Terkadang apa yang kita bayangkan indah tak sesuai kenyataan. Tenggelam dalam ekspektasiku sendiri. Bukan salah mereka, bukan salahnya, ini salahku.
Penerimaan rapor di awali dengan ceramah Bu Neena. Melaporkan progres kerja magang pada wali murid. Namun, termasuk juga menyinggung banyaknya kelompok yang menelantarkan tugas kelompok film animasi. Ada beberapa yang sukses menyelesaikan tugasnya. Banyak yang belum, termasuk kelompok Ren.
Teman-teman Ren yang berasal dari luar kota banyak yang diwakili oleh ibu atau bapak kos untuk pengambilan rapor. Ren termasuk yang beruntung ayahnya mau datang. Walaupun Ren dipelototin habis-habisan karena mempunyai nilai jelek di pelajaran Matematika. Galang tentu saja ada ibunya yang hadir, tengah saling berbincang bersama ibu panti Petra. Vanila diambilkan rapornya oleh papanya yang membawa serta adik nomor dua—sekarang papanya sudah mau berbagi peran mengasuh anak.
Cukup panjang ceramah dari Bu Neena, antara lain juga membahas nilai-nilai rapor murid yang akan dipergunakan sebagai acuan meraih eligible atau tidak. Bagian paling ditakuti anak tidak berprestasi seperti Ren adalah ketika pengumuman murid berprestasi yang memenangkan kompetisi. Turut senang sebenarnya, tidak dengki iri hati. Hanya saja hunjaman tatapan membandingkan dari sang ayah membuatnya ciut. Mengejutkan bagi Ren, bukan si kembar dan Galang saja anggota tim tujuh yang berprestasi, ada Chiya si ranking satu, Vanila menyusul di ranking dua ... dan juga Petra yang ternyata baru saja menjuarai lomba desain karakter dan animasi yang diselenggarakan sebuah universitas swasta.
Kama dan Jaya bertepuk tangan paling keras. Hanya Ren yang lunglai dan lemas. Malu sebagai pacar tak tahu apa pun kegiatan Petra. Duduk dikelilingi teman yang maju ke depan menerima bingkisan dari Bu Neena buat Ren kerdil diantara para Titan. Ayah Ren terus melotot ke arahnya, Ren satu-satunya anak yang tetap duduk. Di kelas, Dimas memang bukan kelompok Ren—dia kelompok dua. Seandainya tidak, pastinya Ren tidak merasa terpojok sendirian. Intimidasi suasana, Ren merasa figuran pengganggu bagi keberhasilan teman-temannya.
Bruuuk!!!
Di rumah, map rapor dilemparkan oleh ayah Ren, berkata sia-sia menuruti kemauan Ren bersekolah seni ... nyatanya Ren tetap tertinggal dibanding teman lainnya. Ren memunguti kertas dari map yang berserakan. Menatap nilai-nilainya yang hanya bagus di bagian nilai kejuruan dan tidak pelajaran umum. Sebuah pelajaran berharga untuk Ren di pengambilan rapor kali ini, untuk tidak lagi menyepelekan bidang study yang tidak disukai. Ternyata itu membuat turun nilai secara keseluruhan.
Menatap layar gawai, hendak menghubungi Petra tetapi ia tahan. Ren sebal sebab tak tahu menahu tentang Petra. Hanya Ren yang merasa dekat, menceritakan segalanya, tak sedikitpun Ren memahami alasan Petra tetap misterius kepada dirinya.
Banyak notifikasi dalam grup Kainga, banyak anggota Kainga lainnya yang juga saling memberi selamat satu sama lain. Mereka semua juara di bidangnya masing-masing. Nanar Ren menatap layar gawai, bibirnya kaku, antara mau senyum atau mencibir. Tidak ada orang lain, yang ada hanya standee Mikasa menatapnya. Tak bisa berpura-pura, takjub sekaligus perih. Takjub ketika membaca komentar yang berterima kasih pada Ren karena telah mengumpulkan mereka menjadi satu keluarga besar yang saling support satu sama lain, membuat mereka bergairah pada hidup dan berani mencoba berkompetisi. Dukungan dan bimbingan antar teman paling membantu meningkatkan diri hingga mampu menempuh risiko untuk mencoba hal baru.
Mereka semua mengagumi Ren, kalimat Ren yang memotivasi, menganggap mereka semua keluarga, memberikan “rumah” bagi mereka yang tengah bingung untuk sekadar menyandarkan bahu 'tuk mengatur napas.
