Tidak mudah untuk percaya pada orang lain ... sedih, kecewa ... mengikat kaki melangkah, membungkam mulut bersuara. Terjatuh lagi berdebum keras. Hanya ingin lakukan sesuai kata hati.
Terbangun di pagi buta, bermimpi Sukuna yang membunuh Gojo. Keringat dingin basahi kening Kama. Bangkit dan meninggalkan ceruk di atas kasur.
Tak biasanya terbangun di jam Batman dan Robin pulang bekerja. Apa aku sudah terlalu tua untuk bangun siang? Kembaranku masih terlelap dalam dengkuran kenyamanan. Apa hanya aku yang berbicara dengan kegelisahan? Apa hanya aku yang menua sedang dia tidak?
Bersitegang dengan Ren, menyisakan gelisah yang amat mencekik. Bersahabat dari kelas sepuluh, berkenalan saat bersama-sama mengikuti orientasi siswa baru. Galang dan Ren yang lebih dulu selalu bersama, datang menemui kembar yang sangat mencolok. Mudah sekali menjadi akrab. Menonton anime bersama di kamar Galang—alasannya mengerjakan PR. Mudah tertawa bahkan jika itu hanya menertawakan remah-remah yang tertinggal di sudut bibir mereka ketika menikmati roti di waktu istirahat.
Huft, Kama mendengus. Adakalanya rindu suasana dulu. Waktu kerja magang belum dimulai. Merindukan karakter remaja yang tidak dipaksa menjadi dewasa. Hanya Kama atau yang lain juga merasakan perbedaan? Saat ini dan beberapa bulan lalu. Begitu cepat waktu mengubah segalanya. Mungkin Jaya tidak seperti dirinya yang sibuk berpikir. Sehingga santai di segala situasi. Dasarnya Jaya sih gampang mengeluarkan unek-unek, pikir Kama. Ada untungnya juga jadi Jaya tidak menyimpan sampah di hatinya. Apa saja yang memberatkan kerja otaknya, langsung saja ia lontarkan tanpa perlu merasa pantas atau tidak pantas diutarakan.
Kama tidak mau hubungan dengan Ren rusak. Sayangnya tak ada yang memulai berbicara di antara keduanya. Membiarkan zona dingin berlarut-larut. Ren salah satu teman yang Kama kagumi. Ren yang insecure dengan tinggi badan, tetapi tidak pernah mengeluhkan ini secara terang-terangan. Ren berhasil menutupi kekurangan itu dengan seratus pesona yang ia miliki. Bahkan bagi Kama saja, Ren itu memesona. Kini Kama kehilangan pesona Ren.
Kekaguman berbalas kebohongan itu membawa Kama kecewa berat dengan Ren dan Kainga-nya. Terlempar dari rasa percaya, keterikatan yang buatnya yakin Ren tidak akan mengkhianatinya. Kenyataan mereka melakukan sesuatu secara diam-diam tanpa sepengetahuan Kama adalah sebuah tusukan menyakitkan. Lebih perih daripada melihat Vanila bercanda bersama Mas Defa.
Galang dan Ren. Keduanya teman terdekat Kama selain saudara kembarnya. Bisa-bisanya Ren tidak memilihku ke dalam Kainga? Alasannya, karena aku berasal dari keluarga cemara. Cih, tahu apa Ren soal cemara!
***
Mentari mulai merambat naik, Ren mematung di depan piring sarapan pagi kali ini. Hati gelisah, rasa khawatir menguasai. Ini pertama kali selisih paham dengan Kama berlangsung lama. Sebetulnya berselisih dengan tiga orang temannya, Kama, Chiya, Jaya ... tapi Kama yang paling terlihat marah menuduhnya sebagai pengkhianat. Sebuah kata yang Ren sangat benci “pengkhianat”. Huh, tahu apa Kama soal pengkhianat?!
Terlalu berlebihan jika tujuan Ren membentuk Kainga disebut mengkhianati Kama. Apa maunya aku harus melapor dulu kepadanya atas semua tindakan yang kulakukan? Rasa kesal yang tiba-tiba menyeruak membuat Ren kasar menaruh sendok, menciptakan denting keras—mengejutkan dirinya sendiri.
Ayah memperingatinya untuk tidak berisik, nanti Mami marah katanya. Ugh, seketika Ren merasa mual. Mami siapa juga, boro-boro mau memanggil “Mami”, panggil "Tante" saja ogah.
