Hari-hari Shanum di Elvoreign High School berjalan tidak seburuk yang ia bayangkan. Di ruang kelas, setidaknya, ia bisa bernapas lega. Pelajaran demi pelajaran ia ikuti dengan cepat. Ia bahkan menjadi siswa paling menonjol karena selalu mampu menjawab pertanyaan dari guru dengan tepat.
Beberapa kali, guru-guru memujinya secara terbuka—sesuatu yang membuat Shanum malu, tapi diam-diam bersyukur. Setidaknya, di kelas, ia bisa merasa aman.
Meski tidak semua teman sekelas menyambutnya hangat, mereka tak juga menatapnya sinis seperti di hari pertama. Beberapa tampak cuek, tapi ada juga yang mulai menyapanya.
Itu cukup untuk membuat Shanum merasa bahwa dirinya tidak sepenuhnya tak terlihat. Namun, rasa nyaman itu hanya terbatas di dalam kelas. Begitu keluar dari pintu itu, semuanya berubah.
Di luar kelas, Shanum mulai merasakan tekanan yang sesungguhnya. Meski kini ia mengenakan seragam yang sama, kehadirannya tetap mencolok—terutama karena hijab yang ia kenakan.
Ia tidak sendiri, memang, ada beberapa siswi lain yang berhijab, namun tetap saja, penampilan mungilnya menjadi bahan ejekan yang menyakitkan.
“Hei, lihat deh, anak SD nyasar,” ucap seorang siswa pria di koridor, disambut tawa beberapa temannya.
“Dia tuh tinggi atau nama doang? 148 cm, serius?” tambah yang lain sambil menunduk-nunduk mengejek.
Shanum menunduk, pura-pura tidak mendengar. Ia sudah hafal strategi itu sejak SMP. Tapi tetap saja, hatinya seperti diremas setiap kali ejekan itu datang. Ia merasa seperti kelinci kecil yang tersesat di antara jerapah-jerapah tinggi—tak berdaya dan mudah diinjak.
Yang lebih menyakitkan bukan hanya ejekan soal fisiknya, melainkan juga ketika status keluarganya mulai dibahas. Entah dari mana para siswa itu mengetahui tentang keluarganya, tapi kabar itu cepat menyebar di kalangan mereka yang haus akan topik untuk dijadikan bahan cemoohan.
“Katanya bokapnya tukang ojek online, ya?” celetuk seseorang di lorong.
“Ibuknya nyuci baju, kan? Aduh, pantes... vibe-nya beda,” ujar gadis lain sambil terkikik di belakangnya.
Shanum berpura-pura fokus pada buku di tangannya, tapi suaranya tercekat. Ada rasa panas yang mengendap di dada. Ia mulai mempertanyakan, apakah memang salah menjadi anak dari keluarga biasa? Mengapa Elvoreign yang katanya menjunjung tinggi prestasi justru menjadi tempat paling mematikan untuk harga diri?
---
Saat istirahat, Shanum memilih ke perpustakaan. Di sana, ia merasa seperti menemukan tempat berlindung. Sunyi, tenang, dan jauh dari tatapan menghakimi. Ia mengambil sebuah novel fiksi dan duduk di sudut ruangan, mencoba melarikan diri ke dunia lain. Namun rasa lapar akhirnya memaksanya keluar dari persembunyian.
Kantin masih cukup ramai, tapi tidak sepadat saat bel baru berbunyi. Ia mengambil makanan sederhana dan memilih duduk di sudut dekat jendela, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi harapannya pupus saat seorang siswi dengan blazer rapi dan penampilan mencolok datang menghampiri.
Name tag di dadanya bertuliskan Rosela.
“Boleh duduk sini?” tanyanya tanpa senyum.
Shanum hanya mengangguk pelan. Rosela langsung duduk dan menatapnya tajam, seperti sedang menilai harga barang murah.
“Nama kamu siapa?”
“Shanum,” jawabnya lirih.
“Tinggal di mana?”
“Di... pinggiran kota,” jawab Shanum, merasa detak jantungnya mulai tak teratur.
“Bapak kamu kerja apa?”
“Ojek online.”
“Ibu?”
“Buruh cuci.”
Rosela terdiam sejenak, lalu tertawa—tajam dan nyaring. “Serius? Kamu nggak malu masuk sini dengan latar belakang kayak gitu?”
Belum sempat Shanum menjawab, tiga gadis lain datang bergabung. Di name tag mereka tertulis: Ghianetta, Fabianca, dan Kathleen. Saat melihat Kathleen, hati Shanum berdesir. Ia masih ingat perempuan itu, yang memarahi Kathlea—kembarannya. Shanum belum bertemu lagi dengan Kathlea sejak hari itu. Ia ingin bertanya di mana gadis itu sekarang, tapi lidahnya kelu.
Obrolan di meja berubah menjadi interogasi yang menusuk.
“Sepatu kamu beli di mana? Murah ya?” tanya Fabianca.
“Kamu nggak malu ya duduk di sini? Ini kan area anak-anak ‘atas’,” sindir Ghianetta.
Shanum menggenggam garpunya erat. Ia ingin menjawab, tapi semua kata yang ada di pikirannya seolah hilang ditelan rasa takut. Napasnya sesak. Ia tak bisa menahan suara batinnya sendiri.
