“Fotonya sambil minum, biar kelihatan.”
Aku membuka tutup botol jus kemasan dan memasang pose meminumnya, sesuai arahan Mama.
“Jarimu jangan nutupin mereknya, dong,” protes Mama lagi.
Aku menurunkan pegangan di botol, agar mereknya terlihat jelas. Siapa pun yang melihat hasil fotonya pasti akan tertawa. Mana ada yang minum dengan pose kayak gini? Tapi, itu enggak penting, selama merek barang kelihatan dan artinya klien senang.
Sambil memegang botol jus, aku mengikuti arahan Mas Dewa. Dia fotografer yang dibayar Mama untuk mendokumentasikan semua kegiatanku, juga foto-foto endorse.
“Mas Dewa, jangan angle kiri,” ujarku ketika Mas Dewa bergerak ke arah kiri. “Kelihatan gendut.”
“Dia boleh,” bantah Mas Dewa.
Aku mengikuti arah telunjuk Mas Dewa, dan mendapati Ansel menyengir dari balik lensa kameranya.
“Fotonya Ansel, kan, enggak buat di-post.”
Pesta ulang tahun belum dimulai, tapi aku sudah berada di tempat demi memenuhi kewajiban memproduksi foto yang nantinya harus dipajang di Instagram. Jus ini barang terakhir, dan aku sudah kehilangan hitungan berpose dengan barang apa saja.
Urusan mencari sponsor, Mama memang jago. Buat pesta ulang tahun saja, Mama bisa dapetin banyak sponsor. Bahkan aku enggak keluar uang seperser pun. Venue, dekorasi, makanan, dokumentasi, semuanya dibayar dengan exposure. Gaun, makeup, semuanya dari sponsor. Belum barang yang sebenarnya enggak nyambung dengan konsep pesta, tapi dipaksa masuk karena sudah kepalang janji.
Contohnya jus botolan ini.
Sementara Mama mengecek hasil foto Mas Dewa, aku menghampiri Ansel.
“Mau mengecek hasil foto? Banyak angle kiri, sih,” ledeknya.
“Nashila mana?” Bukannya meladeni ledekannya, aku malah bertanya.
Nashila Ruzana, yang sudah enam bulan ini menjadi pacarnya Ansel, dan diam-diam menjadi objek cemburuku.
“Gue bilangin pestanya jam 8, paling masih di jalan.”
“Lo kenapa datang kecepetan?” tanyaku lagi.
“Mau foto,” sahutnya enteng sambil mengangkat kameranya.
Aku mengulurkan tangan. “Sini lihat fotonya.”
“Enggak perlu, kan cuma buat koleksi, bukan buat dipajang di Instagram lo,” sahutnya.
Aku menatap Ansel dengan mata menyipit. “Sejak kapan loobi koleksi foto cewek?”
“Enggak sembarang cewek, cuma yang followers-nya jutaan. Siapa tahu bisa dijual,” ledeknya.
Ansel melompat mundur saat aku mengambil ancang-ancang akan menyikutnya. Dia tertawa lepas, dan seperti biasa, tawa Ansel selalu menular, membuatku ikut tertawa bersamanya.
Satu hal yang kusuka dari Ansel, dia bisa membuat suasana hatiku jadi riang. Ansel enggak pernah melucu, malah leluconnya garing, tapi dia punya pembawaan yang menyenangkan, sehingga siapa saja betah menghabiskan waktu dengannya. Sepedaan setiap sore atau menemani Ansel menjaga toko membuatku betah. Jauh lebih nyaman ketimbang hangout di tempat hype bareng teman-teman atau Dafa.
“Happy sweet seventeen, Babe.”
Aku sempat bersitatap dengan Ansel, yang memutar bola mata dan menahan diri untuk enggak menampakkan ekspresi meledek. Dia selalu begitu kalau ada Dafa, apalagi kalau mendengar Dafa memanggilku “babe”.
Aku berbalik dan memasang senyum manis saat berhadapan dengan Dafa, pacarku sejak enam bulan terakhir ini. Atau begitu yang diketahui orang-orang karena aku dan Dafa cuma nunjukin kami pacaran kalau ada kamera atau demi konten.
