Pagi itu, suara riuh dari arah lapangan sudah terdengar sampai ke kebun. Turnamen antar desa memang jadi acara tahunan yang paling dinanti. Tapi hari ini, Sabrina tidak langsung ke sana.
Ia punya misi penting yang harus diselesaikan terlebih dulu—misi rahasia yang membuat jantungnya berdebar sejak semalam.
Dengan tas kain bermotif stroberi, ia melangkah cepat ke arah kebun tempat Rizwan biasanya bekerja. Letaknya agak jauh dari lapangan, melewati semak belukar dan kebun singkong.
Beberapa petani tampak sibuk menyiram tanaman, termasuk Pak Ali, pria paruh baya yang bekerja untuk pak Acep dan Rizwan.
“Oh, neng Sabrina!” sapa Pak Ali, melambai dari jauh. “Mau nyari siapa? Rizwan lagi ikut lomba bola di lapangan tuh!”
“Iya Pak, saya cuma numpang lewat,” jawab Sabrina sambil tersenyum canggung.
Ia terus berjalan, seolah memang hanya lewat. Tapi di dalam tas kainnya, tersembunyi selembar surat yang sudah ia tulis semalam, penuh pertimbangan, penghapusan kata, dan air mata tipis karena grogi sendiri. Surat cinta pertamanya.
Saung bambu kecil di ujung kebun sudah tampak. Tempat itu biasanya jadi pos istirahat Rizwan. Di sana selalu ada botol minum, sehelai handuk kecil, dan satu benda khas: caping anyaman bambu milik Rizwan, tergantung di dinding saung.
“Alhamdulillah kosong…” gumam Sabrina, menoleh ke kanan kiri.
Dengan hati-hati, ia masuk ke saung. Bau daun kering dan keringat samar memenuhi udara. Tangannya gemetar saat merogoh tas, mengambil surat berisi tulisan tangan yang nyaris ia batal tulis karena gugup sendiri.
Perlahan, ia angkat caping Rizwan dan menyelipkan surat itu di dalamnya. Tepat di sela-sela anyaman bambu, bagian dalam topi yang pasti akan dikenakan Rizwan saat kembali ke kebun nanti.
“Mudah-mudahan enggak diterbangin angin… atau enggak kebasahan sama hujan,” bisiknya.
Setelah memastikan semuanya aman, Sabrina keluar dari saung, menghela napas lega, dan buru-buru kembali menyusuri jalan setapak menuju lapangan.
---
Lapangan desa sudah ramai. Lomba sepak bola sedang berlangsung dan suara sorakan memekakkan telinga. Sabrina baru saja bergabung dengan kerumunan ibu-ibu yang menjajakan makanan, ketika matanya menangkap sosok yang terlalu familiar.
Rizwan, berkeringat, berlari, dengan kaos tim berwarna hijau tua dan celana panjang digulung sebatas betis. Senyumnya muncul setiap kali teman satu tim mencetak gol. Sabrina sempat ingin tersenyum juga… sampai—
“AYO RIZWAAAAAN! KASEP PISAN LARI-NYAAA!!”
Suara itu memekik dengan semangat yang menggetarkan hati… dan perut Sabrina.
Ghia si gadis berlipstik merah, wajah full makeup padahal cuma nonton bola. Bersorak lebih keras dari speaker lapangan.
Sabrina mencibir dalam hati.
"Katanya punya pacar anaknya Pak kades, tapi semangat ke Rizwan kenapa kayak mau dilamar?"
Tatapan Ghia tak lepas dari Rizwan. Meski pria itu sibuk menggiring bola ke kanan dan kiri, Ghia tetap mengejarnya dengan mata berbinar. Saking fokusnya, Ghia nyaris menabrak bakso dorong yang lewat.
“Kalau semangatnya bisa ditukar jadi energi listrik, PLN bisa pensiun,” gumam Sabrina kesal.
Hatinya panas. Bukan terbakar cemburu—lebih ke tersulut kesal karena saingannya terlalu cepat start.
Padahal Sabrina baru saja mengirim surat pertamanya, Ghia sudah nyetel toa dari tadi.
Tak tahan lagi, Sabrina memutuskan pulang.
Ia menghampiri ibunya yang sedang sibuk melipat kertas undian lomba dan berkata pelan, “Bu, aku pulang dulu ya. Kepala agak pusing.”
Ibu melirik, agak curiga. “Kamu sakit ya?”
Sabrina menggeleng.
“Masuk angin?” tanya ibu lagi.
“Bisa jadi… tapi yang pasti… hati aku cenat-cenut, Bu…”
Ibu tidak paham maksudnya, tapi membiarkan Sabrina pulang.
Setibanya di rumah, Sabrina berharap bisa menyendiri dan menghempaskan diri ke kasur. Tapi baru saja membuka pintu, ia disambut keributan kecil di ruang tamu.
“Duh Kirana, bulu matamu miring tuh!”
“Hah serius? Mana kaca, mana kaca!”
Kirana dan teman-teman seusianya sedang dandan heboh. Lipstik berserakan, bedak beterbangan, dan ada satu yang sibuk menyetrika kerudung sambil nyanyi.
Ternyata mereka bersiap untuk acara selanjutnya: pertunjukan tari dan menyanyi di panggung desa.
Biasanya Sabrina suka nonton. Apalagi kalau ada lomba nyanyi antar RT yang sering berujung drama mikrofon rebutan. Tapi hari ini beda. Mood-nya sudah dicemari oleh Ghia si pita merah. Rasanya seperti gorengan tanpa sambal—hambar.
Sabrina masuk kamar dan menjatuhkan diri ke kasur.