"Kenapa mereka sebegitu tega? Apa salahku jadi anak dari keluarga sederhana? Aku belajar keras, aku ingin masa depan yang layak. Tapi kenapa latar belakang keluargaku jadi alasan mereka merendahkanku?" Bisik shanum di dalam hati.
Ia ingin menangis. Tapi ia tahu, itu hanya akan membuat mereka lebih senang.
Tiba-tiba, suara gemericik air terdengar. Segelas air mineral tumpah dan mengenai rok Rosela.
“Astaga!” pekiknya.
Namun Rosela tidak jadi mengamuk. Begitu melihat siapa yang menumpahkan, ekspresinya berubah. Lembut. Bahkan canggung.
“Sorry, Rosela... aku nggak sengaja,” ujar gadis berwajah cantik yang kini berdiri di samping mereka. Namanya Yazlyn. Shanum tahu, karena nama itu sering disebut-sebut di kelas, apalagi oleh para siswa laki-laki yang tampaknya sangat mengidolakannya.
Rosela hanya tersenyum kikuk. “Gak apa-apa kok…”
Tak lama, Rosela dan ketiga temannya pergi ke toilet. Shanum menyandarkan punggungnya ke dinding, mencoba bernapas. Yazlyn menatapnya singkat.
“Maaf ya kalau aku ganggu,” ucap Yazlyn pelan, lalu berlalu begitu saja tanpa bergabung.
Shanum mematung. Dalam hati ia berterima kasih. Bukan karena Yazlyn menyelamatkannya, tapi karena ia bisa menghabiskan makanannya dengan tenang.
Tapi setelah Yazlyn pergi, perasaan itu kembali menyerang. Shanum tahu, tak mungkin Yazlyn—gadis populer dan rupawan—mau duduk bersamanya. Berteman saja mungkin tak akan pernah terjadi. Ia hanyalah Shanum. Bukan siapa-siapa.
Saat kembali ke kelas, pikirannya dipenuhi suara-suara ejekan yang terus menghantui.
Anak ojek. Buruh cuci. Mungil. Tak pantas di Elvoreign.
Tangannya mengepal. Ada amarah, ada luka. Tapi di atas semua itu, ada tekad yang perlahan tumbuh. Jika semua orang menilainya dari apa yang keluarganya miliki, maka ia akan buktikan bahwa ia mampu berdiri dengan prestasi. Bahwa menjadi rendah bukan berarti hina.
Dan Shanum pun kembali pada dunianya. Dunia sepi. Dunia diam. Dunia yang tak pernah ramah.
---
Malam hari, setelah lelah bergelut dengan pelajaran dan ejekan yang menyesakkan, Shanum sudah berada di rumah sederhananya. Ibunya sedang melipat pakaian di dalam rumah karena besok harus diantarkan kepada si pemilik.
Ayahnya belum pulang—masih menarik penumpang, seperti biasa. Bau deterjen dan tanah basah menyambutnya. Sederhana, tapi hangat. Shanum duduk di atas kasur tipis di kamar kecil mereka.
Ia memandangi layar ponselnya. Tidak ada pesan, tidak ada notifikasi. Hanya dirinya sendiri yang terus bercakap dengan isi kepalanya.
“Apa aku harus pindah sekolah? Apa aku cukup kuat untuk bertahan?”
Air matanya jatuh, meski ia mencoba menahannya. Ia benci menangis. Ia ingin jadi kuat. Tapi hari ini terasa terlalu berat.
“Um...” suara ibunya terdengar lembut dari balik tirai. “Tadi Ibu ke pasar, ketemu Bu Darmi. Katanya anaknya juga masuk SMA, tapi sekolah negeri. Kamu betah di tempatmu sekarang, Nak?”
Shanum terdiam. Ia ingin menjawab tidak. Tapi ia tahu betul ayah dan ibunya bangga melihat Shanum dapat masuk ke sekolah elit seperti Elvoreign, meski dengan beasiswa penuh. Biaya seragam, transportasi, dan makan siang pun sedikit ringan.
“Iya, Bu... betah kok,” jawabnya pelan, berbohong demi membuat ibunya tenang.
Ibunya tersenyum, tak menyadari suara hati anak gadisnya yang remuk di dalam. “Alhamdulillah. Ibu sama bapak bangga banget sama kamu, Shanum. Pintar, nggak neko-neko, dan kuat.”
Shanum menggigit bibir. Pujian itu bukan membuatnya senang—melainkan menambah beban. Ia tidak ingin mengecewakan orangtuanya. Maka, ia harus bertahan. Apapun yang terjadi.
Malam itu, sebelum tidur, Shanum berdiri menghadap jendela kecil di kamarnya. Dari sana, terlihat bulan menggantung rendah. Ia memejamkan mata, berdoa dalam hati.
“Ya Allah... kalau aku tidak bisa buat mereka bangga dengan kekayaan, izinkan aku membanggakan mereka dengan ilmu. Jangan biarkan aku menyerah. Jangan biarkan aku hancur sebelum berjuang.”
Ia membuka mata. Air matanya masih mengalir. Tapi kali ini, bukan hanya karena sakit—melainkan juga karena harapan.
---