“Memang apa salahnya kalau Ren mengikuti perintah otaknya? Bukankah kita semua begitu?” tanya Kama tak mengerti. Cowok-cowok dari tim tujuh sedang mengelilingi Ren yang tengah menyesali kebodohannya.
“Itu berbeda, yang Ren alami pikiran intrusif. Lebih ke hal negatif yang terlintas secara tiba-tiba dan ia melakukannya.” Dimas mencoba menjelaskan.
“Memang apa sih yang kamu lakukan, Ren?” Jaya penasaran.
Ren terus mendesah tak mau ingat. Parahnya lagi, sejak kelakuan konyolnya dan hari berikutnya tak ada percakapan minta maafnya pada Petra. Sampai saat ini, Ren belum juga berani. Bahkan kikuk dan canggung ketika berpapasan.
Ingatan Ren kembali pada hari sabtu lalu, ketika Petra telah mengantarnya sampai depan rumah. Terkesima menatap Petra yang melepas helm, rambut berantakannya yang basah menurut Ren amat cantik. Kulit selembut kapas yang buat Ren ingin menyentuhnya, tangannya terulur tak bisa diajak kompromi. Menyentuh rambut berantakan Petra, menyisir lembut dengan jemari Ren yang dingin, sedikit menjabak mencengkeram dengan kedua tangan, lalu bibir Ren mendekat berbisik di telinga Petra,-
Love you, my Mikasa ....
“Hanya itu?” potong Jaya ketika Ren memceritakan kisah memalukannya.
“Ya, hanya itu ... memang apa yang kau harapkan dari remaja tujuh belas tahun, heh?!” timpal Ren sewot. Ini saja rasanya jantung sudah mau copot saking malunya. Belum ada kalimat pembuka, menyatakan perasaan, lantas tiba-tiba melakukan adegan bak adegan dalam anime. Mikasa dan Eren dalam AOT saja tak ada adegan seperti itu.
My Mikasa ... akh, entah apa yang aku pikirkan.
“My Mikasa ... ha-ha-ha ...!” Kama dan Jaya menertawakan Ren.
Ren menggerutu dan Dimas mencoba mendiamkan si kembar, inilah mengapa Ren memutuskan menghubungi Dimas tadi malam. Bagaimanapun Dimas yang pernah berpacaran di antara mereka semua. Menurut Dimas, menjalin hubungan ternyata tak semudah itu. Ren pun merasakan sendiri, padahal jadian saja belum.
“Bukankah urutannya, harusnya Ren menanyakan dulu bagaimana perasaan Petra padanya? kata Jaya sok tahu.
“Tentu saja, sebelumnya harus menyatakan perasaan Ren terlebih dahulu!” ucap Kama.
“Tapi aku belum tahu bagaimana Petra, apa dia menyukaiku atau tidak,” keluh Ren.
“Apa kurang jelas, Ren? Kita semua di sini saja tahu!” ujar Kama melotot.
“Iya, Chiya saja tahu,” gumam Jaya.
“Chiya? Kenapa Chiya, apa hubungannya?” tanya Ren tak mengerti.
“Dia menyukaimu!” seloroh Jaya, tak peduli Kama dan Dimas memberi kode untuk berhenti bicara.
Ren tergagap, “A-apa ... Chiya ... sejak kapan?”
Jaya mendengus dan memilah apa yang akan dikatakannya, “Itu sudah berlalu, Ren. Kamu tidak perlu memikirkan lagi.”
Ingatan Ren jadi campur-campur, antara bersama Petra dan juga bersama Chiya, tak menyangka Chiya menaruh perasaan serius untuknya.
“Bukan cuma Chiya, Foya juga,” gumam Dimas lesu.
“Hah, apa?” Kali ini Kama yang terperanjat kaget. Dia belum mendengar rumor yang beredar.
Dimas mengangguk-anggukan kepala. Ren menepuk-nepuk pipinya salah tingkah.
