Libur sekolah seharusnya menjadi waktu untuk bersantai. Tapi tidak bagi tiga gadis ini—Kathlea, Yazlyn, dan Shanum. Masing-masing larut dalam tekanan, tanggung jawab, dan perasaan bersalah yang perlahan menggerogoti hati mereka.
---
Kathlea menatap pantulan dirinya di cermin. Ia mengenakan dress pastel lembut yang dipilihkan Mommy untuk menghadiri acara makan siang para ibu sosialita. Kali ini, anak-anak mereka turut diundang, meski biasanya acara seperti ini hanya dihadiri oleh para ibu.
“Kamu yakin mau pakai baju itu, Lea?” sindir Kathleen sambil memulas lipstik di bibirnya. “Dress-nya cantik sih... cuma aku takut resletingnya nggak kuat.”
Kathlea menghela napas. Tidak menjawab. Hatinya sesak, tapi ia sudah terlalu sering mendengar ucapan seperti itu dari saudara kembarnya.
“Kathleen, cukup,” sahut Mommy datar, tanpa menoleh dari rak tasnya. Ia terlalu sibuk memilih tas yang cocok dengan sepatunya.
Sindiran Kathleen pagi itu menjadi pemanasan sebelum hari yang melelahkan. Di rumah, Kathlea selalu merasa seperti bayangan. Ia harus membuktikan dirinya layak di tengah keluarga yang begitu menjunjung kesempurnaan fisik dan citra sosial.
Meski Kathlea tahu, Mommy selalu berusaha bersikap adil dan tidak membeda-bedakan antara dirinya dan Kathleen.
Restoran mewah di pusat kota dipenuhi aroma masakan mahal dan suara tawa para wanita kelas atas. Acara sosialita bulanan itu menjadi ajang silaturahmi sekaligus arena pamer yang terselubung. Mommy Kathleen-Kathlea hadir dengan anggun, disambut hangat oleh Bunda Yazlyn yang datang lebih dulu.
“Hai! Wah, makin cantik aja nih Mommy Kath,” puji Bunda Yazlyn sambil tersenyum cerah. Mereka berpelukan hangat, seperti dua sahabat lama yang rindu bertemu.
Yazlyn berdiri tak jauh di belakang Bunda. Ia melambaikan tangan kecil dan duduk agak menyendiri. Ia terbiasa dengan dunia ibunya yang penuh citra, meski dirinya merasa asing di dalamnya. Sejak kecil, Yazlyn telah diajari untuk tampil ‘sempurna’—dari cara bicara hingga makanan yang boleh dikonsumsi.
Tak lama, Kathleen dan Kathlea memasuki area restoran. Kathleen berjalan penuh percaya diri, sementara Kathlea mengikuti dengan langkah lebih lambat.
“Anak-anak, sini duduk bareng ya. Sekalian kenalan lebih dekat,” ajak salah satu ibu sambil menunjuk meja panjang tempat anak-anak para sosialita berkumpul.
Yazlyn duduk di ujung, mengamati sekitar. Ia melihat Kathlea ragu-ragu mengambil tempat duduk di dekatnya, agak jauh dari kerumunan. Kathleen, di sisi lain, langsung bergabung dan menjadi pusat perhatian.
Para ibu asyik berbincang di meja utama, sementara anak-anak mereka pun tak kalah riuh saling berbincang sesekali tertawa. Namun, bukan tentang hal-hal ringan seperti film atau pelajaran sekolah, melainkan tentang siapa yang paling menonjol—dengan cara yang paling mencolok.
"Ayahku baru aja beliin aku iPhone seri terbaru dari luar negeri, belum launching di sini, loh," ujar seorang gadis berambut bob yang mengenakan gelang emas mencolok.
"Serius? Hah, aku malah dikasih kartu kredit khusus, katanya biar bisa belajar 'mengatur pengeluaran sendiri'." Anak lain tertawa bangga, memamerkan tas kecil bermerek mahal yang menggantung di lengannya.