Perjalanan pagi Ren dipenuhi kegelisahan. Laju motor menderu bersama angin dingin—cuaca pagi mendung. Seolah cuaca menggambarkan isi hatinya, Ren tidak tahu harus bereaksi bagaimana bila bertemu Kama nanti. Keputusan yang telah Ren buat bersama Galang dan Petra ... tidak membubarkan Kainga melainkan mengubah sistem kerjanya. Semua anak boleh bergabung, bebas siapa saja terlibat dalam Kainga asalkan ingin membawa pengaruh baik bagi masa depannya. Namun, Kama ... apa ia bersedia? Pikiran Ren terus melayang pada Kama.
***
Bunda menyiapkan bekal untuk Kama dan juga Jaya. Mereka menolak kotak bekal warna pink tapi Bunda tak menggubris. Ingin pagi ini mengenakan hoodie tipis saja, tapi Bunda mengharuskan sweater berbahan polyester. Semua serba diatur, serba didikte dalam keluarga yang konon kata teman-temannya “cemara” ini. Kama sering memrotes pada Bunda, tapi Jaya kembarannya diam saja tidak peduli. Akhirnya, protes Kama terpental sebelum dipertimbangkan.
Seandainya Ren tahu ... untuk disebut cemara ini banyak yang harus dirinya redam. Kalau saja Ren bisa paham, tidak semua bentuk dukungan memberikan hal positif. Bukan berarti tidak mensyukuri, terlalu diperhatikan seperti Bunda memperlakukan si kembar juga terkadang menyesakkan dada. Mengatur sampai cara berpakaian dan warna tumbler. Tidak bisa memilih bukan satu-satunya batu sandungan. Buat si kembar tidak bebas berpendapat saat di rumah juga menyebabkan tekanan mental yang dihadapi. Seakan bernapas saja salah bila bundanya tidak berkenan.
Pernah di usia delapan tahun, si kembar diolok-olok teman sebaya karena baru duduk di kelas satu SD. Itu semua disebabkan Bunda terlalu sayang melepaskan anak kembarnya memasuki sekolah dasar. Bunda selalu tidak percaya, bila si kembar mampu mengatasi sendiri segala situasi yang dihadapi.
Berlangsung cukup lama sebagai “boneka” Bunda, menciptakan dampak berbeda bagi Kama dan Jaya. Bila Kama dalam hatinya membara bagai angin yang siap Menyalakan percik api, maka Jaya sebaliknya. Memilih untuk tidak peduli. Merasa terus menjadi bocah yang akan selalu dilindungi bundanya. Tidak menakar apa pun semua yang diucapkan pada orang lain. Terkadang menjadi kembar membuat Kama merasa muak. Selalu berdua dan tidak memiliki ruang pribadi bagi dirinya sendiri. Seharusnya sisi positifnya adalah Kama tidak sendirian dalam menghadapi apa pun. Tapi kenyataannya, Kama sering merasa berjuang sendirian? Saudara kembarnya—Jaya—cuek pada kegelisahan hati Kama. Hanya fisik saja dekat. Tidak dengan hati.
Satu-satunya tempat bagi Kama memvalidasi rasa gelisah di hati hanya ketika berbincang bersama Ren, Galang dan Petra. Tiga teman yang justru mengira dirinya terlalu baik-baik saja sampai tak terpikirkan di benak mereka bahwa Kama lebih butuh Kainga. Lantas kini jika Kama dan tiga sahabat itu bermusuhan, ke mana lagi Kama harus menemukan “rumah” nyaman untuknya mengobati risau hatinya.
Kama tertawa sinis jika memang sandiwaranya selama ini berjalan mulus. Tak ada satu pun teman-temannya mengetahui isi hati Kama sebenarnya. Tersembunyi dalam tawa riang dan kegiatan yang sengaja dibuat padat agar tak cepat pulang ke rumah. Satu-satunya alasan cepat pulang hanyalah Jaya yang terus merengek ingin cepat rebahan di atas kasur.
***
Sebaiknya datang menyapa atau tidak, ya?
Ragu melangkahkan kaki ke ruang dingin. Ada Ren sendirian. Sudah berlangsung selama sebulan. Hubungan tak akur antara Ren dan Kama. Saling enggan duluan menyapa. Hari-hari berlalu dengan menyiksa. Kama bersama teman-teman lainnya melihat Ren hanya asyik dengan Petra. Kama yakin di luar studio, mereka berdua sering bertemu dengan Galang. Masalah grup Kainga yang beku—menurut Vanila adalah masa untuk introspeksi yang dicetuskan Ren.
