Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

Hari pertama UAS sudah terlambat. Terbiasa mengingatkan alarm pada otak untuk masuk jam kerja pada pukul delapan. Mendadak lupa kalau jam masuk sekolah itu pukul tujuh. Ren canggung mengenakan seragam yang dirasa kekecilan. Sebenarnya tidak—biasa saja—itu hanya perasaan Ren saja. Ada rasa kangen juga pakai OSIS lagi. Tapi kenapa cermin memantulkan wajah Ren yang terlihat culun—sekali lagi itu pendapat Ren saja.

Meliuk masuk gerbang utama, laju motor Ren langsung disambut suara gending jawa yang berasal dari pendopo tari. Hmm, suara gamelan yang kurindukan, batin Ren. Sekolah seni rupa memang diapit oleh sekolah seni musik dan sekolah karawitan yang biasanya disebut dengan sekolah tari saja.

Roda motor mengitari lapangan berumput, tempat biasa Ren tidur-tiduran di bawah pohon besar yang ada di tengah lapangan tersebut. Yeah, lapangan itu tidak pernah menjadi lapangan seutuhnya. Terlalu rimbun untuk disebut sebagai lapangan tapi terlalu luas bila disebut taman. Enaknya kalau upacara tidak kepanasan. Pelajaran olah raga di tempat itu juga sekadarnya saja, pemanasan, lempar tangkap bola dan sesuatu yang ringan.

“Oh, gawat!! Pintu samping sudah tertutup!” Ren berbicara sendiri. Dua satpam berjaga di pintu yang telah digembok. Ren melirik jam tangannya, huh terlambat satu jam! keluhnya dalam hati.

“Stop, Dek! Silakan lewat lobi, laporan BK dulu, ya!” ujar Pak satpam galak.

Mata Ren melotot, Dek? Siapa Dek? Ini satpam baru apa gimana kok nggak ngenalin. Seketika Ren kurang respek dengan satpam baru yang seolah menganggapnya anak kelas sepuluh karena melihat tinggi badannya.

“Pak Atmo mana Pak?” tanya Ren menanyakan salah satu satpam yang dua tahun ini mau diajak CS-an. Satpam baru menggeleng. Kelihatan sekali mengira Ren SKSD—sok kenal sok dekat.

“Sudah diganti sama saya!” serunya masih bernada tinggi. Terasa sekali ketidaksukaan satpam baru ketika Ren membahas Pak Atmo. Satpam satunya lagi masih muda, Ren juga tak akrab dengannya. Ren berbalik menggerutu, mau tidak mau, suka tidak suka menuju lobi untuk menemui BK, meminta surat keterlambatan. Huh, lagian UAS gini ngapain sih pintu samping digembok segala. Membayangkan pintu besi berterali yang digembok satpam baru membuat hati Ren kesal. Coba kalau sama Pak Atmo pasti mengutamakan siswa untuk melakukan ujian terlebih dahulu.

***

Terlambat mengikuti ujian di jam pertama, ditambah harus mengantre mengambil surat keterlambatan—ternyata ada banyak siswa terlambat lainnya—membuat Ren harus mengulang ujian jam pertama waktu remedi. Tidak ada toleransi dari guru bidang study walaupun kelas sebelas sedang terhitung sebagai siswa praktik kerja lapangan alias magang.

Bu Neena yang lekas ditemui Ren juga tak bisa menolong walaupun Ren sudah merengek seperti bocah ingin gula-gula.

Masygul ... berjalan menyusuri lorong kelas. Melewati kelas lukis dan kriya. Membawa serta surat keterangan terlambat. Pameran lorong sudah lama berlalu, jangan harap ada lukisan yang tergantung di dinding menjadi obat pelipur lara bagi ‘seorang Ren Dewandaru’.

“Ren!” panggilan dari arah kelas lukis. Seseorang yang sedang buang sampah kertas menyapanya. Malas Ren menengok ... orang itu Foya.

“Pagi-pagi sudah cemberut aja, Ren” sapa Foya menghampiri.