"Papa aku baru beli vila baru di Bali, katanya biar libur semester bisa private staycation. Enak banget, kan?"
Kathleen menimpali dengan bangga, “Well, itu biasa aja sih. Aku sudah punya handphone seperti mu, punya kartu kredit khusus dan villa. Minggu lalu juga aku ikut gala dinner bareng geng The Girls dari sekolah. Kita duduk satu meja sama influencer top dari Jakarta. Aku bahkan sempat masuk story-nya.” Ucapnya sambil memainkan rambut panjangnya dengan percaya diri.
Semua langsung bereaksi penuh kekaguman, beberapa bahkan mengeluarkan ponsel mereka untuk mengecek media sosial Kathleen.
Sementara itu, Yazlyn duduk canggung. Ia tak berniat ikut membanggakan apapun, namun tatapan tajam dari bundanya yang duduk tak jauh di meja utama membuatnya tak punya pilihan selain tersenyum dan sesekali mengangguk ikut serta dalam percakapan.
“Eh Yazlyn, aku lihat kamu kemarin jadi cover majalah Teenlit Magazine, ya?” tanya seorang anak perempuan bermata sipit sambil tersenyum lebar. “Gila sih, keren banget! Mukamu flawless, kayak idol Korea!”
"Aku juga liat di media sosial Teenlit magazine, kayaknya majalah mereka bakal jadi trending topik tahun ini berkat sosok Yazlyn."
Yazlyn tersipu malu. “Ah, terima kasih... Itu juga karena arahan fotografernya bagus.”
“Model majalah? Cute, sih,” sela Kathleen dengan nada meremehkan. “Tapi beda ya levelnya sama jadi bagian dari The Girls. Kita tuh bukan cuma terkenal di sekolah, tapi juga punya pengaruh. Bahkan guru-guru aja segan.”
Beberapa anak tampak terdiam, tak tahu harus menanggapi Kathleen atau Yazlyn.
Di sisi meja lain, Kathlea duduk sendiri, hanya memegang gelas minuman tanpa menyentuh makanannya. Dia menunduk, berusaha terlihat sibuk dengan serbet kecil di tangannya. Ia tak berniat menyela percakapan tentang kekayaan dan popularitas yang terasa begitu asing baginya.
Tiba-tiba seorang gadis dengan rambut pendek memperhatikan Kathlea.
“Eh, Kathlea sini dong!” seru seorang gadis berambut pendek, memanggilnya dengan ramah.
Namun sebelum Kathlea sempat menanggapi, Kathleen sudah menyambar dengan suaranya yang tajam dan lantang, “Nggak usah deh ngajak si gemuk. Dia nggak seru.”
Beberapa anak terdiam, kaget. Yazlyn menoleh dengan tatapan tajam.
“Ya ampun, Kathleen,” kata gadis lain. “Dia itu adik kamu loh…”
“Iya, kita kan jarang ketemu. Kamu ga kasihan lihat dia cuma duduk sendiri.”
“Dari dulu juga dia gitu, kan? Menyendiri, mengasingkan diri” gumam Kathleen, menyeringai kecil.
"Tapi, mungkin Kathlea masih malu lah kita kan jarang banget kumpul, iya kan?"
Kathleen kembali menanggapi diiringi tawa diakhir, "Malu? Kayak nya iya sih malu. Malu mau ambil cake tapi takut berat badan nya makin naik."
Yazlyn menahan napas. Tapi kali ini, ia tak bisa tinggal diam. Ia berdiri dari kursinya.
“Cukup, Kathleen. Jaga mulutmu.” Suaranya tenang tapi tegas.
Kathleen mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Aku muak lihat kamu terus hina Kathlea. Dia jauh lebih baik dari kamu yang cuma bisa sombong dan merendahkan orang.”
Seisi meja mendadak hening. Tatapan anak-anak tertuju pada mereka. Dari kejauhan, para ibu mulai menyadari ada ketegangan.
