Semua orang bilang hidup Yazlyn sempurna.
Rambutnya berkilau seperti iklan sampo. Kulitnya mulus dan cerah. Senyumnya menawan. Namanya sering muncul di majalah remaja sebagai "model masa depan". Di sekolah, ia selalu jadi pusat perhatian. Semua orang ingin berteman dengannya, semua guru mengenalnya, dan para cowok sering melirik diam-diam saat ia lewat.
Tapi tak ada yang tahu bahwa di balik semua itu, Yazlyn menyimpan luka yang dalam.
---
Rumah Yazlyn terlihat megah dari luar. Ornamen klasik bergaya Eropa, pagar besi hitam dengan ukiran bunga, dan taman yang selalu terawat oleh tukang kebun profesional. Tapi siapa pun yang masuk ke dalam rumah itu akan merasakan satu hal: dingin. Tak ada suara tawa, tak ada aroma masakan rumahan, hanya pantulan sunyi dari marmer putih dan suara langkah kaki para pelayan.
Pagi itu, Yazlyn berdiri di depan cermin, merapikan seragam Elvoreign High-nya. Kucing putih kesayangannya, Meemee, mengeong lembut dan menggeliat di ranjang.
"Aku pergi dulu, Meemee," ucapnya pelan, mengelus kepala si kucing. "Doakan aku agar hari ini menyenangkan, ya."
Yazlyn—nama yang sering terdengar di kalangan remaja. Sosok yang dianggap sempurna, bukan hanya karena wajah cantiknya yang selalu menghiasi majalah remaja dan layar kaca, tapi juga karena citra keluarga bahagianya.
Banyak orang menyebut mereka “keluarga Cemara versi modern”—keluarga harmonis, mapan, dan penuh cinta kasih. Namun, semua itu hanyalah topeng yang dipoles rapi untuk publik. Kenyataan yang tersimpan di balik pintu rumah mewah mereka jauh dari kata bahagia.
Setiap pagi, Yazlyn bangun bukan oleh sinar matahari yang menembus jendela, bukan pula oleh suara lembut ibunya yang membangunkan dengan pelukan hangat. Yang terdengar justru suara lemparan barang, adu argumen, dan teriakan penuh amarah.
Ayah dan ibunya seperti dua musuh yang terperangkap dalam rumah yang sama, hidup bersama hanya untuk mempertahankan reputasi, bukan karena cinta.
Pagi itu pun tak berbeda. Yazlyn melangkah keluar dari kamarnya, menuruni tangga spiral dengan langkah malas. Di ruang makan yang luas, tak ada siapa pun kecuali deretan piring mewah berisi sarapan lengkap. Para pelayan hanya menunduk hormat saat Yazlyn lewat, tak berani menyapa lebih dari sekadar senyum sopan.
Ia duduk sendiri, mengambil roti panggang yang sudah mulai dingin. Saat hendak menyuapkan ke mulut, suara pintu kamar orang tuanya dibanting keras terdengar hingga ke bawah. Lalu, disusul dengan suara ibunya yang menjerit, dan ayahnya membalas dengan nada dingin.
“Selalu kamu yang menyalahkan aku!” bentak sang ayah.
“Karna kamu memang tidak pernah mau peduli dengan keluarga ini!” suara sang Bunda tak kalah tinggi.
Yazlyn menunduk. Sumpah serapah itu menjadi sarapan sehari-harinya. Ia muak. Namun, siapa yang bisa ia salahkan? Dirinya pun terkadang merasa bersalah telah terlahir di tengah keluarga yang rapuh.
---
Saat mobil hitamnya berhenti di depan gerbang sekolah, Yazlyn menarik napas dalam-dalam. Ia merapikan rambut panjangnya, menyentuh bibir dengan lip gloss bening, dan mematut dirinya sejenak di cermin mobil.
Topengnya pun dikenakan. Wajah yang tadinya murung, berubah menjadi senyuman menawan khas Yazlyn sang idola remaja. Senyum itu adalah senjata, tameng, dan keharusan.
“Semangat, Neng,” ucap Pak Randi, sang supir yang sudah mengantarnya sejak kecil.
