Suasana kamar rawat itu jarang sekali sepi. Sejak Yura dirawat, seakan-akan kamar itu berubah jadi tempat bermain anak-anak. Mereka yang mengenalnya—karena sering melihat Yura mondar-mandir di lorong rumah sakit—suka mampir, membawa warna dan tawa ke ruangan yang biasanya sunyi. Yura menyambut mereka dengan senyum lebar, bahkan sempat-sempatnya pamer tangan yang digips sambil bercanda.
"Ini, lihat. Yura ssaem sampai harus digips. Tapi dokter yang obatin ssaem keren banget, jadi kalian nggak perlu takut ya kalau ketemu dokter," katanya sambil mengacungkan lengannya yang digips. Anak-anak tertawa, beberapa bahkan penasaran siapa dokter yang dimaksud.
Di pojok ruangan, Minhyuk hanya bisa menggeleng pelan melihatnya. Perempuan itu benar-benar tak pernah kehilangan cahaya, bahkan saat sedang terluka. Kadang Minhyuk bingung—siapa sebenarnya yang sedang dirawat?
Selama tiga hari ia menemani Yura, Minhyuk menyaksikan satu demi satu anak datang dan pergi. Ada yang hanya sebentar, ada yang betah duduk di samping tempat tidur Yura sambil mendengarkan cerita. Hingga malam itu, setelah anak terakhir pulang bersama perawat, Minhyuk akhirnya bertanya.
"Kenapa kau suka sekali dengan anak-anak?" tanyanya, matanya menatap Yura yang tengah memandangi langit dari balik jendela.
Yura menoleh, matanya tenang. "Mereka itu... lucu. Baik hati. Polos. Mereka nggak punya alasan untuk pura-pura. Dan yang paling penting—anak kecil bisa dipercaya." Diam sejenak, lalu ia menarik napas, "aku kehilangan teman waktu kecil. Sejak itu... aku nggak mau anak-anak merasa sendirian atau sakit tanpa ditemani."
Kalimatnya ringan, tapi dampaknya tidak. Minhyuk tak berkata apa-apa, hanya menatap Yura lebih lama dari biasanya.
"Oh!" seru Yura tiba-tiba, seperti teringat sesuatu. "Suratmu! Aku belum membacakan surat itu untukmu, padahal waktu itu aku yang janji membantu."
Minhyuk mengerjapkan mata, seperti baru sadar. "Ah, benar juga. Tapi tak apa. Nanti aja, setelah kau pulang."
Kebetulan, malam ini adalah malam terakhir Yura di rumah sakit. Besok dia sudah boleh pulang.
"Tidurlah lebih cepat malam ini," ujar Minhyuk, menarik selimut hingga menutupi bahu Yura. Sentuhannya lembut, hangat.
Yura tersenyum kecil. "Jaljayo, Minhyuk-ssi," ucapnya pelan. Tak berharap apa-apa, karena selama dua malam berturut-turut, ucapannya tak pernah dibalas.
Tapi kali ini berbeda.
"Jaljayo, Yura-ssi," jawab suara rendah dari sofabed di samping tempat tidurnya.
Yura sontak menoleh. Jantungnya memompa cepat, seperti lupa cara tidur. Bibirnya melengkung, senyumnya tak bisa dikendalikan. Ia berusaha memejamkan mata, tapi senyum itu terus menghiasi wajahnya sampai akhirnya ia terlelap... dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan.
***
Pagi harinya, suasana kamar rawat penuh suara. Minjun, Hyena, dan Rowoon datang hampir bersamaan. Yura sudah rapi, mengenakan pakaian biasa. Tasnya sudah terisi, dibantu oleh Minhyuk sejak pagi.
Rowoon langsung memeriksa tangan Yura, memastikan semuanya baik-baik saja. Gipsnya sudah dilepas, hanya perlu memakai arm sling beberapa hari ke depan.
"Kau yakin sudah tidak apa-apa?" tanyanya, mata masih fokus ke bekas cederanya.
"Aku sudah lebih baik sekarang. Iya, kan, Go Minjun?" jawab Yura sambil menoleh ke Minjun.
Minjun mengangguk yakin. "Dia sudah sembuh. Kalian seperti tidak tahu saja... manusia super Han Yura."
