Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menjadi Aku
MENU
About Us  

Sejak insiden pertikaian di pertemuan sosialita tempo hari, hidup Yazlyn tak lagi lapang. Sang bunda semakin mengetatkan pengawasan. Tak hanya mengatur cara bicara, berpakaian, dan sikap Yazlyn, kini lingkar pertemanannya pun tak luput dari pengawasan.

"Ingat, Yazlyn. Kamu wajah dari Teenlit Magazine sekarang. Sekali salah langkah, bukan hanya nama kamu yang tercoreng—aku juga!”

Suara bundanya menusuk seperti belati. Dingin. Tajam.

Kerja sama eksklusif dengan majalah remaja ternama itu membuat Yazlyn harus absen dari sekolah lebih sering. Ia hadir di pemotretan, interview, bahkan konten kolaborasi daring yang tak jarang mengambil waktu berjam-jam. Sebagai gantinya, pihak sekolah mengatur home schooling darurat di rumah Yazlyn setiap sore. Ia seolah hidup dalam dua dunia, tapi tidak sepenuhnya berada di mana pun.

Dan ketika Yazlyn menjauh, The Girls mengambil alih. Di sekolah, tanpa kehadiran Yazlyn, mereka kembali beraksi—lebih liar dari sebelumnya. Sasaran mereka? Kathlea dan Shanum.

Di sekolah, Shanum nyaris tak bisa bernapas lega. Yazlyn, satu-satunya benteng penghalang antara dirinya dan geng sosialita itu, tak lagi hadir. Kini Kathleen dan pasukannya leluasa berbuat onar.

Pagi itu, Shanum terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba melukis antar-SMA. Sejak fajar, ia sudah duduk di ruang seni dengan semangat yang membuncah. Melukis bukan hanya hobinya—tapi juga jalannya. Berkat lukisan, ia bisa masuk sekolah elit ini lewat jalur beasiswa.

Tangannya lincah memainkan kuas. Cat air menari di atas kanvas. Saat ia mulai melupakan beban hidup, suara cekikikan tajam menyayat keheningan.

"Wih, rajinnya. Berasa pelukis dunia ya?”

Kathleen dan tigas gadis di belakangnya berdiri di ambang pintu, menyeringai. Mereka masuk tanpa diundang.

Shanum mencoba fokus. Menunduk. Tidak menanggapi. Tapi tangannya mulai gemetar, kuasnya tak lagi mantap.

“Duh, salah sentuh bisa rusak tuh... sayang banget ya kalau ada yang nggak sengaja numpahin sesuatu?”

Tawa mereka bergema di ruangan sepi itu.

Shanum menahan napas. Ia tahu mereka tak akan berhenti. Tapi saat guru pembimbing memanggil seluruh peserta ke kantin untuk makan siang dan beristirahat sejenak, Shanum terpaksa meninggalkan kanvasnya.

Begitupun dengan the girls yang ikut keluar dari ruang seni.

Ia kembali dua puluh menit kemudian… 

Shanum yang baru kembali dari kantin langsung menghentikan langkah. Matanya membelalak saat melihat kanvasnya yang tadi pagi masih utuh, kini penuh coretan tak beraturan. Ada noda cat warna merah tua membanjiri bagian tengah lukisan. Goresan-goresan acak menghancurkan detail yang sudah ia kerjakan berjam-jam lamanya.

Lukisannya—yang ia kerjakan sejak subuh—hancur. Basah. Sobek.

Matanya panas. Tenggorokannya tercekat. Ia berdiri terpaku di depan lukisan itu seperti anak kecil yang baru kehilangan mainan satu-satunya.

“Lho… Shanum, ini lukisan kamu?” tanya Miss Anna, guru pendamping ekskul seni lukis, dengan wajah bingung begitu melihat lukisan yang sudah berantakan warnanya.

“Iya, Miss… itu… punya saya…” ucap Shanum pelan. Suaranya nyaris tak terdengar.

“Astaga, kok bisa begini?” Miss Anna mendekat, memperhatikan lebih dekat. “Tadi sebelum kita pergi lukisan ini masih bagus banget.”

“Ada yang iseng ya?” tanya Amel, teman satu tim Shanum, ikut mendekat. “Kayaknya sengaja banget, lihat deh, cat-nya asal disiram. Ini bukan ketumpahan biasa.”

Shanum mengangguk pelan. Ia tak bisa berkata-kata. Tenggorokannya tercekat, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tahu betul lukisan itu bukan sekadar tugas. Itu adalah karya yang akan dipamerkan saat perlombaan nanti. Lukisan itu adalah bentuk ekspresinya—yang sekarang sudah hancur.