Yazlyn tersenyum kecil. “Makasih, Pak Randi. Kamu satu-satunya orang yang enggak pernah berubah.”
Pak Randi membalas dengan anggukan penuh simpati. Ia tahu betul bagaimana kesepian gadis itu meski bergelimang popularitas.
Begitu memasuki gerbang sekolah, Yazlyn langsung menjadi pusat perhatian. Suara bisikan dan decakan kagum terdengar dari berbagai sudut.
“Itu Yazlyn, ya ampun dia cantik banget,”
“Gila, dia beneran kayak boneka hidup,”
“Dia masuk majalah Teen Vibes, kan?”
Yazlyn melambaikan tangan kepada beberapa siswa yang menyapanya. Ia tersenyum, menjawab pertanyaan guru dan murid dengan sopan, tetap menjaga citranya sebagai siswi teladan.
Di dalam kelas baru, Yazlyn duduk di kursi tengah, dikelilingi oleh para siswa yang berlomba-lomba ingin duduk di dekatnya. Teman sekelasnya, seorang gadis kalem bernama Raina, terlihat gugup saat Yazlyn menyapanya lebih dulu.
“Hai, aku Yazlyn. Kamu Raina, kan?” Yazlyn menyodorkan tangan dengan ramah.
Raina mengangguk cepat, “I-iya! Aku Raina. Senang banget satu kelas bareng kamu!”
“Senang juga bisa ketemu setiap hari sama kamu. Kita kerja sama, ya.”
Hari itu, suasana kelas dipenuhi dengan kegiatan pengenalan dan orientasi. Yazlyn aktif, menjawab pertanyaan guru dengan cerdas, dan menampilkan diri sebagai pribadi yang ramah serta menyenangkan.
Saat waktu istirahat tiba, Yazlyn menyempatkan diri pergi ke bazar ekstrakurikuler. Matanya langsung tertuju pada stan basket. Matanya berbinar. Ia sudah lama memendam keinginan itu. Tanpa ragu, ia mendaftar. Formulir di tangan, senyumnya merekah.
Tanpa ragu, ia menuliskan namanya. Salah satu kakak kelas pria yang jaga stand itu tersenyum ramah.
“Kamu serius mau daftar basket?” tanya kakak kelas itu, menatapnya heran.
Yazlyn mengangguk. “Iya. Kenapa?”
“Enggak… cuma nggak nyangka aja. Kamu kan… model gitu. Tapi keren sih, cewek main basket,” katanya sambil tersenyum.
Yazlyn tertawa kecil. “Orang juga nggak nyangka aku suka makan bakso gerobakan.”
Setelah itu, ia pamit. Berniat ke kamar mandi untuk membenarkan riasanya dan menatap lama-lama formulir basket yang baru saja ia dapatkan. Tapi saat membuka pintu bilik, ia mendengar suara pintu didorong keras.
BRAK!
Lalu… suara isakan. Tangisan tertahan. Diiringi gumaman lirih.
Yazlyn menahan napas. Ia mengintip sedikit dari celah pintu.
Seorang gadis bertubuh gemuk berdiri di depan cermin. Wajahnya basah oleh air mata. Yazlyn mengenali wajah itu. Itu… Kathlea. Saudari kembar Kathleen. Kathleen adalah salah satu anggota baru di kelas modeling yang juga diikuti Yazlyn.
Mereka satu lingkaran. Bahkan ibu Yazlyn berteman baik dengan ibu mereka.
Yazlyn ingin bertanya, ingin keluar dan menyapa, tapi Kathlea keburu keluar. Dengan wajah murung, ia menghapus air matanya, lalu pergi begitu saja.
Ada sesuatu yang mengusik hati Yazlyn. Tapi dia menahan diri.
---
Sore hari pun tiba, Yazlyn sudah pulang tepat waktu.
Ia melepaskan seragam, mengganti baju dengan kaus oversize dan celana pendek. Ia membuka jendela kamarnya, membiarkan angin masuk. Tak lupa Yazlyn menyala Meemee, kucing Persia putih kesayangannya, dan menghabiskan waktu bermain di lantai sambil tersenyum kecil.