“Tapi yang kamu mau Petra, ‘kan Ren??” Kama berusaha meyakinkan Ren untuk fokus pada Petra saja. Bisa gawat kalau semua gadis di sekitar Ren jatuh hati pada Ren. Bisa-bisa Vanila juga. Kama tidak mau itu terjadi.
Cowok-cowok itu menggunakan waktu istirahatnya di tempat magang mendiskusikan bagaimana sebaiknya Ren mendekati Petra. Pertama tentunya meminta maaf setelah menyebabkan kekacauan pikiran pada diri Petra selama beberapa hari. Melewati hari minggu, senin, lalu selasa malam Ren yang baru ingat karena tindakannya itu adalah sebuah intrusive thought. Petra bisa saja menganggap Ren memainkan perasaannya. Berbisik mengucap love you jelas bukan ucapan pada sahabat. Terlebih, My Mikasa yang entah apa maksudnya. Bukankah Mikasa selalu melindungi Eren, dan kisah cinta berakhir tatkala Mikasa membunuh cintanya demi dunia, sedangkan Eren membunuh dunia demi cintanya.
“Kamu harus menjelaskan itu semua pada Petra, dan memulai percakapan mengenai perasaan kalian satu sama lain, Ren!” cetus Dimas memberi solusi.
“Apa tindakanku berbisik love you di telinganya termasuk kategori mengungkapkan perasaan?” tanya Ren pada Dimas.
“Kupikir itu lebih kepada menuruti ide gila isi pikiranmu, Ren,” jawab Dimas.
“Yeah ...!” Ren menidurkan kepalanya di atas meja warmindo. Semuanya setuju kalau Ren menjelaskan segera mungkin kesalahpahaman ini pada Petra.
***
Canggung ... kikuk sekali. Ren terus mencoba. Tiga pasang mata cowok tim tujuh menyemangati. Melotot jika Ren bergerak lambat merapat pada Petra. Harus diikuti ke mana pun, itu kata Dimas. Mungkin begitulah dulu saat dia mendapatkan hati Foya. Berkali-kali Ren berusaha mendekat, baik di pantry maupun ke dalam ruang dingin. Sekeliling mereka tahu, gerak-gerik Ren yang tak biasa. Hanya Petra yang tampak cuek dan dingin.
Mas Defa seolah mewakili semesta memberikan kesempatan bagi Ren. Petra asyik menggarap coloring, tadinya Ren ada tugas lain tetapi Mas Defa menyuruhnya berbagi tugas dengan Petra—Ren yang melakukan finishing. Kesempatan yang tidak disia-siakan Ren.
“Petra, aku sudah ingat,” bisik Ren, masih di ruang dingin.
“Ingat apa, Ren?” Mata Petra tetap fokus pada layar laptop.
Ren celingak-celinguk lalu memberanikan diri membisikkan, “My Mikasa.”
Berhasil, Petra menghentikan gerakan pada pen tabletnya. Mengamati raut muka Petra apakah memberikan reaksi yang diharapkan ... Ren kembali menelan kecewa.
“Itu kita bicarakan nanti, Ren!” tukas Petra.
***
Lambaian dedaunan mengajak Ren menikmati semilir angin. Membawa lamunan Ren lari pada Ren kecil yang berlarian di bawah gemeresik daun berguguran. Ren tidak sendiri ... ada tangan wanita lembut menyentuh jemari Ren yang kecil. Wanita itu ... wanita yang sangat Ren rindukan. Sosok yang tak mungkin kembali lagi dalam dunia Ren yang telah berisi ibu tiri. Lama Ren merasa duduk di sudut ruang sempit Keperihan hatinya, menatap kesal pada istana baru yang dibangun sang ayah dengan istri baru yang membawa anaknya. Namun, Ren hanya ditempatkan sebagai objek pemanis yang ditemui kala sang ayah membutuhkannya.
