Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menjadi Aku
MENU
About Us  

Malam itu, setelah pertengkaran hebat dengan Kathleen, Kathlea mengunci diri di kamar. Ia hanya menyalakan lampu meja kecil di sudut ranjang, duduk diam dalam keheningan. Jurnal bergaris itu kembali jadi pelampiasan—tempat ia menumpahkan semua sesak yang tak bisa ia ucapkan secara langsung.

Tangannya gemetar saat menulis, tapi ia terus mencoretkan keluh kesahnya: tentang luka, tentang marah, tentang pilu yang hanya bisa ia simpan sendiri.

Pipi kirinya yang sempat memar sudah tak terasa sakit. Yang lebih perih adalah hatinya.

Sakit karena rumah yang seharusnya jadi tempat pulang, kini terasa asing.

"Apa salahku hanya karena bertubuh sedikit lebih besar? Apa salahku berteman dengan orang yang bukan ‘setara’ dengan kami?” tulisnya sambil menahan tangis.

Kathlea lelah. Lelah harus hidup satu atap dengan sosok yang setiap hari membuatnya merasa kecil. Lelah harus pura-pura kuat di luar, sementara di dalam dirinya, ia hancur perlahan-lahan.

Ia merebahkan tubuhnya perlahan, menatap langit-langit kamar yang hanya diterangi cahaya kuning lembut dari lampu kecil. Dalam diamnya, ia teringat masa-masa kecil ketika segalanya belum serumit sekarang. Saat dia dan Kathleen bisa tertawa bersama, berbagi makanan kecil, saling menghibur saat dimarahi Mommy.

Tapi waktu seperti menghapus semua itu, meninggalkan jarak yang kian melebar tanpa sempat dijembatani.

Kathlea tahu, ia tak bisa terus begini. Tapi ia juga tahu, suaranya tak pernah cukup keras untuk didengar. Di mata orang-orang, Kathleen selalu yang lebih bersinar, lebih kurus, lebih cantik, lebih sesuai standar keluarga. Sedangkan dirinya... hanya bayangan.

Ia memeluk bantal dengan erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara.

Tak ada tempat aman untuk bersandar. Ia bahkan ragu bisa mempercayai siapa pun, karena setiap kali mencoba terbuka, yang ia dapatkan hanyalah penilaian.

Dan malam ini, ia hanya ingin... tenang.

Walau hanya sebentar.

---

Di lain tempat, sebuah rumah kecil yang jauh dari gemerlap, Shanum menyeka keringat di dahinya. Lukisannya hampir setengah jalan. Ia menatapnya lekat-lekat, mencoba membangun ulang setiap detail yang telah hilang karena ulah orang tak bertanggung jawab.

Suara radio kecil di kamarnya masih menyala pelan. Terkadang terdengar lagu, kadang hanya gumaman penyiar yang menyemangati siapa pun yang mendengar.

Sebelumnya, saat makan malam, Ibu sempat bertanya,

“Kamu kenapa, Nak? Murung banget dari tadi…”

Shanum hanya tersenyum tipis.

“Capek aja, Bu. Lagi persiapan lomba.”

Padahal hatinya kacau.

Dia takut gagal.

Besok, lukisan itu harus dibawa ke sekolah. Tapi sampai malam ini pun, hasilnya belum selesai. Belum seperti yang ia harapkan. Bayangan beasiswa yang bisa hilang menghantui pikirannya.

Bagaimana nanti sekolahnya?

Bagaimana nanti keluarganya?

Uang makan sehari-hari saja, Ibu dan Bapak harus banting tulang.

Tapi Shanum memilih diam. Ia tak ingin menambah beban. Ia tak ingin Ibu merasa gagal membesarkannya.

Tangisnya pecah diam-diam. Ia menangis bukan karena lelah fisik, tapi karena beban mental yang tak tertanggungkan. Semua orang bilang dia kuat, mandiri, tangguh. Tapi malam ini, ia ingin tidak menjadi apa-apa. Ia hanya ingin jadi remaja biasa yang boleh menyerah sesekali.

Ia teringat doa ibu setiap pagi, bisikan bapak saat mengantar ke sekolah. Ia tahu mereka menyayanginya. Tapi sayang saja tidak cukup untuk mengusir rasa takut dan tekanan dari segala arah.

Bahkan orang tua terbaik pun tidak selalu bisa menjangkau hati anaknya yang diam-diam terluka.

Shanum menutup matanya sejenak, memeluk kedua lutut. Dalam kepalanya, ia membayangkan dunia tempat semua orang bisa istirahat tanpa merasa bersalah.

---

Di sisi lain kota, Yazlyn menunggu waktu yang tepat. Saat ayah dan bundanya mulai tertidur lebih awal karena kelelahan mengikuti jadwal pemotretan dan latihan publikasi Teenlit Magazine seharian, Yazlyn diam-diam keluar dari rumah.

Ia memesan taksi online dan meminta sopirnya mengarah ke sebuah kedai: Coffee Beans & Calm langganannya, tempat yang selama ini menjadi tempat pelarian.

