Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Tidak ada yang istimewa pada hari-hari selanjutnya. Hubungan Ren dan Petra masih sama. Ragu untuk melangkah, lebih dari teman. Ren gagal menggali lebih jauh lagi, isi hati Petra sebenarnya.

Hari-hari kembali ke studio animasi, Ren dan Dimas terpaksa terlambat sehari. Harus mengikuti remedi dan masih betah nongkrong di kantin sekolah. Separuh hati memang rindu masa-masa di sekolah.

“Tak terasa kita sudah di penghujung kelas XI ya, Ren?”

Sebuah kalimat pembuka dari Dimas cukup menyita perhatian Ren. Itu artinya, waktu magang tinggal tiga bulan lagi dan waktu-waktu selanjutnya akan diisi dengan penggarapan Tugas Akhir yang menyita waktu.

“Sudah terpikirkan projek film animasi, Dim?” Ren balik bertanya.

Dimas menggeleng, berujar tak pernah merencanakan apa pun. Semua mengalir begitu saja. Ren terbahak, merasa tak sendirian ternyata ada yang lebih random dari dirinya. Mereka berbincang santai, kadang membahas soal magang, membahas percintaan, juga soal Kainga.

“Jadi kenapa tertarik bergabung?” tembak Ren spontan.

Hmm, aku melihat hal positif dari Vanila semenjak ia bergabung Kainga. Dia sudah tidak mengejar validasi lagi dari orang-orang dewasa. Sekarang dia asyik berkarya dan berdagang.” Dimas mengacungkan jempol.

“Vanila hanya butuh diperhatikan, kurasa dengan dirinya memperbaiki diri maka orang-orang di rumahnya juga memberikan timbal balik yang positif.” Ren memberikan pendapatnya.

“Aku belum tahu ke depannya mau melanjutkan kuliah atau tidak, kamu tahu ‘kan Ren rasanya jadi setengah-tengah? Pintar banget ya tidak, bodoh juga tidak. Posisi cukup saja, dan itu nggak enak!” ujar Dimas.

Ren setuju karena dia sering merasa begitu. Ketertinggalannya dengan teman lain menampar egonya, merasa Ren yang memulai kesadaran ini—bahwa remaja tidak bisa diam saja, gali potensi diri, maka itu Ren berinisiatif membentuk Kainga—kenyataannya teman-teman lain mulai bergerak dan Ren seperti jalan di tempat.

Dimas mulai terbuka mengenai gundah hatinya untuk tidak berkuliah. Orang tuanya hanya petani miskin dan sebagai anak lelaki pertama ... Dimas tak ingin tambah memberatkan orang tuanya untuk membiayai kuliah.

“Cukup sampai sekolah menengah seni rupa ini saja, kurasa ....” kata Dimas, matanya menerawang.

Ada getir dalam suara Dimas, Ren mengartikan ... kalau ada biaya, pastinya Dimas mau kuliah. Memang tidak semua anak beruntung dengan kondisi ekonomi kedua orang tuanya. Sedangkan yang beruntung dari segi ekonomi juga belum tentu beruntung dari segi mental dan perhatian. Semua mendapat cobaan masing-masing.

Percakapan bersama Dimas hari ini sekaligus membuka pikiran Ren. Bahwa selama ini pikirnya mencari uang untuk menambah uang saku, membeli action figure anime favoritnya ... itu belum sebanding dengan teman sebaya yang betul-betul mencari uang untuk biaya hidup, bukan hanya untuk dirinya saja, melainkan agar keluarganya tidak kelaparan.

Remaja sebagai tulang punggung keluarga pun benar ada, fakta. Salah satunya Dimas, ternyata Dimas sejak SD mengamen di jalanan. Uang-uang yang dihasilkan diberikan pada ibunya untuk kepentingan keluarga. Saat ini hanya kadang-kadang saja ia lakukan di lampu merah sudut-sudut kota Jogja bersama pengamen jalanan lain. Tugas sekolah apalagi setelah magang ini menyita waktunya. Hal lain yang Dimas kerjakan saat berpacaran dengan Foya menambah relasi dan pemasukannya, yaitu: terima jasa membelikan persediaan canvas, cat poster, cat akrilik, cat minyak, dll. Tak jarang saat musim pameran tiba anak OSIS membeli pigura dari Dimas.