Membaca hampir seluruh komentar terima kasih yang ditujukan padanya, buat Ren merinding dengan dampak luar biasa yang ia torehkan pada hidup orang lain, rasa bangga menyeruak ... sekaligus merasa kecil hati dibanding kehebatan teman-temannya.
Tubuh kecil Ren seolah berada di puncak bukit pada malam hari, begitu dekat dengan alam raya, memandangi bintang-bintang yang bertebaran. Menyaksikan kemegahan dengan kekaguman sekaligus merasa kecil menjadi bagian dari semesta yang luar biasa indah.
Sublime ....
Campuran dari rasa takut. Terpesona, kagum dan kecil di waktu yang bersamaan.
Ren mendesah, jika aku tidak menjadi hebat, setidaknya hidupku bermanfaat untuk teman-teman hebatku.
***
Di tempat magang pada hari berikutnya,Petra bersikap biasa saja pada Ren. Tidak menjauh ataupun mendekat. Ren merasa tak ada bedanya menjadi pacar atau teman.
Tidak ada lagi rasa berdebar, yang ada malas melihat cueknya Petra. Kekecewaan Ren karena merasa dirinya tertinggal dari Petra membuat Ren insecure lebih dari waktu dirinya masih mempermasalahkan soal tinggi badan. Kelemahan dirinya mulai muncul, baperan, ngambekkan. Ren sendiri meyadari itu bukan sifat baik. Dirinya masih beradaptasi untuk memiliki kepribadian tenang dan positif thinking. Sialnya, kebiasaan buruk memang sulit dihilangkan. Semangat Ren jadi timbul tenggelam. Semacam kerupuk disiram kuah seblak—letoy. Mulai melakukan pelarian-pelarian kecil dari situasi rumah yang masih buat frustrasi. Melarikan diri pada bilyard, game, anime, atau ngebut di jalanan. Dalam hati kecil Ren menderita putus asa. Mengumpat tiada gunanya, memang Ren menyia-nyiakan waktu, sibuk memberi semangat, merangkul kawan-kawan penuh luka. Namun lupa, mengupgrade diri. Situasi teman-temannya telah banyak yang berubah. Tapi, tidak dengan Ren. Apa ini yang dinamakan bisa menasihati tapi tidak berlaku untuk diri sendiri. Kegalauan meyengatnya bak lebah berkerumun.
Makin hari hubungannya dengan Petra semakin hambar. Bicara seperlunya, tak saling tertawa. Begitupun sikap Ren ke semua anggota timnya. Teman-teman Ren mengira Ren menjauh, tapi Ren menyangka merekalah yang berlari terlalu cepat. Perasaan tersisih muncul dengan sendirinya.
Beberapa kali Ren marah pada anggota kelompok tujuh—pembuatan projek film animasi yang sempat mandek. Mengatakan kalau mereka asyik mengejar prestasi sendiri dan mengabaikan kepentingan kelompok. Semua terkejut dengan kalimat menuduh yang Ren tuduhkan. Tak terkecuali Petra yang tahu Ren hanya melampiaskan kekesalan.
“Apa perlunya mengungkit prestasi, Ren? Bukannya kamu yang mendorong kami mengembangkan potensi diri?” tanya Petra tak terima.
Sebuah awalan untuk kemudian mereka berdebat tak mau mengalah.
“Rasanya aku telah keliru, Dim! Bukan Petra yang aku sukai, tapi kenangan bersama ibuku yang aku rindukan. Aku mendapatkan “rasa” yang sama saat bersama Petra, dan kini tidak lagi. Petra telah berubah,” curhat Ren kepada Dimas—menelepon Dimas tengah malam.
“Bukan Petra, tapi kamu Ren. Coba katakan, kenapa di antara teman kita kamu memilihku untuk menceritakan unek-unek, itu semua karena kamu tidak merasa insecure denganku. Satu-satunya yang biasa saja, tidak menonjol seperti yang lain. Kamu yang berubah Ren, menjauhi semua yang kamu anggap bersinar lebih terang daripada kamu!”
Dimas mengatakan semua yang memang seharusnya Ren dengar. Ucapan hantaman itu pun mulai merasuki hati Ren.
***
Aku pernah jatuh berkeping-keping, dan kini ... sekali lagi mengalaminya.
Jika kamu yang kuanggap rumah hilang dariku ... lalu ke mana lagi kuharus pulang?
Suara hati Ren meratap. Logikanya tak selaras keinginan terus bersama Petra atau kawan lainnya. Ini yang dinamakan salah logika, karena Ren mengasihani diri sendiri. Tidak mau dengar, tidak mau memahami.
