Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Tidak ada manusia yang tidak bisa diselamatkan. Yang ada hanya orang-orang yang berhenti untuk menyelamatkan orang lain—pepatah dari P.J. Nolan.

Sebuah kutipan yang Ren baca di buku Almond memicu semangatnya mengambil keputusan untuk Petra.

“Kuserahkan Kainga untukmu, tanpa perdebatan lagi, titik.”

Itu kata-kata pamungkas Ren setelah perdebatan panjang di pagi hari, depan rumah panti. Menghasilkan sebuah tatap nanar Petra dan mendesis, mengatakan, “Apa-apaan ini Ren?!”

Menyelamatkan ... itulah tujuan Ren. Dia tak mau menjadi sebab gagalnya seseorang dengan tujuan hidupnya. Sedangkan kehadiran Ren sebagai pacar dalam hidup Petra lumayan membuat kening gadis itu berkerut. Itu tandanya tak baik bila diteruskan.

Beberapa jam sebelumnya ... masih mengenakan celana tidur—piyama yang tipis—sandal bulu berbentuk kepala musang .... Ren mendatangi rumah yatim piatu tempat Petra tinggal. Sangat pagi sekali, embun masih tebal, masih ada rintik kecil berbau manis khas pagi hari yang menempel pada kuncup bunga. Ren menantang angin dengan hanya bermodal jaket Haikyuu barunya untuk membungkus tubuhnya agar tetap hangat, dibalik piyama tidur setipis kesabarannya.

Semalam tidak bisa tidur, tubuh Ren menggigil, lapar dan dingin menjadi satu. Semalaman terus memikirkan kata-kata baik untuk Petra. Dan hari Minggu pagi ini menemui puncaknya, Ren tak bisa lagi menunggu siang apalagi bertemu Senin pagi di sekolah.

Motor Ren mendecit di halaman panti, tepat ketika seorang wanita sibuk mengangkat sebuah dus berisi tumpukan nasi uduk terbungkus kertas minyak. Itu ibu panti Petra, mengenali Ren dan semringah memanggilnya.

“Ren, bantu ibu sini!” pintanya memanggil Ren. Ternyata masih ada banyak dus di belakangnya. Semua itu akan diangkat menuju sebuah pick up. Ren mengenali pick up itu, milik ayahnya. Pick up yang rutin dipinjam Bang Aldo dan ibunya untuk suatu acara. Setelah tiga  belas dus berikutnya terangkut, Ren melihat ibu panti mengeluarkan sebuah kunci dan segera duduk di belakang setir.

“Apa anda menyewanya?” tanya Ren hati-hati.

“Tidak ini pinjam gratis, seorang temanku dan anaknya berbaik hati menolongku. Ketika aku membutuhkan, menelepon temanku itu dan dia menyuruh anak lelakinya mengantarkan pick up ini.”

Ren tidak bertanya lagi, dalam hati sudah menemukan jawaban kenapa pick up ini sering menghilang dari garasi ayahnya. Ren tidak mempermasalahkan jika ini ditujukan untuk tujuan baik. Mesin mobil mulai dinyalakan. Sebelum beranjak, ibu panti kembali berbicara.

“Ren, akhir-akhir ini Petra sering melamun. Seperti tidak fokus ... dia hanya terlihat bahagia ketika menceritakan teman-teman di Kainga yang berhasil melanjutkan hidup dengan baik dan menyingkirkan pikiran buruk mereka. Petra merasa bahagia saat membantu orang, hatinya memang setulus itu ... jangan sakiti dia Ren!”

Pesan Bu Panti terngiang-ngiang, sampai saat Ren bertatap muka dengan Petra yang baru keluar dari pintu dapur panti. Di tangannya ada sekantung sampah yang hendak dibuangnya.

Heran menatap Ren yang ada di depan panti pagi-pagi begini. Setelah menuntaskan tujuannya membuang sampah dan bergegas mencuci tangannya, Petra kembali muncul membawa teh hangat—untuk Ren. Diperhatikan Ren menggigil kedinginan.

Sebelumnya obrolan mereka hanya berputar-putar, tapi Petra tahu Ren membawa maksud tersembunyi. Sampai akhirnya Ren ungkapkan ingin kembali seperti dulu, masa-masa sebelum berpacaran. Rasanya kini berhadapan dengan Petra teramat canggung. Ren menyesali tindakannya menyatakan perasaan. Ternyata tidak selalu confess berbuah manis. Lebih nyaman sebagai sahabat, itu kata Ren.

“Aku tidak akan melarikan diri sebagai bentuk tanggung jawabku, tapi rasanya aku egois ingin memilikimu seorang diri. Kamu dibutuhkan banyak orang, untuk itu lebih baik kita sebagai saudara di Kainga dan bukan dua orang berpacaran.”