Sentuhan lembut itu baru Ren rasakan lagi setelah Petra menyentuh pipinya yang terluka karena ditampar Ayah. Bukan sekadar menyapu luka di pipi dengan sapu tangan merah jambu miliknya, Petra juga menyapu sedikit demi sedikit luka di hati Ren yang sulit sembuhnya. Petra adalah alasan Ren menginginkan Kainga. Agar Petra tidak pernah merasa kesepian. Supaya Petra tidak merasa sendirian. Kelak jika terpaksa Ren pergi dari kehidupan Petra, Ren ingin Kainga selalu menghubungkan mereka. Atau jika tidak, Ren persembahkan Kainga itu untuk Petra.
Hmm, sebuah lamunan yang sangat visioner. Melampaui batas waktu. Bahkan kini hubungan itu bergerak maju saja tidak. Ren jadi malu sendiri melamunkan terlalu jauh tapi kini mulut saja rasanya terkunci rapat. Dari tadi mengaduk teh celup sampai kantung teh itu buyar. Pantry saat ini kosong. Merupakan waktu tepat mereka berdua duduk bicara. Entah pukul berapa saat ini, yang jelas studio sudah cukup sepi. Menyisakan mereka berdua di meja kecil di sudut dinding pantry.
Suara ketel sedikit mengganggu. Ren membiarkan dulu seluruh aktivitas Petra memasukkan air mendidih ke dalam termos. Tidak ada yang menyuruhnya, itu inisiatif Petra untuk membantu pegawai lembur di malam hari.
Ren mudah terganggu dengan suara-suara tidak penting yang memasuki gendang telinganya. Sama halnya dengan bisikan tidak penting yang ia ikuti.
“Jadi ... menurutmu itu pikiran intrusif Ren?” tanya Petra mengembalikan fokus Ren.
Ren tidak membantah atau mengiyakan, dia sendiri tak mengapa mendapat dorongan sedemikian kuat.
“My Mikasa itu suatu kesalahan?” tanya Petra lagi.
“Bukan begitu, kalau ada gadis sebagai Mikasa bagiku kupastikan itu kamu!” lontar Ren tegas. Ketegasan yang terasa di hati Petra dan berhasil membuat hati Petra tersentuh.
***
Perjalanan malam tanpa gerimis. Dua remaja kembali melaju menantang angin malam. Tangan Petra melingkar di pinggang Ren. Bibirnya tersenyum, my Mikasa memang untuknya. Setelah hari hujan malam itu, sebenarnya Petra menangkap sinyal suka dari Ren. Petra tersenyum mengangguk tapi Ren tidak ingat. Entah pikiran Ren malam itu berisik oleh apa, tetapi Ren tidak peka saat Petra membalas kalimat love you dengan anggukan.
Menit hingga jam berikutnya, Petra menunggu dering telepon dari Ren, barangkali Ren akan menjelaskan lebih rinci maksud dari ucapannya. Tetapi tidak, bahkan dalam grup Kainga pun Ren asyik membahas hal lain. Petra berusaha menempatkan dirinya berprasangka baik. Namun, obrolan Foya dan Ren di dalam grup cukup mengganggu positif thinking-nya. Petra tahu Foya naksir Ren sejak Foya masih jadi pacar Dimas—Chiya yang memberitahunya. Alasan memutuskan Dimas juga karena Foya merasa telah bersikap tak adil pada Dimas—menyukai kawan Dimas sendiri. Petra sudah merasa lega ketika Ren dengan berani menolak berboncengan dengan Foya dan memilihnya. Tindakan Ren tanpa disadari meredam semua rumor beredar dan menenangkan hati Dimas. My Mikasa ... menambah kepercayaan diri Petra hingga seratus persen. Lalu mengapa pada hari-hari berikutnya Ren bersikap seolah tak terjadi sesuatu di antara mereka? Apakah Ren hanya memanfaatkan Petra?
“Sekarang semua sudah jelas ‘kan Petra? Jadi ... kita ini apa?” tanya Ren menembak.