“Rizwan, semoga kamu baca suratnya... Tapi jangan jatuh cinta ke cewek yang soraknya lebih heboh dari komentator bola, ya.”
Tapi harapan-harapan itu terpotong oleh suara ramai dari luar kamar. Tawa cewek-cewek dan bunyi kresek-kresek bungkus camilan menyelinap masuk lewat celah pintu yang tak tertutup rapat.
Beberapa detik kemudian, pintu kamar didorong terbuka lebih lebar. Muncul kepala Kirana—adik bungsunya yang ceria dan sering kali terlalu penasaran.
“Teh Sab!” panggil Kirana sambil mendorong pintu dengan bahunya. “Tidur? Tumben. Biasanya jam segini nonton drakor.”
Sabrina menggulingkan badan, membelakangi pintu. “Capek.”
“Capek apa? Kan dari gak ngapa-ngapain,” goda Kirana masuk ke dalam kamar, duduk di tepi kasur. Ia mengamati wajah Sabrina yang memerah sedikit.
“Jangan ganggu, Ran.”
Kirana menaikkan alis curiga. “Teh Sab kenapa sih? Mukamu kayak abis nemu duit tapi takut ketauan.”
Sabrina mendengus, menutup wajah dengan bantal. “Nggak kenapa-kenapa.”
“Hmm...” Kirana mendekat, bersandar ke bantal cadangan. “Abis ketemu cowok ya?”
Sabrina langsung memalingkan wajah. “Hah? Siapa bilang?”
“Aku cium dari aura Teh Sab,” jawab Kirana sambil terkekeh. “Biasanya kamu tidur siang habis makan. Ini malah masuk kamar diem-diem, terus tiduran sambil senyum-senyum. Fix. Pasti ada yang disembunyiin!”
“Ran... pergi sana. Temanmu nungguin tuh.”
“Nggak mau, aku penasaran,” kata Kirana sembari menjepit bantal Sabrina. “Sumpah ya Teh, kalau Teh Sab lagi naksir cowok, aku yang pertama harus tahu. Deal?”
Sabrina hanya menggumam dari balik bantal, “Aku nggak naksir siapa-siapa.”
“Bohong banget,” Kirana tertawa, berdiri lagi. “Oke, fine. Aku nggak maksa. Tapi aku bakal intai Teh Sab mulai besok.”
“Ran!” teriak Sabrina setengah tertawa, melempar bantal ke arah Kirana.
Kirana berhasil menghindar dan melongok ke pintu. “Kalau Teh Sab pacaran diem-diem, aku mau ikut pilih foto prewed!”
Sabrina hanya menggeleng, tapi dalam hati ia senang. Kirana, meski cerewet dan rempong, selalu membuat suasana rumah jadi hidup.
Dan di tengah riuh pikiran dan perasaannya sendiri... sedikit tawa dari Kirana ternyata cukup membuat hatinya lebih tenang.
---
Sore hari setelah pertandingan sepak bola berakhir, langit mulai memerah. Matahari menggantung malas di balik awan tipis, dan suara dari panggung hiburan mulai mengalun.
Musik dangdut yang memaksa kaki untuk bergoyang, meski tubuh sudah pegal setelah pertandingan.
Rizwan tidak ikut menikmati acara hiburan. Ia pamit lebih dulu dari keramaian, menyeka keringat yang mulai dingin di tengkuknya. Kakinya melangkah santai menuju kebun, tempat di mana ketenangan menunggunya seperti sahabat lama.
Sesampainya di saung kecil tempat biasa ia beristirahat, Rizwan langsung melepas jaket tim, menggantungkannya, lalu mengambil capingnya yang tergantung di dinding.
Tapi baru saja ia angkat topi anyaman itu, alisnya bertaut. Ada sesuatu di dalamnya.
Kertas.
Ia menariknya pelan, membuka lipatan demi lipatan, dan menemukan tulisan tangan rapi di atas kertas wangi yang sepertinya sempat diberi semprotan parfum lembut.
Hidungnya mencium aroma samar buah stroberi, atau mungkin bunganya stroberi—kalau ada jenis seperti itu.
Rizwan membaca pelan, tak bersuara. Tapi senyumnya muncul pelan-pelan, seperti mentari pagi yang malu-malu.
"Untuk kamu yang selalu bekerja tanpa banyak kata,
Aku menulis ini bukan untuk membuatmu tahu, tapi agar aku tak meledak karena menyimpannya terus. Mungkin kamu tak akan peduli, atau bahkan tertawa membacanya.
Tapi kalau pun iya, tertawalah pelan. Karena jantungku bisa copot kalau kamu sampai tahu siapa aku.
Dari seseorang yang sering mengintip kamu dari balik pohon singkong."
Rizwan mendengus pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum geli. Tangannya menelusuri tulisan itu, seperti sedang menyentuh isi hati seseorang.
“Dari balik pohon singkong?” gumamnya sambil menahan tawa. “Serem juga sih kalo ada yang ngintip dari sana…”
Ia menatap sekeliling, seolah mencari sosok misterius yang menulis surat ini. Tapi tentu saja tak ada siapa-siapa. Yang ada cuma suara jangkrik, bayangan pohon, dan secuil rasa hangat di dada.
Rizwan menyelipkan kembali surat itu ke dalam topi, tapi kali ini tak lagi dengan rasa curiga, melainkan seperti menyimpan harta karun kecil yang manis.
“Siapa pun kamu,” bisiknya, “terima kasih ya… udah nyenengin hati orang kayak saya.”
Lalu ia duduk di bangku bambu, memandang langit sore, sementara angin berhembus pelan, membawa aroma tanah.