Tadi, seperti yang sudah Minhyuk katakan sebelumnya, lelaki itu benar-benar menjemput Yura di lobi apartemennya. Dan sangat tepat waktu, bahkan dia datang lebih cepat dari jam janjian mereka.
Sepanjang jalan, Yura hanya diam, sesekali memperhatikan lelaki yang duduk menyetir dengan pandangan lurus ke depan. Senyum diam-diam juga ikut terbit saat Yura memperhatikan Minhyuk. Hingga akhirnya Minhyuk sadar sedang diperhatikan, dia menoleh, membuat Yura sedikit tersentak.
"Kau memperhatikanku lagi?" tanyanya sambil sekilas menoleh lalu kembali ke depan.
Yura berdeham sambil melayangkan pandangan ke luar jendela secepat kilat, "tidak."
Senyum tipis nan jahil tersungging di wajah Minhyuk, "jangan berbohong, wajahmu memerah itu."
Keningnya berkerut sambil tersenyum malu tapi gemas, "nggak, ya!"
"Masa?"
"EO!"
Minhyuk terkekeh, "baiklah kalau begitu. Jangan marah-marah. Aku akan menganggapnya begitu."
"Mwo?!" Yura menahan senyumnya, tak habis pikir. Mobil yang mereka naiki ternyata sudah terparkir dengan rapi, bersebelahan dengan beberapa mobil yang parkir disana juga.
Tangan Yura sudah hendak membuka pintunya, saat Minhyuk menghentikannya. "Jamkkan."
Eh?
Yura bingung, tapi menurut saja. "O-oke."
Lalu setelah mematikan mesin dan membawa dompet dan hapenya, Minhyuk keluar dari mobil, berputar ke depan pintu Yura, dan tanpa perempuan itu duga, Minhyuk membuka pintu untuknya dan mempersilahkannya keluar.
"Turunlah."
Dengan wajah masih bingung dan terkejut, Yura turun dengan hati-hati, menunggu Minhyuk menutup pintunya. Matanya menatap lelaki yang baru saja mengunci mobilnya ini dengan tatapan bingung.
Minhyuk ikut menyipitkan matanya sambil tersenyum, membalas pandangan bingung Yura. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
Yura menggeleng pelan dengan mata menyipit. "Kau.. bukan Minhyuk-ssi yang ku kenal, kan?"
"Hah?"
"Kau tidak mungkin sebaik ini."
"Hei. Aku cukup tersinggung disini. Memang aku sejahat apa," balasnya dengan sedikit canda. Tangannya dengan halus menarik lengan Yura untuk mulai berjalan. "Aku memang seperti ini orangnya."
"Tidak. Selama beberapa bulan aku mengenal Go Minhyuk, tidak pernah ada yang seperti ini."
"Kau tau? Ini bahkan bukan hal besar. Hanya bare minimum jika kau memilih untuk memantapkan hati pada seseorang."
Deg.
Simpel memang terdengarnya, tapi jantung Yura langsung berlari cepat. Jika diperiksa sekarang, mungkin sekitar 140-150 bpm? Yang jelas, takikardi:)
"Kau bilang apa?" Dengan terang-terangan Yura bertanya. Karna sepertinya ia perlu memeriksanya lagi, memastikan.
Tapi tidak seperti yang ia bayangkan, Minhyuk tidak menjawab, ia hanya tersenyum dengan arti yang Yura tidak mengerti.
Aneh.
"Kau mau masuk atau tidak? Karna tanganku sudah mulai lelah menahan pintu ini untukmu."
Ah, benar juga. Karna kata-kata Mihnyuk tadi, Yura sampai lupa untuk masuk ke dalam cafe tersebut. "Terima kasih," ucapnya.
Setelah memesan sesuatu untuk mereka santap, keduanya duduk dalam diam. Minyuk sibuk dengan pikirannya sendiri yang harus mulai dari mana, dan Yura yang diam karna sedang menunggu Minhyuk untuk memulai.
"Jadi?" Melihat tidak ada tanda-tanda dari Minhyuk yang akan memulainya, jadi Yura lah yang mulai duluan.
Minhyuk mengangkat kepalanya, menatap Yura penuh arti. Matanya menyiratkan rasa takut, rasa kecewa, rasa... trauma yang tidak bisa Yura pahami.
"Kau bisa mulai dari awal jika kau bingung harus mulai dari mana."
"Bagaimana jika kita makan dulu?"
Dan kebetulan pesanan mereka datang. Walaupun sebenarnya engga, tapi Yura setuju.
"Baiklah."
***
Selesai makan, Yura memperhatikan gerak gerik Minhyuk yang sepertinya masih bingung harus bagaimana.
"Mau mulai?" tanyanya lagi.
