Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

Aku memacu sepeda keluar dari kompleks dan mengarahkannya menuju The Breeze. Jalanan sore ini masih lengang, belum jam pulang kantor, jadi aku enggak perlu berhadapan dengan mobil yang berseliweran.

Setelah memarkir sepeda di tempat parkiran khusus sepeda yang terletak di depan The Breeze, aku menuju ke salah satu toko dengan bangunan unik berbentuk segitiga. Toko-toko yang ada di sini memang lucu, setiap sudut bisa jadi background foto.

Ansel menyambut dengan senyum lebar ketika aku membuka pintu. Aroma yang wangi dan menenangkan menyambutku begitu berada di dalam toko. Heart Scent, toko milik Ansel, enggak terlalu besar. Ansel menjual aromaterapi, dalam bentuk minyak, lilin, dan sabun. Dia menyukai aromaterapi, menurun dari ibunya yang ahli aromaterapi. Sudah lama Ansel mau punya toko sendiri, dan baru terwujud sekarang. Sepulang sekolah, Ansel sering berada di toko ini, bergantian dengan sepupunya, Zaskia.

Aku tersentak saat mendengar bunyi jepretan kamera. Saat menoleh, aku melihat Ansel memotretku.

“Nice hair. Kado gue, ya?”

Aku mengangguk.

“Enggak suka kado gue?” tanyanya lagi.

“Suka, sih…”

“Tapi?”

Aku mendesahkan napas berat. “Menurut lo, gue cocok enggak sama rambut ini?”

Ansel menatapku dengan kening berkerut. “Enggak ngerti mode.”

“An…,” rajukku.

“Cocok,” sahutnya, yang enggak langsung kupercaya.

Ansel ikut duduk di kursi di hadapanku. Melihatku yang masih menekuk wajah, sepertinya Ansel tahu aku masih bad mood.

“Hate comment lagi?” tebaknya.

Perlahan, aku menganggukkan kepala.

“Katanya gue niru Kenny dan Wendy.”

“Who?”

“Kenny, artis sinetron. Wendy, mantannya Dafa.”

Ansel hanya manggut-manggut. “Hubungannya sama lo apa?”

“Ya enggak ada, sih.”

“Kalau enggak ada, kenapa bete?”

Ini yang aku suka dari Ansel. Selalu bisa menenangkan. Padahal dia cuma setahun lebih tua, tapi rasanya jauh lebih tua. Bahkan, Dafa aja jauh kalah dewasa dibanding Ansel, padahal mereka seumuran.

“Lo enggak kenal semua followers lo, mereka juga enggak kenal lo. What’s the deal?”

“It’s a big deal.”

Ansel meraih sebuah lilin yang ada di rak di dekatnya dan menyerahkannya kepadaku. Aku menghirup aroma lilin itu. Aroma lavendel, favoritku. Selain Ansel, lavendel juga selalu sukses membuatku kembali tenang.

“Karena lo yang jadiin itu big deal. Cuekin aja, An. Enggak ada gunanya.”

“Kalau mereka unfollow gue?”

“So?” Ansel balik bertanya. “Harusnya media sosial itu jadi tempat yang bikin senang, bukan bikin stres dan capek kayak gini. Lo enggak pernah minta buat di-follow, jadi enggak ada urusannya sama komentar mereka.”

“Gue minta mereka buat subscribe, sih. Like, comment, and subscribe.”

Ansel tergelak, dan tawanya menular kepadaku.

“Yang ninggalin hate comment itu cuma orang iri. Jadi, apa gunanya mikirin omongan orang yang iri? Apalagi yang enggak dikenal.”

Aku kembali menghirup aroma lilin. Entah mana yang lebih menenangkan, aroma lavendel atau kehadiran Ansel. Mungkin keduanya, karena mereka kombinasi yang pas.

“Mau fotonya enggak? Sekalian sama foto kemarin pas pesta,” ujar Ansel.

“Lo fotonya dari angle kiri.”

Ansel menatapku lekat-lekat. “Kiri kanan sama aja. Gara-gara bacain komen enggak penting, kan, lo jadi insecure sama angle kiri.”

“Iya, sih, tapi kalau dipikir-pikir benar juga. Rahang kiri gue, tuh, aneh, An.”

Ansel menelengkan kepalanya, dengan tatapan yang tidak lepas dari wajahku. Keningnya berkerut, wajahnya serius, seperti sedang menyelesaikan ujian yang sangat sulit.

“Apanya yang aneh? Sama aja kayak rahang kanan.”

“Lebih lebar.”

Ansel mendecakkan lidah. “Trus, kalau ada yang bilang mata kiri lo juling, lo percaya?”

Aku terbelalak. “Emang gue juling?”

Tawa Ansel pecah, memenuhi toko kecil itu. “Kalau An. Gue bilang kalau. Udahan, ah, dengerin omongan orang. Enggak bakal ada habisnya.”

“Kok, lo bisa, sih, cuek gitu?”

“Selama gue enggak nyakitin orang lain, gue enggak peduliin apa kata orang. You should try.”

“How?” tanyaku pelan.

“First thing first, berhenti bacain komen enggak penting.”

Easier said than done. Sudah enggak terhitung berapa kali aku mendengar hal yang sama dari Ansel, tapi tetap saja aku gatal membaca komentar yang ditujukan untukku. Mungkin sudah saatnya aku mengurangi kebiasaan itu, karena seperti kata Ansel, hanya bikin capek diriku sendiri.

“Vlog lo udah tayang? Nonton bareng, ya.”