Usai hubungan mereka berakhir, Foya tak berpikiran sempit dan masih bekerja sama dengan Dimas, apalagi mereka masih sering bertemu sebagai anggota OSIS. Cerita Dimas ini juga mengubah pandangan Ren mengenai Foya. Ternyata Foya berteman dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang—sesuatu yang sulit dilakukan manusia-manusia saat ini.

Ada banyak rupa manusia, ada yang benar-benar tulus, misterius, dan membawa topengnya ke mana-mana. Entah Ren termasuk mana, baginya manusia sama saja ... mabuk pada hal yang dicintai. Seperti dirinya yang terlalu mencintai ayahnya kendati diperlakukan sesuka hati. Ada Galang yang terlalu memikirkan kondisi ibunya dan rela terhambat pada pekerjaan. Gadis seperti Vanila yang haus perhatian dan selalu ingin menjadi pusat perhatian, Chiya yang amat dimanja sampai tak bisa buka tutup botol. Masing-masing dari mereka belum tahu akan seperti apa masa depan yang akan menyambut mereka kelak.

 Bagian terindah mungkin telah didapatkan si kembar setelah bertahun-tahun terus diperlakukan sebagai anak kecil, akhirnya orang tuanya—terutama bundanya—mengakui kehebatan mereka setelah mereka menjuarai kompetisi 3D game art. Orang tuanya berjanji akan memfasilitasi semua yang diperlukan si kembar untuk mencapai cita-citanya. Lantas di sisi lain, Ren sadar ada  remaja seperti Petra dan Dimas yang telah memulai perjuangan mengandalkan bahunya sendiri tanpa sokongan fasilitas dari siapa pun.

 Ren jadi teringat Mas Defa, tidak terlalu dekat tapi dapat menilai sekilas lewat keseharian, dia tidak mendapat tekanan apa pun diluar pekerjaan. Benar kata Galang, satu-satunya masalah hidupnya adalah deadline. Di usia 25 tahun Mas Defa sukses menjadi ketua tim projek film animasi sebuah studio yang lumayan besar dan menjadi orang kepercayaan bos di kantor. Kalau tidak pandai dan didukung finansial mumpuni, rasanya tak mungkin jalannya begitu mulus. Apalagi healing-nya nonton konser idol K-pop. Previlage dari orang tuanya, rasa-rasanya mampu menjadikan Mas Defa duduk manis di kursi VIP Box saat menonton konser dan bukan di CAT-5A kalau mengukur kemampuan dari gaji saat ini.

Apakah ini yang dinamakan dunia tidak adil?

***

 

Wosh ... woosh ....

Kemunculan Ren di tempat magang membuat lainnya heran. Terlihat akrab bersama Dimas menjadi pemandangan berbeda. Perbincangan satu hari itu mengubah segalanya. Petra mengerutkan kening lalu bersikap biasa kembali. Sempat Ren hendak membuka mulut—berulang kali. Mengharap Petra menanyakan sesuatu, satu ..., dua ..., tiga ..., putaran detik pada jam dinding menertawakan ia yang terus menunggu. Sia-sia ... Petra memang cuek, saking cueknya potongan rambut Ren juga tak menggugah minatnya. Padahal yang lain berkomentar, kata mereka Ren seperti anak SMP.

Senja hari ... Ren sengaja menyuruh Kama dan Jaya pulang bersama Vanila dan Chiya. Alasannya apalagi, ingin pulang bareng Petra.

Sejam kemudian poni Ren yang dipotong terlalu pendek tertampar embusan angin. Petra tidak merangkul pinggangnya, atau berpegangan di ujung jaket Ren. Diam saja. Debar dada Ren berpacu seimbang dengan rasa penasaran yang merambat naik. Hari ini Petra aneh. Tidak kuasa menahan risau hatinya, Ren membelokkan motor CB ke tempat es cokelat dekat alun-alun kota.

Petra mengangguk setuju, tapi tidak juga memberi komentar apa pun.

Dua menit, lima menit, sepuluh menit berlalu tetap tak bergeming. Satu roti dan satu gelas es cokelat lenyap dalam mulut Ren. Lama-lama Ren mulai jengah dengan Petra. Kikuk membuka percakapan, dimulai guyon garing yang bisa memancing senyum sinis Petra. Faktor kebiasaan yang dilakukan menjadi perangkap dari Ren untuk sekadar mendapatkan respons gadis tinggi semampai itu.

Berhasil!! Percobaan ke tiga pada guyonan tidak lucu yang Ren lemparkan, Petra memunculkan smirk di wajahnya. Petra itu susah ketawa, jadi kalau wajahnya bereaksi ... itu saja sudah cukup bagi Ren.

