Aku memacu sepeda keluar dari kompleks dan mengarahkannya menuju The Breeze. Jalanan sore ini masih lengang, belum jam pulang kantor, jadi aku enggak perlu berhadapan dengan mobil yang berseliweran.
Setelah memarkir sepeda di tempat parkiran khusus sepeda yang terletak di depan The Breeze, aku menuju ke salah satu toko dengan bangunan unik berbentuk segitiga. Toko-toko yang ada di sini memang lucu, setiap sudut bisa jadi background foto.
Ansel menyambut dengan senyum lebar ketika aku membuka pintu. Aroma yang wangi dan menenangkan menyambutku begitu berada di dalam toko. Heart Scent, toko milik Ansel, enggak terlalu besar. Ansel menjual aromaterapi, dalam bentuk minyak, lilin, dan sabun. Dia menyukai aromaterapi, menurun dari ibunya yang ahli aromaterapi. Sudah lama Ansel mau punya toko sendiri, dan baru terwujud sekarang. Sepulang sekolah, Ansel sering berada di toko ini, bergantian dengan sepupunya, Zaskia.
Aku tersentak saat mendengar bunyi jepretan kamera. Saat menoleh, aku melihat Ansel memotretku.
“Nice hair. Kado gue, ya?”
Aku mengangguk.
“Enggak suka kado gue?” tanyanya lagi.
“Suka, sih…”
“Tapi?”
Aku mendesahkan napas berat. “Menurut lo, gue cocok enggak sama rambut ini?”
Ansel menatapku dengan kening berkerut. “Enggak ngerti mode.”
“An…,” rajukku.
“Cocok,” sahutnya, yang enggak langsung kupercaya.
Ansel ikut duduk di kursi di hadapanku. Melihatku yang masih menekuk wajah, sepertinya Ansel tahu aku masih bad mood.
“Hate comment lagi?” tebaknya.
Perlahan, aku menganggukkan kepala.
“Katanya gue niru Kenny dan Wendy.”
“Who?”
“Kenny, artis sinetron. Wendy, mantannya Dafa.”
Ansel hanya manggut-manggut. “Hubungannya sama lo apa?”
“Ya enggak ada, sih.”
“Kalau enggak ada, kenapa bete?”
Ini yang aku suka dari Ansel. Selalu bisa menenangkan. Padahal dia cuma setahun lebih tua, tapi rasanya jauh lebih tua. Bahkan, Dafa aja jauh kalah dewasa dibanding Ansel, padahal mereka seumuran.
“Lo enggak kenal semua followers lo, mereka juga enggak kenal lo. What’s the deal?”
“It’s a big deal.”
Ansel meraih sebuah lilin yang ada di rak di dekatnya dan menyerahkannya kepadaku. Aku menghirup aroma lilin itu. Aroma lavendel, favoritku. Selain Ansel, lavendel juga selalu sukses membuatku kembali tenang.
“Karena lo yang jadiin itu big deal. Cuekin aja, An. Enggak ada gunanya.”
“Kalau mereka unfollow gue?”
“So?” Ansel balik bertanya. “Harusnya media sosial itu jadi tempat yang bikin senang, bukan bikin stres dan capek kayak gini. Lo enggak pernah minta buat di-follow, jadi enggak ada urusannya sama komentar mereka.”
“Gue minta mereka buat subscribe, sih. Like, comment, and subscribe.”
Ansel tergelak, dan tawanya menular kepadaku.
“Yang ninggalin hate comment itu cuma orang iri. Jadi, apa gunanya mikirin omongan orang yang iri? Apalagi yang enggak dikenal.”
Aku kembali menghirup aroma lilin. Entah mana yang lebih menenangkan, aroma lavendel atau kehadiran Ansel. Mungkin keduanya, karena mereka kombinasi yang pas.
“Mau fotonya enggak? Sekalian sama foto kemarin pas pesta,” ujar Ansel.
“Lo fotonya dari angle kiri.”
Ansel menatapku lekat-lekat. “Kiri kanan sama aja. Gara-gara bacain komen enggak penting, kan, lo jadi insecure sama angle kiri.”
“Iya, sih, tapi kalau dipikir-pikir benar juga. Rahang kiri gue, tuh, aneh, An.”
Ansel menelengkan kepalanya, dengan tatapan yang tidak lepas dari wajahku. Keningnya berkerut, wajahnya serius, seperti sedang menyelesaikan ujian yang sangat sulit.
“Apanya yang aneh? Sama aja kayak rahang kanan.”
“Lebih lebar.”
Ansel mendecakkan lidah. “Trus, kalau ada yang bilang mata kiri lo juling, lo percaya?”
Aku terbelalak. “Emang gue juling?”
Tawa Ansel pecah, memenuhi toko kecil itu. “Kalau An. Gue bilang kalau. Udahan, ah, dengerin omongan orang. Enggak bakal ada habisnya.”
“Kok, lo bisa, sih, cuek gitu?”
“Selama gue enggak nyakitin orang lain, gue enggak peduliin apa kata orang. You should try.”
“How?” tanyaku pelan.
“First thing first, berhenti bacain komen enggak penting.”
Easier said than done. Sudah enggak terhitung berapa kali aku mendengar hal yang sama dari Ansel, tapi tetap saja aku gatal membaca komentar yang ditujukan untukku. Mungkin sudah saatnya aku mengurangi kebiasaan itu, karena seperti kata Ansel, hanya bikin capek diriku sendiri.