Langkah kaki Kama dan Jaya
Mendekati pintu, membukanya dan telah tahu dari pintu transparan hanya ada Ren sendirian.
Bisa juga Ren datang pagi. Apa dia sengaja menungguku?
Jaya sudah diberi kode oleh Kama supaya tidak melangkahkan kaki memasuki ruang dingin. Seperti biasa Jaya tidak peka, celingak-celinguk dan berbicara keras kalau ada Ren di situ. Ren yang mendengar kedatangan si kembar menegangkan bahu. Berusaha tersenyum walau garing. Ren berdiri, tanda-tanda mau bicara.
“Kama ... aku,-“ Ren tidak meneruskan, menatap ragu Kama yang pura-pura tidak melihatnya. Apa Kama terlalu gengsi?
Bukan! Sebetulnya Kama pun grogi luar biasa.
“Kenapa tiba-tiba berubah mendung , sih! Tadi pagi cerah-cerah saja!” sindir Jaya.
“Apanya yang mendung, Jay? Oh, apa karena ada aku di sini? kalian keberatan?” tanya Ren tersindir.
“Bu-bukan Ren, tapi suasana di dalam ruang dingin dan cuaca di luar memang sama gelapnya. Sepertinya akan ada hujan pagi hari.” Jaya menjelaskan agar Ren tak salah paham. Kama yang dilirik Jaya, diam saja.
Dari sekelumit percakapan tersebut. Ren tahu Jaya tidak memendam amarah untuknya. Kini hanya Kama, karena Chiya pun telah berbicara seperti biasa dengan Ren. Ren sengaja datang pagi memang menunggu Kama. Ren tahu selama ini si kembar akan datang pagi-pagi sekali untuk berganti baju di toilet. Menukar pakaian yang disiapkan bundanya dengan seleranya sendiri.
“Langsung saja, Ren. Apa yang mau dikatakan!” ujar Kama mendesak Ren cepat berbicara. Mumpung yang lain belum masuk, sementara Jaya sedang membuat milo di pantry.
“Eh, anu ... maaf ... maaf bila soal Kainga menyakitimu, kami tidak bermaksud berbohong. A-aku yang mencegah mereka bicara,” ucap Ren yang dibarengi tatapan kaget Kama. Sejujurnya tidak pernah menyangka, Ren yang gengsinya setinggi Titan Kolosal mau meminta maaf lebih dulu.
“Hmm, aku pun minta maaf, Ren! Lebih dari cukup untuk menghukum kamu juga diriku sendiri."
Kama dan Ren saling berjabat tangan tersenyum. Semudah itu? Ren juga heran sendiri. Padahal semalaman resah sampai tak bisa tidur. Untungnya pagi ini, amarah Kama mereda. Tidak berapi-api seperti sebelumnya.
Mungkin sebaiknya begitu, jika amarah menyerbu ... maka biarkan dulu serbuannya habis tak bersisa. Pasti ada waktunya sama-sama mereda, berbaikan di waktu yang tepat.
“Untuk Kainga ... tak perlu bubar!” ujar Kama mengusulkan.
“Iya, Kainga tetap ada ... kuubah sedikit peraturannya. Siapa pun boleh bergabung. Termasuk kamu, Kama!”
“Oh, ya??” Mata Kama membelalak.
Sudah diputuskan dan tak dapat ditarik lagi. Ren ingin membangun Kainga bersama teman-teman. Berawal dari tim tujuh dan bakal meluas. Tidak harus satu jurusan, tidak harus satu sekolah. Siapa pun yang terpuruk, merasa sendirian dan mencoba untuk bangkit. Mari kita bangkit bersama-sama. Itulah yang Ren katakan pada Kama. Cowok kribo tanpa kaca mata itu pun mengangguk setuju. Tujuan Ren baik. Bukan hanya menolong dirinya sendiri dari gairah hidup yang sudah mati, tetapi Ren mengajak remaja yang senasib dengannya untuk mencoba sekali lagi bergairah pada hidup.
