK.”
Mas Kyle tertawa. “Cocok, kok. Malah makin manis. Yakin, deh, kamu bakalan terlihat lebih fresh.”
“Bener, ya?” tanyaku dengan mata menyipit.
Tawanya makin keras. “Banyak yang ragu kayak kamu, tapi akhirnya malah suka. Lihat aja hasilnya nanti. Kamu enggak bakalan kecewa.”
Dia benar-benar jago merayu, sehingga aku pasrah ketika dia memotong poniku. Perasaanku jadi makin campur aduk, meski didominasi oleh rasa khawatir.
Bagaimana kalau gagal?
Kalau menurut Mama jelek, beliau pasti akan menuntut Mas Kyle dan meminta ganti rugi berupa hair extension gratis.
“Done. What do you think?”
Perlahan, aku mengarahkan tatapan ke arah cermin. Detik itu, aku tertegun. Aku sampai mencondongkan wajah untuk melihat dengan jelas.
Is it really me? Mas Kyle benar, ternyata aku cocok juga dengan potongan rambut blunt bob. Enggak membuat wajahku tampak bulat. Poni yang dikikis tipis juga enggak membuatku terlihat chubby.
“Makasih, Mas.” He’s right. Aku menyukai potongan ini.
Ketika melangkah keluar dari salon, aku merasa ringan. Rasanya ada beban berat ikut terangkat bersama rambutku yang dipotong.
Sambil menunggu Pak Ujang, sopirku, aku mengecek beberapa foto dengan rambut baru. Bahkan, foto dari angle kiri terlihat baik-baik saja. Untuk pertama kalinya, aku memilih untuk mengunggah foto dari angle kiri, setelah selama ini menghindarinya.
Apa jangan-jangan selama ini sebenarnya aku enggak bermasalah dengan angle kiri?
Ketika Pak Ujang sampai di depanku, aku memencet tombol send. Sedetik kemudian, foto itu sudah muncul di Instagramku. Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan kira-kira tanggapan Mama gimana.
**
Energi positif yang kurasakan di perjalanan pulang menguap ketika sampai di rumah dan mendapati Mama menyambutku dengan kening berkerut.
“Kenapa enggak bilang mau potong? Mama lagi deketin brand sampo.”
Here we go again. Melihat kerutan di kening Mama, aku yakin beliau sedang menghitung berapa kerugian yang diterima karena aku potong rambut tanpa seizinnya.
“Rambut pendek, kan, juga butuh sampo, Ma.” Bukan aku yang menjawab, tapi Trin. “Cakep, Dek.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Trin, meski diucapkan sambil lalu karena dia sudah fokus pada laptop. Mungkin sedang mengerjakan tugas kuliah. Namun, saat berhadapan dengan Mama, nyaliku kembali ciut.
“Bisalah nanti Mama atur. Duitnya lumayan soalnya.”
“Tapi cantik, kan, Ma?” godaku.
Mama tergelak. “Boleh juga. Salonnya di mana? Kalau mau potong rambut, Mama bisa cariin endorse.”
“Kado dari Ansel.”
“Ke salon bareng Ansel?” tanya Mama dengan nada gusar.
Aku menggeleng. “Sendiri, dianterin Pak Ujang pulang sekolah.”
“Nanti foto bareng Dafa, ya. Dia kan habis ganti model rambut juga.”
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk enggak memutar bola mata saat mendengar ucapan Mama.
“Ke kamar dulu, ya, Ma. Mau bikin PR.”
“Video pesta kemarin udah kelar. Kamu mau lihat dulu enggak?”
Langkahku terhenti di depan pintu kamar. Sekarang Rabu, jadwalnya upload video baru. Untuk urusan produksi, Mama yang mengatur, dan ada tim yang memproduksinya. Termasuk upload video. Hasil akhirnya harus lewat persetujuan Mama, dan jarang saranku didengarkan.
“Mama oke?”
“Oke.”
It’s final, then. Kalau Mama sudah bilang oke, artinya enggak bisa dibantah. Sekalipun aku enggak suka, meskipun bagiku judulnya sangat norak, keputusan Mama enggak bisa diganggu gugat.
