Keadaan masih sama, Jihan masih belum bertemu Natha bahkan teleponnya tidak pernah diangkat olehnya, selain itu Jihan masih belum tahu penyebab lelaki itu tiba-tiba menghindarinya. Dan kini setelah pulang kuliah Jihan tidak langsung menaiki kendaraan umum, melainkan berjalan sekitar dua puluh meter untuk melihat bunga azalea. Namun sayangnya, bunga itu tidak lagi mekar dan Jihan hanya mampu menatapnya dengan sedih.
"Anak cantik."
Jihan menoleh, mendapati seorang wanita tua yang dirinya ingat sebagai pemilik bunga azalea.
"Nenek manggil saya?"
Wanita tua itu mengangguk singkat seraya tersenyum. "Iya, di sini siapa lagi yang paling cantik selain kamu? Nenek udah tua, banyak keriput. Mana mungkin masih cantik?" Di akhir katanya nenek itu tertawa sementara Jihan menanggapi dengan seulas senyuman, rasanya canggung sekali.
"Pasti kamu mau lihat bunga azalea lagi ya? Tapi sayangnya, mereka nggak lagi mekar," ucap si nenek kemudian menghela napas.
Benar, bunga itu memang selalu mekar dengan indah, tapi keindahannya bersifat sementara. Melambangkan tentang kecantikan hidup yang sebentar, tapi bermakna. Ibarat kata nikmati momen saat ini sebab waktu dan keindahan tidak bertahan selamanya, jadi tolong hargai apa yang kamu miliki saat ini.
"Kamu kenapa?" Nenek yang bertanya membuat Jihan mengerjapkan matanya. "Pasti ada masalah ya?" lanjutnya yang justru membuat Jihan menghela napas.
Perempuan itu sempat terdiam lantaran ragu untuk menceritakan apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi melihat nenek itu menatapnya dengan lembut dan tulus, Jihan sudah menentukan keputusannya.
"Boleh saya cerita sama nenek?"
Wanita tua bernama Eli itu kembali mengangguk. "Tentu aja boleh, anggap nenek ini nenek kamu kamu sendiri."
Sebelum bercerita mengenai keresahan yang ada di hatinya, perempuan itu menghela napas sebentar. "Saya punya teman, teman saya itu baik banget, tapi akhir-akhir ini dia ngehindarin saya, Nek."
"Kamu tahu apa penyebabnya?"
Dengan wajah sedih, Jihan menggeleng singkat. "Padahal saya udah telepon dia berkali-kali buat minta penjelasan, tapi dia sama sekali nggak mau angkat telepon saya."
Seakan ikut merasakan kesedihan Jihan, Nenek Eli mengusap punggung kecilnya. "Sabar ya, Nak. Hidup itu memang banyak kejutan. Tapi kamu harus ingat kalau hidup itu singkat, seandainya teman kamu itu marah sama kamu, kamu harus lebih sering datangi dia. Walaupun kamu diabaikan, kamu harus tahu kalau kamu masih ada kesempatan buat ketemu dia lebih sering lagi, intinya kamu jangan mudah menyerah ya."
"Kamu harus bisa ambil contoh dari bunga-bunga yang ada di sekitar, walaupun punya tempat yang terbatas mereka tetap tumbuh karena mereka yakin bisa. Terus mereka nggak pernah ngeluh tentang caranya berproses dan tumbuh."
"Kamu harus lebih bersabar karena setiap musim kehidupan punya waktunya dan pasti setelah masa sulit, selalu ada harapan yang harus digenggam."
Wanita tua itu benar, Jihan harus tumbuh seperti dandelion yang tidak pernah mengeluh. Sementara itu dirinya harus yakin pasti akan ada kebahagiaan yang menanti setelahnya.
"Nak, kalau boleh tahu siapa nama kamu?"
"Jihan, Nek."
Nenek Eli tersenyum sebentar yang semakin memperlihat kerutan di wajahnya. "Nak Jihan bisa tolong tunggu sebentar? Nenek mau kasih sesuatu buat kamu."
Meski tidak tahu sesuatu apa yang ingin dikasih untuknya, Jihan yang tidak enak hati untuk menolak mengangguk singkat. "Iya, Nek.
Karena sudah tua, nenek Eli melangkah hati-hati untuk memasuki rumahnya. Jihan yang menunggu di depan rumahnya hanya terdiam sembari menatap sekitar, terutama pada azalea yang tidak lagi mekar.
"Nak Jihan, sini masuk," ucapnya sembari memberi gestur melalui tangannya.
Karena nenek Eli memberinya izin, Jihan tidak ragu melangkahkan kedua kaki kurusnya memasuki pekarangan rumahnya yang indah. Selain azalea ternyata ada tanaman lain yang tumbuh di halaman ini, pasti nenek itu sangat menyukai tanaman sebab semua tanaman di sini tumbuh dengan baik.
"Nenek mau kasih ini buat kamu."
