Loading...
Logo TinLit
Read Story - Interaksi
MENU
About Us  

“Lo mau latihan lagi? Nggak cape emangnya?”

 

Aku mengusap keringatku dengan jersey di sebelah April yang bersiap untuk pulang. “Cape, tapi gue mau coba jam tambahan pelatih.”

 

“Gue denger jam tambahannya gila banget. Lo yakin bakal kuat?”

 

Aku memang pernah mendengarnya dari senior lain, tetapi aku ingin mengevaluasi cara bermainku yang terasa kurang memuaskan. Aku juga ingin diakui bermain baik oleh pelatih yang selalu mengomeliku ini itu sejak bergabung pertama kali.

 

“Gue juga mau ikut karena Anbi selalu ikutan jam tambahan pelatih yang dadakan, tapi hari ini ada acara makan sama keluarga besar Ayah.”

 

“Ada lain kali, kok,” ucapku menabahkan April yang langsung kembali bergembira. Lantas, aku mengantar April hingga ke gerbang dan menyapa Ayah temanku yang menunggu di sana. Jadi, aku mengetahui darimana rambut bergelombang April berasal.

 

“Gue pulang duluan, ya, Faa.” April berpamitan dan aku melambaikan tangan dengan senyum di wajah. 

 

Jam tambahan yang dikatakan pelatih bebas diikuti siapa saja, tetapi kenapa perempuannya hanya aku dan kak Hilda saja? Justru, lelakinya beranggotakan lengkap. Aku iri karena tim cowok memiliki banyak anggota dibandingkan perempuan yang beranggotakan sepuluh orang.

 

Aku meluruskan kaki di samping lapangan saat pelatih meminta kami beristirahat sebelum memulai jam tambahan. Langit merona jingga saat pukul lima sore dan aku memandangi awan yang bentuknya seperti lumba-lumba. Aku tertawa sendiri.

 

“Lo kenapa?”

 

Aku melirik ke sisi kiri. Cowok dengan jersey bernomor punggung tujuh itu menyodorkan minuman isotonik yang kuterima dengan senang hati. Setelah kukatakan bahwa awan di atas sana mirip lumba-lumba, Anbi Sakardja hanya membeo, “Hah?”

 

“Lupakan,” kataku enteng. Ternyata topik seperti ini tak dipahami setiap orang. Anbi mengingatkanku pada Hima yang juga berdalih, “Awan ya awan, bukan lumba-lumba.”

 

“Ngomong-ngomong trik lo nembak bola pas terakhir tuh keren. Tubuh lo ke belakang kayak mau jatuh tapi lo berhasil cetak three point. Ada tips? Ajarin gue dong.”

 

Aku cukup terkejut mendapatkan pujian. Meski begitu, aku tak memiliki trik khusus. “Mungkin kuncinya ada di lompatan. Harus menyesuaikan sama tinggi lawan juga posisi yang bagus. Posisi tangan saat pegang bola juga harus enak. Yang penting harus yakin bolanya masuk.”

 

Anbi menganggukkan kepala saat bersila di sebelahku. “Lo udah lama main basket? Kata Danu yang megang shooting guard, cetak poin kayak lo tadi butuh pengalaman. Berarti, lo terhitung orang jago, dong, If.”

 

Aku mengusap kepala yang tak gatal, tersanjung. “Tau kak Hanif ‘kan?” tanyaku sampai disetujui Anbi yang matanya tak berpaling dariku. “Kak Hanif udah lama pacaran sama kak Hima. Kebetulan waktu diajak main, ketemu sama temen-temen kak Hanif yang lagi main basket. Jadi, gue suka.”

 

“Temen bang Hanif?”

 

“Basket,” koreksiku. Kenapa pula kesalah pahaman itu berakhir pada teman-teman pacar kakakku? Anbi tertawa, mata cowok itu sampai memejam dan menurutku itu menggemaskan. “Lo suka basket?” tanyaku.

 

“Suka. Apalagi ada lo.”

 

Aku melotot dan menyikut lengannya. Anbi lagi-lagi tertawa tanpa dosa.

 

“Danu temen gue sejak kecil dan dia yang ajak gue main. Meski pas SMP gue bolong-bolong latihannya, tapi sekarang gue lebih rajin ketimbang dia yang kabur pacaran.”

 

Danu adalah orang yang pernah satu tim percobaan denganku saat pertama kali ikut perkumpulan. Mengingatkanku akan awal mula mengapa pelatih meragukan posisi shooting guard-ku karena hilang fokus oleh aroma Anbi. Hingga saat ini, aroma khas cendana seperti buku-buku lama perpustakaan selalu dihirup oleh indra penciumanku saat dekat dengan cowok berliontin ruby ini.

 

“Kamis besok habis band, lo mau ikut gue, nggak?”

 

Aku menenggak minuman. “Ke mana?”

 

Aunty gue buka toko dessert depan Skyline School.  Katanya gratis kalo gue bawa temen.”