Minhyuk menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu tangannya bergerak, mengeluarkan sepucuk surat dari saku celananya sendiri.
Bergerak untuk memberikannya pada Yura, tapi tangannya terhenti tiba-tiba di udara, hendak menaruh kembali surat itu. "Sepertinya tidak perlu. Tidak jadi. Ini tidak penting."
Dan sebelum Minhyuk menarik kembali surat itu, tangan Yura dengan cepat mengambilnya dari Minhyuk, membuat lelaki itu sedikit terkejut dengan kecepatannya.
Sadar dengan tatapan terkejut Minhyuk yang seakan bertanya kenapa dia melakukan itu, kedua bahu Yura mengendik. "Kalau kau lari terus, perasaan itu tidak akan hilang, tapi akan menghantuimu terus menerus. Lebih baik kau hadapi. Baik atau buruk, semua itu lebih baik kau hadapi daripada kau lari. Anggap saja itu ujian. Kalau kau nggak lulus dan kabur, memang kau bisa naik kelas?"
Deg.
Minhyuk tertegun mendengarnya. Kata-kata Yura benar. Sudah saatnya dia menghadapi masalah itu. Sudah cukup dia hidup berlari dari kenangan buruk itu.
"Kau benar."
Yura mengangguk setuju. "Jadi?" Yura kembali memberikan surat itu pada Minhyuk, agar Minhyuk yang membukanya sendiri. "Buka lah. Atau kau nggak bisa baca?" katanya dengan sedikit bercanda. Dengan niat agar Minhyuk bisa tersenyum.
Dan ternyata berhasil. Senyum kecil muncul di wajah Minhyuk. Tangannya bergerak mengambil surat dari Yura, merobek sedikit di ujungnya agar kertas putih gading bergaris tersebut bisa ditarik keluar.
Minhyuk menatap surat yang masih terlipat itu lamat-lamat. Jantungnya berpacu dengan ritme yang kacau. Perasaan nya bercampur aduk. Perutnya sendiri membuatnya mual, kepalanya berputar. Rasa kesal dan sakit yang sempat ia 'lupakan' beberapa tahun ini, kembali mengisi hatinya.
Tanpa di duga, Minhyuk memberikan kertas surat yang masih terlipat tersebut pada Yura. "Bisakah kau duduk di sampingku dan membacakannya untukku? Kurasa aku nggak bisa membacanya sendiri."
Minhyuk benar-benar berharap Yura setuju, tapi jika melihat raut wajah berpikirnya, Minhyuk jadi tambah dagdigdug dibuatnya. Dan sebuah anggukan kepala Yura, sedikit menenangkan dirinya.
Yura berdiri dan duduk di samping Minhyuk. Tangannya mengambil surat itu dan mulai membuka lipatannya.
Sebelum membacanya, Yura menoleh pada si empunya surat. "Kau siap?"
Minhyuk menarik napas dalam... dan membuangnya. Lalu ia mengangguk.
Saat membuka surat itu, satu yang menarik perhatian Yura.
Tulisan tangan ini bagus sekali.
Dan ini adalah surat nya.
"Annyeong, Oppa.
Ini aku, Nahee.
Hah... Maafkan aku.
Alasanku meminta maaf adalah... karna jika kau membuka surat ini, artinya kau sudah tau tentang hubunganku dengan Minhyun oppa entah dari orang lain, dari Minhyun oppa, atau kau tau sendiri, atau... mungkin aku sendiri yang memberitaumu.
Aku berharap kau bisa memaafkan kami. Tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan apa yang telah kami lakukan di belakangmu. Maafkan aku, Oppa. Aku merasa aku perlu menjelaskannya padamu. Maaf karna aku tidak sanggup menjelaskannya secara langsung.
Semua ini terjadi saat kau pergi untuk pameran fotomu di Kanada dua minggu setelah kau melamarku. Kau ingat seharusnya kita pergi untuk mencari baju pengantin, bukan? Iya, saat itu."
Hah.. Minhyuk benar-benar merasa sesak napas. Tanpa sadar, tangannya mengambil tangan Yura, menggenggamnya erat tapi tidak cukup kuat untuk menyakiti perempuan itu. Dan Yura juga tidak keberatan.
"Kita sempat ribut besar karna kau tiba-tiba saja membatalkan janji kita, lalu pergi karna ternyata kau salah ingat tanggal pameranmu. Hari itu aku juga berbohong padamu. Aku tidak langsung pulang ke apartemen. Tapi aku minum ke bar yang biasa kita datangi. Awalnya aku hanya sendiri. Berniat untuk minum berapa gelas, lalu pulang dengan keadaan setengah mabuk agar emosiku hilang.