Bunda Yazlyn buru-buru bangkit dan menarik tangan Yazlyn. “Kita pulang sekarang.”
Mommy Kathleen juga segera membawa anak-anaknya keluar, meminta maaf pada para tamu lain yang mulai berbisik-bisik.
Acara hari itu terpaksa harus berakhir dengan tidak menyenangkan, ada rasa bersalah pada diri Kathlea. Apa mungkin karena dirinya hal ini terjadi?
Acara yang ditunggu Mommy berakhir dengan keributan.
Sementara itu, di dalam mobil lain—suasana menjadi dingin.
“Apa yang kamu pikirin sih, Yazlyn?!” bentak Bunda dengan suara tinggi.
“Kamu tahu anak-anak tadi itu dari keluarga penting! Kamu mempermalukan dirimu sendiri… dan aku!”
“Tapi Kathleen menghina orang lain, Bun. Aku cuma—”
“Kamu harus bisa jaga sikap! Bukan malah tampil kayak pahlawan kampung. Kamu ini anak siapa, Yazlyn? Bukan sembarang orang. Jaga image!”
Yazlyn hanya diam. Ia memalingkan wajah ke luar jendela, menatap bayangan dirinya di kaca. Air matanya jatuh perlahan. Sekali lagi, ia diminta untuk menjadi orang lain. Bahkan ketika ia hanya mencoba membela yang benar.
Sementara itu, di rumah keluarga si kembar, ketegangan juga terasa. Saat mereka telah tiba di rumah. Mommy memutuskan masuk kamar dan menolak bicara lebih jauh.
Kathleen dipanggil ke ruang tengah oleh Daddy yang siap memberondong banyak pertanyaan kepada anak sulungnya.
“Apa kamu sadar betapa memalukannya kelakuanmu tadi?” tanya Daddy dingin.
“Tapi itu cuma bercanda Dad...” kilah Kathleen.
“Tidak ada candaan yang merendahkan orang lain. Apalagi saudara kandungmu sendiri. Kamu terlalu sombong, Kathleen."
Kathleen mengepalkan kedua tangannya dibalik dress cantiknya, "Daddy hanya tahu dari apa yang Mommy kata, kan? Daddy gak tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
"Daddy memang tidak ada disana tapi bukan berarti Daddy tidak tahu Kathleen." Jawab Daddy sembari menatap putri sulungnya.
Kathleen menggigit bibir. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa membalas.
Kathlea yang mendengar percakapan itu dari balik pintu hanya bisa menunduk. Ada bagian dalam dirinya yang merasa... bersalah. Meski hatinya perih, ia tetap saudara kembar Kathleen. Dan melihat saudaranya dimarahi seperti itu membuat hatinya ikut nyeri.
---
Di sisi lain kota, jauh dari gemerlap pesta dan tawa para sosialita, Shanum sedang memeras kain terakhir dari tumpukan cucian. Suara air menetes dari jemuran yang menggantung di belakang rumah bersahut-sahutan dengan deru kendaraan dari jalan kecil di depan gang. Tangannya kasar dan kulitnya memerah karena terlalu lama terendam sabun. Baju dasternya basah di bagian bawah, menempel dingin di kulitnya.
Hari itu, Shanum tak hanya mencuci. Ia juga harus membantu ibunya menyetrika dan mengantarkan pakaian ke rumah pelanggan.
“Num, jangan lupa sore ini baju ke alamat ini, ya,” kata ibunya, menyerahkan secarik kertas yang agak lecek karena terkena air.
Shanum menerima kertas itu dan membaca sekilas alamat yang tertera. Asing.
"Ini pelanggan baru ya, Bu?" tanyanya pelan.
Sang ibu tersenyum sembari mengelus pucuk kepala Shanum yang dibalut hijab berwarna coklat pudar. “Iya, katanya lihat hasil setrikaan kita dari tetangga sebelah. Syukur, ya, ada tambahan. Nanti hati-hati di jalan. Jangan bawa sepeda ngebut, ingat ban-nya udah tipis.”
