IPA 3 kelas sepuluh diminta untuk belajar mandiri di pelajaran Fisika sebab gurunya mengambil cuti kehamilan. Hanya segelintir siswa yang berkutat pada buku, termasuk diriku yang sedari tadi mengusap jidat tak paham atas tiga soal terakhir. Ditambah dengan April Lia yang mengajakku bicara sedari tadi, aku harus bolak-balik meladeni soal dan pembicaraannya.
“Gue perawatan rambut sampai tiga jam, tapi gue puas sama hasilnya. Jadi cantik ‘kan rambut gue?”
Aku mengangguki. Rambut sehat April memang sebanding dengan usahanya dibandingkan dengan rambutku yang helai bercabangnya tak rapi. Rambut April yang berkilauan dan takkan kusut meski disisir oleh jari itu membuatku sadar bahwa usahaku hanya sebatas menggunakan shampoo dan terkadang menggunakan vitamin rambut jika ingat. Aku cukup iri karena rambut April sedikit bergelombang, karena jika aku ingin seperti itu harus mencatok rambut terlebih dulu. Itu bagian yang merepotkan.
“Kulit lo mulus tau, Faa. Pake apa?” tanyanya.
Aku meraba wajah, tak menyangka mendapatkan pertanyaan yang terasa memuji bagiku. “Rajin pake pelembab?” Agak ragu karena kuyakin wajah April pun mengeluarkan biaya yang tak sedikit untuk perawatan kulit. Ucapanku seperti pembohong meski demikian faktanya.
April mengangguk-angguk sekaligus menyatakan iri, tetapi ia tak ambil hati. April meloncat pada topik lain dan menceritakan kisah asmaranya sebelum memasuki SMA. Aku sampai berhenti menatap buku Fisika ini karena perasaan tak menyangka atas cerita teman sebangkuku. Apa April benar-benar orang yang satu usia denganku? Bagaimana bisa April bergonta-ganti pacar hanya dalam waktu setahun?
“Gue sibuk cari temen. Boro-boro mau punya pacar.” Giliran April yang terkejut. Apa salahnya? Aku sibuk patah hati karena tak punya teman karib, bukan galau karena cowok seperti April. Aku tak menghakimi sebab saat usia dulu, aku juga melihat bagaimana Usa sibuk cari perhatian pada murid lelaki. Sekarang pun sama, aku melihat Usa bercanda gurau di bangku belakang dengan cowok-cowok kelas.
“Lo nolep ya?” April mengejek. Aku tersenyum miris. “Kalau sekarang, ada cowok yang lo suka nggak? Di kelas misalnya.”
Kulirik teman sekelas yang lain sebelum menjawab, “Kayaknya masih sibuk cari temen.”
“Udah ada gue, Faa. Gue nggak mau diduain.” April memasang wajah cemberut dan aku terkikik barang sedetik, lalu mengatakan candaan, “Nggak ada yang disuka kecuali April.”
Sesuai dugaan, humor receh seperti ini pasti mempan untuk teman sebangkuku.
“Kalau soal Anbi gimana?”
Aku pikirkan sejenak. Cara bertemu kami tak baik untuk harga diriku, malu sekali untuk mengingatnya. Namun, aku bisa berpendapat, “Anbi baik.”
April terlihat menganggukan kepala dan semringah senyumnya terbit di wajah. “Belum lama ini, dia juga bantuin gue karena digodain cowok-cowok di jalan. Dia bahkan anterin pulang. Pas gue sebut dia jelmaan malaikat, dia ketawa. Menurut gue, Anbi lucu.”
Entah mengapa, senyumku terasa aneh saat dipaksakan untuk menarik lengkungan di sudut bibir. Meski bertanya-tanya atas perasaan tak jelas itu, aku tetap mendapatkan kesimpulan bahwa Anbi adalah orang yang baik. Tak ada yang salah dengan kalimat April Lia.
Ada satu hal yang membuatku tak senang. Gadis yang rambutnya bergelombang itu bergabung ekstrakurikuler basket dengan alasan karena adanya Anbi Sakardja ada di sana. Apa alasan remeh itu diperbolehkan? Aku bahkan mati-matian untuk memulihkan citra baik dari mata pelatih.
“Astaga, pertahanan kamu terbuka lebar, Iffaa Fadilla. Tim lawan dengan mudah melewati kamu kalau bertahannya seperti itu. Keluar dari lapangan.”