“Sabar ya, Shanum…” ucap Raisa, teman lainnya sambil menepuk bahu Shanum pelan. “Pasti sakit banget lihat hasil kerja kerasmu kayak gini.”

Shanum hanya tersenyum tipis, meski sudut matanya sudah basah.

“Kita cari tahu siapa pelakunya, ya, Miss?” Amel menoleh pada guru pendamping.

Miss Anna menarik napas panjang. “Saya akan laporkan ini ke guru seni. Tapi sekarang, kita nggak bisa berbuat banyak. Shanum, kamu... kamu harus coba mulai ulang, ya. Waktu memang mepet, tapi saya yakin kamu bisa. Saya bantu sebisanya.”

Shanum menunduk, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Meski hatinya sakit, ia mencoba mengangguk.

“Saya coba, Miss…”

Dari kejauhan, diam-diam, Kathlea menyaksikan semua itu. Matanya tak lepas dari sosok Shanum yang tengah berdiri mematung di depan lukisan rusaknya, dikerubungi oleh beberapa teman dan guru pendamping. Hatinya seperti diremas. Ia tahu betul, Shanum sudah bekerja keras untuk lukisan itu. Dan ia juga tahu siapa yang kemungkinan besar telah merusaknya.

Beberapa saat sebelumnya, tepat sebelum waktu istirahat berakhir, Kathlea tengah berjalan melewati lorong menuju taman belakang sekolah ketika ia tanpa sengaja melihat Kathleen dan gengnya keluar dari ruang seni. Tangan mereka belepotan cat, tawa mereka keras dan puas, seperti baru saja memenangkan sesuatu.

Kathlea menghentikan langkahnya. Nalurinya langsung menjerit tidak enak. Ada yang salah.

Tatapannya jatuh pada tangan Kathleen yang penuh cipratan warna merah tua—warna dominan di lukisan Shanum. Ia mendekat beberapa langkah dengan ragu, masih menggenggam kantong kecil berisi camilan favorit Shanum yang sengaja ia beli di kantin.

“Kalian, abis ngapain di dalam?" panggilnya, mencoba bersikap tenang. “Tangan kalian kenapa penuh cat? Dari ruang seni, ya?”

The Girls langsung menoleh. Salah satu dari mereka mengangkat alis tinggi-tinggi.

“Lho, ada Kathlea,” kata Rosela dengan nada mengejek.

“Baru juga keluar ruang seni udah interogasi aja,” sahut yang Fabianca.

Kathleen menatap saudara kembarnya itu dengan tatapan meremehkan. “Sibuk amat ngurusin tangan orang.”

Kathlea mencoba tetap tenang, walau jantungnya berdebar keras. “Kalian nggak ngapa-ngapain di dalam kan?”

“Emang kenapa?” sahut Ghianetta, dengan nada malas. “Nggak boleh pegang cat?”

Sebelum sempat dijawab, tangan Kathleen dengan sengaja menampar kantong camilan dari tangan Kathlea. Bungkus snack itu terjatuh ke tanah, isinya berserakan.

“Ups, maaf nggak sengaja,” cibir Kathleen sambil terkekeh.

Kathlea menatap snack yang tercecer di lantai dengan perasaan yang campur aduk. Ada marah, kecewa, dan rasa tak berdaya yang menumpuk jadi satu. Tangan Kathleen yang bercat merah, tawa riang mereka, dan sikap semena-mena itu—semua itu seperti potongan puzzle yang menyusun kebenaran menyakitkan.

Meski ia belum benar-benar melihat apa yang mereka lakukan di ruang seni, tapi instingnya jelas: mereka yang melakukannya. Dan ia hanya bisa berdiri diam, tidak berani masuk atau melawan lebih jauh.

Sekarang, melihat Shanum yang berusaha tegar di tengah luka hati akibat lukisan yang dirusak, rasa bersalah menghantamnya seperti ombak. Ia menatap ke arah langit-langit sekolah, mencoba menelan air matanya yang hampir jatuh.

Kenapa aku nggak berani hadang mereka waktu itu? Kenapa aku cuma bisa berdiri dan menonton?

---

Sore itu, suasana rumah megah keluarga mereka tak sehangat biasanya. Langit mendung, dan begitu juga perasaan Kathlea. Sejak pulang sekolah, dia tidak bisa duduk tenang. Ada yang harus dikeluarkan dari dadanya, ada kata-kata yang selama ini ia simpan rapat demi menjaga kedamaian.

Tapi hari ini, cukup sudah.

