Beberapa bulan telah berlalu sejak Shanum dan Kathlea pertama kali menginjakkan kaki di Elvoreign High School. Waktu berlalu dengan cepat, namun luka-luka kecil yang diukir dari kata-kata orang lain tak kunjung sembuh. Di awal, keduanya berusaha menyesuaikan diri, mencoba menyatu dengan suasana sekolah yang glamor dan penuh aturan tak tertulis. Tapi perlahan, senyum mereka mulai menjadi senyum yang dipaksakan.
Kathlea, dengan tubuhnya yang sedikit berisi dan gaya yang tak mengikuti tren, menjadi sasaran empuk. Sedangkan Shanum yang mungil, pemalu, dan tidak berasal dari keluarga terpandang juga tak luput dari cemooh. Mereka dijuluki "Gajah dan Semut yang Bersahabat" oleh kelompok The Girls Four—Kathleen, Ghianetta, Rosela, dan Fabianca. Lelucon itu mula-mula hanya terdengar di lorong sekolah, namun lama kelamaan menyebar, bahkan menjadi hiburan bagi siswa-siswi lainnya.
"Wih, Gajah sama Semut lagi jalan bareng! Semutnya hati-hati ketindih, ya!" ucap Ghia di kantin, disambut tawa siswa lain.
Kathlea hanya menanggapi dengan tertawa kecil. Tawaan palsu yang sudah ia latih berkali-kali di depan cermin. Ia tak mau memperkeruh suasana. Tapi Shanum tak sekuat itu. Wajahnya mudah sekali murung. Berkali-kali ia harus berpura-pura ke toilet hanya untuk menenangkan diri.
Di lorong kelas, suara-suara ejekan sudah seperti musik latar hari-hari mereka.
“Eh, Semut! Kamu tuh jalan harusnya di bawah meja aja, biar Gajah bisa lewat dengan tenang!”
Kathlea kembali menanggapi dengan senyum kaku.
Shanum menatapnya bingung, “Kenapa kamu bisa ketawa sih?”
“Kalau aku nggak ketawa, Shanum, aku bisa nangis. Dan aku udah janji sama diriku sendiri buat nggak nangis di sekolah ini,” jawab Kathlea pelan.
Namun, tak semua murid bersikap acuh.
Yazlyn, yang biasanya menjaga jarak dan selalu tampil sempurna, mulai memperhatikan apa yang terjadi. Ia memperhatikan betapa Kathleen sering sengaja menjatuhkan buku Kathlea, atau bagaimana Shanum ditertawakan hanya karena membawa bekal nasi dan lauk sederhana dari rumah.
Saat jam istirahat, Yazlyn duduk sendiri di pojok kantin. Tapi matanya mengikuti langkah Shanum dan Kathlea.
Yazlyn berniat ingin menyapa keduanya yang tak jauh duduk dari meja Yazlyn. namun urung ia lakukan ketika Shanum dan Kathlea terdengar sedang berbincang serius.
“Kamu kenapa num? Aku lihat dari pagi muka kamu murung terus.” tanya Kathlea.
Shanum menggeleng. Tapi air matanya menetes.
“Bapakku lagi sakit. Ibu jadi harus kerja siang malam sekarang. Kadang aku kasihan lihat ibu harus cari uang buat kehidupan kita sehari-hari.”
Kathlea meraih tangan Shanum. “Aku ngerti apa yang kamu rasain, Num. Kamu jangan sedih ya, aku yakin pasti bapak kamu sehat lagi. Sekarang yang harus kamu lakuin adalah rajin belajar dan bantu-bantu ibu kamu dirumah."
Shanum mengangguk dan tersenyum.
"Mommyku juga sekarang mulai maksa aku diet num. Katanya kalau aku tetap gemuk, aku nggak akan punya teman. Tapi aku gak bisa marah, karena itu semua atas dasar paksaan kathleen bikin mommy jadi begini." Ucap Kathlea dengan suara yang sedikit bergetar.
“Ya ampun…” Yazlyn terdiam, hatinya teriris.
Kathlea melanjutkan, “Aku cuma makan buah pagi ini. Dan sekarang kepala aku pusing banget.”
Shanum mengelus punggung sahabatnya. “Kamu nggak perlu berubah, Kath. Kamu udah cukup.”