Hyena menyikutnya pelan. "Bisa-bisanya bercanda saat begini."
"Apa? Aku serius," Minjun mengangkat tangan, pasrah.
"Sudahlah, kalian kembali kerja saja. Aku mau pulang."
"Aku antar," Rowoon langsung menawarkan diri.
"Tidak perlu. Kau masih harus poli. Lagipula..." Yura melirik Minhyuk yang sedang duduk tenang, "Minhyuk-ssi akan mengantarku."
Minhyuk hanya berdeham singkat.
Seketika Rowoon terlihat kaku. Ini bukan sesuatu yang biasa baginya. Biasanya, dialah yang selalu ada di sisi Yura. Tapi sekarang? Bahkan tasnya pun tak sempat disentuh, karena Minhyuk lebih dulu mengambilnya. Minjun sampai melongo sebentar melihat kecepatan kakaknya.
"Sudah, sudah. Aku pulang dulu," pamit Yura, berdiri dengan dibantu lengan Minhyuk yang terulur diam-diam. Dengan malu-malu, ia menyambut lengan itu, dan melangkah pelan meninggalkan kamar.
"Sampai ketemu lagi."
"Kami pergi dulu," ucap Minhyuk, menggenggam erat tas di bahunya dan satu koper di tangannya.
"Hati-hati di jalan! Kabari kalau sudah sampai," kata Hyena.
***
Sepanjang jalan menuju lobi rumah sakit, Yura beberapa kali mencuri pandang ke arah Minhyuk. Lelaki itu berjalan dengan langkah pasti, satu tangan mendorong koper kecil milik Yura, tangan lainnya menggantung santai di sisi tubuhnya. Raut wajahnya tetap datar, seperti biasa. Tapi Yura tahu—di balik wajah tak terbacanya itu, ada perubahan kecil. Lebih... hidup. Lebih hangat.
Dan entah kenapa, Yura malah jadi gugup sendiri.
Dia melirik lagi. Sedikit. Tapi cukup untuk tertangkap basah.
"Kenapa kau terus melihatku diam-diam begitu?" tanya Minhyuk tiba-tiba, masih tanpa menoleh.
Yura langsung panik, langkahnya sempat terhenti setengah detik. "A-aku? Tidak! Siapa yang melihatmu? Aku hanya—hm—melihat... lantai?"
Minhyuk mengangkat alis, akhirnya menoleh sambil menahan tawa. "Lantai?"
"Iya! Ini... lantainya bersih sekali. Maksudku, rumah sakit ini keren, ya, sampai lantainya mengilap begini," Yura bicara cepat, matanya menghindar ke segala arah kecuali ke arah Minhyuk.
Minhyuk akhirnya tertawa pelan. "Jadi, kau mau bilang kau terpana sama lantai? Bukan aku?"
Yura menoleh cepat. "Jangan terlalu percaya diri, Go Minhyuk-ssi."
"Aku tidak berlebihan. Aku hanya pintar membaca situasi," sahutnya kalem, tapi senyumnya muncul tipis, menjengkelkan dan memesona di saat yang sama. "Lagi pula, ini bukan pertama kalinya kau curi-curi pandang padaku, kan?"
Yura mencibir. "Terserah kau sajalah."
Mereka berjalan lagi, beberapa detik dalam diam, sampai Minhyuk kembali menggoda, "Kau pasti berpikir, 'wah, ternyata Go Minhyuk ganteng juga ya dari samping'."
Yura berhenti seketika. "Astaga! Kau barusan memiripkan suaraku?! Itu sama sekali bukan nada suaraku!"
Minhyuk mengangguk-angguk sambil memasang wajah polos. "Oh, iya? Tapi cocok banget, lho. Persis seperti yang ada di kepalamu tadi."
Yura mendesah frustrasi. "Aku nggak percaya, seorang fotografer kalem bisa sebegini... menyebalkannya."
"Syukurlah aku bukan sembarang fotografer. Aku fotografer yang kau taksir diam-diam."
Yura ingin melempar sandal rasanya.
"Go Minhyuk-ssi, tolong ingat baik-baik. Hanya karena aku menatapmu sekali dua kali—"
"Lima kali."