Wanita tua itu memberikan sapu tangan berwarna putih yang ujungnya terdapat sulaman bunga sakura dan kalau boleh Jihan menebak pasti nenek yang merajutnya sendiri dengan tangan-tangan keriputnya.
Bunga sakura memiliki warna putih, merah muda, hingga ungu muda. Tapi sulaman sakura yang ada di sapu tangan berwarna merah muda dan umumnya sakura memiliki lima kelopak, ada yang berlapis-lapis kecil hingga sedang berukuran dua sampai lima sentimeter. Daun muda berwarna merah kecokelatan lalu akan berwarna hijau saat mekar, biasanya di Jepang sakura akan mekar pada musim semi, dan pohonnya yang tinggi bisa mencapai usia tiga puluh sampai empat puluh tahun.
Karena sakura hanya mekar sekitar satu sampai dua minggu dalam setahun, di Jepang bunga itu memiliki julukan 'Mono no aware' yang merujuk pada kesedihan mendalam atas keindahan yang singkat, yaitu kesadaran akan kefanaan hidup, khususnya terkait dengan musim semi yang cepat berlalu layaknya hidup manusia.
Meski singkat sakura tidak pernah gagal memberikan keindahannya.
Ketika bunga sakura berguguran, mereka tidak layu begitu saja tapi jatuh perlahan dengan anggun hingga membuat siapa saja akan takjub melihatnya. Karena jatuhnya yang anggun secara tidak langsung bunga sakura mengajarkan tentang akhir bukan berarti gagal melainkan bagian dari keindahan hidup itu sendiri.
Lantas mekarnya yang singkat sakura mengajarkan kita untuk menghargai hidup dengan penuh kasih di setiap detiknya.
"Ini buat saya, Nek?" Jihan bertanya takutnya sapu tangan itu hanya di perlihatkan saja alias nenek meminta pendapatnya mengenai sapu tangan itu, apakah sulamannya sudah bagus atau belum.
Dan pertanyaannya itu langsung dibalas dengan anggukan singkat. "Iya, tadinya cucu nenek minta dibuatkan sapu tangan katanya buat temannya yang ulang tahun, tapi anak itu malah bilang nggak jadi padahal nenek udah susah payah buatnya."
Jihan lihat raut wajah nenek kesal, mungkin jika cucunya ada di sini nenek tanpa ragu memukul cucunya sampai puas. Kembali lagi soal sapu tangan, meski katanya katanya benda berbahan kain itu untuknya Jihan tidak bisa menerimanya begitu saja, seakan ada yang mengganjal di hatinya.
"Tapi, Nek. Kalau cucu nenek tanyain sapu tangan ini gimana?" Jihan menatap benda berbahan kain yang ada di tangannya. "Katanya ini buat temannya cucu nenek, kan?" lanjutnya.
Dan ucapan Jihan membuat nenek Eli tersenyum. "Enggak apa-apa, kalau dia tanya lagi. Nenek bakal bilang kalau sapu tangannya udah dikasih ke anak cantik." Begitu katanya sambil tertawa pelan.
Karena nenek Eli sudah berkata seperti itu, Jihan tersenyum dan tidak bisa menolaknya. "Makasih ya, Nek. Sapu tangannya cantik banget, saya suka."
"Sama-sama, Jihan." Nenek Eli yang senang mengusap puncak kepala Jihan dengan lembut.
"Oiya, kamu tahu kenapa nenek menyulam bunga sakura di sapu tangan itu?" tanya Nenek Eli dan tidak lagi mengusap kepala Jihan.
Sementara itu Jihan menggeleng karena tidak tahu alasannya.
"Cucu nenek pernah bilang, katanya temannya itu sedang berjuang melawan masa sulitnya dan nenek kepikiran buat merajut bunga sakura supaya dia lebih menghargai hidupnya yang berharga."
Alasan nenek membuat hatinya tersentuh. Entah, teman cucunya nenek memiliki masalah apa, tapi yang jelas Jihan akan mendoakannya agar masa sulitnya cepat selesai.
"Kamu juga ya, nak."
"Ya?"
"Sesulit apa pun hidup kamu, kamu harus kuat menghadapi setiap masalah. Selalu jadi bunga sakura ya? Sakura nggak pernah tahu kapan dia layu, tapi mereka bisa memilih untuk mekar sepenuh hati ketika tiba waktunya. Hidup itu singkat, jadi hiduplah dengan sepenuh hati ya? Karena menurut nenek yang paling indah nggak selalu bertahan lama, tapi akan selalu dikenang."
Dengan ketulusan hatinya yang paling dalam Jihan tersenyum menatap nenek Eli dengan perasaan yang tidak bisa disebutkan dengan kata-kata.
"Nenek sehat selalu ya, selalu jadi bunga yang mekar supaya bisa memberi kebahagiaan untuk orang sekitar. Dan semoga temannya cucu nenek selalu baik-baik aja di setiap kesulitannya."
Nenek Eli tersenyum, begitu juga Jihan. Dan momen seperti ini akan selalu diingat olehnya, terutama tentang kebaikan nenek serta arti bunga sakura yang bermakna.