“Malas!! Nggak boleh ikut ujian!” ujar Ren mengomel.

“Yee ...itu sih karena kamu telat ‘kan Ren?” kata Foya, “yang lewat lorong sini pasti dari ruang BK, apalagi kalau bukan ambil surat terlambat.”

Ren cengengesan tidak membantah.

“Eh, selamat ya buat Kama dan Jaya,” ucap Foya membingungkan Ren. Foya menepuk bahu Ren kemudian berlalu pergi.

Tidak mengerti apa yang dimaksud Foya, Ren meneruskan langkah kakinya menuju kelas animasi.

Di kelas, ujian pertama telah berakhir. Kertas-kertas ujian telah dikumpulkan. Petra yang membawa tumpukan kertas meliriknya sinis. Menggantikan Ren sebagai ketua kelas, seharusnya Ren yang membawa tumpukan ini. Petra mendengus kesal pada Ren, padahal sudah diingatkan berkali-kali semalam. Jangan marathon anime selama ujian—tapi Ren tak mau dengar. Sekarang pun Ren membiarkan Petra seorang diri ke ruang guru.

Perhatian Ren terlalu fokus pada teman-temannya yang mengerubungi Kama dan Jaya. Dua kribo tertawa dan Galang ada di antaranya.

“Eh, apa ini?” tanya Ren penasaran.

Mereka yang melihat Ren kompak meneriaki Huuuu karena Ren terlambat. Tak pedulikan respons teman yang melihat kedatangannya, Ren terus nyerocos, “Kama, Jaya ulang tahun?”

Pluuk ....

Sebuah gulungan kertas menimpuk kepala Ren. Pelakunya Galang, menyeringai tertawa padanya.

“Kama dan Jaya baru menang kompetisi, 3D game art!” ujar Galang ikut bangga pada kemenangan si kembar.

“Wuidih, hebat!!” seru Ren takjub. Kama dan Jaya terkekeh senang.

Selanjutnya isi pembicaraan mereka mengenai keberhasilan Kama dan Jaya mewakili sekolah dalam kompetisi 3D game art tersebut. Terlebih bagi Ren yang sebelumnya sempat tidak saling mengobrol dengan si kembar— terutama Kama—baru tahu kalau mereka mengikuti kompetisi dengan Kama juara satu sedangkan Jaya juara dua.

“Hebat. Sih! Di sela waktu magang masih mewakili sekolah!” seru Chiya heboh.

Lainnya jadi ikut heboh dan terus mengelu-elukan Kama dan Jaya.

***

Satu, dua gorengan beserta nasi bungkus isi suwiran ayam pedas, sudah habis dilahap Ren. Bubar sekolah untunglah kantin masih ada banyak pilihan makanan, telanjur menyediakan banyak tak disangka banyak siswa yang langsung pulang usai ujian. Waktu UAS memang lebih cepat pulang dari biasanya.

“Tadi pagi eggak sarapan, Ren??” tanya Galang heran lihat Ren kembali terlihat rakus mengunyah makanan—sudah lama Galang tak melihat Ren begitu.

Ren Cuma menggeleng, diteguknya es nutrisari jeruk nipis hinga tandas.

Sementara di lapangan basket yang terlihat dari kantin sekolah, Petra dan si kembar sedang memainkan bola basket.

“Petra ikut klub basket?” tanya Galang pada Ren, dagunya mengarah menunjuk Petra di lapangan.

“Enggak mau dia! Suka-suka aja mainnya!” kata Ren sok tahu. Iya, sok tahu karena Ren sendiri tak tahu persis kegiatan Petra. Lebih banyak Petra yang mendengarkan keluh kesah Ren, sedangkan bagi Ren ... Petra tetap misterius.

“Gimana kabar studio? Mas Defa dan yang lain?” tanya Galang selanjutnya.