Kesempatan datang lagi. Makan Petra berantakan. Ada remah roti di sudut bibir. Gerakan reflek Ren ingin membersihkan dengan tangannya sendiri, tapi saat kulit halus Petra tersentuh tangan Ren yang dingin karena grogi, sontak Petra memundurkan wajahnya. Mengalihkan ke luar jendela kedai, melihat gerimis yang mulai turun malam ini. Ren menarik tangan gamang. Mematung memandangi Petra yang membuang muka. Perhatian kecil darinya terabaikan. Jelas kentara sekali wajah tak nyaman Petra.

“Yeah, hujan, Ren ...!” kata Petra memandangi hujan yang makin lama makin deras. Kalimat itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Petra sejak kedatangannya bersama Ren.

Hmm, ya.”

Ren mencoba meredam rasa tak enak yang mencuat tiba-tiba. Kalau di hari-hari lalu, Ren pasti langsung baper dan ngambek. Kali ini Ren telah belajar banyak dari teman-teman di Kainga, bahwa dunia tidak berputar hanya pada dirinya saja. Sebab itu belajar mengendalikan perasaan agar tak mudah sakit hati.

“Petra, ka-kamu ... marah ke Ren?” tanya Ren hati-hati.

Sempat kaget dengan Ren yang bertanya lembut tanpa nada emosi, Petra akhirnya memberikan senyum yang Ren nantikan.

“Aku sedang banyak berpikir,” ucap Petra santai.

Kali ini menatap tajam Ren yang jadi salah tingkah. Benar kata teman-temannya, Ren terlihat seperti bocah SMP yang melakukan PDKT.

Potongan rambut baru bikin Ren makin muda, mirip bocah yang sedang mengikuti kakaknya ... dan aku kakak itu, yeah ... hmm ....

Ren seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan. Mulutnya terkunci rapat. Berusaha melawan rasa ‘tak suka diperlakukan begini oleh Petra’. Gadis itu menjaga jarak. Jelas sekali. Ren bertanya-tanya dalam hatinya, kira-kira apa kesalahan yang ia perbuat. Namun, rasanya di pertemuan terakhir mereka —setelah hari hujan—Petra mengantarkan Ren dengan senyum lepas. Canggung justru baru terjadi pagi tadi. Ren coba ingat-ingat lagi apa yang dilakukannya di hari sabtu lalu—saat menungu hujan reda di pinggir toko.

“Apa ada kata-kataku yang salah,” gumam Ren. Terkesiap, Ren menutup mulut. Sering begitu ... apa yang terlintas di otaknya meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa sadar menjadi sebuah gumaman yang bisa didengar orang lain.

Menggali ingatan bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Mudah melupakan sesuatu menghambat dirinya menemukan keping ingatan yang hilang. Apa kemarin itu juga ada kata-kataku yang seharusnya tak Petra dengar?

“Ren, nggak ada salah apa pun. Aku hanya sedang malas mengobrol,” ujar Petra memberitahu, “oh, ya ... hoodie Ren masih di aku!”

“Pakai saja buat kamu!” ujar Ren tanpa berpikir.

Mata Petra membeliak. Tiba-tiba saja memberikan hoodie. Ren memang suka random. Termasuk ucapan waktu itu, pastinya juga random. Petra juga tahu, ada orang yang seperti Ren. Berbicara mengikuti otaknya saja.

Hujan hanya sebentar. Namun, mampu menyisakan malam yang begitu dingin. Di luar kedai dekat parkiran dua orang remaja memutuskan menembus gerimis tipis. Jika menunggu benar-benar hilang, entah kapan menemui kasur empuk. Petra sudah begitu merindukan bergulung selimut hangat. Lain halnya dengan Ren yang sejatinya ingin cerita banyak, sayangnya Petra malas mengobrol dan menanggapi. Bahkan raut ketus tidak menyingkir dari wajahnya.

“Pakai helm, Ren ...!” perintah Petra pada Ren yang enggan pulang.

Terpaksa Ren memakainya, saat itu sekilas ada ingatan masuk ... sedetik, dua detik Ren merasa ada sesuatu yang janggal, tapi apa ... Ren tidak mengerti.

Ren hendak mencopot jaket parasutnya untuk dipakaikan ke Petra, tapi tegas Petra menolaknya.