“Vlog lo udah tayang? Nonton bareng, ya.”
Ansel menggeser kursinya hingga berada tepat di sebelahku. Dia memegang handphone di antara dirinya dan aku, sehingga aku bisa melihat video yang sedang diputarnya.
“Bokap lo makin garing,” komentar Ansel mengagetkanku. Aku beralih ke layar handphone dan ikut tertawa mendengar lelucon Papa.
Ansel enggak lagi berkomentar sampai video itu selesai. Namun, ada yang mengganjal di hatiku. Semua teman-temanku memberikan ucapan. Dafa, Ghania, Arisha dan Theo, bahkan Kenny. Mereka yang enggak terlalu kukenal juga memberikan ucapan. Tapi, enggak ada dari Ansel.
“Kok lo enggak ngasih ucapan?”
“Udah take, sih. Enggak lolos sensor kayaknya.”
Seharusnya aku mengecek video sebelum tayang. Kalau tahu enggak ada Ansel, aku akan protes dan meminta tim untuk mengedit ulang dengan menambahkan Ansel. Lagian, kenapa Mama bisa lupain Ansel?
“Followers gue enggak sampai dua ribu, jadi enggak masuk hitungan,” ujar Ansel, dengan nada bercanda, tapi aku menangkap ketidakrelaan di balik ucapannya.
Dalam diam, aku mengerti maksud Ansel. Mama yang menentukan siapa yang muncul di video, tentunya dengan pertimbangan yang mendatangkan keuntungan. Sampai sekarang, Mama enggak suka aku sering bareng Ansel karena baginya, Ansel enggak mendatangkan keuntungan.
Mama salah, karena keuntungan yang diberikan Ansel, enggak bisa dinilai.
**
“Kenapa Mama nge-cut Ansel?”
Mama mengangkat wajah dari majalah yang dibacanya. Sikapnya begitu tenang, berbanding terbalik denganku yang meledak-ledak.
“Durasi,” sahut Mama singkat.
“Si Peter? Patrick? Aku lupa namanya, tapi dia enggak penting. Bukan temanku juga. Ansel jauh lebih penting, Ma.” Aku masih melayangkan protes, meski sebenarnya tahu protes itu sia-sia. Videonya sudah terlanjur tayang tanpa kehadiran Ansel.
“Dia, kan, lagi naik daun.”
“Ansel temanku, Ma. Sahabatku. Aku enggak enak waktu Ansel lihat videonya tapi dia enggak ada. Sekalian aja enggak usah take kalau bakal di-cut,” rajukku.
“Dia bisa ngerti.”
“Ya memang, tapi aku yang enggak ngerti sama Mama.” Dengan menghentakkan kaki, aku meninggalkan Mama dan menuju ke kamar.
“Sudah makan?”
“Udah, tadi makan mie ayam di depan sama Ansel,” sahutku, sengaja ingin membuat Mama meradang.
Bukannya langsung membuat PR, aku mengirim pesan ke Mas Dwi, videografer, dan meminta footage Ansel. Aku mau tahu dia ngomong apa.
Begitu balasan Mas Dwi datang, aku beranjak ke tempat tidur dan membuka link yang dikirimkan Mas Dwi, dan mengunduh video itu.
“Hi, An…” Ansel melambaikan tangan. Aku tersenyum. Hanya satu orang yang memanggilku An, sama seperti aku yang juga menjadi satu-satunya yang memanggil Ansel dengan panggilan yang sama, An. “Happy birthday. Selamat ya udah 17 tahun. Kalau enggak salah ingat, lo udah nunggu-nunggu ulang tahun ini sejak umur 12. Enggak ngerti juga kenapa lo ngotot pengin segera 17 tahun. Orang, sih, maunya muda terus. Tapi lo malah ngotot mau cepat tua.”
Tawaku pecah mendengarkan gurauan Ansel.
“Doa gue samain aja kayak tahun lalu, ya. Tambahannya, well, I just want to say that you are my best friend and I’m lucky to have you as my best friend. Lo mungkin bakal bilang gue cerewet, tapi gue cuma mau bilang kalau hidup lo terlalu berharga buat diisi dengan mikirin omongan orang lain, apalagi orang yang enggak lo kenal. Cuma bikin insecure dan capek sendiri.”
Mataku terasa panas saat mendengar penuturan Ansel. Saat mendengarnya, ada sedikit rasa lega ketika tahu video ini enggak ikut di-upload. Ini terlalu personal, pesan ini terlalu berharga untuk dibagi dengan orang lain, apalagi orang yang enggak kukenal. Pesan ini diberikan Ansel untukku, bukan untuk didengar orang lain.
“Enjoy your life, ya, An. Jangan kebanyakan mikir, overthinking cuma bikin lo cepat tua. Apalagi yang dipikirin sama sekali enggak mikirin lo, bikin makan hati. Keep being you, An yang sebenarnya, bukan An hasil pencitraan. Bye An, sampai ketemu lagi di ulang tahun ke-18. Gue bawain cheesecake lagi, jangan bilang Mama Nica. Ntar gue direbus.”
Video itu sudah selesai, tapi ucapan Ansel masih terngiang di telingaku. Aku bahkan beranjak tidur sambil mendekap handphone dan benakku yang memutar ulang pesan
dari Ansel.
Just like him, I’m lucky to have him as my best friend, slash my unspoken love.