Ren menghentikan acara ngemil berikutnya dan serius menatap Galang. Lantas mengutarakan semua yang dirasa kurang diceritakan dalam chat pribadi. Chat grup Kainga sementara ini hanya memberikan kalimat positif dan mendengarkan curahan hati anggotanya. Ren sendiri justru tidak mengeluhkan apa pun di sana. Alasannya, karena member saat ini terus bertambah jumlahnya. Namun, dari orang-orang dalam Kainga, tidak semua orang ... Ren dapat merasakan chemistry-nya.

Itulah kegundahan Ren. Semua berawal dari keributan dengan Kama yang berujung menerima siapa saja yang ingin gabung. Walau hati Ren sebenarnya tetap tak setuju. Galang telah tahu seluruh rangkaian cerita yang akhirnya membuat dirinya sibuk di dalam grup untuk membangkitkan semangat teman-teman hopeless seperti dirinya dulu. Kesibukan magang di tempat sablon kaus merk “Kaos” juga menghambat pertemuan dengan Ren, Petra dan teman lainnya. Belum lagi Galang masih dengan waspada mengawasi ibunya jikalau kumat lagi anxiety-nya. Galang benar-benar tak mau meninggalkan ibunya sendirian malam-malam. Terkecuali ada bibi— sepupu ibunya—berkunjung dan menginap di rumah.

Galang mengira semua berjalan normal. Dalam grup Kainga Ren tampak antusias, membuka tangan dan welcome pada siapa pun yang mengisahkan perihal diri tengah mengalami kebingungan masa remaja. Semua yang terlibat Kainga pun memberikan respons positif, dampak berbicara dan saling support dengan yang mengalami kebingungan serupa, buat mereka berani melangkah keluar dari zona nyaman. Menggali potensi diri mereka lebih baik lagi. Ternyata Ren menyikapi berbeda, di satu sisi Ren senang membantu kawan bertumbuh, di sisi lain Ren gelisah karena merasa tertinggal. Dan itu baru diungkapkan sekarang.

Seperti halnya Kama dan Jaya, Galang pun mengikuti banyak kompetisi, salah satunya ilustrasi komik dan berhasil juara. Belum ada yang tahu karena memang bukan mewakili sekolah. Gayanya yang tak suka pamer pencapaian di media sosial bukannya bermaksud tidak menghargai pembuat event. Hanya saja Galang yang introvert terlalu malu bila teman-temannya tahu dirinya berprestasi. Tidak biasa dipuji atau dielu-elukan seperti Kama dan Jaya tadi. Tapi kini, Galang mendadak takut Ren marah jika tahu dari orang lain.

“Ren, aku ... menang kompetisi komik,” kata Galang ragu.

Ragu apa ini boleh dikatakannya atau tidak, ragu apa Ren senang atau justru tambah berkecil hati.

“Oh, ya? Selamat kalau begitu,” ucap Ren tulus. Galang jadi lega. Ren banyak menanyakan komik yang Galang buat. Bahkan Ren orang pertama—selain pembuat event tentunya—yang melihat alur cerita komik Galang.

Percakapan mereka terhenti, pendengaran Ren menagkap hal menarik minatnya. Ini soal Pak Atmo. Bu kantin bilang Pak Atmo terluka kakinya dua bulan lalu. Hingga sekarang sulit berjalan.

“Memang sakit apa, Bu?” tanya Ren kepo.

Bertepatan obrolan Ren dan bu kantin, Petra dan kembar datang memesan minuman. Peluh membasahi kening Petra. Bau keringatnya bercampur wangi bunga gardenia menyebar menyeruak masuk pada indra penciuman Ren. Sedikit terpesona menatap Petra, Ren kembali memfokuskan perhatian pada bu kantin.

“Katanya sih, kaki Pak Atmo terkena mata gerinda saat memotong kayu!”