Dafa terlihat menawan, seperti biasanya. Enggak heran, sih, karena dia menghabiskan waktu berjam-jam memilih baju yang tepat. Baju yang membuat tubuhnya terlihat atletis karena hasil olah tubuh di gym belum menampakkan hasil. Juga baju yang bagus di kamera, baik untuk foto atau video.
Bagi Dafa, hidupnya adalah demi konten. Instagram, Tiktok, YouTube, semuanya dijajal. Jadi, ke mana pun dia pergi, selalu diikuti tim yang bertugas mendokumentasikan kegiatannya. Malam ini enggak terkecuali, karena dia sudah menunggu momen ini. Dafa bahkan sudah punya judul untuk konten vlog.
“Sweet Seventeen My Sweetheart Karianna Grizelle. Pesta Romantis yang Bikin Baper” Itu judul yang disiapkan Dafa, yang mendapatkan tepuk tangan dari Mama, tapi aslinya norak. Sementara buat Dafa, semakin norak makin bagus karena penggemarnya di YouTube suka konten norak.
“Aku belum telat, kan?”
“Belum, sih, cuma dicariin Mama dari tadi,” sahutku.
“Foto, ya? Kita belum foto bareng. Cari background selain pink ya, Babe. Biar enggak nabrak sama bajuku.”
Malam ini Dafa pakai kemeja soft pink yang ada sulur-sulur abstrak, dilapis jas hitam yang dipasang santai. Setelahnya, aku menatap sekeliling dan mengernyit. Restoran ini bernama Freshly Pink, jadi dinding dan dekorasinya juga pink. Demi memenuhi keinginan pemilik restoran yang sudah memberikan tempat secara cuma-cuma, tema pesta ulang tahunku juga Pinky Wonderland. Hasilnya, pink di mana-mana dan aku harus antusias menyambut warna pink, yang mulai malam ini menjadi warna favoritku—itu narasi yang kuunggah di foto soal restoran ini.
“Kan jas hitam, enggak bakal nabraklah.”
“Fotonya tanpa jas, kan yang di-endorse cuma kemeja.”
Sekali lagi, aku enggak sengaja bersitatap dengan Ansel, yang terang-terangan menunjukkan ekspresi mau muntah. Aku memelotot, menyuruhnya berhenti, tapi membuat Ansel makin menjadi-jadi. Dia baru berhenti ketika ada yang meneleponnya.
“Gue ke depan bentar, Nashila datang.”
Mendengar nama Nashila memunculkan rasa enggan di hatiku. Tadinya aku enggan mengundang Nashila, karena kami enggak begitu akrab. Aku mengundang Ansel dan aneh aja kalau enggak mengundang Nashila, sehingga akhirnya menitipkan undangan buat Nashila kepada Ansel.
“Dafa sudah datang. Ayo, foto dulu.” Mama menghampiriku dan Dafa.
Meskipun dia ibuku, Mama lebih cocok dengan Dafa. Mereka bisa mendiskusikan jenis konten, sementara aku lebih banyak diam dan setuju dengan hasil diskusi mereka.
Bahkan, pacaran dengan Dafa juga karena suruhan Mama.
Awalnya aku enggak tahu siapa Dafa. Tiba-tiba aja Mama menunjukkan konten video Dafa yang viral karena jadi bahan omongan. Bukan hal positif, karena konten prank itu membuat Dafa dicap enggak punya empati.
Aku ingat banget omongan Mama. Bagi Mama, aku bisa dapat subscribers lebih banyak dan engagement di Instagram akan lebih tinggi kalau pacaran sama Dafa. Entah gimana caranya, Mama berhasil mengatur jadwal bikin konten bareng Dafa. Itu juga jadi momen perkenalanku dengan Dafa.
Long story short, Dafa langsung PDKT. Selama satu bulan, semua konten Dafa berisi tentang ‘how to get Karianna as my girlfriend’—believe me, judul aslinya jauh lebih norak dibanding itu.
“Bayangin berapa banyak tambahan followers kamu kalau pacaran sama Dafa. Dia sudah lama nge-vlog, jadi kamu bisa nebeng. Konten makeup dan daily vlog kamu kurang seru, makanya subscriber kamu stagnan. Kalau ada konten bareng Dafa, followers bisa nambah, endorse juga makin banyak,” ujar Mama, yang awalnya membuatku skeptis.
