Malam itu Sabrina hanya bisa menatap langit-langit kamarnya sambil memeluk bantal. Di luar, suara jangkrik bersahutan, tapi di kepalanya hanya ada satu suara, Ghia.
"Kenapa sih harus Ghia?" gumamnya kesal, menarik bantal dan menekannya ke wajah.
Seharusnya hari ini menyenangkan. Ia sudah berhasil menyelipkan surat pertamanya, meski dengan jantung seperti ditabuh alat marching band.
Tapi semua perasaan puas itu hancur berkeping-keping saat ia melihat Ghia bersorak histeris melihat Rizwan main bola.
"Padahal katanya punya pacar. Tapi kok kayak fans garis keras gitu..." ucapnya lirih, separuh mencibir.
Sabrina duduk, memandangi meja belajarnya yang kecil, lalu membuka laci. Surat pertama sudah diberikan, sekarang surat kedua.
"Ah, masa nyerah cuma gara-gara satu mahkluk," katanya sambil menggulung lengan baju, merasa seperti detektif yang harus menyelesaikan misi penting.
Ia ambil selembar kertas warna merah muda pastel, lalu duduk dan mulai menulis.
"Hai, kamu...
Kemarin kamu main bola ya? Aku lihat kamu lari-lari kayak kejar layangan putus. Tapi kamu tetap serius dan fokus.
Bikin aku jadi mikir, kamu itu orang yang kalau udah suka satu hal, bakal total banget ya?
Aku suka cara kamu nunduk waktu senyum. Bikin aku pengin nunduk juga… tapi bukan karena malu, karena takut jatuh cinta beneran.
Hari ini aku agak cemburu, tapi nggak papa. Aku juga bukan siapa-siapamu. Cuma penulis surat yang berani diam-diam aja.
Kalau kamu baca surat ini, dan kamu masih sempat senyum, itu berarti kamu baik banget. Dan kalau kamu simpan… ya ampun, jangan bilang begitu, nanti aku GR loh.
Dari aku, yang mengagumi mu."
Tak lupa Sabrina semprotkan parfum stroberi dengan stiker kecil bergambar buah stroberi berwarna merah.
Sabrina menggigit ujung pulpennya. "Terlalu jujur nggak sih?"
Tapi entah kenapa, ia merasa lega. Surat ini bukan sekadar pengakuan, tapi juga pelampiasan dari rasa suka yang pelan-pelan tumbuh—dan rasa cemburu yang tiba-tiba menyerang.
---
Pagi-pagi sekali, bahkan matahari belum sempat menyapa bumi, Sabrina sudah mengenakan jaket tipis.
“Pagi-pagi udah siap, mau kemana?” tanya ibunya curiga sambil mengaduk adonan untuk gorengan.
“Aku mau jalan pagi dulu ya bu. Biar nggak tumpul otot-otot,” katanya sambil nyengir.
Ibu menatap Sabrina dengan mata yang menyipit. “Kamu nggak biasanya semangat olahraga, ini jangan-jangan kamu suka sama anak jogging?”
“Enggak, Bu… ini olahraga demi masa depan,” katanya sambil cepat-cepat kabur sebelum ibunya menanyai lebih lanjut.
Tapi baru lima langkah keluar rumah, dia sudah dicegat oleh Bu Euis dan Bu Anah—tetangga sebelah yang terkenal dengan kemampuan nyinyir tingkat RT.
“Lho, Sab! Pagi-pagi udah keluar aja. Mau kemana? Tumben nggak bantuin ibumu bikin gorengan?” seru Bu Euis.
“Iya nih, jangan-jangan ada janjian sama cowok? Pagi-pagi udah dandan, lho,” timpal Bu Anah sambil melirik tajam.
Sabrina senyum kaku. “Hehehe, enggak Bu, mau olahraga aja.”
“Olahraga ke kebon, ya?” Bu Euis makin semangat. “Aduh, zaman sekarang anak muda makin kreatif!”
Sabrina cuma tertawa sopan dan jalan cepat-cepat sebelum jadi bahan gosip lebih lanjut.
Dengan langkah cepat, ia menyusuri jalan menuju kebun tempat Rizwan bekerja. Saat sampai, embun masih terasa di ujung daun pisang.
Udara dingin menyapa, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Beberapa pekerja tampak jauh di ujung kebun. Suara Rizwan belum terdengar—bagus, artinya dia belum datang.
Sabrina menelusup ke dalam saung kecil. Caping Rizwan tergantung di tempat yang sama.
“Maaf ya, Caping, aku pinjam sebentar. Tapi bukan buat dandan,” bisiknya pelan.
Tangannya menyelipkan surat kecil itu hati-hati di sela lipatan toping caping. Deg-degan, takut suratnya terbang, atau lebih buruk—ketahuan.
Selesai.
Sabrina buru-buru keluar dan kabur seperti pencuri cinta yang sukses menjalankan misinya. Kali ini, ia tak berani menengok ke belakang. Karena ketakutannya paling besar bukan ketahuan… tapi ditolak.
Setelah kembali ke rumah, Sabrina cepat-cepat berdiri di dapur, tangannya sibuk membalik tempe goreng yang baru saja diangkat dari minyak.
Bau wangi kecokelatan memenuhi udara. Ia sebenarnya sedang tidak niat masak, tapi ingin kelihatan sibuk saja supaya tidak terlalu mencurigakan. Lagipula, ia butuh momen yang pas untuk mengobrol dengan Kirana.