Ucapan bu kantin membuat anak-anak yang mendengar obrolan tersebut bergidik ngeri. Sementara tangan bu kantin sibuk mengaduk es, membuat pesanan Petra,

“Terus, gimana kondisi Pak Atmo sekarang, Bu?” tanya Ren cemas. Bagi Ren, Pak Atmo orang baik yang sering membantunya. Bukan hanya menasihati Ren agar tidak terlambat lalu membuka pintu samping, tapi juga yang menemukan Ren di jam sepuluh malam saat Ren ketiduran di lab komputer usai mengerjakan 3D. Memang banyak sekali tingkah Ren di sekolah yang membuat Pak Atmo geleng-geleng kepala.

“Sudah dioperasi kakinya, Cuma ya itu, sudah pensiun jadi satpam,” jawab bu kantin.

Kali ini giliran Ren harus membalas kebaikan Pak Atmo kepadanya. Tangannya sibuk mengetik. Menanyakan rumah Pak Atmo kepada bu kantin lalu mengajak teman-temannya berdiskusi. Tak berapa lama kemudian Foya dan Dimas datang menghampiri. Dimas yang telah berada di dalam grup Kainga mengajak serta Foya mantan pacarnya yang juga merupakan ketua OSIS angkatan mereka. Ren dan Foya berdiskusi dengan serius. Menggagas kunjungan ke rumah Pak Atmo dengan memberikan bantuan dana untuk membantu Pak Atmo yang pastinya memerlukan dana tidak sedikit untuk perawatan lukanya. Ren dengan Kainga-nya dan Foya bersama anggota OSIS seizin guru akan mengumpulkan iuran dari siswa-siswa.

“Ini bentuk menghargai kita pada Pak Atmo,” ceramah awal Ren pada siapa pun yang ditemui di kantin, lapangan, perpustakaan sekolah, dll.

Semua berjalan cepat. Hari ke-2 UAS, Ren tidak datang terlambat. Begitupun hari ke-3 dan seterusnya. Semangat bangun pagi memenuhi janjinya pada diri sendiri agar bisa membantu Pak Atmo. Harus datang pagi biar bisa bersama Foya menyapa murid-murid yang baru datang. Ini ide Foya, dia kurang setuju jika meminta bantuan teman-teman ... sekadar menyodorkan kaleng kosong untuk diisi sumbangan di tiap kelas. Terlebih Pak Atmo kini bukan lagi bagian dari pegawai sekolah. Kecelakaan itu sendiri terjadi di rumahnya yang sedang dibangun. Maka dari itu Foya ingin bantuan yang diberikan oleh siswa benar-benar dikarenakan empati atau dorongan kemanusiaan pada Pak Atmo. Didahului dengan Foya—yang banyak disegani siswa lain—bertanya, “Eh, kamu tahu Pak Atmo ‘kan ...?”

Selanjutnya Ren yang akan mneruskan kalimat tersebut. Mereka membagi tugas cukup baik. Termasuk mengoordinasi pergerakan teman lain—terutama teman yang tergabung dalam Kainga. Foya pun akhirnya masuk ke dalam grup Kainga. Bermula dari banyak bertanya tentang grup Kainga pada Dimas dan Chiya, lama-lama jadi tertarik ... lalu mengajukan diri pada Ren.

“Kalau keluargaku tidak berantakan, kehidupan sekolahku menyenangkan, percintaan pun berakhir baik-baik saja, apa aku masih boleh mencari “rumahku” di Kainga?” tanya Foya dengan mata berkedip. Buat Ren terkesiap, orang seperti Foya mau percaya Kainga. Kedipan Foya berakhir dengan anggukan Ren yang menahan senyum geli.

Pada hari ke enam, tepatnya hari sabtu. Semua anak bersiap menuju rumah Pak Atmo. Vanila dan Chiya berboncengan dengan Kama dan Jaya. Kama meminjam motor Ren. Foya mendesak Ren ikut bersamanya, tapi tatapan tajam Dimas mengurungkan niat Ren. Memang sebetulnya lebih praktis jika Ren berdua dengan Foya berboncengan. Bisa memimpin sekaligus penunjuk jalan.

Bagaimanapun penggalangan dana ini atas prakarsa keduanya.