Yazlyn menunduk. Ia menyadari satu hal: keindahan bukan cuma soal penampilan, tapi kekuatan hati yang tetap bertahan meski dunia tak berpihak.
Siang itu shanum membawa bekal seadanya dari rumah, ia berniat makan bersama Kathlea di kantin. Meski fasilitas sekolah memberinya kebebasan makan di kantin, tapi shanum tidak ingin menolak bekal makan yang telah ibunya buat dari pagi-pagi buta.
“Duh, baunya kayak warteg. Ini sekolah, bukan pasar, tahu!” ejek salah satu siswa yang sedang lewat, sengaja mengibaskan tangan nya di depan hidung.
Shanum menunduk. Tangannya sedikit gemetar.
Kathlea menarik napas panjang ingin membalas perkataan pedas siswa yang berani membuat sahabatnya sedih. Namun hal itu ia urungkan ketika seseorang menarik kursi dan duduk di meja mereka. Sosok tak terduga—Yazlyn.
Cewek populer itu biasanya hanya terlihat bersama kelompoknya, sesama siswa populer atau siswa dengan predikat harta dan tahta keluarganya. Rambut panjang tergerai, seragam rapi, dan aura yang membuat siapa pun sungkan bicara. Tapi kini ia duduk bersama dua siswa yang biasa jadi bahan tertawaan.
“Hai, boleh gabung?” tanyanya, ramah.
Kathlea dan Shanum saling pandang, lalu mengangguk pelan.
Yazlyn mulai duduk dan memakan makanannya dengan santai. “Tadi aku lihat kalian kena ledekan lagi ya?”
Shanum hanya tersenyum tipis.
Yazlyn melirik semua siswa yang berada di kantin. “Kadang orang butuh tertawa untuk menutupi kekosongan di kepalanya.”
Kathlea tertawa lirih. “Kamu pasti bakal kena juga kalau duduk sama kita.”
“Biarin. Aku cuma duduk kok, bukan gabung tim semut dan gajah kaya mereka,” ujar Yazlyn sambil tersenyum.
Mereka bertiga akhirnya mulai berbincang. Obrolan ringan seputar pelajaran, guru favorit, dan film yang mereka tonton.
Beberapa siswa yang melewati meja mereka sengaja membuat komentar dengan suara berbisik-bisik.
"Eh Yazlyn, tumben kamu gabung sama duo Semut-Gajah. Hati-hati jadi turun level!” ucap Rosela yang baru saja tiba bersama The Girls.
"Kayaknya dah bosen jadi populer ya?" Tanya Fabianca di selingi tawa.
Ghianetta menimpal, "Eits, jangan salah. Kadang kita harus merendah dulu supaya mudah meroket. Betul kan Kathleen?"
Kathleen sedari tadi hanya tertawa renyah mendengar celotehan teman-temannya.
Yazlyn berdiri dari kursinya.
“Kalian tahu nggak? Kadang yang kelihatan paling cantik justru paling kosong hatinya.”
Semua mata tertuju pada Yazlyn.
“Kalau kamu harus merendahkan orang lain buat merasa berharga, mungkin kamu perlu tanya ke diri sendiri, kamu ini siapa tanpa ejekan itu?”
Mereka terdiam.
"Dan kamu! Kathleen. Ini bukan lelucon, stop ketawa gak jelas gitu! Gak lucu sama sekali."
Shanum dan Kathlea menatap Yazlyn dengan mata berkaca.
Mereka mungkin baru saja saling mengenal, tapi kini Shanum dan Yazlyn belajar menumbuhkan kekuatan—bersama.
Dan mungkin, hanya mungkin, lelucon yang dulu menyakitkan… tak lagi terdengar lucu. Semua karena Yazlyn.
Insiden di kantin siang itu cepat menyebar. Dalam hitungan jam, hampir seluruh isi sekolah tahu bahwa Yazlyn, si “Princess of Elvoreign High,” telah duduk semeja dengan dua siswi yang paling dihindari dan sering dijadikan bahan tertawaan: Shanum dan Kathlea.
"Seriusan? Yazlyn duduk bareng mereka?" tanya seorang siswa di lorong, membuka obrolan hangat sambil menunjukkan story seseorang yang sempat menangkap momen itu diam-diam.
"Gue pikir dia bakal gabung sama the girls, malah gabung sama dua bocah itu..." sahut yang lain dengan nada kecewa.