Ansel menggeser kursinya hingga berada tepat di sebelahku. Dia memegang handphone di antara dirinya dan aku, sehingga aku bisa melihat video yang sedang diputarnya.

“Bokap lo makin garing,” komentar Ansel mengagetkanku. Aku beralih ke layar handphone dan ikut tertawa mendengar lelucon Papa.

Ansel enggak lagi berkomentar sampai video itu selesai. Namun, ada yang mengganjal di hatiku. Semua teman-temanku memberikan ucapan. Dafa, Ghania, Arisha dan Theo, bahkan Kenny. Mereka yang enggak terlalu kukenal juga memberikan ucapan. Tapi, enggak ada dari Ansel.

“Kok lo enggak ngasih ucapan?”

“Udah take, sih. Enggak lolos sensor kayaknya.”

Seharusnya aku mengecek video sebelum tayang. Kalau tahu enggak ada Ansel, aku akan protes dan meminta tim untuk mengedit ulang dengan menambahkan Ansel. Lagian, kenapa Mama bisa lupain Ansel?

“Followers gue enggak sampai dua ribu, jadi enggak masuk hitungan,” ujar Ansel, dengan nada bercanda, tapi aku menangkap ketidakrelaan di balik ucapannya.

Dalam diam, aku mengerti maksud Ansel. Mama yang menentukan siapa yang muncul di video, tentunya dengan pertimbangan yang mendatangkan keuntungan. Sampai sekarang, Mama enggak suka aku sering bareng Ansel karena baginya, Ansel enggak mendatangkan keuntungan.

Mama salah, karena keuntungan yang diberikan Ansel, enggak bisa dinilai.

**

 

“Kenapa Mama nge-cut Ansel?”

Mama mengangkat wajah dari majalah yang dibacanya. Sikapnya begitu tenang, berbanding terbalik denganku yang meledak-ledak.

“Durasi,” sahut Mama singkat.

“Si Peter? Patrick? Aku lupa namanya, tapi dia enggak penting. Bukan temanku juga. Ansel jauh lebih penting, Ma.” Aku masih melayangkan protes, meski sebenarnya tahu protes itu sia-sia. Videonya sudah terlanjur tayang tanpa kehadiran Ansel.

“Dia, kan, lagi naik daun.”

 “Ansel temanku, Ma. Sahabatku. Aku enggak enak waktu Ansel lihat videonya tapi dia enggak ada. Sekalian aja enggak usah take kalau bakal di-cut,” rajukku.

“Dia bisa ngerti.”

“Ya memang, tapi aku yang enggak ngerti sama Mama.” Dengan menghentakkan kaki, aku meninggalkan Mama dan menuju ke kamar.

“Sudah makan?”

“Udah, tadi makan mie ayam di depan sama Ansel,” sahutku, sengaja ingin membuat Mama meradang.

Bukannya langsung membuat PR, aku mengirim pesan ke Mas Dwi, videografer, dan meminta footage Ansel. Aku mau tahu dia ngomong apa.

Begitu balasan Mas Dwi datang, aku beranjak ke tempat tidur dan membuka link yang dikirimkan Mas Dwi, dan mengunduh video itu.

“Hi, An…” Ansel melambaikan tangan. Aku tersenyum. Hanya satu orang yang memanggilku An, sama seperti aku yang juga menjadi satu-satunya yang memanggil Ansel dengan panggilan yang sama, An. “Happy birthday. Selamat ya udah 17 tahun. Kalau enggak salah ingat, lo udah nunggu-nunggu ulang tahun ini sejak umur 12. Enggak ngerti juga kenapa lo ngotot pengin segera 17 tahun. Orang, sih, maunya muda terus. Tapi lo malah ngotot mau cepat tua.”

Tawaku pecah mendengarkan gurauan Ansel.

“Doa gue samain aja kayak tahun lalu, ya. Tambahannya, well, I just want to say that you are my best friend and I’m lucky to have you as my best friend. Lo mungkin bakal bilang gue cerewet, tapi gue cuma mau bilang kalau hidup lo terlalu berharga buat diisi dengan mikirin omongan orang lain, apalagi orang yang enggak lo kenal. Cuma bikin insecure dan capek sendiri.”

Mataku terasa panas saat mendengar penuturan Ansel. Saat mendengarnya, ada sedikit rasa lega ketika tahu video ini enggak ikut di-upload. Ini terlalu personal, pesan ini terlalu berharga untuk dibagi dengan orang lain, apalagi orang yang enggak kukenal. Pesan ini diberikan Ansel untukku, bukan untuk didengar orang lain.

“Enjoy your life, ya, An. Jangan kebanyakan mikir, overthinking cuma bikin lo cepat tua. Apalagi yang dipikirin sama sekali enggak mikirin lo, bikin makan hati. Keep being you, An yang sebenarnya, bukan An hasil pencitraan. Bye An, sampai ketemu lagi di ulang tahun ke-18. Gue bawain cheesecake lagi, jangan bilang Mama Nica. Ntar gue direbus.”

Video itu sudah selesai, tapi ucapan Ansel masih terngiang di telingaku. Aku bahkan beranjak tidur sambil mendekap handphone dan benakku yang memutar ulang pesan

dari Ansel.

Just like him, I’m lucky to have him as my best friend, slash my unspoken love.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Melihat Tanpamu
187      145     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Konstelasi
945      491     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Lovebolisme
225      188     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Layar Surya
2234      1198     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
FINDING THE SUN
669      351     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Broken Home
41      39     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Let Me be a Star for You During the Day
1254      694     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Dream of Being a Villainess
1471      834     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
JUST RIGHT
132      112     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Ghea
483      320     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...