“Jangan sok gaya Kamu Ren, udara dingin dan aku pun sudah pakai jaket sendiri!” tolak Petra.

Ren menuruti, dia berada di jok depan menatap lurus ke depan. Setelah Petra duduk di jok belakang, Ren mengambil tangan Petra dan berusaha melingkarkan ke pinggangnya. Tetapi, Petra tak mau.

Lantas motor tua itu melaju kencang bersama isi hati dua remaja yang saling berisik tapi bibir terkatup rapat.

Setibanya depan pagar rumah Ren yang tinggi, Petra melepas helmnya, rambut wolf cut miliknya berantakkan. Sekonyong-konyong melesat ingatan masuk ke dalam hipokampus membuat darah Ren berdesir.

Aaaaaaaarghh!!!” teriaknya.

Petra terkejut dengan teriakan Ren, tapi sebal karena mendapatkan Ren baru mengingat sesuatu. Tersenyum kecut, secepatnya berlalu pergi. Tidak kuat melihat Ren menahan malu.

Sementara Ren berdiri depan pagar dengan muka merah padam. Untunglah hanya gerimis tipis menemani, tanpa bulan, tanpa bintang yang pastinya bisa menyorot jelas tingkah laku tidak biasa seorang Ren Dewandaru.

Pukul dua dini hari, Ren belum tertidur. Mata enggan terpejam, gelisah di atas kasur. akhirnya terduduk, berteriak sendiri menahan malu.

Bisa-bisanya aku, eh ....

Tidak bisa begini terus. Ren merasa secepatnya harus mengadu ke seseorang. Tak bisa dalam grup Kainga karena ada Petra di dalamnya. Satu menit kemudian, sebuah nomor telah dihubungi. Suara mengantuk terdengar jelas. Ren tidak mengindahkan suara yang kadang hadir kadang menghilang dan disertai suara menguap, terus saja nyerocos menceritakan kegundahan hatinya saat ini. Sampai ayam jago berkokok, Ren terpejam dengan posisi telentang di atas kasur sementara gawai masih ada dalam genggaman tangan yang mengendur. Sambungan teleponnya telah terputus, suara dengkuran halus terdengar dari sela bibir yang terbuka milik Ren.

Esok hari, Kama dan Jaya menemukan Ren yang mengantuk dan Dimas yang terus menguap. Mereka berdua berada di pantry tengah membuat kopi.

“Marathon anime?” tanya Kama asal.

“Bukan, marathon cinta,” gumam Dimas, perhatiannya tetap pada kucuran air panas pada kopinya.

Mata Ren membeliak dan mulai lagi menggaruk telinga salah tingkah.

Setelah hari hujan adalah keping ingatan yang menghilang lalu muncul lagi. Membawa Ren pada situasi canggung bercampur geli sendiri pada apa yang telah dilakukannya.

Jika sudah begini ... tidak bisa pura-pura biasa saja. Mau tak mau harus maju ungkapkan pada Petra kalau Ren menganggapnya lebih dari sekadar sahabat. 

Masalahnya sekarang, apa Petra merasakan hal yang sama atau tidak, Ren meragukan Petra senang karena dia terus menghindar.

Apa Petra marah? Apa Petra membencinya? Tapi, kemarin mau mengantarku. Apa aku ini tak cukup baik untuknya?

Silih berganti pikiran-pikiran menyesatkan terlahir dari bentuk ketidakpercayaan diri Ren menyeruak. Menenggelamkan suka yang kini berganti risau hati.

Jika aku membahas hal ini dengan Petra apa  hubungan kami akan menjadi berbeda?

"Ren, panas!!" pekik Dimas, terkena cipratan air panas Ren yang melamun.

Sontak semua terkejut dan membantu tangan Dimas untuk mendapatkan aliran air dari keran meredam rasa panasnya.

"Lain kali jangan melamun di pantry, Ren!" Kama mengingatkan Ren yang merasa bersalah, terus meringis dan meminta maaf pada Dimas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Private Driver Is My Ex
433      290     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
TANPA KATA
23      20     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Perjalanan yang Takkan Usai
391      316     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
IMAGINE
384      273     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Daniel : A Ruineed Soul
577      339     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
93      85     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
322      273     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Imperfect Rotation
180      159     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Marry Me
472      334     1     
Short Story
Sembilan tahun Cecil mencintai Prasta dalam diam. Bagaikan mimpi, hari ini Prasta berlutut di hadapannya untuk melamar ….
Bukan kepribadian ganda
9611      1862     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)