“Enggak, Foya ... kamu aja mimpin di depan sama motor Galang, dia juga tahu kok lokasi rumah Pak Atmo!” seru Ren sembari berjalan mendekati Petra.

Diketuknya helm Petra dan memberi kode akan naik ke motor Petra. Gadis itu terkejut, tidak bicara telunjuknya menunjuk Foya bingung. Ren menggeleng, “Aku maunya sama kamu,” ucapnya keras-keras. Pokoknya seluruh dunia harus tahu kalau Ren maunya Petra, teman-teman lainnya tertawa dan menggoda. “Ren maunya sama Ayang ...!” Ren cuek saja. Petra menggeber motor CB-100 modifikasinya. Dengan gaya cengengesan yang ditunjukkan pada teman lain, Ren naik membonceng dan melingkarkan tangan ke pinggang Petra. Sorakan kawan mengiringi keduanya menyambut serbuan deru angin. Perjalanan yang lebih dari 30 menit itu terasa singkat bagi Ren. Sepanjang jalan hatinya berdebar tak keruan. Diliriknya berkali-kali respons Petra dari kaca spion. Wajah Petra tertutup helm SNI, hanya beberapa kali bersirobok pandang.

Tiba di rumah Pak Atmo, kondisi bangunan rumah setengah jadi menyambut kedatangan murid-murid yang tidak mengenakan seragam karena ini sabtu.

Pak Atmo berjalan tertatih, kebingungan melihat semuanya dan akhirnya pria beruban itu berteriak memanggil Ren yang baru datang. Setelah semuanya duduk beralas tikar dan Ren mengutarakan maksud tujuan kedatangannya untuk memberikan sedikit bantuan darI teman-teman sekolah pecahlah tangis Pak Atmo.

Foya selaku ketua OSIS yang memberikan amplop cokelat berisi uang pada Pak Atmo. Sementara Ren mewakili teman lainnya meminta maaf jika selama ini telah banyak merepotkan Pak Atmo. Tak lupa berterima kasih pada jasa Pak Atmo menjaga pintu gerbang.

Pak Atmo mengangguk-angguk terharu. Tak menyangka murid bengal yang dijaganya masih peduli dan ingat tentang dirinya. Pak Atmo sadar diri tidak dapat lagi sigap dan sehat sebagai satpam, karena itu ia mengundurkan diri.

Menikmati kue bolu dan teh hangat yang disajikan istri Pak Atmo, mereka semua disuguhkan cerita Pak Atmo ketika menolong Ren yang terkunci di lab animasi—ruangan komputer. Hampir semua tergelak mendengar bahwa Ren ditemukan dalam kondisi menangis di jam sepuluh malam.

“Wah, Ren ... dulu itu ... kalau temanmu ini tidak bersikeras ngecek ke lab komputer, kamu terkunci sampai pagi loh!” ujar Pak Atmo sembari menepuk bahu Petra.

Sorak sorai teman-teman kembali meledek Ren dan Petra. Muka Ren cengengesan, merah menahan malu. Menyibak poninya berkali-kali, karena hanya itu yang bisa dilakukannya. Diliriknya Petra yang masih digoda teman-teman, tapi tetap fokus menikmati kue bolu dan teh hangatnya.

Ren membatin sendiri, Ren ingin semua orang tahu dia menyukai Petra, tapi apa Petra begitu ... wajah Petra tampak datar saja.

***

Minggu berikutnya masih diisi ujian. Semua selesai di hari ke sepuluh, kecuali Ren masih harus menunggu remedial untuk MAPEL ujian pertama.

“Kutemani kamu, Ren. Sepertinya aku juga harus memperbaiki nilai Matematika. Lagian anak seni ngapain sih harus tetap belajar Matematika,” keluh Dimas. Akhir-akhir ini jadi dekat dengan Ren setelah tahu Ren menyukai Petra. Selentingan kabar yang beredar, Foya pernah naksir Ren. Rumor itu baru didengar Ren saat Chiya menceritakannya minggu lalu.

