Sore Hari di Rumah Sabrina
Di beranda rumahnya yang sederhana, Sabrina duduk bersila sambil memegang pulpen ungu dan selembar kertas yang sudah beraroma parfum stroberi. Sore itu matahari bersinar hangat, angin meniupkan bau tanah dan suara ayam tetangga ikut menyumbang harmoni suasana.
Ia menatap kosong ke kertas, lalu menggigiti ujung penanya. “Duh… surat ketiga, harus lebih manis dari yang kemarin. Jangan-jangan dia udah nyadar?” gumamnya sambil senyum-senyum sendiri.
Dari dalam rumah terdengar suara Ibu.
“Sabrina, itu cucian belum diangkat?”
“Belum, Bu… ini lagi nulis, penting banget!”
“Surat lamaran kerja lagi, ya?”
“I…iya bu,” jawab Sabrina cepat sambil menutupi kertasnya pakai buku.
Sabrina menghela napas panjang, lalu mulai menulis lagi.
"Untuk kamu yang mungkin udah curiga siapa aku, tapi sok pura-pura nggak tau…
Hari ini aku lihat kamu dari kejauhan. Sumpah demi kecambah, kamu kelihatan kayak pahlawan sayur.
Capingmu itu… kayak mahkota kesatria. Kalau dunia krisis gizi, kamu pasti bisa selamatin bumi cuma dengan cabai dan bayam!
Aku pengen nanya, kamu tuh rajin banget, ya? Apa kamu minum jamu anti-mager? Karena aku nggak ngerti gimana bisa kamu semangat tiap hari ke kebun, sementara aku bangun tidur aja kayak zombie kelaperan.
Kamu tuh kayak... semangka dingin di siang bolong. Nyegerin, bikin senyum, dan nggak gampang ditebak isinya.
Oke deh, segini dulu. Aku titip surat ini lagi di tempat biasa, ya. Jangan bosan sama ocehan nggak pentingku ini. Dari aku, yang selalu pengin tahu kamu lebih jauh dari jarak semangka ke blender."
Sabrina tertawa kecil sambil menulis nama pengirimnya: Dari: Yang (mungkin) kamu cari.
---
Esoknya suasana pagi di desa selalu datang dengan tenang. Langit baru semburat oranye saat Rizwan mengayuh sepeda tuanya menuju kebun, membawa sebungkus nasi uduk yang dibeli di warung Mak Wati.
Udara pagi yang masih segar menyapa kulitnya, diiringi gemerisik daun dan bunyi burung yang seolah menyambut kehadirannya.
Di kampung, Rizwan dikenal bukan hanya sebagai anak bungsu dari Bu Romlah dan Pak Acep, melainkan juga sebagai "Si Akang Petani Idaman" oleh beberapa ibu-ibu penggosip di warung.
Wajahnya memang bersih, kulitnya sawo matang terawat, tubuhnya tegap karena setiap hari terbiasa mengangkat karung sayur dan cangkul. Bicaranya halus, tapi matanya tajam dan penuh keyakinan. Pesonanya sederhana, tidak dibuat-buat.
Rizwan anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama, Damar, tinggal di kota bersama istrinya dan membuka usaha percetakan.
Kakak keduanya, Syarif, merintis bisnis frozen food. Mereka berdua sudah sepakat untuk tidak kembali ke desa dan menyerahkan tanggung jawab meneruskan usaha pertanian keluarga kepada Rizwan.
Meski sempat ragu, Rizwan akhirnya menerima. Baginya, tinggal di desa bukan akhir segalanya. Ia justru merasa punya kendali lebih atas hidupnya di sini.
Setiap pagi, sebelum ke kebun, Rizwan selalu menyempatkan diri duduk di teras rumah sambil meminum kopi buatan ibunya.
Setelah itu ia akan ke kebun, mengecek tanaman cabai, bayam, atau kangkung yang siap panen atau ikut menanam dengan pekerja lain.