Pembahasan Kainga terpaksa berhenti setelah kemunculan Mas Defa selaku mentor yang akan melakukan breafing pagi. Petra bernapas lega, melirik Kama dan Ren. Pagi ini tidak ada yang muram, kecuali Vanila yang memaksa senyum ceria, tapi mata bengkak karena menangis semalam. Patah hati, itu yang dibisikkan Chiya pada Petra. Kabarnya kemarin Mas Defa kembali menyatakan perasaan pada Ka Henny dan diterima. Kendati akhirnya mendung berubah gerimis dan membasahi tanah pagi ini dengan tetes-tetes gerimis yang lalu berubah menjadi hujan deras. Suasana di dalam ruang dingin menghangat. Pegawai studio termasuk anak magang bahkan merencanakan masak bersama untuk makan siang karena malas keluar menembus hujan jam makan siang nanti. Ada yang mau gofood saja, tapi kan tidak semua punya uang saku yang cukup.
Ren memandangi luar jendela di mana air hujan menghunjam cukup keras dan berbunyi kretak ... kretak .. pada kaca jendela.
Entah bagaimana masa depan menyambutnya nanti. Hanya saja, kini Ren akan melakukan apa yang ada di pikirannya. Tanpa mengkhawatirkan pendapat orang lain. Berharap mulai sekarang semua akan baik-baik saja.
Menyapu pandangan ke seluruh tim tujuh yang tengah menggambar desain karakter. Kali ini tidak ada yang masuk ke tim projek di film animasi. Pekerjaan lalu yang tentu saja belum selesai diambil alih pegawai tetap— entah mengapa Mas Defa mengubahnya. Kaus oversize Petra menarik perhatian Ren. Rambut wolfcut yang diikat sekadarnya menambah manis sikap cuek Petra. Sekilas dari belakang, punggung panjang dan gaya kaki mengangkang ketika duduk ... membuat Petra mirip lelaki. Terlebih lagi Petra selalu mengenakan celana cargo berbahan tebal dengan banyak saku.
“Petra,” bisik Ren pada Petra. Disampirkan hoodie yang tadi Ren kenakan ke bahu Petra.
“Pakailah, dingin!” ujar Ren berbisik. Jangan harap Petra akan memerah pipinya karena tersanjung diperhatikan begitu. Gadis lain pastinya sudah baper, tapi tidak untuk Petra. Dia langsung mengenakan hoodie Ren tanpa banyak bertanya. Bahkan bibirnya menggigit pensil 3B saat mengucapkan terima kasih dengan tidak jelas.
Melihat adegan Ren dan Petra yang terlalu manis menurut Vanila, membuatnya baper. Celingak-celinguk berharap ada orang seperti Ren satu lagi. Diliriknya Mas Defa, tapi orang itu sama sekali tak memedulikannya. Vanila menggelengkan kepala cepat. Menyadari kekeliruannya barusan yang masih berharap perhatian istimewa dari Mas Defa. Tidak, tidak boleh merusak hubungan orang. Dengan sadar Vanila menepuk kepala sendiri.
Tiba-tiba sebuah sweater polyester diselimutkan pada bahunya. Oh, tidak ... ada seseorang. Penasaran langsung menoleh dan Vanila menemukan Kama tersenyum manis ke arahnya.
“Terima kasih, Kama,” ucap Vanila lirih sembari menyadari sesuatu tentang perasaan Kama padanya.
***
Hujan belum mereda, langit sore mulai berwarna ungu. Dingin dan basah menghiasi suasana. Perut lapar mulai berisik. Makan siang mereka tadi siang berupa balado kentang yang terlalu pedas, tidak cukup memberi kenyang hingga malam. Anak magang yang masih dalam masa pertumbuhan itu memang bolak-balik ingin mengunyah makanan. Ditambah hujan yang inginnya mencicip kuah hangat, akhirnya beramai-ramai memasak mi instant rasa bakso.
Bukan karena mereka sebenarnya ingin makan bakso, tapi karena cuma itu yang disediakan Kak Henny di laci pantry. Mas Defa berujar, kalau Kak Henny tidak mementingkan jenis rasa saat membeli, tetapi asal mengambil yang sedang diakon saja.
“Ren!” panggil Mas Defa. Dua kepala di atas mangkuk mi yang masih mengepul sama-sama mendongak. Itu Petra dan Ren, makan mi dalam satu wadah yang sama. Bibir mereka merah menahan pedas. Chiya terlalu banyak menuang bubuk cabai di mangkuk Ren. Sengaja atau tidak yang Chiya lakukan, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Masih ada sedikit cemburu di hati Chiya menyaksikan kebersamaan Ren dan Petra yang entah apa kini statusnya.
“Oh, maaf Ren ganggu Sebentar, nanti habis makan kita bicara ya?” ajak Mas Defa menyela santapan Ren pada mangkuk mi. Ren mengangguk setuju saja. Dipercepat acara makannya biar cepat menemui Mas Defa di ruangan dingin.
