Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

Lima menit menjelang 17 Januari.

Aku membelalakkan mata, memaksa untuk tetap terbuka. Cuma tinggal lima menit lagi, enggak lucu kalau ketiduran sekarang. Untuk melawan kantuk, aku membuka halaman Instagram. Not bad, hari ini ada tambahan dua puluh followers baru. Bukan angka yang banyak. Biasanya dalam sehari aku bisa dapat lebih dari seratus followers baru.

Mama pasti akan protes karena tambahan followers baru enggak sebanyak biasanya. Enggak perlu ambil pusing, Mama pasti punya cara buat mengatasi masalah ini.

Mataku melirik jam di sudut kanan atas layar handphone. Baru satu menit berlalu, masih ada empat menit lagi.

Aku mengecek komentar di foto terakhir, yang aku upload sore tadi. Baru enam jam, sudah dapat seratus ribu lebih likes. Not bad!

Tanganku bergulir membaca komentar yang ditinggalkan. Hanya membaca sekilas. Kebanyakan memujiku, bilang aku cantik, memuji makeup yang aku pakai, atau sekadar meninggalkan komen yang enggak nyambung dengan foto. Aku terkikik saat membaca iklan peninggi dan pelangsing badan, dengan narasi seolah aku menggunakan produk yang mereka iklankan.

Aku memang banyak menerima endorse. Hampir 80% foto di Instagram. Ya, hasil kerja sama dengan sponsor. Namun, aku sudah menegaskan kepada Mama untuk menolak endorse dari produk peninggi, pelangsing, pemutih, dan sejenisnya.

Aku refleks tertawa saat membaca komentar produk pembesar payudara. Dasar konyol, siapa juga yang mau memakai obat enggak jelas seperti ini? Aku ingat temanku, Ghania, yang dihujat habis-habisan karena mempromosikan produk sejenis ini.

Senyumku mendadak hilang saat membaca komentar dari salah satu akun yang sering membuatku gusar. Karianna Godzilla, pelesetan dari namaku, Karianna Grizelle.

“Makeup-nya tua. Kayak ibu-ibu mau arisan.”

Dengan wajah cemberut, aku mengecek fotoku. Memang, sih, makeup itu membuatku terlihat lebih dewasa. Tapi, kan, itu bukan makeup harianku. Makeup itu cuma buat foto ini aja. Mama menerima endorse lipstik merah tua, jadi aku harus memakainya. Makanya, aku kelihatan lebih tua karena lipstik itu.

“Bukan makeup doang. Body-nya juga kayak ibu-ibu punya anak dua.”

“Kayak kulkas dua pintu.”

“Eh, iya ding. Karianna gendutan, ya?”

“Hamil kali, hahaha.”

Mataku terbelalak. Ini jelas enggak lucu. Memang, sih, berat badanku naik. Tapi cuma satu kilo. Masa iya naik satu kilo langsung kelihatan di foto? Sampai dibilang hamil segala. Menyebalkan.

Aku beranjak menuju cermin dan mematut diri. Melihat bagian mana di tubuhku yang membesar. Aku tersenyum, memunculkan bulatan penuh di pipiku. Mungkin pipiku makin chubby. Oh, apa lenganku? Aku mengangkat lengan, memeriksa apakah ada gelambir yang enggak seharusnya ada di sana.

Kadang, foto bisa jadi jahat. Membuat seseorang terlihat lebih besar dibanding keadaan yang sebenarnya. Salah angle, hasilnya bisa fatal. Aku sudah mewanti-wanti kalau angle kiri bisa membuatku tampak makin chubby, tapi Mama malah memilih foto dari angle kiri karena lipstik yang seharusnya dipromosikan terlihat lebih jelas.

Mama pasti sudah membaca komentar ini. Artinya, besok dan setidaknya selama satu minggu ke depan, aku harus jaga makan.

Aku sudah akan mengecek Instagram lagi ketika jendela kamarku diketuk. Refleks, aku melempar handphone ke kasur dan berlari menuju jendela. Aku membukanya perlahan agar tidak menimbulkan keributan. Sebenarnya tidak perlu, karena cuma aku yang menempati kamar di lantai satu. Mama dan Papa di lantai dua, sementara kamar kakakku kosong karena dia indekos di dekat kampusnya di Depok. Cuma ada kamar Bi Eti, tapi itu jauh di belakang, dan kalaupun Bi Eti mendengar aku membuka jendela tengah malam seperti ini, dia enggak akan mengadu ke Mama.