Hari ini pun ia melakukan hal yang sama, tanpa ekspektasi apa pun. Apalagi soal surat.
Dulu, Rizwan memang pernah menerima surat-surat cinta. Dari Nisa, anak penjual kerudung di pasar yang selalu menyelipkan surat di kantong plastik belanjaan.
Dari Melly, teman semasa sekolah yang berani menitipkan surat lewat adiknya.
Bahkan dari Ghia, gadis centil yang selalu menyapanya kelewat manis kalau mereka berpapasan di pasar.
Tapi surat-surat itu semuanya memiliki satu kesamaan: garing. Klise. Berisi pujian yang terlalu serius, atau rayuan yang terasa seperti kutipan dari sinetron.
"Kang Rizwan, senyummu seperti mentari yang menyinari hatiku..."
Ya ampun.
Sebagian surat tak pernah ia balas. Dan biasanya, setelah dua surat, si pengirim akan berhenti. Karena tak digubris, karena malu, atau karena sadar Rizwan tidak tertarik.
Itulah sebabnya pagi ini, Rizwan tidak berekspektasi apa pun.
Namun begitu ia sampai di pondok kebun, menggantungkan jaket dan mengambil caping kesayangannya yang ia tinggal semalam... hatinya mendadak deg-degan.
“Hah?! Surat lagi?” gumamnya.
Ada amplop pastel kecil, terselip rapi di sela tali caping. Surat ketiga.
Dengan setengah tak percaya, Rizwan membuka surat itu dan mulai membaca. Kali ini ia bahkan tak duduk—langsung berdiri di bawah sinar pagi yang temaram, mulutnya tak bisa menahan senyum saat membaca:
“…kalau dunia krisis gizi, kamu pasti bisa selamatin bumi cuma dengan cabai dan bayam…”
“…kamu semangat tiap hari ke kebun, sementara aku bangun tidur aja kayak zombie kelaperan…”
Rizwan menghembuskan napas panjang, lalu terkekeh pelan.“ Kamu ini siapa sih…? Kenapa malah saya yang makin nungguin?”
Surat ketiga ini berbeda dari surat-surat lainnya. Bukan cuma karena tulisannya rapi dan wangi stroberi, tapi karena isinya… hidup. Lucu. Penuh warna.
Tidak lebay. Tidak garing. Dan membuat Rizwan tersenyum sendiri.
Hari itu, Rizwan jadi lebih semangat membersihkan rumput liar. Tangannya bekerja, tapi pikirannya sibuk menebak-nebak siapa pengirim surat itu. “Apa besok bakal ada surat lagi…?”
---
Setelah menghabiskan sebagian pagi mencabut rumput liar dan mengecek tanaman cabai yang mulai memerah, Rizwan duduk di saung kecil di pinggir kebun. Di sana, ia dan tiga petani lain—Mang Soni, Pak Dudung, dan Yayan—berkumpul untuk makan siang.
Masing-masing membuka bekal dari rumah, ada yang membawa nasi uduk, ada yang bawa sayur asem dan ikan asin, dan tentu saja sambal terasi tak pernah absen.
Mereka makan sambil bersenda gurau, membahas harga pupuk yang naik, hujan yang kadang turun, kadang tidak, hingga berita terbaru dari radio butut di warung kopi.
“Hari ini sambal istri saya lebih pedas dari biasanya,” keluh Yayan sambil kipas-kipas mulut. “Bisa-bisa saya sakit perut lagi sore ini.”
“Bagus atuh, biar besok kamu nggak makan jatah gorengan di warung,” sahut Pak Dudung, membuat yang lain tertawa.
Rizwan hanya senyum kecil, sebagian pikirannya masih memutar kalimat dalam surat tadi pagi. Ia nyaris tak menyentuh sambalnya.
Tiba-tiba, dari kejauhan, suara langkah ringan terdengar mendekat. Mereka semua menoleh.