Dari ruang tengah, suara Kirana yang sedang menyisir rambut sambil nonton TV terdengar samar. Sabrina mendesah pelan lalu memanggil dengan nada sok santai.
“Ran, aku liat video dari hp ibu, semalam kamu cantik juga pas nari,” ucapnya sambil berpura-pura mengaduk sambal. “Cocok jadi duta seni desa.”
Kirana muncul sambil tertawa kecil, rambutnya dikuncir setengah. “Iyalah, Teh. Gak sia-sia tiap malam latihan di aula. Lumayan disawer tiga ribu.”
Sabrina terkekeh. “Dari siapa tuh saweran? Jangan-jangan... dari cowok?”
“Enggak, dari ibu-ibu,” jawab Kirana sambil duduk di bangku dekat meja makan. “Kalau cowok mah, pada sibuk main bola. Termasuk idola desa kita, Kang Rizwan.”
Sabrina pura-pura tidak bereaksi, padahal hatinya langsung siaga satu. Yes, umpan berhasil!
“Oh ya?” katanya ringan, tetap mengaduk sambal. “Dia... ikut juga ya, kemarin? Hebat juga tim desa kita.”
“Ikut dong. Masa enggak? Kang Rizwan itu striker andalan. Kaki kanannya tuh, bahaya! Sekali tendang, bola bisa mental ke langit.”
Sabrina tertawa hambar. “Kamu kayak komentator bola.”
“Lah, emang kenyataan. Gila aja cowok kayak dia masih betah di desa. Kalau aku jadi dia, udah pindah ke kota dari dulu casting jadi artis.”
Sabrina berpura-pura sibuk merapikan piring. “Kenapa emangnya? Emang dia betah disini?”
Kirana mengangguk. “Iya, kan dia yang lanjutin usaha keluarganya. Kang Rizwan itu anak bungsu. Kakak-kakaknya udah tinggal di kota semua, jadi ya... dia yang jaga rumah, bantu usaha bapaknya, Pak Acep.”
Sabrina mencatat semuanya dalam kepala. Anak bungsu. Penerus keluarga. Duh, makin... bagus. Eh, maksudnya, makin menarik buat riset pribadi.
“Dia aktif juga ya di kegiatan desa?” tanya Sabrina lagi, nada suaranya santai tapi penuh maksud.
“Hmm, aktif sih. Tapi nggak yang terlalu gabung sana sini. Kadang bantu pemuda desa, tapi gak kayak akang-akang yang suka nongkrong tiap malam. Dia lebih banyak di kebun.”
Sabrina langsung tersenyum kecil. Dalam hati, dia merasa makin yakin, ia tak salah pilih target.
“Tapi, Ran... kamu masuk gak ke kelompok pemuda desa itu?” tanya Sabrina dengan gaya iseng.
Kirana melirik tajam. “Kenapa nanyanya gitu? Eh eh eh... Teteh mulai aneh. Jangan bilang Teh Sabrina naksir cowok desa?”
Sabrina langsung cengar-cengir, menyembunyikan wajahnya di balik tudung saji. “Ih... aku cuma nanya. Masa gak boleh nanya?”
“Boleh sih. Tapi biasanya Teteh tuh cuek banget sama cowok. Sekarang nanya-nanya. Hmm... curiga.”
Sabrina buru-buru mengalihkan topik. “Eh, mau makan gak? Tadi aku goreng tempe loh.”
Kirana bangkit dari kursinya dengan senyum penuh selidik. “Mau. Tapi abis ini aku bakal interogasi Teteh soal cowok misterius ini!”
“Enggak ada yang misterius. Kamu aja yang suka halu.”
“Yang halu tuh... orang yang males keluar pagi-pagi buta, tiba-tiba suka jogging!” balas Kirana sambil berlari kecil ke dapur.
Sabrina terdiam sejenak. Kirana memang menyebalkan, tapi juga... pengetahuan lokal yang luar biasa.
---
Beberapa jam kemudian, Rizwan datang ke kebun seperti biasa. Ia menyapa pekerja, lalu masuk ke saung kecil untuk mengambil toping caping. Tapi langkahnya berhenti.
Dia menatap caping-nya.
Ada sesuatu di sana. Lagi.
Rizwan menghela napas. “Surat lagi…”
Tapi kali ini, dia tidak langsung mengabaikan. Surat pertama kemarin cukup berhasil menggelitik rasa penasarannya. Terlebih isinya bukan seperti surat cinta biasa. Ada... sentuhan humor dan perasaan tulus.
Ia ambil surat itu, membacanya perlahan. Matanya sedikit menyipit, senyumnya tak tertahan.
“Kejar layangan putus, katanya…” Rizwan terkekeh pelan.
Ia membaca kalimat demi kalimat dengan seksama. Lalu berhenti di satu bagian
"Kalau kamu simpan… ya ampun, jangan bilang begitu, nanti aku GR loh."
Rizwan tersenyum. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Ia menatap sekeliling, seolah memastikan tidak ada yang melihat, lalu ia lipat surat itu dan—ya, benar—ia simpan. Lagi.
Tapi berbeda dengan surat pertama, kali ini ia tidak hanya menyimpan. Ia juga mulai bertanya dalam hati.
“Siapa sih sebenarnya kamu ini?”
Dan hari itu, entah kenapa, Rizwan lebih sering menengok ke sekitar. Mencari sosok yang terlihat mencurigakan.
Atau mungkin... terlalu berani untuk sembunyi-sembunyi.