“Kamu berbelit-belit, Ren. Langsung saja, kamu mau kita putus?”

“I-iya ....”

Petra tidak menolak keinginan Ren, dia pun merasa status pacar justru membuat Ren menganggapnya sebagai saingan. Insecure kembali muncul ketika orang-orang menggoda Ren yang memiliki tubuh kurang tinggi, atau meledek mereka lebih pantas sebagai adik kakak sebab Ren terlihat imut dan manja saat bersama Petra. Petra tidak begitu mempermasalahkan guyonan teman lainnya, tapi tidak Ren yang memiliki kuping tipis.

Sayangnya, ketika Petra menyinggung sikap Ren yang mudah baper ... emosi Ren naik. Mereka pun akhirnya berdebat tentang bagaimana seharusnya sikap Ren. Namun, akhirnya perdebatan itu diakhiri tawa bersama. Keduanya kembali bersikap sebagaimana layaknya sahabat. Saling bercanda, saling mencubit. Tidak ada sayang-sayangan, tidak ada love you. Tetapi justru terasa hangat dan dekat.

Sudah sepantasnya begini, alih-alih memusingkan soal cinta ... mencintai yang tulus bukan menjeratnya dalam kubangan ketidakpastian, tapi menemaninya bertumbih menggapai impian.

***

Tidak sepenuhnya setahun—sisa waktu kelas dua belas. Ren dan Petra sepakat bersikap profesional menggarap animasi 3D bersama untuk tugas kelompok. Lantas setiap individu nantinya juga membuat projek film sendiri. Dan untuk sekadar membuat film animasi durasi lima menit saja akan banyak waktu tersita, mulai dari sketsa desain karakter, story board hingga finishing memerlukan fokus dan waktu ekstra.

Belum lagi kelas dua belas ini kembali mendapat materi di kelas untuk menunjang nilai rapor. Waktunya bersaing untuk eligible atau SNBP atau mendaftar universitas negeri melalui jalur prestasi. Tiada guna memikirkan waktu bermain apalagi pacaran. Tak ada waktu untuk mengurusi percintaan yang justru bisa menghambat Ren dan Petra untuk fokus merancang masa depan.

***

Meneguk segelas air putih di depan kulkas ... Ren dikejutkan omelan ayah pada ibu tiri yang hendak berangkat kerja bersama Bang Aldo. Tumben, pikir Ren. Mereka terdiam tak ada yang berani menjawab ayah. Menurut Ren omelan ayah itu seribu kali lebih halus dibanding saat mengomeli dirinya. usai menyimak duduk perkaranya, Ren memutuskan menyela omelan sang ayah.

“Sudah Ayah, nanti Ren yang mengantar Ayah. Kasihan Bang Aldo kalau harus bolak-balik,” ucap Ren mengagetkan Bang Aldo dan membuat raut wajah ibu tiri berubah, terpana.

“Ya, tapi sebenarnya ke mana mobilku sering menghilang???” dengus ayah Ren kesal.

“Ren tahu mereka meminjam dengan tujuan baik ayah, tidak usah kesal, begini saja ... setiap kali pick up tak ada, aku yang akan mengantarmu.”

Ayah Ren tak membantah lagi. Selama ini ia memang kesal pada istrinya, tapi takut membuat keributan dan membuat istrinya pergi. Melarikan diri dari situasi yang membuatnya jengah, ayah Ren menuju kamar mandi dan menempatkan kepalanya yang mendidih di bawah guyuran shower.

Ibu tiri menatap Ren bingung, tidak menyangka Ren bijak menyikapi masalah pick up. Tidak seperti Ren yang biasanya. Bang Aldo tengah memanasi motornya di halaman, sementara Ren memeriksa motornya di garasi.

“Te-terima kasih ya, Ren ... umm.”

Bang Aldo memulai menyapa duluan dengan mengucapkan terima kasih. Ren mengangguk tersenyum, ibu tiri yang sedari tadi berdiri di belakang Ren ... menepuk pelan bahu Ren.

“Mami juga berterima kasih, Ren. Seharusnya mobil itu sudah terparkir di garasi semalam. Tetapi ada sedikit kendala,” kata ibu tiri menerangkan.

Ren tahu soal itu, Petra mengabarkan ini di Kainga meminta bantuan dan beberapa teman langsung meluncur ke lokasi tempat ibu panti memarkir pick up yang ditemukan bocor ban. Bukan itu saja, Ren juga meminta orang bengkel langganan ayahnya untuk datang ke lokasi mengambil mobil pick up tersebut. Memesan grab car untuk ibu panti pulang. Ren mengurus semuanya hanya dari rumah, dari balik gawai dengan memberi intruksi di grup Kainga. Tanpa harus menjelaskan jika mobil pick up itu sebetulnya milik sang ayah.