“Happy birthday, An.”

Senyumku terkembang saat di depanku ada cheese cake dengan lilin berbentuk angka tujuh belas di atasnya.

“Bisa dipegang dulu? Gue enggak bisa manjat jendela sambil megang kue.”

Sambil menahan tawa, aku mengambil kue itu dari tangan Ansel dan membawanya ke meja bulat yang ada di kamarku. Ansel memanjat jendela dan melompat ke dalam kamarku. Lagaknya persis kayak maling, apalagi kini Ansel menutup jendela pelan-pelan.

Ansel menyusulku ke meja bulat itu dan ikut duduk di atas karpet.

“Jangan lupa make a wish.”

Aku mengatupkan tangan di depan dada dan memejamkan mata. Dalam hati, aku mengajukan permohonan.

Tahun ini, permintaanku enggak muluk-muluk. Akhirnya aku berusia 17 tahun, artinya aku sudah dewasa. Sudah bisa punya KTP, artinya sudah dewasa, kan?

Khusus tahun ini, aku punya permohonan baru. Semoga aku bisa menikmati umur 17 tahun dengan menyenangkan dan tanpa drama.

Aku membuka mata sedikit, dan mengintip Ansel yang menungguku selesai memanjatkan permohonan.

Senyumku terkembang saat menyebutkan permohonan lainnya, permohonan yang juga kupanjatkan tahun lalu. Dan, tahun sebelumnya.

“Semoga aku bisa jadi pacarnya Ansel.”

Aku membuka mata. Setelah menarik napas panjang, aku meniup lilin. Api di lilin itu bergetar sebelum kemudian padam dan meninggalkan asap tipis di tengah kamarku. Aku bertepuk tangan pelan, berusaha meminimalisir keributan biar enggak membangunkan orang tuaku. Aku enggak mau mereka tiba-tiba masuk ke kamarku dan mendapati Ansel di sini. Mama pasti akan freak out kalau melihat ada cheese cake tengah malam begini.

Ansel menyodorkan pisau plastik kepadaku. Dia selalu siap dengan pisau plastik itu, semenjak Ansel pertama kali muncul di jendela kamarku tepat jam 12 malam setiap kali aku berulang tahun, sejak ulang tahun kedelapan. Kadang dia bersembunyi di taman kecil di samping kamar, dan baru mengetuk jendela tepat di jam 12. Aku pernah melihatnya bersembunyi, dan pura-pura enggak tahu karena enggak mau mengacaukan kejutan yang disiapkan Ansel.

“For my best friend. The best friend in the world. The one and only, satu-satunya sahabat yang bisa diandalkan dan paling baik sedunia,” ujarku sambil menyodorkan sepotong kue.

“Kirain lebay lo udah berkurang,” timpalnya.

Ansel sudah akan menyuap kue itu, tapi urung karena enggak melihatku memotong kue buat diriku sendiri.

“Tradisinya enggak gini, An. Mana kue buat lo?” tanyanya.

“Berat gue naik.”

“Cuma sepotong cheese cake, bisa nambah berapa kilo? Ini kue favorit lo, gue beli di tempat kesukaan lo. Beli ya, bukan endorse,” candanya.

Aku memberengut.

Melihatku yang enggak memotong kue, Ansel meletakkan piring kertas berisi kue miliknya di atas meja. Dia meraih pisau plastik dan menggantikan tugasku dalam mengambil sepotong kue.

“Tradisi kita makan cheese cake bareng di ulang tahun lo. Jangan diubah, apalagi ini ulang tahun yang ke-17. Lo udah nunggu momen ini sejak ulang tahun kesepuluh,” buru Ansel.

“Kalau gue dipaksa diet sama Mama sebulan ke depan, lo temenin gue diet. Enggak boleh makan mie ayam depan kompleks,” tegasku.

Ansel mengangguk, tapi sedetik kemudian aku melihat dia menyengir lebar. Tentu saja dia enggak mau kehilangan kesempatan makan mie ayam itu. Aku yakin Ansel akan menyelundupkan mie ayam untukku, di belakang Mama, karena Mama enggak ngizinin aku makan makanan pinggir jalan. Kata Mama, enggak bersih. Namun, kenyataan sebenarnya, mie ayam pinggir jalan enggak Instagram friendly alias enggak bisa dipamerin di Instagram.

“Akhirnya lo udah enggak di bawah umur lagi.” Ansel terkekeh.

“Jangan sok tua, lo cuma setahun di atas gue,” balasku. Ansel memang berusia satu tahun di atasku, meski kami masuk ke sekolah di tahun yang sama. 