Kathlea berdiri di depan kamar Kathleen, menggenggam gagang pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia menghela napas dalam, lalu mengetuk.

Ketukan pertama—tidak dijawab. Ketukan kedua—masih senyap. Ketukan ketiga…

“Apa?” suara Kathleen terdengar kesal dari dalam.

Kathlea membuka pintu pelan, menahan emosi yang sudah mendesak naik ke tenggorokan.

“Kathleen… aku mau bicara,” ucapnya lirih, tapi mantap.

Kathleen sedang duduk santai di depan cermin, memainkan rambutnya. Dia bahkan tidak menoleh.

“Kalau kamu mau ceramahin soal anak miskin itu, mending keluar sekarang.”

Kathlea mengepalkan tangan. “Namanya Shanum,” tegasnya. “Dan yang kamu dan tema-temanmu lakukan tadi siang... itu keterlaluan. Dia kerja keras buat lukisan itu.”

Kathleen menoleh dengan cepat, matanya menajam. “Dan kamu sekarang membela anak nggak selevel itu? Kamu lupa siapa kamu?”

“Aku ingat. Justru karena aku tahu siapa aku, aku nggak mau diam aja lihat kamu terus sakitin orang.”

“Kamu pikir kamu lebih baik dari aku?” bentak Kathleen. Suaranya naik satu oktaf. “Jangan sok jadi pahlawan deh, Lea. Kamu itu cuma bayangan aku. Cuma sisa-sisa aku.”

Perkataan itu seperti tamparan di hati Kathlea. Tapi bukan itu yang benar-benar menyakitinya.

Yang menyakitkan adalah… Kathleen percaya itu benar.

“Aku cuma… nggak mau terus diem lihat kamu jadi kejam,” ujar Kathlea, suaranya mulai bergetar. “Kamu nggak sadar ya, makin hari kamu makin jauh dari diri kamu yang sebenarnya… bahkan dari Yazlyn, sosok yang membuat kamu ingin menjadi seperti dia, kan?”

Begitu nama Yazlyn disebut, Kathleen berdiri. “JANGAN BAWA-BAWA DIA!”

Kathlea mundur satu langkah. “Dia juga mulai mendapat hate comment karena kamu dan teman mu makin keterlaluan. Kalian pikir dunia ini cuma soal popularitas dan pujian?”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Kathlea. Membuat bibirnya perih, dan dadanya makin sesak. Tapi bukan tamparannya yang membuat ia menitikkan air mata—melainkan kenyataan bahwa… itu adalah tamparan dari saudara kembarnya sendiri.

Kathleen memandangnya tajam. “Kita beda, Lea. Aku dan kamu—beda level. Jangan samain dirimu sama aku... apalagi sama anak kampung itu.”

Tiba-tiba, dorongan keras menyentak tubuh Kathlea. Ia terjatuh ke lantai, menahan sakit di sikunya.

“KATHLEEN!” suara nyaring menggema dari bawah tangga.

Ternyata Mommy berdiri di sana, menyaksikan semuanya. Wajahnya pucat, suara gemetar.

“Apa yang kalian lakukan ini?!” isaknya. “Kenapa kalian… berubah seperti ini?”

Tapi tak ada jawaban. Hanya hening yang menyesakkan. Kathleen berbalik masuk ke kamarnya dengan bantingan pintu, sementara Kathlea tetap terduduk di lantai, menahan air mata yang jatuh satu-satu.

Sementara itu, di tempat lain…

Yazlyn duduk di dalam mobil mewah keluarganya. Tangannya memeluk tas kecil, matanya menatap jendela yang menampilkan bayangan kota senja yang temaram.

Di sampingnya, suara Bunda terus berbicara, ditemani anggukan pelan dari Ayah.

“Kamu harus mulai jaga pergaulanmu, Yaz. Jangan terlalu dekat dengan anak-anak yang nggak selevel sama kamu. Ingat, kerja sama dengan TeenLit Magazine itu bukan main-main.”

“Kamu udah bolos sekolah beberapa kali buat kerjaan itu, jangan sampai semua ini sia-sia cuma gara-gara kamu sok-sokan ngebela gadis kampung itu,” tambah Ayah.

Yazlyn menghela napas pelan. “Aku nggak cuma bela Shanum… aku juga bela Kathlea. Dia anak sahabat bunda, kan?"

Bunda menoleh tajam. “Kamu itu Yazlyn! Jangan rusak citra kamu cuma karena orang-orang yang nggak akan ngerti dunia kita.”

Yazlyn tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah ke jendela lagi.