“Kamu my Eren,” balas Petra sembari mengerlingkan mata. Menggeber, melajukan motor kencang menjauhi pagar rumah Ren beserta Ren yang mematung memegangi helm dengan tatapan menyipit menyaksikan punggung Petra menjauh.
***
Berita ini secepatnya Ren bagikan ke teman-teman cowok termasuk Galang. Mereka semua ikut senang dan menanyakan apa perlu mereka bahas di Kainga, tapi Ren berkata tidak. Tak mau Petra merasa malu. Juga tak enak hati pada Chiya dan Foya.
“Kamu terlalu memikirkan orang lain, Ren!” ujar Galang melalui voice note.
Disusul voice note dari teman lain yang juga berkata sama. Menurut mereka seharusnya Ren tidak memedulikan respons orang lain dan fokus pada hubungannya dengan Petra.
Setelah keesokan paginya bertemu Dimas, Kama dan Jaya di tempat magang. Mereka berempat cekikikan. Tak henti-hentinya pucuk kepala Ren diusap kasar oleh mereka.
“Tapi ... apa maksudnya my Eren?” tanya Ren yang memancing reaksi kesal dari teman lain.
“Reeeen, baka da yo!!!” seru mereka serempak menirukan tokoh anime ketika mengumpat. Lalu menimpuk kepala Ren dengan bungkus milo—mereka tengah membuat milo hangat di pantry. Bagaimana tidak kesal, sudah sejauh ini Ren masih saja tidak peka.
Bu Neena membagikan pesan, tepat dua minggu setelah UAS ...
Penerimaan rapor dan kenaikan kelas XII.
Mata Vanila berkaca-kaca, “Kita naik kelas dua belas, weh!”
“Yeah, kalau naik,” ledek Mas Defa.
“Pasti dong, Mas! Sekolah seni kita nggak mungkin nggak naik kelas!” dalih Vanila.
“Betul, sebab kalau anaknya kebangetan bolosnya langsung dikeluarin!” tambah Chiya.
“Dipersilakan ganti jurusan, atau lebih tepatnya sih ... dipersilakan cari sekolah lain saja yang lebih cocok,” ralat Petra.
“Betul, sekolah kita tegas!” tambah Chiya lagi.
“Wah iya? Hebat dong!” puji Kak Henny.
“Jadi ... kita izin tidak berangkat kerja magang saat penerimaan rapor ya, Mas?” Ren meminta izin Mas Defa.
Yang dimintai izin Cuma mengangguk. Bu Neena juga telah menginfokan hal ini. Tapi hati Mas Defa tergelitik juga melihat reaksi anak-anak magang hendak penerimaan rapor. Tegang, cemas juga gelisah. Masa-masa seperti itu ... ketika menjalani pastilah biasa saja, setengah malas karena harus mendengar ceramah guru dan orang tua perihal nilai. Namun, jika telah melewati itu semua, ada rasa kangen mengenang masa-masa itu.
Mas Defa tidak bersekolah seni saat sekolah menengah, memilih SMA biasa dan mengambil jurusan IPA. Kecintaannya pada dunia ilustrasi yang membuatnya memilih desain komunikasi visual saat kuliah. Pada akhirnya pilihan jurusan itu membawanya kepada dunia animasi. Pada saat Mas Defa remaja, belum ada jurusan animasi baik di bangku sekolah menengah juga di kampus-kampus negeri di kotanya. Karena itu dengan nada cemburu, Mas Defa juga berkali-kali mengatakan betapa beruntungnya anak-anak magang ini sudah belajar animasi sedari usia belasan tahun.
“Haduh!!!” Tiba-tiba sebuah teriakan meluncur dari bibir Mas Defa. Padahal dia sedang asyik mendengarkan celotehan anak-anak magang yang membuatnya merindukan masa-masa menerima rapor.
Semua menoleh ke sumber suara dan memergoki Ren tersenyum menyeringai dengan satu kakinya menginjak sepatu Jordan baru Mas Defa.
“Apa-apaan sih, Ren?” sontak semua bertanya.