Sementara itu, akun gosip sekolah yang dikenal dengan nama ElvoRadar langsung memuat artikel pendek.
“Yazlyn menolak gabung bersama 'The Girls' Demi Si Gajah dan Si Semut?”
Komentar-komentar membanjiri postingan itu. Ada yang mendukung Yazlyn dan memujinya sebagai gadis baik hati, ada pula yang menyangkannya karena dianggap menyia-nyiakan kesempatan bergabung dengan geng terpopuler di sekolah.
Namun Yazlyn tidak menggubris semuanya. Ia hanya membaca sepintas lalu sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Aku melakukan hal yang benar. Dan aku nggak akan memaafkan mereka karena kejadian tadi," ucapnya pada dirinya sendiri di dalam toilet.
Menjelang sore suasana di sekolah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena hujan atau angin yang menusuk, tapi karena tatapan-tatapan yang datang dari segala arah. Setiap langkah Shanum dan Kathlea disambut bisik-bisik yang tidak mereka mengerti sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat hati keduanya mengecil.
Di papan pengumuman dekat aula, ada sebuah coretan baru. Sebuah sketsa kasar tergambar dengan tinta spidol hitam—dua sosok, satu berbadan besar dengan tulisan “Gajah Kesayangan semut”, dan satu lagi kecil dengan tulisan “Semut Pembawa Bekal Warteg”. Di atas gambar itu tertulis: Welcome to the Circus.
Kathlea berdiri terpaku menatapnya. Tangannya mengepal, tapi wajahnya berusaha tetap tenang.
“Ini… keterlaluan,” bisik Shanum lirih.
Kathlea meraih tangan sahabatnya. “Jangan pedulikan. Mereka cuma takut kehilangan ‘mainan’.”
Namun bisik-bisik itu tidak berhenti di situ.
Di kelas, saat guru belum datang, seorang siswa laki-laki tiba-tiba pura-pura duduk di dekat Kathlea dan Shanum, lalu berteriak, “Eh guys, aku ikut klub Gajah-Semut dong! Tapi aku jadi apa ya? Mungkin tikus, biar bisa nyelinap bareng semut!”
Tawa meledak. Bahkan beberapa siswa lain ikut menyaut, “Boleh juga! Klubnya bisa diisi semua hewan kebun binatang, ya!”
Shanum menunduk dalam, dadanya sesak. Ia mencubit pergelangan tangannya sendiri di bawah meja, mencoba menahan tangis.
Kathlea memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, suara keras terdengar dari pintu.
“Cukup!”
Semua menoleh. Yazlyn berdiri di ambang pintu kelas. Wajahnya dingin dan tatapannya menusuk. Ia menatap tajam siswa laki-laki tadi, lalu berjalan masuk, melewati meja demi meja.
“Berani banget ya kalian? Lucu ya? Gambar, lelucon, sarkasme… semua kalian anggap hiburan?” Yazlyn melempar pandangannya ke seluruh ruangan. “Ini bukan panggung sirkus. Ini sekolah.”
Guru yang baru datang terlihat bingung, tapi memilih diam ketika Yazlyn menatapnya sekilas, lalu keluar ruangan menuju kelasnya.
Namun keberanian Yazlyn ternyata justru memicu reaksi yang berbeda di luar kelas.
Saat bel pulang berbunyi, Shanum dan Kathlea menemukan loker mereka penuh dengan sobekan kertas kecil bertuliskan berbagai ejekan: Semut numpang tenar, Gajah peliharaan sosialita, Muka kampung, cari panggung, Dikira spesial? Cuma proyek sosial Yazlyn doang!
Kathlea mengambil satu kertas, membacanya pelan, lalu meremasnya. Matanya memerah. Shanum berdiri kaku, tidak tahu harus bagaimana.
Di toilet perempuan, mereka akhirnya bersembunyi untuk beberapa saat. Shanum menutup wajahnya dengan kedua tangan, sedangkan Kathlea duduk di lantai, bersandar di dinding.
“Kenapa rasanya semua jadi lebih buruk, ya?” suara Shanum terdengar serak.
“Karena mereka takut. Takut Yazlyn membuka mata orang-orang. Jadi mereka makin keras membungkam kita.”
Shanum memandangi langit-langit, air mata mengalir pelan di pipinya. “Aku capek, Kath…”
Kathlea tidak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Shanum, erat. “Kalau kamu capek, aku akan gantian jadi yang kuat.”