Tapi tanpa disangka, Minhyun oppa juga ternyata sedang ada di bar itu. Dia habis merayakan ulang tahun temannya, dan tanpa sengaja melihatku yang sudah minum sekitar 2 gelas wiski. Dia bertanya kenapa kau tidak bersamaku, dan aku jelaskan dengna jujur. Dan karna aku merasa sepi, aku memintanya untuk menemaniku minum.
Dan ini salahku. Saat aku sudah minum beberapa gelas, Minhyun oppa sudah menghentikanku untuk minum lagi, karna aku juga sudah hampir kehilangan kesadaranku. Aku yang kesal, ingin ke toilet. Dan dengan bodohnya, aku malah hampir terjatuh ke lantai kalau aja Minhyun oppa tidak menangkap tubuhku. Saat itu dia langsung membayar dengan cash pada barista dengan cepat, dan menggendongku ke mobil untuk mengantarku pulang.
Di apartemen kita ini lah semua itu dimulai. Aku yang sudah mabuk dan kesal, masuk ke dalam unit dengan melempar sepatu ke sembarang tempat. Jaketku kutanggalkan dengan sembarang, meninggalkan hanya cropku dan celana pendek. Aku berbicara melantur. Bahkan marah-marah. Aku berbalik dan semakin marah saat melihat oppa disana yang dengan sabar menaruh sepatu dan bajuku dengan rapi di tempatnya. Aku lupa kalau itu bukan Minhyuk tetapi Minhyun oppa.
Aku menarik baju Minhyun oppa mendekat, memukul-mukul dadanya dengan kesal. Melampiaskan kekesalanku padanya. Aku menampar wajahnya dengan sisa tenagaku karna masalah kita. Aku salah mengira kalau itu adalah dirimu. Dan aku... aku mencium dirinya, membuatnya terkejut. Dia langsung mendorong tubuhku. Tapi karna ku kira itu adalah dirimu, aku terus menariknya, bahkan melompat ke arahnya, melingkarkan tangan dan kakiku pada tubuhnya. Penolakan yang ia lakukan dengan keras, pada akhirnya selaras dengan perbuatanku. Pada akhirnya... tidak menyisakan satupun. Dan kau tau apa yang terjadi malam itu.
Saat aku bangun, tentu aku terkejut dan merasa bersalah. Tapi saat aku melihat tatapan hangat dari Minhyun oppa padaku, tangannya mengelus lembut wajahku dan mengecupku di saat pertama kali ia membuka matanya -yang tak pernah ku dapatkan darimu saat kita berpacaran- aku merasa... senang. Rasa bersalah itu seakan-akan hilang dariku.
Hubungan kami berjalan terus di belakangmu, enam bulan. Ada kalanya Minhyun oppa ingin berhenti. Dua kali dia ingin menyelesaikan hubungan ini karna merasa semua salah. Dia merasa bersalah padamu, apalagi. Tapi aku tidak mau, aku berkata padanya kalau aku akan memutuskanmu. Dan ternyata sampai setahun berjalan, ternyata aku sadar aku tidak bisa meninggalkan kalian berdua. Aku terlalu sayang pada kalian berdua.
Tapi aku tau aku salah.
Aku benar-benar minta maaf, Oppa. Aku tidak tau bagaimana caranya untuk meminta maaf padamu. Aku tidak tau bagaimana caranya menghadapimu.
Jadi aku hanya bisa mengirimkan surat ini padamu.
Maafkan aku. Aku sudah membuatmu sakit.
Kalau kau sudah membaca surat itu, sudah pasti hubungan kita berakhir.
Aku hanya berharap, kau bisa menemukan pasangan yang lebih baik dariku.
Maafkan aku, Minhyuk Oppa.
Saranghae."
Benar-benar. Yura benar-benar tak habis pikir kata demi kata yang ia baca. Bagaimana bisa seorang saudara dan calon pengantinnya melakukan ini pada kembaran dan pacarnya sendiri. Bahkan menjelaskannya melalui surat?! Apakah sudah gila?!
Setelah selesai membaca surat tersebut, Yura menaruh kertasnya di atas meja dengan penuh amarah.
Tapi saat ia menoleh dan melihat Minhuyk memejamkan matanya seakan menahan amarah dan tangis, wajah Yura melunak.
Benar.
Jika Yura saja bisa semarah ini, apalagi Minhyuk yang merasakannya langsung. Dibohongi oleh orang terdekatnya sendiri.
Tangan perempuan itu mengelus pelan bahu Minhyuk, menenangkannya. "Kau boleh marah kalau kau mau. Itu hal yang wajar."
Tapi tidak seperti yang ia duga, Minhyuk menatapnya lembut dengan mata memerah. Dia menggeleng pelan dan meremas surat itu. "Semua sudah berlalu juga. Tak ada gunanya aku marah," katanya dengan pelan tapi dalam. Tapi dia masih memaksakan senyum lirih pada Yura, membuat perempuan itu jadi sakit melihatnya.