“Benar, ya? Kamu temani ... kita bolos magang berdua,” ujar Ren terkekeh. Opininya terhadap Dimas mulai berubah. Dulu, Ren terbawa suasana—karena Dimas menggantikan Galang—hingga tak mampu objektif menilai hasil kerja Dimas.

Dimas mengangguk, melakukan toss dengan Ren.

“Ren, kamu telepon aku?” tanya Petra yang muncul di pintu masuk.

“Iya, barusan. Motorku dibawa Jaya,” ujar Ren menghampiri Petra. Ditutupnya hoodie cap Petra, membalik badan Petra dan mendorong pelan keluar kelas. Tak lupa mengerlingkan mata pada Dimas yang masih di dalam kelas.

Bye!” seru Ren berpamitan.

“Ren era genit dimulai,” gumam Dimas terkekeh.

***

Kali ini Ren yang berada di depan. Tidak ngebut juga tidak pelan. Tangan Petra hanya mencengkeram sedikit ujung jaket Ren. Angin masih menerbangkan ke sana kemari rambut berantakan mereka.

Tes ... tes ....

Langit gelap meluncurkan bala tentara airnya. Petra menggeleng ketika Ren menanyakan jas hujan. Secepat kilat Ren membuat keputusan. Motor Petra adalah motor tua, tak baik jika menerjang genangan air. Sebab hujan yang tiba-tiba saja berubah sangat deras telah menciptakan banyak genangan air di jalan berlubang.

Mereka berdua menunggu hujan reda di pinggir toko tutup. Petra duduk di atas motor sedangkan Ren tengah mengaduk-aduk isi ransel. Untungnya tas Ren , tas Eiger waterproof. Isinya kering, selamat dari terjangan badai yang kini pun masih berlangsung.

“Petra, pakai!” perintah Ren langsung saja berdiri memakaikan hoodie kering miliknya untuk Petra. Lantas Petra menciumi hoodie kering itu karena kedinginan.

Hmm, bau Ren,” kata Petra membuat darah Ren berdesir. Guncangan luar biasa hanya karena sebuah kalimat manis dari orang yang manis. Batin Ren bersorak, tiada hentinya mensyukuri hujan lebat ini.

Beberapa menit kemudian mereka berdua mengunyah bersama, sebungkus cokelat beng-beng dibagi dua. Masih ada satu kotak susu ultra cokelat yang juga diminum berdua.

Sorry , ya ... bukan susu pisang,” kata Ren menyodorkan sedotan kotak susu ke mulut Petra, kedua tangan Ren memegangi kotak susunya.

“Ransel kamu, kantung Doraemon, ya Ren??” seloroh Petra membeliakkan kedua mata.

“Masih ada permen karet, mau?” ucap Ren menawarkan.

Petra mengangguk, tertawa berdua.

Gemuruh petir sesekali terdengar, menambahkan suasana getir, sendu, sedih yang tercermin di benak Petra. Namun, kali ini tidak sepenuhnya getir. Gelisahnya hilang, berganti nuansa hangat yang tidak Petra mengerti sebelumnya.

Aroma tubuh Ren melekat pada hoodie yang memeluk tubuhnya. Denyaran halus merambati dada. Memberi setitik cahaya di ruang hati yang lama gelap. Apakah ini? Petra juga tak tahu jawabannya.

“Kita mau jadi apa ya?”

Tiba-tiba Ren bertanya sambil memandangi hujan.

“Semua orang di sekelilingku maju dan aku berhenti di tempat,” kata Ren lebih kepada mencurahkan isi hati.

Petra mendengarkan saja. Barangkali Ren terbawa suasana ingin curhat.

“Galang dan si kembar berhasil menjuarai kompetisi, Vanila berhasil mengembangkan merchant K-pop karya sendiri, sedangkan Chiya yang manja saja—menurut Bu Neena— murid nilai terbaik di kelas animasi, lalu kamu ... gadis yang serba bisa, kamu tangguh di segala situasi,” ucap Ren, duduk terpekur menatap sepatu bermerknya—bekas Bang Aldo. Mereka berdua saat ini duduk di atas jok motor CB, menghadap rinai hujan yang menari-nari bersama angin.