Shanum mengangguk sambil tersenyum. Tapi di balik senyumnya, ada perasaan sesak yang tak bisa ia bendung.
Setelah ibunya kembali ke dalam rumah, Shanum duduk di bangku kayu kecil dekat bak cucian. Ia mengusap lengannya yang basah, lalu menatap kedua tangannya sendiri. Kasar. Penuh bekas deterjen.
“Maaf ya, Bu… Pak…” bisiknya dalam hati. “Aku belum bisa bantu banyak. Belum bisa bahagiain Ibu dan Bapak seperti yang lain. Bahkan untuk beli sabun cuci aja masih harus ngirit-ngirit.”
Ia menarik napas panjang, berusaha menelan kegelisahan yang mengendap dalam dadanya. Rasanya seperti mengecewakan kedua orang yang paling ia cintai di dunia. Mereka selalu bilang tidak apa-apa, bahwa ia sudah membantu banyak. Tapi Shanum tahu, mereka menyembunyikan lelah. Menyembunyikan pilu.
“Andai aku bisa cepat kerja. Dapat uang sendiri. Bantu Ibu beli mesin cuci, atau Bapak tambahin modal usaha kecilnya...”
Hatinya terasa berat. Hampa. Perasaan itu semakin menjadi sejak kejadian di sekolah tempo hari—saat ia dan Kathlea sama-sama dibully di depan teman-teman.
Wajah Kathlea yang menahan tangis terus membayangi pikirannya. Rasa bersalah menghantui. Kenapa waktu itu ia hanya diam? Kenapa ia tidak cukup berani membela satu-satunya teman yang pernah membelanya dulu? Ia terlalu takut. Terlalu lemah.
Sore mulai merambat turun ketika Shanum bersiap mengantarkan pakaian. Ia menaiki sepeda tuanya yang rodanya sudah mulai goyah, dengan satu plastik besar berisi baju-baju yang sudah rapi disetrika terikat di bagian belakang.
Udara sore yang hangat tidak cukup menenangkan pikirannya. Sepanjang perjalanan, ia tetap tenggelam dalam perasaan bersalah—baik kepada orang tuanya maupun kepada Kathlea.
Setelah menyusuri jalan utama, ia mulai memasuki kawasan yang asing baginya—sebuah komplek elit dengan deretan rumah-rumah mewah yang berdiri megah dan berjajar rapi. Gerbang-gerbang tinggi menjulang, dan taman-taman kecil di halaman rumah tampak seperti taman hiasan dalam majalah dekorasi. Aspal di jalan perumahan itu bahkan terasa lebih halus dari jalanan yang biasa ia lewati sehari-hari.
Shanum menelan ludah. Ia membaca lagi alamat di secarik kertas yang diberi ibunya, lalu menatap nomor rumah satu per satu. Sampai akhirnya, ia berhenti di depan sebuah rumah besar bercat putih, berpagar hitam tinggi dengan ornamen emas. Dari luar, rumah itu tampak sunyi namun mewah—mungkin seperti rumah-rumah dalam mimpi orang-orang sepertinya.
Dengan ragu, ia menekan bel yang terletak di dekat gerbang. Tak lama, seorang satpam berpakaian rapi keluar dari pos jaga kecil.
"Mau antar apa?" tanyanya tegas namun tidak kasar.
"Antar pakaian, Pak. Untuk Bu Kathrina," jawab Shanum pelan, menyebut nama pelanggan baru ibunya.
Satpam itu mengecek daftar, lalu mengangguk dan membukakan pintu gerbang otomatis. "Masuk, tunggu di dekat pos ya. Nanti ada yang ambil."
Shanum mengangguk dan menuntun sepedanya ke dalam pelan-pelan, merasa canggung berjalan di jalanan rumah yang lebih bersih dari ruang tamu di rumahnya. Ia menunggu di dekat pos sambil berdiri tegak dan mencoba tidak memandangi terlalu banyak sisi rumah itu.