Shibal. Yura menatapnya tajam. "—itu tidak berarti aku menaksirmu."
"Hmm." Minhyuk tampak berpikir sebentar. "Tapi biasanya orang hanya menghitung tatapan orang lain kalau dia juga memperhatikan."
Yura terdiam.
Skakmat!
Apa coba maksudnya ini? Dia menahan napas sejenak, lalu berjalan lebih cepat, berharap bisa menjauh.
Tapi Minhyuk mengejarnya santai, lalu tiba-tiba berdiri di depan Yura, menghadang jalannya.
"Kalau aku memang terlalu ganteng untukmu, bilang saja," katanya, matanya menyipit nakal.
Yura melipat tangan di dada. "Oke, aku bilang."
Minhyuk sempat terkejut. "...Apa?"
"Jangan senyum," ucap Yura cepat, nada suaranya mendadak pelan tapi jelas. "Terlalu ganteng. Nanti aku bisa suka padamu."
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Minhyuk terdiam. Ucapannya seperti tersangkut di tenggorokan. Dia tak menyangka Yura akan membalas dengan seblak-blakan itu. Padahal tadi niatnya hanya menggoda.
"Wah..." akhirnya dia bersuara, tapi nada suaranya pelan, nyaris gugup. "Kau... serius?"
Yura menaikkan bahu santai. "Mungkin iya. Mungkin nggak. Siapa yang tau?"
Minhyuk mendecak, wajahnya memerah samar. Ia cepat-cepat berdeham dan kembali melangkah.
Yura mengejarnya pelan, kali ini dengan senyum penuh kemenangan.
"Wajahmu merah tuh," godanya.
"Tidak."
"Yakin?"
Minhyuk menoleh sejenak. "Kau tidak sopan, Han Yura."
"Loh, siapa duluan yang menggodaku? Jangan bercermin kalau nggak siap lihat diri sendiri."
"Aku... ya... ini karena matahari."
"Langitnya lagi mendung. Dan lagi, kita masih dalam gedung."
"Eh—maksudku, tadi pagi panas. Masih kebawa sampai sekarang."
Yura tertawa. "Kau fotografer, kan? Masa nggak bisa bedain lighting alami dan lighting akibat malu?"
Minhyuk memalingkan wajah. "Sungguh menyebalkan..."
"Tapi kau suka, kan?"
Dia menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil sambil melirik Yura sekilas. "Kukira kau pasien rumah sakit, bukan orang yang bisa bikin jantung orang lain kerja keras."
"Lho, jadi aku bikin jantungmu deg-degan?"
Dia tak menjawab. Hanya menatap Yura sebentar, lalu melanjutkan langkahnya dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
***
Begitu mereka sampai di lobi rumah sakit, Yura melirik ke arah Minhyuk. Suasana pagi yang masih terpantau sepi, membuat detak jantungnya entah kenapa terasa lebih nyata.
"Kau sudah memanggil taksi?" tanyanya pelan.
Minhyuk yang sedang sibuk mengecek sesuatu di ponselnya menoleh sekilas. "Untuk apa panggil taksi?"
Yura memiringkan kepala, sedikit bingung. "Ye?... Kalau begitu kita naik apa? Bus? Atau... Jangan-jangan kau menyuruhku jalan kaki sampai rumah?"
Minhyuk tak langsung menjawab. Ia justru melirik Yura sekilas, lalu mengangkat satu alis. "Kenapa tidak?"
Nada datarnya yang seperti serius membuat langkah Yura langsung terhenti begitu mereka keluar dari pintu lobi. Matanya menyipit curiga ke arah Minhyuk yang masih terus melangkah beberapa meter di depan.
"Go Minhyuk-ssi," panggilnya dengan nada datar—setengah kesal, setengah ingin tertawa juga.
Minhyuk akhirnya berhenti dan berbalik. Senyum kecil mengembang di wajahnya saat ia melangkah kembali ke sisi Yura. "Kau harusnya lihat ekspresi wajahmu barusan," katanya sambil menahan tawa. "Aku nggak sekejam itu, Yura-ssi. Aku bawa mobil, kok."