Sembari menunggu sopirnya tiba untuk menjemput, Kathlea membuka ponsel dan menemukan banyak akun anonim mengiriminya pesan.
“Dasar gendut cari perhatian.”
“Pura-pura baik ya biar dapet simpati.”
“Mending lo keluar aja dari sekolah ini.”
“Yazlyn pasti kasihan, makanya pura-pura temenan.”
Tangannya gemetar. Ia mengetik balasan, tapi menghapusnya. Ia mengetik lagi.
Di sisi lain, Shanum duduk di toilet mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan sorotan mata dan tawa ejekan terus terngiang-ngiang di telinganya. Ia memeluk tasnya erat-erat.
“Apa aku salah?” ucapnya di dalam hati. “Apa memang aku pantas diperlakukan begini?”
---
Keesokan paginya, suasana sekolah terasa berbeda. Yazlyn berjalan melewati lorong utama Elvoreign High School, dan dari kejauhan, ia sudah melihat beberapa siswa sedang menertawakan sesuatu. Semakin dekat, semakin jelas pula apa yang terjadi—Shanum dan Kathlea berdiri di dekat loker mereka, dikelilingi beberapa siswa yang sengaja meniru-niru cara jalan mereka sambil tertawa.
“Lihat tuh si Gajah jalannya lambat banget! Semutnya harus lari-lari biar nggak ketinggalan!” ujar salah satu siswa laki-laki, disambut tawa sekelompok lainnya.
Yang lain menimpali, “Hati-hati, Semut! Gajahnya lagi muter!”
Kathlea menunduk, mencoba mengabaikan, sementara Shanum menarik napas dalam-dalam, menahan isak.
Yazlyn berhenti sejenak. Ada perasaan tidak nyaman yang muncul di dadanya. Ia berpikir, Kenapa semenjak duduk bersama mereka di kantin kemarin, orang-orang semakin tidak berhenti mengejek. Bully itu makin menjadi. Dan semua karena dirinya.
Ia melangkah cepat, mendekati kerumunan.
“Cukup!” seru Yazlyn lantang.
Semua siswa menoleh. Beberapa bahkan mundur satu-dua langkah.
“Apa kalian pikir ini lucu? Menghina orang lain di pagi hari buat nambah energi sarapan kalian?”
Seorang siswa perempuan berusaha tersenyum, “Yaz, santai aja dong. Ini kan cuma bercanda—”
“Ini bukan bercanda,” potong Yazlyn tegas. “Ini pengecut.”
Suasana hening seketika. Shanum menatap Yazlyn dengan mata berkaca. Kathlea menggigit bibirnya pelan, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.
Tanpa banyak kata lagi, Yazlyn menarik tangan Shanum dan Kathlea.
“Ayo, ikut aku.”
Mereka dibawa ke taman belakang sekolah yang sepi dan jarang dilewati. Duduk di bangku kayu yang agak usang, Yazlyn menunduk, lalu berkata pelan, “Aku minta maaf.”
Shanum dan Kathlea saling pandang.
“Aku kira niat berteman baik dengan semua orang tidak akan menimbulkan masalah. Tapi ternyata… malah makin parah. Dan aku ngerasa semua ini salahku.”
Kathlea menggeleng pelan. “Kamu nggak salah, Yazlyn. Justru kita berterima kasih karena kamu mau berteman dan duduk bareng kita kemarin.”
“Tapi tetap aja,” Yazlyn menarik napas. “Aku nggak bisa diem lagi. Aku bakal bantu kalian. Kita harus hadapi ini bareng-bareng.”
Shanum akhirnya bicara, “Tapi kamu bakal jadi bahan ledekan juga.”
“Biarin aja. Aku lebih milih dibilang aneh daripada jadi penonton yang diam waktu orang lain disakiti.”
Shanum dan Kathlea tidak bisa memaksa kehendak Yazlyn, tapi di sisi lain Kathlea merasa takut jika niat baik Yazlyn malah akan menjadi bumerang.
"Yaz, aku harap kamu mempertimbangkan lagi apa yang kamu pikirin. Popularitas kamu jangan sampai jatuh. Tapi sebelumnya terima kasih ya." Ucap Kathlea lalu pergi sembari menarik tangan Shanum.
---