Aku meringis pada hari Rabu yang hangat ini. Setelah banyaknya pertemuan, pelatih giat sekali membuatku keluar dari lapangan kala latih tanding sebelum pertemuan usai. Aku semakin berkecil hati.
“Kamu ini memang nggak becus main ya?”
Dadaku seperti terpanah oleh busur besar, menyakitkan.
“Kalau kamu main seperti itu terus dan nggak ada perkembangan serius sampai turnamen dua bulan ke depan, kamu lebih baik keluar dari eskul. Mengerti?”
Aku mengangguki meski perasaan ini tercabik-cabik. Dipinta kembali ke lapangan dan bermain, aku hanya bisa menghela napas lesu. Tanpa kusadari kepalaku terhantam bola yang memantul dari papan ring.
“Astaga Iffaa. Jangan menunduk kalau di lapangan. Liat bola, lihat!”
Aku memamerkan senyum lebar saat menatap pelatih dengan kepala yang menunduk beberapa kali. Aku masih bersyukur bola keras itu tak menimpa wajahku hingga mimisan seperti kala pertama kali aku bergabung.
“Lo baik-baik aja, Faa?” April bertanya, menghampiri dengan rompi berbeda warna dari yang kukenakan, artinya ia adalah lawan mainku.
“Nggak papa, Pril. Main aja lagi.” Aku meyakinkan sehingga kami kembali bermain seperti biasa. Kulihat papan skor yang selisihnya sembilan poin, tim April pemilik poin unggulnya.
Aku seharusnya bisa menyusul dengan mencetak three point sebanyak tiga kali. Baiklah, mari kita serius. Aku menjaga April yang berlarian ke sana kemari agar tak mendapatkan umpan saat memasuki area ring timku. Senior satu timku mendapatkan bola rebound dan anggota tim segera ke sisi lain lapangan, termasuk aku yang melambaikan tangan untuk meminta bola.
Begitu didapatkan, aku terkejut karena orang yang menjagaku adalah senior tinggi berkepang yang menghalangi jarak penglihatanku. Aku harus melewatinya, tetapi sulit untuk menerobos tubuh besar itu. Menunggu celah, aku mengumpulkan tenaga di kakiku dan melompat tinggi dengan postur tubuh ke belakang, lalu menembak bola sampai terdengar suara rantai ring yang khas saat dilewati bola.
Timku bersorak, tetapi pelatih kembali meneriakkiku, “Jangan lengah karena kamu berhasil cetak poin, Iffaa.”
Aku kembali berlari ke sisi timku yang berusaha merebut bola dari April yang tampak kebingungan untuk mengoper, lantas kesempatan itu dimanfaatkan timku untuk mencurinya sehingga kami kembali berlarian ke lain sisi. Aku menerima bola dan segera mencetak tiga poin lagi dengan melakukan teknik seperti sebelumnya.
Kembali bersorak, kami kembali ke posisi dan menjaga tiap pemain lawan yang tengah mengoper-oper bola. Aku melangkah lebih lebar untuk meraih bola yang mendapatkan lemparan dada dan mengisyaratkan agar timku segera maju. Tak memiliki kesempatan untuk menembak, aku mengoper pada bagian belakang dan bertukar tempat sehingga aku dijaga oleh April. Aku tak mau melakukan trik sama yang menguras banyak tenaga.
Diterimanya bola olehku, April bersiaga dengan kuda-kudanya. April baru bermain basket, aku dengan mudahnya melakukan langkah tipuan sehingga celah tubuh April kugunakan untuk mencetak tiga poin.
“Curang,” renggut April tak terima. Aku hanya mengulas senyum dan tak segera berbalik ke sisi lain lapangan saat dua poin dicetak tim April dengan cepat.
“Sudah saya katakan jangan lengah, Iffaa Fadilla!” teriak pelatih. Aku menundukkan kepala sebagai kata maaf, padahal senior timku juga masih di tempat yang sama, tetapi hanya aku yang dimarahi pelatih.
“Yeay, tim gue menang lagi.” April bersorak setelah peluit usai pertandingan berkumandang dan segera ke sisi lapangan. Yah, aku takkan mengelak tim April lebih unggul selain timnya memiliki orang super tinggi dan sulit diterobos pertahannya.