“Sebaiknya Mami dan Bang Aldo berterus terang saja, kalau tujuannya untuk membantu panti asuhan Ayah juga pasti tidak berkeberatan.”

Wajah ibu tiri menegang, menatap Bang Aldo dan Ren bergantian. Sinar matanya menyiratkan haru. Bukan saja kaget karena Ren tahu mengenai panti asuhan tapi juga ucapan Ren yang menyebut dirinya “Mami”.

“Ka-kamu sudah tahu Ren?” tanya Bang Aldo, suaranya tercekat.

“Kebetulan, aku mengenal ibu panti itu.”

“Oh, ya? Temanku itu? Wah dunia sempit sekali.” Ibu tiri tampak terkejut.

Ren tidak menceritakan lebih jauh bahwa di sana ada Petra sahabatnya yang juga tinggal di panti asuhan tersebut.

“Temanku itu sedang mengalami kesulitan, jiwa sosialnya membantu bayi-bayi yang dibuang tidak selalu berjalan mulus. Aku mengenalnya di kampus dua puluh tahun yang lalu, satu angkatan denganku. Sejak suaminya meninggal banyak relasi bisnis dan donatur yang mengundurkan diri. Untuk itu dia bekerja keras, sampai harus berjualan makanan di acara-acara minggu pagi atau event-event tertentu. Aku hanya berbaik hati meminjamkannya kendaraan. Kuakui aku salah karena tidak berterus terang pada ayahmu, Ren.”

Ucapan ibu tiri menampar benak Ren. Sesungguhnya ada banyak hal yang harus Petra tanggung sendirian. Menyimpan cerita untuk dirinya sendiri. Berjuang bersama ibu panti untuk terus merawat adik-adik pantinya. Seperti kata Petra dulu, mengandalkan donatur saja tidaklah cukup.

“Gunakan saja mobil pick up itu, Mami ..., tak apa tolong saja temanmu itu kapanpun ia membutuhkan. Urusan Ayah biar Ren hadapi.”

Lagi-lagi ibu tiri dan Bang Aldo tercengang, saling berpandangan dan menyeruak sesal tindakan mereka yang acapkali masa bodoh ketika menyaksikan Ren dimarahi ayahnya. Tindakan tutup mata pada bekas tamparan di pipi Ren, juga bungkamnya suara mereka saat Ren terdesak selalu disalahkan ayahnya.

Pagi hari itu, mereka berdua pergi dengan membawa rasa malu. Sementara tatapan puas Ren mengiringi punggung mereka yang menjauh. Melepas keterikatan rasa mendendam jauh lebih baik. Pikiran Ren kini terasa lebih ringan.

Ini semua berkat malam di mana Ren tak bisa tidur, gelisah menimbang baik dan buruk keputusan yang hendak diungkapkan pada Petra.

Malam itu, sekonyong-konyong Bang Aldo mendatangi kamarnya. Membawakan sekaleng milo dingin kesukaan Ren, lalu memberikan bungkusan plastik dengan jaket berbau pabrik di dalamnya.

“Haikyuu??” Ren merentangkan jaket warna putih bergaris biru kehijauan itu, pada bagian punggungnya tersemat angka satu.

“Hadiah ulang tahunmu!” seloroh Bang Aldo.

Sinar mata Ren langsung memancarkan haru, menahan sesak dada akibat senang tak percaya Bang Aldo baik hati kepadanya. Tak lupa berterima kasih, mempersilakan Bang Aldo duduk di tepi ranjang. Bang Aldo menuruti, lalu duduk menghadap standee Mikasa yang seolah menantangnya berkelahi.

Ini pertama kalinya dua kakak beradik lain ayah, lain ibu itu bercengkerama. Bang Aldo jujur mengakui mengagumi sikap berani Ren yang dapat menentukan pilihan sendiri tanpa didikte orang tua.

Ada banyak hal yang baru Ren ketahui dari cerita Bang Aldo ... bahwa ternyata ayah Ren sering memasuki kamar Ren diam-diam. Bahwa ternyata Bang Aldo dan ibunya selama ini memikul perasaan bersalah pada Ren dan ibu kandungnya. Ren pun akhirnya memahami segala cerita di keluarganya terjadi atas izin Tuhan, mengalir begitu saja sesuai alur kehidupan.

Dulu Bang Aldo masih kecil seperti halnya Ren, dia dalam kondisi bingung saat pertama kali dibawa ke rumah ini. Ren tak menduga saat Bang Aldo mengatakan, dulu tubuhnya sempat menggigil atas penolakan Ren. Hunjaman mata Ren mengintimidasi, Ren yang dingin dan sulit didekati karena masih shock dengan kematian ibunya.