Tanpa aba-aba, tangan Minhyuk perlahan menarik bahu Yura agar mulai berjalan bersamanya lagi, dan tak lama kemudian, jari-jari mereka saling bertaut. Genggaman itu terasa... alami. Seolah mereka memang sudah sering melakukannya. Tapi yang membuat Yura nyaris berhenti bernapas adalah elusan pelan ibu jari Minhyuk di punggung tangannya—gerakan kecil, tapi cukup untuk menimbulkan gemuruh di dalam dadanya.
Yura terpaku sesaat. Apa Minhyuk sadar kalau dia sedang menggenggam begitu erat? Atau... Apa ini memang disengaja?
Gawat. Lelaki ini benar-benar berbahaya.
Berusaha menjaga nada suaranya agar tetap normal, Yura berdeham pelan dan bertanya, "Kau bisa bawa mobil?"
"Bisa," jawab Minhyuk ringan. "Dan kau sudah bertanya padaku mengenai itu kemarin."
Ah, iya. Benar juga. Dasar bodoh kau, Han Yura.
Dan ternyata, benar saja. Mobil Minhyuk terparkir tak jauh dari lobi. Yura menatapnya sekilas, dan sebelum sempat berpikir macam-macam, Minhyuk melepaskan genggaman tangannya. Gerakan yang entah kenapa menimbulkan sedikit rasa kecewa dalam diri Yura—seakan tangan itu terlalu cepat lepas.
Minhyuk berjalan ke arah pintu penumpang dan membukakannya. "Masuklah," ucapnya sambil tersenyum kecil.
Yura menurut, duduk perlahan. Saat hendak menarik seatbelt dengan tangan kirinya yang masih bisa digerakkan, Minhyuk tiba-tiba mencondongkan tubuh dari sisi pintu. Tangannya terulur, mengambil alih seatbelt dengan pelan.
"Mian, jamsimanyo. Aku perlu memasang seatbelt dulu. Tanganmu sedang sakit," katanya tenang. (Maaf, sebentar ya)
Dalam hitungan detik, seatbelt itu sudah terpasang. Tapi yang membuat Yura nyaris lupa cara bernapas adalah jarak tubuh mereka barusan. Aromanya yang khas masculine wood. Nafas hangatnya yang terasa dekat. Dan suara lembutnya yang membuat udara di sekitar ikut menghangat.
Selesai, Minhyuk mundur, menutup pintu, lalu memutari mobil untuk memasukkan tas mereka ke bagasi. Yura duduk diam, tapi napasnya terasa naik turun tak terkendali. Jantungnya seperti berlari maraton.
"Tenang, Han Yura. Tenang," bisiknya pelan ke diri sendiri, memejamkan mata sejenak.
Minhyuk masuk ke sisi pengemudi, lalu menyalakan mesin. Saat mobil mulai melaju, ia melirik sekilas. "Kau kenapa? Kau sakit, kah?"
Yura buru-buru menggeleng. Bahkan tak berani menatap mata Minhyuk karena takut wajahnya akan memerah lagi.
"Baiklah," gumam Minhyuk sambil mengatur posisi duduknya. "Tidurlah. Nanti kalau sudah sampai, akan kubangunkan."
Yura hanya mengangguk pelan. Gerakan sederhana yang bahkan tanpa suara. Seperti boneka yang hanya bisa digerakkan oleh perasaan. Tapi sayangnya, jantungnya tidak bisa diam seperti itu. Detaknya masih rusuh, masih kacau.
Dan semua itu... karena lelaki di sebelahnya.
***
"Ah, benar. Kapan kau akan memperlihatkan surat itu padaku?" tanya Yura di tengah perjalanan.
Minhyuk mencengkeram kemudi lebih erat. Surat itu. Ia sempat lupa.
"Besok bagaimana?"
Yura berpikir. Dia masih diliburkan sampai minggu depan.
"Boleh."
"Café kemarin?"
Yura mengangguk. "Jam berapa?"
"Jam 11. Aku jemput."
"Eh? Aku bisa pergi sendiri."
"Tidak. Aku jemput saja."
Lagi-lagi, Yura tak bisa menolak. Kalau sudah Go Minhyuk yang bicara... dia bisa apa?