Begitu sampai, Yazlyn menarik napas panjang. Udara malam yang dingin dan tenang seperti menyeka sedikit keletihannya. Duduk di pojok ruangan sambil menyeruput Caramel Latte Less Sugar favoritnya, Yazlyn merasa sejenak terbebas dari bayang-bayang ekspektasi dan tekanan sosial keluarganya.

Saat itulah Lucas datang. Masih pria yang sama, dengan hoodie abu-abunya dan senyum ramah yang tak berubah sejak pertemuan pertama.

Lucas menyapa santai lalu duduk di seberang meja, seperti sudah tahu bahwa Yazlyn sedang butuh teman ngobrol.

 "Sendirian aja?" tanya Lucas seraya memperhatikan sekitar.

Yazlyn hanya mengangguk.

“Aku pesan dulu, ya,” ucapnya.

Tak lama Lucas datang kembali dengan segelas Hot Chocolate.

"Kamu akhir-akhir ini lagi sibuk ya?"

Yazlyn menyeruput pelan, "Ya.. gitu deh."

"Pantas aja, akhir-akhir ini aku jarang lihat kamu di sekolah."

"Akhir-akhir ini jadwal pemotretanku padat banget, mungkin besok aku bisa masuk sekolah lagi."

Obrolan mereka malam itu mengalir—tentang basket, tentang sekolah, tentang hal-hal ringan yang terasa hangat.

"Kemarin tim basket Elvoreign tanding ya? Ck, sayang banget aku gak nonton," ucap Yazlyn sedih.

"Nanti kalau jadwal kamu senggang, kita main basket bareng, sesuai rencana kita waktu itu."

Yazlyn tampak menimbang-nimbang ajakan Lucas yang tak sengaja ia lupakan. Menggiurkan tapi ia tidak mungkin bermain basket terang-terangan.

"Bagaimana ya.. aku mau banget, tapi sekolah terlalu ramai."

 “Besok pulang sekolah, ikut aku aja ke lapangan belakang asrama. Tempatnya sepi, nggak ada yang ganggu atau lihat.”

Yazlyn mengangguk dan matanya berbinar seperti baru saja mendapatkan sesuatu yang ia idam-idamkan. Dalam hatinya, ia tersenyum. Setidaknya ada satu hal yang bisa membuatnya merasa hidup kembali.

Namun tetap saja…

Dia lelah. Lelah terus-menerus jadi ‘produk keluarga’ yang harus tampil sempurna. Lelah terus mengabaikan dirinya sendiri demi menjaga citra keluarga yang sebetulnya sudah rapuh sejak lama.

Kepalanya berdenyut saat melihat notifikasi dari bundanya:

"Kamu di mana?!"

"Segera pulang."

"Ingat, kamu tidak boleh membuat aib untuk keluarga."

Bukan karena takut dimarahi, tapi karena kalimat itu—“membuat aib”—selalu menghantui hidupnya. Apapun yang ia lakukan, selalu dinilai dari dampaknya bagi nama keluarga. Seakan dirinya bukan remaja biasa yang boleh salah, marah, bahkan sedih.

Yazlyn berdiri. “Aku harus pulang.”

Lucas menatapnya khawatir. “Kamu nggak apa-apa?”

Yazlyn tersenyum tipis. “Aku gak apa-apa kok. Tapi makasih ya… sampai ketemu besok di sekolah.”

Dan ia melangkah pergi, meninggalkan kehangatan sementara di kedai itu, kembali ke dunia penuh peran dan pencitraan.

Dunia mereka berbeda.

Tapi ternyata, lelahlah yang menyatukan tiga gadis dari latar belakang yang sangat jauh berbeda.

Masing-masing punya luka.

Masing-masing memikul harapan dan tekanan.

Dan malam ini, mereka hanya ingin satu hal:

Istirahat…

Walau hanya sebentar.

Dengan hal-hal kecil yang menyenangkan jiwa.

Dengan ruang yang tak menuntut.

Dengan pelukan sunyi yang tak menghakimi.

Semoga... ada tempat aman.

Semoga... ada hari untuk merasa cukup.

Semoga... meski sejenak, dunia bersedia memberi mereka jeda untuk bernapas.

 

---

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Da Capo al Fine
326      278     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Behind Friendship
4639      1342     9     
Romance
Lo harus siap kalau rasa sahabat ini bermetamorfosis jadi cinta. "Kalau gue cinta sama lo? Gue salah? Mencintai seseorang itu kan hak masing masing orang. Termasuk gue yang sekarang cinta sama lo," Tiga cowok most wanted dan dua cewek receh yang tergabung dalam sebuah squad bernama Squad Delight. Sudah menjadi hal biasa jika kakak kelas atau teman seangkatannya meminta nomor pon...
ALMOND
1106      636     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1357      893     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
RUANGKASA
45      41     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Return my time
319      271     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Cinta Pertama Bikin Dilema
5222      1434     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
A Poem For Blue Day
233      180     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Merayakan Apa Adanya
483      347     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Perjalanan Tanpa Peta
57      52     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...