Dunia modelling bisa sangat melelahkan, dan meemee adalah satu-satunya yang tak pernah menuntut apa-apa darinya.
Asyik bermain dengan Meemee tanpa sadar, ia tertidur. Tiba-tiba, suara pintu kamarnya dibanting membuatnya terlonjak.
BRAK!
Bunda berdiri di depan pintu, wajahnya merah padam, di tangannya tergenggam selembar formulir ekstrakurikuler.
“APA INI?!” teriak Bundanya, menggenggam formulir basket yang tak sengaja tertinggal dimeja ruang tengah.
Yazlyn terkejut. “Bun… aku cuma—”
“Kamu ikut basket?! Udah ku bilang berapa kali, kamu itu model! MODEL! Bukan pemain basket!”
“Tapi aku suka, Bunda. Aku—”
“SUDAH! HAPUS semua pikiran tidak berguna kamu itu! Kamu tahu berapa banyak aku keluarkan uang buat kamu bisa sampai di posisi ini?!”
Yazlyn menggigit bibir. Menahan emosi.
“Kenapa sih bunda nggak pernah tanya aku mau apa?”
Bundanya terdiam sejenak. Lalu menatap tajam.
“Kamu pikir hidup ini tentang apa yang kamu mau?! Kalau dulu aku mikirin keinginan, aku nggak akan bertahan sama ayah kamu selama ini!”
Yazlyn mengepal tangan. “Ah, mulai lagi. Ayah, ayah, ayah. Semuanya salah Ayah, kan?”
“Ya! Dia PENGKHIANAT! Kamu pikir dia bangga kamu main basket? Dia bahkan nggak peduli kamu hidup atau mati!”
“Berhenti bilang begitu! Ayah tetap ayahku!”
Tamparan mendarat di pipi Yazlyn.
Perih. Tapi bukan karena sakit di kulitnya.
Tapi karena itu bukan pertama kalinya.
Bundanya menangis. Tapi bukan air mata sedih. Melainkan air mata amarah.
“Seharusnya aku enggak pedulikan kamu. Harus aku mementingkan karir ku daripada hidup seperti ini. Harusnya aku masih populer sampai sekarang…”
Yazlyn terdiam. Air matanya mengalir perlahan.
“Jadi aku cuma boneka, ya?” suaranya gemetar. “Kenapa bunda nggak pernah dengar aku? Kenapa aku harus selalu jadi sempurna di depan orang lain padahal aku hancur di dalam?!”
Suasana membeku.
Tiba-tiba suara berat sang ayah terdengar dari tangga.
“Berisik! Kalian enggak bisa diam sehari saja, hah?!” Ayahnya datang, menatap keduanya dengan sorot tajam. “Aku pulang kerja capek, yang ada rumah kayak pasar!”
“Dia yang mulai!” bunda menunjuk Yazlyn.
Yazlyn menggeleng, “Ayah, aku cuma—”
“Diam, Yazlyn!” bentak ayahnya. “Aku enggak mau dengar ocehanmu. Kalau kamu enggak bisa nurut, keluar aja dari rumah ini!”
Hening.
Tangis Yazlyn pecah. Namun ia menahan. Tidak di depan mereka. Tidak lagi. Ia berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga tanpa sepatah kata pun. Di belakang, bunda masih terus menyalahkan, dan ayah hanya duduk dengan wajah dingin sambil membuka koran, seolah tak terjadi apa-apa.
Di taman belakang, Yazlyn duduk di bangku batu, memeluk formulir basket yang sudah diremas. Angin sore mengusap wajahnya. Meemee mengikuti dari belakang, mengeong pelan.
“Kalau kamu bisa bicara, Mee... aku pasti udah cerita semuanya. Aku capek, Mee. Aku bukan boneka... aku juga manusia...”
Matanya menatap langit. Senja itu, langit seolah tahu perasaannya. Mungkin, malam nanti, bintang akan memberinya kekuatan untuk terus bertahan. Tapi entah sampai kapan.
---