"Gak jelas banget!" seloroh Chiya sambil melirik Petra. Seakan kode supaya Petra turun tangan mengatasi kerandoman Ren.
Petra langsung tanggap dengan apa yang terjadi. Dia permisi pada semua yang ada di situ dan menarik tangan Ren pergi.
***
“Apa-apaan sih, Ren?” tanya Petra mengomeli Ren yang dituntunnya berjalan ke luar ruangan. Sampai akhirnya mereka berdua berbicara di garasi. Ren menunduk, mencebikkan bibir. Seperti bocah kepergok mengambil cokelat di kulkas saat malam hari.
“Intrusive thought lagi?” Mata Petra membola.
“Aku terlalu senang atau bersemangat,” gumam Ren menanggapi.
Petra menarik napas. Tidak banyak yang ia ketahui soal keanehan yang Ren alami. Namun, bagi kacamata awamnya melihat itu sebagai bentuk dampak traumatis dari Ren. Mengikuti instruksi otak tanpa memikirkan dulu itu benar atau salah, gawat jika Ren tak bisa mengendalikan dirinya. Bisa saja bisikan negatif Itu makin lama makin buruk dan menyakitkan, paling parahnya bisa membahayakan jiwa Ren sendiri.
“Aku hanya penasaran, bagaimana sepatu Jordan baru, karena aku hanya mendapat Jordan bekas Bang Aldo."
"Yeah, bukan berarti kamu menginjak kaki Mas Defa Ren!”
“Aku melakukannya begitu saja Petra!” dalih Ren. Menyalahkan Rasa penasarannya yang tiba-tiba muncul, menyalahkan ayah yang tidak membelikan Jordan baru untuknya, Menyalahkan ..., menyalahkan ..., dan terus menyalahkan orang lain untuk situasi yang diterimanya.
Petra enggan berkomentar. Baginya kondisi Ren—walaupun ia mengeluh sering memakai barang bekas Bang Aldo—masih jauh lebih beruntung karena tinggal di rumah yang nyaman, kasur yang empuk, kulkas yang selalu terisi. Petra mengerti kondisi Ren di luar keinginannya. Tapi ‘kan perlu kesadaran untuk menghentikannya. Bagaimana kalau bisikan itu memerintahkannya meloncat gedung? Sungguh berbahaya. Sebab itu harus dicegah agar tak berlarut-larut. Petra menganjurkan Ren menemui psikiater tempat ibu Galang memeriksakan diri. Ren merengut dan tidak terima. Tak mau mendengarkan saran apalagi dinasihati pacar yang baru sehari jadian. Merayakan kalau mereka jadian saja tidak. Menurut Petra, buat apa buang-buang uang. Dirinya bukan orang yang terlahir kaya, berjuang untuk mendapatkan sekadar sepuluh ribu untuk sebungkus nasi padang isi telur balado.
***
Berdebat, iya ... berdebat. Belum ada 2×24 jam mereka jadian ... sudah tampak ketidakcocokkan. Ren membanting ransel di atas kasur. Petra masih misterius baginya. Sikapnya selalu menjadi kakak yang menasihati. Usianya sebaya dengan Ren, tapi kenapa pemikirannya begitu dewasa dibanding anak pada umumnya.
Ren menekan sebuah nomor, kesal bercampur putus asa memikirkan berpacaran dengan Petra yang tak sesuai ekspektasi. Boro-boro melakukan hal romantis. Kesalahan kecil yang Ren lakukan saja—menginjak kaki Mas Defa—membuat Petra menyuruhnya mendatangi psikiater atau psikolog.
“Bukankah, pikiran intrusif itu hal biasa, Dimas?” tanya Ren menelepon Dimas.
Di seberang telepon, terdengar suara dengkuran kecil.
Ren menutup telepon, gamang. Pukul tiga dini hari. Pantas saja Dimas tertidur mendengar keluh kesahnya di sambungan telepon.
Besok hari penerimaan rapor, sebaiknya memang tidur.