"Maafkan aku," kata Yura singkat sebelum akhirnya memeluk Minhyuk. Dan tak lama, tubuh yang ia peluk ini balik memeluknya. Membuat Yura semakin mengeratkan pelukannya dan mengelus punggungnya sesekali. "Kau boleh marah. Kau sangat boleh," katanya lagi.
"Mereka sudah meninggal. Tak ada gunanya lagi aku marah," ujarnya lirih
Yura terkejut. Minhyuk sadar perempuan itu terkejut karna berhenti mengelusnya. Dia menarik tubuhnya sendiri dengan senyum tipis. "Mereka sudah meninggal lima tahun yang lalu. Kecelakaan."
"Hah?"
Minhyuk mengangguk, "hari itu Minhyun mengantar Nahee ke toko baju pengantin untuk mengukur pakaian. Aku tidak bisa mengantarnya karna ada meeting dadakan hari itu."
Yura mengangguk samar, mendengarkan saja.
Helaan napas dihembuskan Minhyuk sebelum ia melanjutkannya. "Hari itu salju sedang turun dengan lebat. Singkat cerita, mereka kecelakaan karna licinnya jalan saat perjalanan pulang ke apartemen. Dan itu sebabnya aku tidak mau di Korea atau gegara manapun yang punya musim salju saat musim dingin. Trauma dengan salju. Aku merasa bersalah karna tidak mengantarkan Nahee saat itu."
Yura menggeleng, tangannya menepuk pelan bahu lelaki itu. "Bukan salahmu, kok. Namanya tragedi, tidak ada yang tau."
Hening.
Yura sedang berpikir apakah ia boleh menanyakan ini atau tidak. Tapi pada akhirnya, ia melontarkannya juga. "Apakah itu alasan kau menjadi dingin? Seperti yang Minjun katakan?" Minhyuk mengangguk. "Dan keluargamu tau alasan itu? Minjun sepertinya hanya mengira kau dingin karna kehilangan tunangan dan kembaranmu saat musim dingin, makanya kau menjauhkan diri dari mereka."
"Tidak. Aku tidak memberitau mereka tentang ini. Aku tidak mau mereka sakit hati. Biar aku aja yang tau."
Yura menghela napas, ia mengerti sih. Tapi tetap saja...
"Aku boleh kasih saran?"
Minhyuk menoleh dan mengangguk.
"Keluargamu... Mereka berhak tau. Bagaimanapun itu menyangkut anak mereka juga, menyangkut saudara mereka juga. Berbagi rasa itu agar tidak terlalu sakit untukmu. Dan... agar mereka tidak salah paham dengan sikapmu selama lima tahun belakangan ini. Orangtuamu dan adikmu pasti merasa mereka tidak ada gunanya untukmu sampai kau tidak cerita dan ngobrol dengan mereka."
Benar...
Minhyuk terdiam. Tapi ia setuju. "Baiklah, aku akan coba cerita pada mereka. Terima kasih."
"Tak masalah," jawab Yura sambil tersenyum.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku? Aku kenapa?"
"Kenapa kau jadi seorang dokter bedah anak?"
"Karna... aku punya teman waktu aku masih kecil. Aku sangat dekat dengannya. Tapi tiba-tiba dia meninggal karna telat disadari penyakitnya. Aku sangat sedih saat itu. Kalau aja aku menyadarinya, atau aku bisa membantu, mungkin dia masih ada sampai sekarnag. Jadi aku bertekad untuk menjadi dokter bedah anak untuk membantu anak-anak yang sakit. Sehingga tidak ada lagi yang kehilangan."
Minhyuk mengangguk bangga. Merasa perempuan di sebelahnya ini ternyata bisa dewasa juga. "Eungwonhalge." Tangannya terangkat untuk mengelus lembut kepala Yura yang tersenyum menganggapinya. (Aku mendukungmu)
"Terima kasih!"
Lalu Minhyuk menarik napas dan membuangnya pelan.
"Mau pulang sekarang?"
Yura mengangguk mantap. "Boleh!"
"Baiklah. Ayo pulang! Hati-hati saat berdiri. Nanti kau ketu-- oke ternyata sudah."
Niatnya ingin mengingatkan perempuan itu untuk berhati-hati, ternyata Yura sudah ketumpahan kopi yang tersisa dikit di cangkirnya sendiri yang terletak dekat ujung meja.
Berbeda dengan Yura yang menyengir merasa malu, Minhyuk hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sudah tak heran lagi.
Bagaimapun, Han Yura yang ia kenal memang seperti ini. Hahaha.