Bang Aldo pernah merengek agar ibunya menjauhi ayah Ren saja, tetapi saat itu ibunya tak tahu harus pergi ke mana. Kenyataan yang diungkap ibunya membuat Bang Aldo menutup mulutnya dan berhenti merengek, ibunya mengatakan ini satu-satunya jalan supaya bisa menyekolahkannya. Ibunya berjanji untuk bekerja keras dan akan hidup mandiri. Namun, rasa cintanya yang begitu besar pada mantan kekasih yang akhirnya menjadi suami keduanya—ayah Ren—membuatnya bertahan hingga saat ini.

Ren mengembuskan napas, teringat ibunya. Terkesan tidak adil untuk ibunya. Tetapi ini sudah menjadi takdir kehidupan yang harus dijalani. Pilihan Ren tinggal, terus mendendam atau mengakhirinya dengan damai. Melihat ibu tiri yang sembunyi-sembunyi menolong ibu panti meyakinkan Ren jika wanita itu masih memiliki empati, bukan nenek sihir seperti sangkanya selama ini.

Ren belum tahu keputusan yang diambil malam itu ... mengenai Petra ... mengenai keluarga, tepat atau tidak. Belum tahu, semua masih samar. Yang Ren yakin hanyalah melanjutkan hidup dengan baik. Melepaskan kebencian yang bisa menghambat tujuan hidupnya untuk menjadi manusia yang lebih baik.

***

Menjalani hari-hari berikutnya di kelas dua belas, waktu terasa begitu cepat, serba mepet deadline. Kama dan Jaya tak pernah lagi mengajak Ren main billiard atau nongkrong di warmindo.

Petra makin menunjukkan taringnya dengan bersikap galak penuh ketegasan menyangkut tugas kelompok. Sikapnya tidak bermanis-manis lagi untuk menjaga perasaan Ren. Dalam gurauannya Petra mengatakan jika ia dan Ren memang tidak cocok berpacaran. Jika diteruskan pun untuk apa ... karena cara mereka berdua berdoa pun berbeda. Jika berpacaran tanpa tujuan pasti ke arah mana kelak hubungan mereka berlabuh ... sama saja menyirami masalah besar di kemudian hari.

 Seluruh teman menyetujui keputusan Ren dan Petra. Mereka pun lega tidak ada kecanggungan lagi di antara pertemanan tim tujuh. Sesekali Dimas merengek, ingin jadi bagian tim tujuh saja. Ren tertawa dan mengusirnya, berdalih Dimas hanya sementara menggantikan tempat Galang. Namun, Ren hanya bercanda ... baginya Dimas mempunyai ruang tersendiri di hatinya.

Projek film kelompok itu menemui ujungnya. Akhir semester satu kelas dua belas dilakukan penilaian dan pameran setiap jurusan. Projek film yang diketuai Ren mendapat juara terbaik ke-2. Mengusung tema dan ide yang segar menjadi point utama. Untuk ini Ren sangat berterima kasih pada si kembar yang mau menurunkan egonya tidak memasukkan unsur anime ke dalam film itu—mereka bersedia menghilangkan gaya Jepang.

Keberhasilan film itu adalah keberhasilan bersama. Mereka merayakan di kantin sekolah, tak terkecuali Dimas yang lebih nyaman bersama Ren dan enam teman lainnya.

“Kainga makin besar Ren,” ujar Galang tiba-tiba. Ren tersenyum bangga dan melirik Petra.

“Bagaimana kalau kita adakan event mural sebelum bulan-bulan sibuk kita mempersiapkan diri menuju kuliah?” lanjut Galang lagi.

“Ini berkat kalian semua,” ucap Ren tertawa, “aku memberikan Kainga itu untuk Petra, dia bebas membuat projek atau charity di dalamnya. Diskusikan saja dengan Petra!” tukas Ren.

Lainnya terbelalak, bertanya-tanya dalam hati, seolah kalimat Ren pertanda perpisahan.

Petra menggeleng cepat, “Tidak mau, kalau nggak ada Ren!”

Lainnya ikut mengiyakan, tentu saja ide dan gagasan Kainga dari Ren. Rasanya aneh jika pemilik “rumah” itu sendiri justru menjauh.

“Aku tidak pergi, semoga saja ....” Mata Ren menerawang

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Langkah Pulang
480      340     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Return my time
319      271     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Me vs Skripsi
2131      918     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
May I be Happy?
626      379     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
G E V A N C I A
1164      638     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Yu & Way
165      134     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Serpihan Hati
11529      1932     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Kita
704      462     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Bunga Hortensia
1643      97     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1258      775     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...