Namun, aku enggak bisa bersuara. Akhirnya aku mengikuti suruhan Mama. Prediksi Mama benar, konten dengan judul ‘Dafa Emery Nembak Karianna Grizelle? Diterima Enggak Ya?’ itu viral. Subscribers akun YouTube milikku bertambah, sehingga Mama semakin gencar membuat ide konten bareng Dafa. Lupakan konten makeup tutorial atau OOTD, hasilnya enggak sebanding dengan konten bareng Dafa.
Aku enggak suka sama Dafa, malah risih sama kebiasaannya yang sok ngartis dan apa-apa harus di-post. Tapi kata Mama, ini kesempatan bagus. Meski konten Dafa nembak aku jadi viral, tapi aslinya kami enggak pacaran kayak yang dipikirin orang-orang. Bagi Dafa, aku bagus buat ningkatin brand image dan bagi Mama, aku butuh Dafa buat nambah engagement.
Win win solution. Dafa dan Karianna, #relationshipgoals.
Aku mengikuti Mama dan Dafa ke salah satu sudut, dekat kue ulang tahunku. Dafa membuka jas dan memberikannya ke asistennya, Mbak Sri. Lagaknya sudah kayak artis tenar aja, bawa asisten ke mana-mana. Fungsinya buat dititipin jas atau jaket, atau untuk ngebenerin rambutnya.
“Rambutku oke, kan, Babe?”
Aku melirik Dafa dan baru kusadari kalau dia mencoba hairstyle baru. Dafa memotong pendek bagian kiri, kanan dan belakang, lalu membiarkan bagian atas rambutnya agak panjang. Dengan bantuan gel, dia menata bagian atas membentuk lekukan yang rapi. Model pompadour yang entah bagaimana, terlihat pas di wajahnya.
Harus kuakui kalau Dafa memang ganteng. Dia juga sadar soal kegantengannya, turunan dari ayahnya, Om Jeremy Michael, bintang laga kenamaan di era 80-an dan jadi idola gadis remaja di dekade itu. Dafa menyadari wajahnya adalah aset, yang membuatnya terkenal meski tanpa karya nyata tapi berhasil meraih jutaan followers.
Dafa memasang pose romantis sesuai arahan fotografer. Aku mengikuti arahan itu, tapi enggak bisa tersenyum selebar Dafa ketika mataku menangkap Ansel memasuki ruangan pesta. Dia enggak sendirian, melainkan bareng Nashila.
Harus kuakui kalau mereka memang cocok. Nashila punya wajah manis dengan lesung pipi yang muncul setiap kali tersenyum. Rambutnya panjang dengan ikal alami. Malam ini dia terlihat sederhana dengan floral dress selutut dan rambut yang dibiarkan tergerai. Kesederhanaan itu membuatnya terlihat manis. Sangat pas saat bareng Ansel.
Ansel enggak terlalu memikirkan penampilan, berbanding terbalik dengan Dafa. Baginya, jins dan kaus sudah cukup. Kalau saja ibunya, Tante Silvia, enggak merotasi baju di lemari Ansel, dia pasti memakai baju itu-itu saja karena Ansel selalu mengambil baju di tumpukan atas.
Dua belas tahun berteman membuatku sangat mengenal Ansel. Tapi, dia malah pacaran dengan cewek yang baru dikenalnya setahun terakhir.
Ansel melambai ketika mata kami bersirobok. Malam ini, dia menanggalkan kaus dan menggantinya dengan kemeja hitam, tapi tetap memakai jins gelap. Ansel masih cuek, tapi menurutku enggak kalah ganteng dibanding Dafa.
“Lagi deh fotonya. Babe, kamu jangan terlalu nyamping, bajuku ketutup.”
Aku mengubah posisi berdiriku. “Yang terakhir, ya? Pestanya sudah mau mulai.”
“Ya asal kamu berdirinya yang benar,” timpal Dafa.
“Sayang, senyum dong. Masa foto bareng Dafa kamu cemberut gitu?” ujar Mama.
Aku memaksakan diri tersenyum. Masalahnya, itu sangat susah karena
sekarang aku jadi kesal saat melihat Ansel tertawa bareng Nashila.