Waktu bergulir dengan cepat, Petra dan Ren terjebak pada hubungan dingin. Tempat magang tidak menjadi tempat nyaman lagi bagi keduanya.
Hubungan yang begitu cepat berakhir, mati dari dalam. Kekecewaan yang terus menumpuk, tak diutarakan. Petra diam saja melihat tingkah Ren yang makin mudah baper. Sedangkan Ren kebingungan dengan dirinya sendiri serta menganggap sosok Petra hilang dari dirinya. Jika dulu Petra tempat ternyaman baginya mengungkapkan kegundahan akibat masalah keluarga ... kini Ren bersikap seolah Petra adalah saingan yang harus dikalahkan.
Rutinitas kerja tambah menenggelamkan mereka pada kebekuan hubungan asmara. Beberapa kali Ren mengeluhkan ini pada Dimas, pendapat temannya itu di kala terakhir sesi curhatnya membuat Ren cukup shock.
“Lepaskan Petra bila kasihan padanya!” kata Dimas sedari minggu lalu. Saran yang belum bisa Ren turuti. Masih bimbang karena di sisi lain hatinya terlalu menyayangkan ini terjadi. Namun, antara sikap dan hati Ren tidak relevan. Dilematis, heran sendiri kenapa sifat buruknya selalu muncul saat bersama Petra.
Petra yang berpikiran dewasa menatap sedih pada Ren. Tak menyangka sesulit itu menjalin hubungan dengan Ren. Seolah semua hal yang Petra lakukan selalu salah di mata Ren. Selalu baper, berujung ngambek.
Dalam Kainga pun Ren menjadi pasif. Cita-citanya yang dulu menggebu, bagai bunga layu. Petra bersikeras untuk terus menjaga Kainga. Bagi Petra Kainga adalah Ren, bukti kasih sayang Petra pada Ren dicurahkan dengan terus membersamai Kainga meskipun pemiliknya perlahan jauh meninggalkan Kainga.
***
Kamar 4x5 menjadi bukti kegelisahan Ren. Dalam ruang kamarnya di saat sendirian. Ren terus menyesali tindakan bodohnya memacari Petra. Dia justru kehilangan sahabat terdekatnya karena menjadikannya sebagai pacar. Semua itu ada dalam pergolakan batinnya.
Tidak semua cinta itu perlu dijadikan kekasih.
~Ren Dewandaru~
Kesimpulan yang baru Ren dapatkan setelah kebersamaan semu yang menggelayuti hampir tiga bulan ini.
Petra sendiri sering memikirkan, -
Seandainya Ren tidak kebingungan sendiri dengan kepribadiannya, seandainya Ren mau mendengarkan saran untuk mendatangi psikiater atau psikolog. Nyatanya Ren hanya bocah yang baru menginjak usia delapan belas tahun seperti dirinya. Beradaptasi dari usia tujuh belas yang masih banyak main, bertransisi ke usia delapan belas di kelas dua belas yang mulai padat sekali jadwal kegiatannya.
***
“Tidak terasa sebentar lagi magang kita selesai, ya!” kata Kama memberitahu semua.
“Bagaimana kalau kita mengadakan malam perpisahan di hari terakhir magang, Ren?” lanjut Kama lagi.
“Ide yang bagus, bagaimana yang lain?” tanya Ren pada semuanya.
Kebanyakan mengangguk setuju, kemudian saling berpendapat tempat pelaksanaan itu.
“Kita cari tempat makan, semacam restoran yang menyediakan bakar ikan, gimana?” usul Ren.
“Aku nggak setuju Ren, pastinya mahal. Kita bisa melakukan dengan lebih sederhana. Misalnya di sini saja, pegawai lainnya juga bebas ikut bergabung. Berfoto bersama di studio animasi ini justru lebih terkenang!” petra menimpali.
Raut muka Ren langsung berubah, membantah pendapat Petra bukan karena pendapatnya tak masuk akal, tetapi karena Ren ingin membantahnya. Adu argumen mulai terjadi antara keduanya. Teman-teman memperhatikan ada yang tak beres dengan Ren dan Petra. Mulai sadar kalau setelah tiga bulan jadian Ren dan Petra bukannya dekat malah justru menjadi asing.
“Kalian kembali ke setelan awal, berantem!” ujar Jaya.
Semua terdiam, memandangi Ren dan Petra bergantian. Teman lainnya tahu ini persis dulu, ketika Ren insecure dengan Petra.