Tak lama, muncul seorang wanita muda berpakaian maid berwarna biru tua. Ia tersenyum sekilas pada Shanum, lalu mengambil pakaian dan memberikan upah dalam amplop kecil.
"Ini upahnya. Makasih, ya. Besok-besok bisa antar lagi ke sini."
Shanum menerima amplop itu dengan kedua tangan, mengangguk, dan berucap pelan, "Iya, Mbak. Terima kasih."
Ia lalu pamit kepada satpam dan menuntun sepedanya pelan ke arah gerbang. Namun sebelum ia benar-benar keluar, suara panggilan dari arah samping membuatnya berhenti.
"Eh, kamu... Shanum, kan?"
Shanum menoleh. Seorang gadis berpakaian modis berdiri di samping sebuah mobil sedan hitam yang mengilap. Ia mengenakan blus putih dan rok krem, rambutnya ditata rapi, wajahnya dipoles tipis dengan make-up remaja yang mahal. Itu Kathleen.
Kathleen berdiri santai, disamping sopir yang sedang membuka pintu mobil untuknya.
"Kamu nganterin baju, ya?" tanya Kathleen dengan senyum tipis.
Shanum mengangguk pelan. "Iya..."
Kathleen mendekat satu langkah, lalu menatap Shanum dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Hebat ya, kamu. Bisa bantu kerjaan rumah juga. Beda banget sama aku yang nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi ya… wajar sih. Soalnya kalau aku bantuin kerjaan rumah, Mommy pasti ngomel. Katanya tangan aku sayang kalau kasar."
Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi nada bicaranya dingin, dan sorot matanya tidak bersahabat.
Shanum tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya tersenyum kikuk.
Kathleen masih melanjutkan, “Btw, aku baru tahu loh ternyata rumor kamu anak tukang cuci itu benar adanya. Sorry to say, aku kira just rumors. Oh, iya… kamu juga bantu cuci-setrika ya? Keren, keren…”
"Iya," jawab Shanum nyaris tak terdengar.
"To be honest, harusnya baju-baju mahal kita itu ga disentuh sembarang orang. Cuma gak tahu kenapa Mommy tiba-tiba minta sebagian baju di laundry. Ya.. aku kira laundry mahal ternyata laundry kampung, semoga hasil kerja kamu dan ibu kamu bagus ya." Ucap Kathleen dengan menyilangkan kedua tangannya di dada.
Senyuman di bibir Shanum perlahan hilang. Tapi ia tetap menunduk sopan.
“Ya udah, aku pergi dulu ya. Mau dinner sama The Girls. Katanya di hotel yang ada chef dari Perancis itu loh… Hmm, pasti kamu belum pernah ke sana, ya? Mahal banget soalnya. Nggak semua orang bisa masuk.”
Setelah itu, Kathleen masuk ke mobil, meninggalkan Shanum yang masih berdiri diam. Suara mesin mobil terdengar lembut, berlalu seperti angin. Shanum memandangi kepergian mobil itu tanpa berkata apa-apa.
Di perjalanan pulang, angin sore yang tadinya hangat kini terasa menusuk. Matanya panas, tapi ia tahan agar tidak menangis di jalan. Bukan karena hinaan Kathleen. Bukan karena malu.
Tapi karena ia merasa gagal. Gagal membela diri. Gagal membela orang tuanya.
Tadi aku harusnya bilang... orang tuaku kerja keras buat hidupin aku. Aku harusnya bangga. Tapi aku malah diam... aku pengecut...
Ia menatap tangan kasarnya yang menggenggam stang sepeda. Seketika ia merasa kecil. Tak berharga.
Tapi dalam diam, ia juga tahu—ia tidak akan diam selamanya. Tidak selamanya orang-orang bisa meremehkan keluarga kecilnya tanpa balasan. Hanya belum sekarang. Tapi nanti, saat waktunya tiba, ia akan berdiri. Ia janji.
---