Dalam hati kecilnya, Yazlyn tahu… ia mulai kehilangan kendali atas hidupnya. Semua orang mengatur, mengarahkan, dan memaksa. Tapi dia hanya ingin satu hal:

Bebas memilih siapa yang ingin dia bela. Dan siapa yang ingin dia perjuangkan.

Tak butuh waktu lama, mobil yang Yazlyn tumpangi tiba di depan rumah mewah.

​​​Rumah besar itu terlihat megah dari luar—lampu-lampu gantung kristal menyala terang, aroma bunga segar dari taman depan semerbak memenuhi udara. Tapi di dalamnya, suasana tak seindah tampak luarnya.

Baru saja pulang dari pemotretan bersama TeenLit Magazine, Yazlyn membuka sepatunya di depan pintu, meletakkan tas tangan perlahan, dan menghela napas panjang.

Dia lelah.

Kepalanya pusing oleh cahaya kamera dan ucapan basa-basi dari para kru yang memuji penampilannya. Padahal, jauh di dalam hati, Yazlyn ingin sekali menjadi remaja biasa—yang bisa pulang sekolah, langsung rebahan sambil makan camilan, bukan berganti baju glamor dan berpura-pura tertawa manis.

Tak lama setelah ia naik ke lantai atas menuju kamarnya, suara itu terdengar lagi.

Bunda dan Ayah. Bertengkar. Lagi.

Tidak kencang memang, tapi cukup membuat Yazlyn berhenti di tengah anak tangga. Ia tahu arah suara itu—dari ruang kerja di lantai dua. Tempat yang katanya private, tapi sudah seperti ruang adu argumen kedua orang tuanya. Tiap minggu, ada saja suara debat yang menyusup dari balik dinding tebal rumah mereka.

“Aku capek sama gaya kamu yang selalu merasa paling tahu segalanya!”

“Justru kamu yang nggak pernah mendengar apa yang aku bilang! Semua ini demi citra keluarga kita, kamu pikir gampang?!”

Yazlyn menatap tangga di depannya. Sudah biasa. Bahkan terlalu biasa. Kemesraan Bunda dan Ayah di depan publik hanyalah topeng. Foto keluarga harmonis yang terpajang di majalah atau media sosial itu cuma bagian dari branding—bukan kenyataan.

Di rumah ini, tidak ada pelukan hangat saat lelah. Tidak ada tanya “Kamu baik-baik saja hari ini, Yaz?”

Yang ada hanya... target. Ekspektasi. Pencitraan.

Yazlyn melangkah lagi, kali ini menuju kamarnya. Ia menutup pintu perlahan, duduk di kursinya, menatap tumpukan buku pelajaran yang belum sempat disentuh sejak pagi. Pelajaran hari ini terlewat karena pemotretan. Dan dia harus mengejar semuanya malam ini.

Lelah?

Banget.

Tapi Yazlyn sudah terbiasa menyimpan lelahnya sendiri. Ia mengambil bolpoin, membuka catatan, lalu mulai menyalin materi pelajaran yang dikirimkan temannya via grup kelas. Suara debat Ayah dan Bunda makin pelan, makin samar, mungkin mereka pindah ke ruangan lain yang lebih kedap suara.

Biar dunia luar mengira mereka keluarga bahagia.

Yazlyn tahu, itu hanya sandiwara.

 

---

 

Di lain tempat, Senja belum sepenuhnya tenggelam saat Shanum tiba di rumah. Rumah kecil di gang sempit itu terasa hangat dan sederhana. Aroma sayur bening dan tempe goreng menyambutnya begitu ia membuka pintu.

“Ibu masakin sayur kesukaanmu, Nak,” sapa Ibu dari dapur, tersenyum hangat meski garis lelah tergambar jelas di wajahnya.

Shanum mengangguk pelan, meletakkan tas ranselnya di kursi kayu dekat pintu. Hari ini begitu panjang... dan menyesakkan.

“Lukisan kamu gimana? Udah selesai?” tanya Ibu, sambil meletakkan dua piring nasi di meja kecil ruang makan.

Shanum tersentak kecil. Tangannya mengepal di pangkuan. Senyumnya dipaksakan.

“Belum, Bu... Masih proses. Soalnya... aku lagi capek aja hari ini. Latihan terus dari pagi tadi. Persiapan buat lomba. Jadi lukisan ini Shanum lanjut di rumah."

Ibu menatap Shanum dengan tatapan khawatir. “Kamu nggak papa, Shanum? Muka kamu kayak orang abis nangis.”