Sabrina muncul dari jalan setapak, mengenakan blus sederhana dan rok panjang. Tangannya membawa rantang makan berwarna biru. Ia berhenti di tepi saung dan berkata sopan.
“Punten ya bapak-bapak semua.”
“Eh, iya, iya, mangga, Neng,” jawab Mang Soni ramah sambil sedikit bergeser.
Sabrina berjalan pelan melewati mereka, menyunggingkan senyum kecil yang manis. Rizwan mengangguk kecil, tidak berkata apa-apa, tapi matanya sempat menatap sebentar sebelum kembali fokus pada bekalnya.
"Kayak pernah lihat, tapi dimana ya?" Ucap Rizwan didalam hati. Karena saat hari dimana pak Acep memperkenalkan Rizwan kepada pak Jajang, teman bapak. Ia tidak memperhatikan anaknya yang hari itu ada di samping pak Jajang.
Baru kali ini Rizwan melihat dengan jelas wajah Sabrina, anak pak Jajang, yang sering mengantarkan makanan setiap tengah hari tiba.
Begitu Sabrina sudah cukup jauh dan tak mendengar mereka lagi, para petani langsung bereaksi.
“Duh, anak Pak Jajang yang satu ini makin cantik aja, ya? Bening pisan.” Gumam Mang Soni sambil mengelus dagu.
“Yang mana yang kamu maksud, Son?” tanya Pak Dudung. “Anaknya kan ada tiga tuh. Si Melati, Sabrina, sama Kirana.”
“Semuanya juga cantik-cantik! Tapi Sabrina itu… aduh, tatapannya tuh lembut. Kayak embun di pagi hari,” jawab Mang Soni dramatis.
Yayan tergelak. “Weh, embun katanya! Mang Soni mah puitis juga kalau soal perempuan!”
“Ya namanya juga dulu mantan penyiar radio kampung, kan,” Pak Dudung menimpali. “Dulu tiap siaran suka nyelipin puisi gombal, padahal pendengarnya cuma dua orang, istrinya sama anaknya.”
Mereka semua tertawa lagi.
“Eh, tapi serius ya,” kata Yayan sambil menyeruput air minumnya, “Anak-anak Pak Jajang itu tiga-tiganya cantik. Si Melati itu lembut, sopan, pinter pula. Sabrina? Walau tomboy, tapi senyumnya bikin deg-degan. Nah, Kirana paling bisaan nyanyi nya, merdu pisan.”
Mang Soni menepuk paha. “Kalo saya punya mesin waktu, saya pengen balik ke umur 20 lagi. Langsung saya lamar salah satu!”
“Lho, istri kamu gimana?” canda Pak Dudung.
“Ah, ini cuma bercanda. Tapi beneran deh, Pak Jajang itu ngeracik pake apa sih dulu? Anaknya cantik-cantik semua!"
Rizwan hanya menyimak dari tadi tanpa ikut menimpali. Ia mengangkat cangkir kopinya, meneguknya perlahan sambil matanya kembali melirik jalan setapak tempat Sabrina lewat tadi.
Dalam hati ia bergumam, "Sabrina, ya… hmm. Bisa jadi dia? Tapi gayanya biasa aja. Atau justru itu triknya?"
Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. Rizwan baru ingat jika gadis itu pernah terlibat obrolan dengan bapak nya—pak Acep dan pak Jajang di Minggu lalu. Walaupun hanya menjadi pendengar.
“Kenapa senyum-senyum, Kang Rizwan?” tanya Yayan menggoda. “Jangan-jangan kamu juga mikirin Sabrina?”
“Ah, nggak…” jawab Rizwan sambil menunduk, lalu menambahkan pelan, “Tapi suratnya wangi stroberi.”
“Ha?! Surat?!” seru mereka hampir bersamaan.
Rizwan langsung pura-pura sibuk membuka rantang nasi uduknya lagi, pura-pura tak mendengar.