Akhirnya malam terakhir kerja magang tiba. Keputusan bersama mengambil saran Ren dan Petra digabung menjadi satu. Bakar ikan tapi tempatnya di halaman studio animasi. Lebih berhemat, tak perlu reservasi restoran. Kenang-kenangan bersama pegawai dan anak magang dari kota lain pun dapat terekam semua di halaman studio.
Petra mengumpulkan uang iuran untuk membeli bahan makanan juga arang dan kipas. Mas Defa meminjamkan alat pemanggang dari rumahnya, bahkan menambahkan uang untuk belanja ikan dan sosis.
Semua saling meminta maaf dan terima kasih pada Mas Defa dan Kak Henny selaku mentor mereka, juga dengan pegawai serta anak magang lain yang masa magangnya belum habis.
Semua berakhir menyenangkan, Ren menarik diri dari keramaian dan merenung memandangi anak-anak magang yang bersuka cita. Mas Defa menghampiri Ren yang duduk di tepi teras studio.
“Kamu bisa datang ke sini kapan saja Ren, meski magang sudah berakhir,” kata Mas Defa sembari menepuk bahu Ren.
“Iya, Mas.” Ren mengangguk tersenyum.
“Bagaimana dengan Petra?” tanya Mas Defa lagi.
“Terlihat jelas ya,Mas?” Ren balik bertanya.
Mas Defa terkekeh dan berujar supaya Ren menurunkan egonya. Ren membiarkan Mas Defa menasihatinya. Ren pikir, tak apa toh ini kali terakhir menjadi anak buahnya.
“Kamu mengingatkan pada diriku dulu Ren, aku yang menggebu-gebu, mudah terpancing emosi di jalan, tak peka dalam hal percintaan, juga dengan gampangnya memberi stigma pada orang lain.”
“Aku tidak memberi stigma pada orang lain,” kilah Ren.
“Oh, ya?? Coba katakan ... apa kamu tak menganggapku enak serba kecukupan bahkan bisa nonton konser idol??” tanya Mas Defa menyelidik.
Ren mengangguk, benar ... ia selalu mengatakan pada yang lain, kalau satu-satunya masalah dalam hidup Mas Defa adalah deadline.
“Kamu tidak tahu apa-apa Ren, aku pun mengalami kesulitan ketika orang tuaku justru memberikan semua fasilitas yang aku butuhkan.”
Ren memiringkan kepala tak mengerti.
“Orang-orang sulit percaya ketika aku mendapatkan semua kesuksesan dengan jerih payahku sendiri. Yeah, seperti kamu ini Ren,” ucap Mas Defa memburu, “dari SMP aku sudah bekerja keras mencari uang dengan menjual merchandise K-pop, sebab aku menyukai dunia itu, banyak yang mengolok-ngolok karena di jamanku fanboy belum sebanyak sekarang. Diremehkan orang-orang membuat mentalku down, insecure parah, muak sekali rasanya tidak dipercaya orang-orang. Lambat laun aku belajar untuk tidak membesarkan rasa rendah diri dan terus melangkah mantap untuk hal-hal yang kusukai.”
Ren tercenung, serupa tapi tak sama. Hal yang berkemuk dalam dada Ren juga pernah dialami Mas Defa. Bahkan setelah Mas Defa menyudahi membagi pengalamannya, Ren masih termenung.
Musik dimainkan, dalam bayang percikan api yang di kipas Dimas ... teman-teman Ren berjoged asal, sekadar hiburan. Ren melihatnya, wajah Petra berseri, tertawa, bukan tatapan penuh khawatir seperti saat bersama Ren. Lantas Ren mengingat ucapan Bu Neena, kelas dua belas nanti teramat sibuk. Ada dua projek pameran yang harus dikerjakan. Satu, berupa projek film kelompok yang akan dilaksanakan segera setelah mereka semua kembali le sekolah, dan satu lagi projek film individu untuk pameran tugas akhir pada akhir semester dua, kelas dua belas.
Tak ada waktu untuk menggalau, bisa runyam dan mengganggu jika ada percintaan tidak sehat antara teman sekelas. Demi kepentingan bersama dan kebaikan bagi Petra, sudah sepantasnya Ren menyudahi saja semua drama yang ia ciptakan sendiri.
Petikan gitar Kama mengalun bersama dingin malam. Desir-desir halus merambati dada Ren. Melirik Petra yang tengah abai pada dirinya. Langkah sepatu Ren mendekati Petra, menyusun kata dalam hati ... ingin bicara ....