“Aku oke juga kalau gitu,” sahutku dan masuk ke kamar.
Aku mengganti seragam sekolah yang terasa lengket karena sudah dipakai sejak pagi. Setelah mandi dan berganti pakaian dengan baju rumah, aku mengambil handphone dan membawanya ke bean bag yang ada di tengah kamar. Sebenarnya ada PR, tapi aku penasaran dengan komentar yang ditinggalkan di foto terbaruku.
Bukan berarti komentar itu sangat penting. Namun, aku rasa kadang ada gunanya juga mengecek komentar. Sesekali komentar itu menyadarkanku kalau ada yang salah denganku. Misalnya soal angle kiri, kalau bukan karena komentar di Instagram, aku enggak akan tahu kalau aku terlihat lebih besar kalau difoto dari angle kiri.
Senyumku mendadak muram ketika membaca komentar yang ditinggalkan. Ada yang memuji, tapi enggak semua. Walaupun komentar menghina jumlahnya sedikit, tapi aku manusia biasa. Aku tetap sakit hati saat membaca komentar itu.
Apalagi komentar dari Karianna Godzilla. Sampai sekarang aku enggak tahu siapa sosok di baliknya. Kata Mama, biarin aja. Bagi Mama, keberadaan haters menjadi tolok ukur popularitas. Mama sengaja membiarkan akun itu berkata seenaknya. Aku enggak bisa bersikap seperti Mama, karena apa yang dituliskan di sana ditujukan untukku. Seolah ada yang menertawakanku dan menunjuk mukaku.
“Jelek, cantikan rambut panjang.”
“Gue malah enggak nemu dia cantiknya di mana.”
“Ikutan Kenny, nih, pasti.”
Siapa juga yang ngikutin Kenny?
“Bener. Rambut begini kan ciri khasnya Kenny.”
Oke, Kenny memang lebih dulu potong rambut model blunt bob, tapi bukan berarti cuma Kenny yang boleh punya potongan rambut begini, kan?
“Menurut gue malah kayak Wendy Lin. Mantannya Dafa. Mantan memang selalu terdepan ya, jadi si Godzilla insecure deh.”
Aku memutar bola mata membaca komentar itu.
“Makin chubby, say. Lain kali cek dulu muka lo gimana sebelum ikutin tren. Enggak mau banget dibilang kudet?”
Aku melempar handphone ke karpet. Saat menatap bayangan di cermin, rasanya aku melihat orang lain. Bukan sosok yang tadi kulihat di cermin salon.
Bunyi notifikasi di handphone mengagetkanku. Aku membukanya dan membaca chat yang ditinggalkan Ghania di grup yang berisi aku, dia, dan Arisha.
“Gila lo potong rambut? Makin bulet, tuh. Hahaha.”
Walau diakhiri dengan tawa, aku bisa membayangkan Ghania tertawa dengan nada mengejek. Aku bahkan bisa mendengar bunyi tawanya yang menyebalkan, seperti orang tercekik.
“Bagus kok. Apanya yang bulet?” Bunyi chat dari Arisha.
“Ini, nih, tipe teman yang berusaha kelihatan suportif tapi malah menjatuhkan karena enggak berani kritik temannya.”
Arisha is typing…
Aku menutup laman chat. Bisa dipastikan setelah ini Arisha akan mengirim chat panjang lebar dan ujung-ujungnya berantem sama Ghania. Membuatku pusing saja.
Diam di kamar juga membuatku tertekan. Kalau keluar dan bertemu Mama, aku akan diceramahi. Mama pasti sudah membaca komentar ini.
Sebelum meledak, aku mencari nomor Ansel. Hanya Ansel yang bisa menenangkanku, dalam keadaan apa pun.
“An, di mana?” serbuku, begitu Ansel mengangkat teleponku.
“Toko.”
“Belum mau tutup, kan? Gue ke sana, ya.”
Setelah mendapat persetujuan dari Ansel, aku memutus telepon dan berlari keluar kamar. Aku hanya berpamitan sambil berteriak, dan untung Mama ada di lantai dua sehingga enggak mencegatku.