“Kalau kamu berpikir hidupmu stagnan, itu tidak benar, Ren,” kata Petra. Memperhatikan poni Ren menjuntai basah sampai ke hidung. Ren menoleh dan menatap tajam. Beberapa detik saling tatap begitu. Jangan harap ada yang tersipu malu, keduanya memantau perasaan satu sama lain. Bersikap normal kendati gebukan drum bertalu di dada.

“Aku menaruh hormat kepadamu, karena kamu orang yang sangat menghargai orang lain,” ucap Petra tersenyum.

“Siap graakkk!!!” seru Ren bercanda.

“Bukan begitu Ren!” ujar Petra, timpuk kepala Ren dengan bungkus permen karet.

“Respek terhadap orang lain tanpa memandang latar belakangnya, itu tidak semua orang bisa. Itu sih yang buat aku salut ke kamu,” kata Petra

Denyar-denyar halus masih menggigiti sel-sel darahnya, apalagi ketika memuji Ren di depan orangnya langsung.

Ren tidak memalingkan muka dari Petra, udara sejuk tidak dirasa pada kulitnya. Ren tidak tahu benar bagaimana cara menghargai orang lain, tapi bisa seketika hilang respek ketika merasa direndahkan.

“Ketika berinisiatif memberi bantuan pada Pak Atmo, wajahmu berseri Ren, bersemangat, bergairah. Itu tandanya, kamu senang melakukannya. Menolong orang lain!”

“Tapi ... diriku sendiri tidak tertolong,” gumam Ren.

“Kenapa?? Dengan situasimu sekarang, bisa membantu hidup orang lain itu sudah luar biasa, Ren!”

Ren terdiam. Biar kata Petra mengatakan kebaikan hati Ren menolong Pak Atmo, Ren merasa itu hal wajar yang bisa dilakukan siapa saja.

Petra tidak menangkap sinyal Ren setuju dengan ucapannya, padahal bagi Petra tindakan Ren pada Galang yang resign dari studio, lalu membantu Vanila dan menyediakan wadah bagi teman-teman yang sedang mencari jati diri ... merupakan Ren dengan level berbeda dari Ren yang selalu mudah tersinggung gara-gara tinggi badan.

“Kamu sendiri, lulus sekolah nanti ... mau ke mana?” tanya Ren pada Petra. Tatap mata Ren tertuju pada gerimis yang tak kunjung menghilang.

Hmm, sudah tak deras hujannya, tapi masih belum usai juga gerimisnya,” gumam Petra.

Tidak menjawab pertanyaan Ren, tidak mau. Permen karet yang belum lama dikunyah terasa pahit di mulutnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Je te Vois
805      538     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
JUST RIGHT
115      98     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
417      315     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Matahari untuk Kita
1034      543     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
ATHALEA
1403      629     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Ratu Blunder
63      50     2     
Humor
Lala bercita-cita menjadi influencer kecantikan terkenal. Namun, segalanya selalu berjalan tidak mulus. Videonya dipenuhi insiden konyol yang di luar dugaan malah mendulang ketenaran-membuatnya dijuluki "Ratu Blunder." Kini ia harus memilih: terus gagal mengejar mimpinya... atau menerima kenyataan bahwa dirinya adalah meme berjalan?
Praha
309      190     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Sisi Lain Tentang Cinta
788      442     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Stars Apart
638      446     2     
Romance
James Helen, 23, struggling with student loans Dakota Grace, 22, struggling with living...forever As fates intertwine,drama ensues, heartbreak and chaos are bound to follow
P.E.R.M.A.T.A
1910      950     2     
Romance
P.E.R.M.A.T.A ( pertemuan yang hanya semata ) Tulisan ini menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan cinta sejatinya namun ketika ia sedang dalam kebahagiaan kekasihnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya dan meninggalkan semua kenangan yang dia dan wanita itu pernah ukir bersama salah satunya buku ini .