Aku mencibir, lalu kembali menyantap cheese cake yang dibawa Ansel. Rasa manis menyapa lidahku. Aku memejamkan mata, menikmati setiap santapan kue itu. Aku mau menikmati cheese cake ini, sebelum dipaksa diet oleh Mama.

“Jadi, pestanya di mana?”

“Freshly Pink, restoran baru di Senopati. Endorse, sih, enggak tahu deal apa aja sama Mama sampai dapat gratis gitu,” jawabku.

“Exposure buat mereka gede karena jadi tempat ulang sweet seventeen Karianna yang punya followers jutaan.”

Sekali lagi, aku mencibir sementara Ansel terkekeh. Dia memang selalu meledekku dengan menyebut jumlah followers yang kumiliki di Instagram.

“Followers gue memang jutaan, tapi sahabat gue cuma satu. Ansel Adelard.”

“Makasih, lho. Gue tersanjung,” timpalnya dengan ekspresi yang sengaja dilebih-lebihkan. “Gue izin foto-foto, ya, di pesta lo.”

Aku mengangguk. “Asal fotonya dibagi ke gue, biar gue post di Instagram.”

“Mama Nica pasti udah hire fotografer profesional. Bayar atau endorse?”

Aku mengangkat pundak. Meskipun itu pesta ulang tahunku, tapi aku enggak tahu apa-apa. Mama sudah menyiapkannya sejak enam bulan yang lalu, menghubungi beberapa sponsor agar mendapatkan endorse. Untuk hal ini, Mama memang manajer yang jago karena bisa mendapatkan sponsor dan membuat pesta besar-besaran.

Padahal, ini hanya pesta ulang tahun.

Tapi bagi Mama, yang juga merangkap sebagai manajerku, ini momen penting yang bisa datengin engagement di Instagram. Jadi, harus digarap serius.

Lima menit lewat dari pukul satu, Ansel pamit. Dia memasukkan sisa kue ke dalam kotak dan membawanya pulang. Di ulang tahun ke-14, aku menyimpan sisa kue di kulkas dan ketahuan Mama. Akibatnya, aku dimarahi karena ketahuan makan cheese cake tengah malam. Baginya, makan tengah malam adalah dosa besar.

“So, see you tonight,” ujar Ansel setelah berhasil memanjat keluar dari jendela kamarku.

Ini rahasia kecilku dan Ansel. Setiap kali aku sedih atau butuh teman curhat, aku tinggal meneleponnya dan dia akan muncul di jendela kamarku. Aku tinggal di rumah dengan tipe cluster tanpa pagar, sehingga Ansel bisa langsung menuju jendela kamarku. Kami tinggal di cluster yang sama, hanya berbeda jalan. Kalau naik sepeda, enggak sampai lima menit.

Aku melongokkan kepala jauh-jauh keluar jendela untuk mengawasi kepergian Ansel. Dia melambai ke arahku, sebelum menaiki sepedanya. Aku tetap bertahan di tempat sampai Ansel tidak lagi terlihat.

Mengawali usia baru dengan Ansel

selalu memberikanku harapan, bahwa tahun ini akan baik-baik saja.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Behind The Spotlight
3462      1695     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Fragmen Tanpa Titik
46      42     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Fidelia
2197      953     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Help Me
6150      1830     6     
Inspirational
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika manusia berfikir bahwa dunia adalah kehidupan yang mampu memberi kebahagiaan terbesar hingga mereka bangun pagi di fikirannya hanya memikirkan dunia yang bersifat fana. Padahal nyatanya kehidupan yang sesungguhnya yang menentukan kebahagiaan serta kepedihan yakni di akhirat. Semua di adili seadil adilnya oleh sang maha pencipta. Allah swt. Pe...
The First 6, 810 Day
784      531     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
714      357     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Menanti Kepulangan
47      43     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Bunga Hortensia
1658      107     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
423      299     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
You*re My Star
353      227     0     
Short Story
Mengagumi pesona lelaki cantik di sebuah rumah sakit, Brian, membuat hari Zora menjadi penuh dengan kejengkelan dan debaran. Tanpa sadar satu hari yang terasa panjang menjadi singkat, sejenak Zora melupakan ketertekanan dan kesepiannya selama ini. Zora adalah langit Brian. Dan Brian adalah bintang Zora. Kisah singkat yang terjadi dalam satu hari menjadi kenangan yang tidak terlupakan.