***
“Bagaimana, Mas?” tanya Ren setelah berdiri di hadapan Mas Defa.
“Saya mendapat pemberitahuan dari Bu Neena, Ren. Kalau anak magang dari sekolahmu ditarik dulu ke sekolah.”
“Kenapa bisa begitu, Mas? ‘Kan kita magang baru tiga bulan,” tanya Ren heran. Biasanya magang kerja selama enam bulan.
“Menurut surat dari Bu Neena, kalian akan menghadapi UAS—ujian akhir sekolah.”
Benar juga, Ren hampir lupa ketika memulai magang usai UTS semester dua. Jadi, separuh magang di akhir kelas sebelas, separuhnya lagi di awal kelas dua belas.
***
Pengumuman dari Mas Defa kemudian Ren bicarakan dengan sesama teman magang dari sekolahnya. Mereka semua terkejut tak menyangka waktu magang mereka tinggal separuh perjalanan.
“Kok secepat ini, ya?” kata Chiya, “baru juga menikmati Jalannya magang!”
“Dulu, kamu paling malas buat magang!” ujar Jaya.
“Dulu aku tidak tahu, kerja ternyata menyenangkan juga,” seloroh Chiya.
“Apa kamu melupakan tekanan mental dan begadangnya, Chiya?” tanya Vanila mendelik.
“Aku nggak banyak main, jadi semua kukerjakan cepat. Tentu saja kalau Chiya sih nggak begadang, ya?” sindir Chiya.
Muka Vanila merah. Petra berdeham lirih, mengingatkan Chiya untuk tidak me-roasting Vanila. Chiya yang kemudian melirik Petra malah salah fokus dengan hoodie Ren yang masih di badan Petra. Reflek membuang muka, Chiya merasa wajahnya panas.
Banyak yang berubah selama magang ini berlangsung. Termasuk kisah percintaan para anak magang. Chiya juga dengar, Dimas putus dengan Foya anak lukis si ketua pameran lorong waktu itu—sekaligus tetangga Chiya.
“Ren, jadi ... Galang juga?” tanya Petra teringat Galang.
“Tentu saja, semua anak magang kan harus kembali untuk UAS,” jawab Ren.
“Yeah, tapi tidak semua mentor magang seperti Mas Defa ‘kan? Ada yang tetap mengharuskan kerja magang utuh enam bulan sehingga sepulang sekolah kembali bekerja.”
Petra memberikan alasan keraguannya jika Galang bisa leluasa berkumpul bersama mereka lagi.
“Akhirnya aku kembali merasakan jajan di kantin!” sorak Jaya.
“Giman tuh yang baru putus, balikan nggak tuh di sekolah?” sindir Chiya sengaja menyenggol Dimas. Yang disindir Cuma terkekeh tak tahu harus menjawab apa. Alasan putus karena kesibukan, kalau sudah bertemu lagi apa masih bisa kembali? Entahlah!
DI antara derai tawa dan hujan ... Ren merenung sendiri. Biarpun usai UAS mereka kembali kerja magang. Tentunya ada banyak hal berbeda. Setelah libur UAS, mereka resmi menjadi anak kelas dua belas. Waktu akan cepat berlalu. Masa-masa itu masa yg sangat padat untuk berkarya. Setelah magang berakhir pun masih ada projek film kelompok yang menunggu mereka. Sekaligus kelas dua belas wajib mempersiapkan projek film sendiri. Tugas kelompok adalah latihannya. Namun, tugas yang sebenarnya untuk penilaian TA—tugas akhir. Sebagai tanda mengakhiri kelas dua belas, yang itu artinya berakhir masa sekolah menengah ini.
“Kurang lebih ada waktu kurang dari setahun, ya ...?” gumam Ren tanpa disadari.
“Apanya, Ren?” tanya Kama, Jaya serempak.
“Bikin projek film animasi sendiri,” jawab Ren masih bergumam. Gumaman yang didengar anak lain bak sambaran petir.
“Ren!!! Baru juga senang mau balik ke sekolah, udah diingetin projek!!” seru Chiya sewot.
Ren sadar dan tertawa. Diikuti lainnya. Kecuali Vanila yang memikirkan Mas Defa dan Kak Henny, apa yang mereka lakukan saat aku berada di sekolah, ya? Pikirnya galau.
Kama seolah mengerti yang dipikirkan Vanila. Meraih tangan Vanila begitu berani dan berkata,-
“ Yuk, pulang, Pan!”