 

Aku menengadah melihat langit yang awan seperti lumba-lumba tadi telah berubah bentuk. Dadaku berdesir mendengar seseorang mengakui bahwa aku adalah teman mereka. Sepertinya hubungan pertemananku dengan orang lain mengalami kemajuan. Kuharap ini berlangsung lama.

 

“Gue boleh ikut?” Aku memastikan, Anbi mengiyakan. “Nggak modus ‘kan?” Aku memastikan lagi, Anbi tertawa.

 

“Lo curigaan banget sama gue. Hati abang tersakiti.” Dramatis sekali seolah ada tombak yang menghantam dada Anbi. Cowok itu sampai mengusap bawah matanya seolah menangis. Aku hanya menyikutnya sebagai respons agar ia berhenti.

 

Hening menyelimuti kami, kulirik Anbi lewat ekor mata. Rambutnya terlihat lembut seperti milik April, matanya memandang depan dengan sorot mata lembut, bibir tipisnya terbuka saat minum hingga jakunnya naik turun setiap tegukan. Aku segera mengalihkan tatap dan meraba rambutku yang lepek.

 

“Kumpul semuanya.” Suara besar ketua basket putra menginterupsi. Kami mematuhi dan berkumpul di tengah lapangan saat sudut mataku melihat pelatih bersama dua orang yang membawa keranjang penuh oleh bola basket.

 

“Hilda, kamu sungguhan mau ikut turnamen? Junior kamu yang serius main basket tampaknya hanya Iffaa yang nggak bisa defense dengan benar?”

 

Kenapa aku pula yang kena omelan pelatih? Tampaknya diriku yang seperti serpihan kerikil di lapangan selalu salah di mata beliau. Aku tak mengerti. Kemudian, pelatih mulai menjelaskan metode latihan yang berbeda dari biasanya dan lebih intens. Pelatih menegur berulang kali soal kuda-kudaku yang tak kokoh, posisi lengan saat menembak, atau kepalaku yang sering menunduk, bahkan berteriak saat aku bergerak satu detik lebih lamban dari yang lain.

 

Kakiku pegal sekali, ingin segera duduk. Aku bahkan diolok pelatih karena tali sepatu lepas dan membuatku jatuh terjerembap. Pelatih bahkan menyuruhku melepaskan sepatu saja setelah dua kali terjatuh. Aku lelah fisik dan batin sekaligus.

 

Ini penyiksaan. Kami berlatih satu jam setengah tanpa jeda ataupun minum. Aku langsung terkapar setelah selesai dan yang lain pun melakukan hal serupa. Memandangi langit malam yang bintang pun enggan menunjukkan wujudnya. Napasku terengah, kepalaku terasa pusing, dan kakiku berat untuk digerakkan untuk meraih minum.

 

“Lo sekarat?” Candaan Anbi tak membuatku tertawa. Cowok itu terlihat baik-baik saja meski sama terengahnya. “Minum dulu.”

 

“Makasih,” ujarku menerima botol minuman tadi dan meneguknya hingga tandas. Rasanya masih kurang.

 

“Kalian berdua mau ikut makan bareng nggak? Di belakang sekolah ada tempat makan punya keluarga Hilda. Kalau mau kita jalan sekarang aja.”

 

Aku dan Anbi saling tatap dan segera menyetujui ajakan tersebut dengan anggukan kepala. Anbi telah berdiri, aku kesulitan karena kakiku lelah. Aku mengembuskan napas. Tak ada pilihan lain untuk meminta tolong.

 

“An, boleh pinjam tangan lo?”

 

Tentu saja, Anbi menyetujui dengan senyum lebarnya seraya mengulurkan tangan. “Digenggam juga boleh.”

 

Kalimat biasa ini kuucapkan, “Jangan modus.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Melody untuk Galang
521      322     5     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
Pilihan Terbaik
4929      1490     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
ATMA
328      233     3     
Short Story
"Namaku Atma. Atma Bhrahmadinata, jiwa penolong terbaik untuk menjaga harapan menjadi kenyataan," ATMA a short story created by @nenii_983 ©2020
Chocolate Next Door
379      272     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Dear Vienna
382      292     0     
Romance
Hidup Chris, pelajar kelas 1 SMA yang tadinya biasa-biasa saja sekarang jadi super repot karena masuk SMA Vienna dan bertemu dengan Rena, cewek aneh dari jurusan Bahasa. Ditambah, Rena punya satu permintaan aneh yang rasanya sulit untuk dikabulkan.
Kemana Perginya Ilalang
714      461     0     
Short Story
bukan hanya sekedar hamparan ilalang. ada sejuta mimpi dan harapan disana.
Love Dribble
10713      2072     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Aldi: Suara Hati untuk Aldi
381      277     1     
Short Story
Suara hati Raina untuk pembaca yang lebih ditujukan untuk Aldi, cowok yang telah lama pergi dari kehidupannya
A Day With Sergio
1827      811     2     
Romance
Tanpo Arang
54      45     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...