Shanum buru-buru menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

“Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek aja,” ujarnya cepat. Ia tidak ingin Ibu tahu. Tidak ingin membebani. Tak sanggup menceritakan bahwa lukisan yang selama ini dia kerjakan dengan sepenuh hati—dengan semua warna, garis, dan imajinasi yang dia punya—telah dirusak orang lain.

Ia takut.

Takut kalau lukisan itu gagal selesai tepat waktu.

Takut beasiswanya dicabut.

Takut harus berhenti sekolah karena tak mampu bayar.

Bahkan untuk makan sehari-hari pun, Ibu dan Bapak harus kerja serabutan, kadang sampai larut malam.

“Yang penting kamu jaga kesehatan ya, Nak... Kalau kamu sakit, Ibu bisa sedih,” ucap Ibu lembut, mengelus kepala Shanum.

Shanum menggigit bibir bawahnya, menahan isak yang hampir tumpah. Ia tahu Ibu berusaha tegar. Tapi diam-diam, air mata mengambang di sudut matanya.

“Makasih, Bu,” bisiknya pelan.

“Shanum janji... bakal berusaha sekuat tenaga.”

Malam itu, di kamar kecilnya yang penuh cat air dan kuas, Shanum kembali duduk di depan kanvas. Tangannya bergetar, tapi ia tetap menggenggam kuas itu erat.

Ia tahu, dia tidak boleh menyerah.

Di kamar kecil yang nyaris tak lebih luas dari ruang jemur itu, Shanum duduk bersila di lantai. Kanvas besar yang tadi sore ia bawa pulang kini tergeletak di atas alas koran bekas. Noda cat lama masih tampak samar di permukaan kanvas, sisa-sisa dari lukisan yang telah dirusak. Tapi Shanum sudah tak punya waktu untuk bersedih lebih lama.

Ia harus mulai lagi. Dari awal.

Radio kecil di sudut meja belajar memutar lagu lama dari siaran lokal. Suaranya pelan, berdesir lembut seperti menemani perasaannya yang sedang rapuh. Sesekali terdengar suara penyiar menyemangati pendengarnya untuk tetap semangat, bahkan saat hari terasa berat.

Shanum menghela napas pelan. Ditatapnya kanvas kosong itu seperti menatap masa depan. Ia mengambil pensil sketsa, lalu mulai menggambar ulang—garis demi garis, bayangan demi bayangan.

Tangan kirinya memegang ujung kanvas agar tak bergeser, sementara tangan kanannya bergerak hati-hati, perlahan tapi pasti. Pikirannya dipenuhi warna-warna yang harus segera dia campur, bentuk-bentuk yang harus segera dia tangkap ulang sebelum hilang dari ingatannya.

Jarum jam sudah melewati angka sebelas malam.

Matanya mulai perih, tapi Shanum terus menggurat. Sesekali dia menyandarkan punggungnya ke dinding, memejamkan mata sebentar, lalu kembali bekerja. Di luar kamar, suara TV dari ruang tengah masih menyala pelan, pertanda Ibu belum tidur. Tapi Shanum tetap diam. Tak ingin menyusahkan siapa pun.

Dalam hatinya, ada suara yang terus bergema:

“Aku harus menyelesaikan ini. Aku bisa. Aku nggak akan nyerah.”

Ia bukan anak orang kaya. Ia tak punya banyak pilihan. Tapi ia punya mimpi, dan ia ingin membuktikan bahwa mimpinya layak diperjuangkan.

Beberapa jam berlalu. Warna-warna mulai kembali membentuk lukisan itu. Tidak seperti yang pertama, tapi tetap punya jiwa. Jiwanya.

Dan di balik dinding, tanpa suara, Ibu mengintip lewat celah pintu yang tak tertutup rapat. Matanya berkaca-kaca melihat putri kecilnya masih bertahan, masih berjuang, meski dengan mata lelah dan tangan yang nyaris gemetar.

---

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let Me be a Star for You During the Day
922      473     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Da Capo al Fine
258      218     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
The Unbreakable Love
36      35     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Cerita Cinta anak magang
455      290     1     
Fan Fiction
Cinta dan persahabatan, terkadang membuat mereka lupa mana kawan dan mana lawan. Kebersamaan yang mereka lalui, harus berakhir saling membenci cuma karena persaingan. antara cinta, persahabatan dan Karir harus pupus cuma karena keegoisan sendiri. akankah, kebersamaan mereka akan kembali? atau hanya menyisakan dendam semata yang membuat mereka saling benci? "Gue enggak bisa terus-terusan mend...
A Poem For Blue Day
186      135     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
116      103     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Perjalanan Tanpa Peta
50      45     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
ALMOND
1052      612     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
Kainga
1053      615     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...